Senin, 20 Februari 2017

Rakyat Mati di Tanah Air Sendiri

Rakyat Mati di Tanah Air Sendiri

Indonesia adalah salah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas daratan sekitar lebih dari satu juta kilometer persegi (Kemendagri, 2010), luas lautan lebih dari tiga juta kilometer persegi (UNCLOS 1982) dan terdiri lebih dari tujuhbelas ribu pulau (Kemandagri, 2004); walaupun yang tercatat di PBB baru sekitar tigabelas ribu lebih pulau. Dengan jumlah luas keseluruhan lebih dari lima juta kilometer persegi membuat Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan penduduknya.
Penguasaan Lahan dan Konflik-Konfliknya
Namun sangat ironis, di negeri ini masih terdapat sekitar 28 juta dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan (data BPS maret 2016). Hutan sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia ternyata 30% dari 120 juta hektar hanya dikuasai oleh 25 orang saja (pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Sabtu, 3/12/2016). Mongabay pada 12 Januari 2017 merilis berita mengenai konflik besar di lahan sepanjang tahun 2016 yang terdiri dari lahan perkebunan sawit dengan luas 601.680 hektar, kehutanan seluas 450.215 hektar, properti 104.379 hektar, migas 43.882 hektar, insfrastruktur 35.824 hektar, pertambangan 27.393 hektar, pesisir 1.706 hektar dan pertanian 5 hektar.
Konflik-konflik lahan warga di tahun-tahun berikutnya akan terus bertambah jika pemerintah tetap ingin mempergunakan tanah rakyat untuk proyek-proyeknya seperti Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di buku III sangat jelas disebutkan zonasi setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Misalnya pulau Papua sebagai lumbung pangan, dll; Maluku sebagai produsen makanan laut dan lumbung ikan, dll; kepulauan Nusa Tenggara (NTT & NTB) sebagai sebagai pintu gerbang pariwisata ekologis, pusat peternakan, dll; Sulawesi sebagai basis pengembangan industri logistik, dll; Kalimantan sebagai kawasan batu bara, dll; Jawa-Bali sebagai pendorong industri dan jasa nasional, dll; Sumatera sebagai kawasan komoditas batu bara, dll. Belum lagi ditambahkan dengan pengambilalihan lahan serta hak milik warga untuk proyek-proyek strategis nasional seperti bandara, pelabuhan, waduk, jalur rel, jalan raya, dll.
Konflik atas ruang hidup akan semakin diperparah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KepMen ESDM) tentang Penetapan Wilayah Pertambangan di Indonesia. Pertambangan meliputi Pertambangan Batubara, Pertambangan Mineral Logam, Pertambangan Mineral Radioaktif, dan Cadangan Negara. Pulau Papua diatur dalam Kepmen ESDM: 4004 K/30/MEM/2013; Pulau Maluku diatur dalam Kepmen ESDM 4002 K/30/MEM/2013; Pulau Nusa Tenggara (NTT & NTB) diatur dalam Kepmen ESDM: 1329 K/30/MEM/2014; Pulau Sulawesi diatur dalam Kepmen ESDM: 2737 K/30/MEM/2013; Pulau Kalimantan diatur dalam Kepmen ESDM: 4003 K/30/MEM/2013; Pulau Jawa-Bali diatur dalam KepMen ESDM: 1204 K/30/MEM/2014; Pulau Sumatera diatur dalam Kepmen ESDM: 1095 K/30/MEM/2014.
Padahal wilayah-wilayah yang dijadikan zonasi adalah wilayah berpenghuni. Warga yang mendiami wilayah tersebut mau dipindah kemana? Padahal tidak semua proses pemindahan masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain karena ruang hidup mereka digunakan oleh proyek tertentu berhasil. Program relokasi beberapa wilayah di Jakarta adalah salah satu contoh bagaimana relokasi terhadap warga di Jakarta ternyata meninggalkan masalah. Selain susahnya membayar uang sewa tempat tinggal karena sulitnya mendapat pekerjaan, mereka juga kehilangan ikatan dengan tanah kelahirannya.
Program-program pemberdayaan pemerintah nampaknya tidak menyentuh esensi persoalan negeri ini, karena tanah dan air tempat rakyat berdaulat, kini dikuasai oleh segelintir konglomerat. Rakyat sebagai entitas bangsa pun seperti teralienasi dari lumbungnya sendiri. Berita mengenai para petani yang dikriminalisasi dan dirampas ruang hidupnya sudah menjadi sarapan harian sehingga informasi tentang penderitaan mereka pun tidak mengusik hati nurani penguasa. Ketika ada rakyat yang melawan perampasan ruang hidupnya dianggap membangkang oleh penguasa. Lalu apa gunanya bernegara kalau rakyat terus menderita? Apa gunanya peraturan perundang-undangan kalau rakyat terus dirundung malang? Apa gunanya wakil rakyat kalau ternyata mereka mewakili konglomerat? Padahal tujuan dari bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan bagi para penduduknya.
Mengembalikan Kedaulatan Rakyat
Langkah terbaik untuk mengatasi persoalan yang terjadi adalah dengan cara mengembalikan tanah dan air ke rakyat agar mereka kembali berdaulat. Hal itu bukan berarti menolak pembangunan. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana sebuah pembangunan berorientasi pada pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia, ekologi dan menghormati nilai-nilai luhur setiap kebudayaan. Karena selain perintah konstitusi juga sebagai perealisasian nilai-nilai keadaban dan pemenuhan rasa keadilan dalam pembangunan.
Kita mendengar ada program reforma agraria yang diusung oleh presiden. Namun pertanyaannya adalah apakah menyentuh esensi persoalan yaitu tentang ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia seperti yang digugat oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)? Selama ketimpangan itu tidak dipenuhi dan tidak ada perlindungan hukum bagi masyarakat, maka kita akan masih mendengar kebrutalan para pemilik modal merampas tanah rakyat seperti di Kulonprogo, Kendeng, suku Dayak Meratus Kalimantan Selatan, masyarakat Luwu Utara, dll. Alih-alih untuk menyejahterakan rakyat, para pemimpinnya justru menghilangkan sumber pokok kehidupan masyarakat yaitu tanah dan air.
Kalau keadilan agraria tidak pernah dirasakan oleh para petani dan masyarakat, jangan salahkan mereka untuk merebutnya dengan cara sendiri. Karena mereka tidak pernah diminta diurusi oleh negara. Mereka sudah bisa mengurusi dirinya sendiri. Malah kehadiran negara yang menyandera kehidupan mereka.   


pernah dimuat di laman: http://lpmrhetor.com/2017/02/rakyat-mati-di-tanah-air-sendiri.html


Rabu, 08 Februari 2017

Aliansi Rakyat dalam Pembangunan

Alienasi Rakyat dalam Pembangunan
Oleh: Heronimus Heron

Indonesia adalah salah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas daratan sekitar lebih dari satu juta kilometer persegi (Kemendagri, 2010), luas lautan lebih dari tiga juta kilometer persegi (UNCLOS 1982) dan terdiri dari lebih dari tujuhbelas ribu pulau (Kemandagri, 2004); walaupun yang tercatat di PBB baru sekitar tigabelas ribu lebih pulau. Dengan jumlah luas keseluruhan lebih dari lima juta kilometer persegi membuat Indonesia kaya akan keanakaragaman hayati, baik di darat maupun di laut.
Namun sangat ironis karena kekayaan alam baik di darat maupun di laut hanya dinikmati oleh segelintir orang –misalnya 30% hutan Indonesia dikuasai oleh 25 orang saja dari total 120 juta hektar, pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Sabtu, 3/12/2016.  Sedangkan jumlah penduduk Indonesia lebih dari dua ratus limapuluh juta jiwa. Selain itu, kebijakan pemerintah juga ternyata tidak berpihak pada rakyat kecil pemilik republik ini. Padahal salah satu komitmen para pendiri bangsa adalah “memajukan kesejahteraan umum” (alinea ke-4 pembukaan UUD 1945).
Rakyat tidak Dianggap dalam Pembangunan
Komitmen para pendiri bangsa sepertinya telah dikhianati oleh sejumlah anak bangsanya sendiri. Hal itu terbukti dari masih banyaknya penduduk miskin di negeri ini (sekitar 28 juta jiwa, Data BPS, Maret 2016). Apalagi pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah nampaknya menyingkirkan masyarakat kecil. Persoalan reklamasi teluk Jakarta dengan 17 pulau baru hanyalah salah satu contoh dimana para nelayan kehilangan mata pencarian dan harus pindah dari rumah mereka sendiri. Di rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah persoalan lain lagi. Bahkan IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan. Belum lagi persoalan nasib dan masa depan mereka.
Selain itu, ada ancaman yang lebih besar lagi bagi penduduk dikepulauan ini dengan dikeluarkannya Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di buku III sangat jelas disebutkan zonasi setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Misalnya pulau Papua sebagai lumbung pangan, dll; Maluku sebagai produsen makanan laut dan lumbung ikan, dll; kepulauan Nusa Tenggara (NTT & NTB) sebagai sebagai pintu gerbang pariwisata ekologis, pusat peternakan, dll; Sulawesi sebagai basis pengembangan industri logistik, dll; Kalimantan sebagai kawasan batu bara, dll; Jawa-Bali sebagai pendorong industri dan jasa nasional, dll; Sumatera sebagai kawasan komoditas batu bara, dll.
Belum lagi diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KepMen ESDM) tentang Penetapan Wilayah Pertambangan di Indonesia. Pertambangan meliputi Pertambangan Batubara, Pertambangan Mineral Logam, Pertambangan Mineral Radioaktif, dan Cadangan Negara. Pulau Papua diatur dalam Kepmen ESDM: 4004 K/30/MEM/2013; Pulau Maluku diatur dalam Kepmen ESDM 4002 K/30/MEM/2013; Pulau Nusa Tenggara (NTT & NTB) diatur dalam Kepmen ESDM: 1329 K/30/MEM/2014; Pulau Sulawesi diatur dalam Kepmen ESDM: 2737 K/30/MEM/2013; Pulau Kalimantan diatur dalam Kepmen ESDM: 4003 K/30/MEM/2013; Pulau Jawa-Bali diatur dalam KepMen ESDM: 1204 K/30/MEM/2014; Pulau Sumatera diatur dalam Kepmen ESDM: 1095 K/30/MEM/2014.
Pembangunan dan pembentukan zonasi oleh pemerintah sepertinya mengabaikan manusia yang hidup dan mencari nafkah di wilayah tersebut. Perspektif pemerintahan yang bertumpu pada faktor ekonomi dan pemasukan negara telah menginjak-injak rakyat kecil. Bahkan nampak bahwa mereka tidak dianggap sebagai subjek pembangunan dan perekonomian nasional. Rakyat kecil dan miskin telah dialienasikan oleh rezim yang menyembah materi dan kekuasaan.
Rakyat, Bangkitlah
Melihat data dan fakta yang sedang disusun dan dijalankan oleh pemerintah membuat hilangnya ruang hidup dan sumber penghidupan rakyat. Nasib mereka bahkan tidak diperhatikan oleh rezim yang berkuasa. Untuk itu, rakyat yang tertindas harus bangkit membebaskan dirinya. Rakyat tertindas harus melepaskan belenggu ketundukannya untuk melawan mereka yang merampas ruang hidupnya. Rakyat tertindas harus berdiri dengan gagah diatas tanah dan airnya.
Maka semua pihak yang masih mempunyai nalar sehat dan kritis harus mendukung perjuangan rakyat. Setiap orang bisa mengambil perannya masing-masing. Dalam hal ini, pers mahasiswa harus ambil bagian dan menyuarakan suara rakyat tertindas. Buatlah media sebagai corong kewarasan bernalar dan berprilaku adil.
Follow up-lah berita-berita perjuangan para petani, nelayan dan kaum tertindas lainnya. Kemaslah setiap informasi dan berita yang ada dengan sebaik mungkin agar setiap orang tertarik membacanya namun tetap berbobot, sebab persaingan media memang tidak ringan. Jadikanlah pers mahasiswa sebagai bagian dari perjuangan rakyat agar setiap informasi dan berita yang diwartakan adalah suara hati nurani para petani, nelayan dan rakyat yang berjuang mempertahankan kehidupan lainnya.

Bahan ini pernah digunakan untuk mengisi diskusi persma Poros, Universitas Ahmad Dahlan dan termuat di web.persmaporos.



Kamis, 05 Januari 2017

Paulus dan Panggilannya



Paulus adalah orang Yahudi perantauan yang lahir di Tarsus di tanah Kilikia. Kemungkinan ia lahir antara tahun 3-10 M, karena ketika peristiwa Stefanus, ia dikatakan masih muda (Kis. 7:57). Orang tua Paulus berkebangsaan Yahudi dari Suku Benyamin (Rom. 11:1; Flp 3:5). Menurut St. Hieronimus, orang tua Paulus berimigrasi ke Tarsus dari Palestina. Kemungkinan keluaraganya cukup mampu sehingga dapat memberikan pendidikan yang baik kepada Paulus. Ia belajar tentang hukum taurat dan tradisi Israel di bawah bimbingan Gamaliel, namun tidak diketahui bagaimana pendidikan dasarnya. Paulus juga fasih berbahasa Yunani. Dari tulisan-tulisannya, kita bisa melihat gaya sastra Yunani yang ia gunakan, “Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak dan kita ada” (Kis 17:28) berasal dari perkataan Epidemes dari Kreta (550-449 BC). Kata lanjutannya adalah “Sebab kita semua adalah keturunan Allah juga” (Kis. 17:28) berasal dari Aratus (310-240 BC) atau Cleanthes (320-230 BC). Frederick William Farrar beranggapan bahwa bahasa dan gaya sastra Yunani yang didapat oleh Paulus berasal dari sekolah formal yang dia tempuh. Tetapi Fernand Prat beranggapan bahasa Yunani Paulus berasal dari kebiasaan sehari-hari.

Karena keyakinannya akan ajaran yang dia anut maka dia giat bekerja bagi Allah. Ia melakukan suatu perjalanan menuju ke Damsyik[1] dengan membawa surat kuasa dari Imam Besar kepada majelis-majelis Yahudi di sana dengan tujuan untuk menangkap para pengikut (baik laki-laki maupun perempuan) Yesus agar di bawa ke Yerusalem untuk di hukum. Ketika sudah mendekati Damsyik, waktu tengah hari, tiba-tiba cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilinginya. Maka rebahlah ia ke tanah dan ia mendengar suara yang berkata kepadanya: Saulus[2], Saulus mengapa engkau menganiaya Aku?
Jawab Saulus: siapakah Engkau, Tuhan?
kataNya: Akulah Yesus orang Nazaret yang kauaniaya itu.

Mereka yang menyertai Saulus melihat cahaya itu namun suara Dia yang berkata kepadanya tidak mereka dengar.

Saulus berkata: Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?
Kata Tuhan kepadanya: Bangkitlah dan pergilah ke Damsyik. Di sana akan diberitahukan kepadamu segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu.

Karena Saulus tidak dapat melihat oleh karena cahaya yang menyilaukan mata itu, maka kawan-kawan seperjalanannya memegang tangannya dan menuntun dirinya ke Damsyik. Tiga hari lamanya ia tidak dapat melihat dan tiga hari lamanya ia tidak makan dan minum. Di situ ada seorang yang bernama Ananias, seorang saleh yang menurut hukum Taurat dan terkenal baik diantara semua orang Yahudi yang ada di daerah itu namun ia telah menjadi murid Tuhan.

Firman Tuhan kepadanya dalam suatu pengelihatan: Ananias!
Jawabnya: Ini aku, Tuhan!
Firman Tuhan: Mari pergi ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di rumah Yudas seorang dari Tarsus yang bernama Saulus. Ia sekarang berdoa dan dalam suatu pengelihatan ia melihat bahwa seorang bernama Ananias masuk ke dalam rumah dan menumpangkan tangannya ke atasnya supaya ia dapat melihat lagi.
Jawab Ananias: Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyak kejahatan yang dilakukannya terhadap orang-orang kudusMu di Yerusalem. Dan ia datang kemari dengan kuasa penuh dari imam-imam kepala untuk menangkap semua orang yang memanggil namaMu.
Tetapi Firman Tuhan kepadanya: Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagiKu untuk memberitakan namaKu kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena namaKu.

Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu.
Ia berdiri dekat Saulus dan berkata: Saulus saudaraku, Tuhan Yesus yang telah menampakan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui telah menyuruh aku datang kepadamu supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus. Lalu katanya: Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendakNya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulutNya. Sebab engkau harus menjadi saksiNya terhadap semua orang tentang apa yang engkau lihat dan yang kaudengar. Ketika itu gugurlah selaput dari matanya dan ia dapat melihat lagi. Sekarang mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah dan berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada Tuhan! Setelah ia makan maka pulihlah kekuatannya. Ia tinggal beberapa hari di situ sambil memberitakan di rumah-rumah ibadat bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Namun semua orang yang mendengarkan dia menjadi heran dan berkata: Bukankah orang ini yang mau membinasakan semua orang yang memanggil nama Yesus di Yerusalem? Bukankah maksud kedatangannya ke sini untuk menangkap semua orang dan membawa mereka ke hadapan imam-imam kepala? Tetapi ia makin besar pengaruhnya dan membingungkan orang Yahudi yang ada di Damsyik karena ia membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias. Beberapa hari kemudian orang Yahudi berunding untuk menangkap dan membinasakan dia. Siang malam mereka mengawal semua pintu gerbang kota supaya dapat membunuh dia. Rencana pembunuhan dirinya diketahui olehnya maka dengan bantuan para murid yang ada di situ, ia diturunkan dari tembok kota dengan menggunakan keranjang. Ia kembali ke Yerusalem.

Ketika dia sedang berdoa di Bait Allah, rohnya diliputi kuasa Ilahi. Saulus melihat Dia yang berkata kepadanya: Lekaslah, segeralah tinggalkan Yerusalem, sebeb mereka tidak akan menerima kesaksianmu tentang Aku. Jawab Saulus: Tuhan, mereka tahu bahwa akulah yang pergi dari rumah ibadat yang satu ke rumah ibadat yang lain dan yang memasukan mereka yang percaya kepadaMu ke dalam penjara dan menyesah mereka. Dan ketika darah Stefanus saksiMu itu ditumpahkan, aku ada di situ dan menyetujui perbuatan itu dan aku menjaga pakaian mereka yang membunuhnya. Tetapi kata Tuhan kepada Saulus: Pergilah sebab Aku mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain.

Kisah perjalanan hidup dan pewartaan Paulus tentang Yesus sebagai Putra Allah yang hidup dan Mesias telah membuat banyak orang berbalik kepada Allah dan percaya kepada Kristus. Dia adalah seorang pewarta Firman yang ulung dari Yerusalem sampai ke Roma. Sejarah Gereja mencatat Paulus meninggal pada tahun 64-67 M, sebagaimana yang dicatat oleh Eusebius. Beliau juga mencacat kalau kematian Rasul Petrus dan Paulus di bawah penganiayaan kaisar Nero. Rasul Petrus wafat dengan cara di salib terbalik, sedangkan Paulus dengan dipenggal kepalanya.


Referensi

Eusebius, History of Church, book II, ch. 25.
http://www.katolisitas.org/latar-belakang-rasul-paulus/
Kisah ini disadur dari Kisah Para Rasul 9:1-30; 22:4-21; 26:10-20.
Laur, Gebhard M Heyder a. S., Paul of Tarsus, translate by Herman Mueller, SVD. Manila: Logos Publication, 1994.






[1] Damsyik saat ini adalah Damaskus, ibu kota Suriah.
[2] Setelah Kisah Para Rasul 13:9, sebutan Saulus tidak muncul lagi kecuali di Kis 26:10-20 dimana Paulus menceritakan kisah perutusannya di hadapan raja Agripa. Para penulis Kristen lebih menggunakan sebutan Paulus daripada Saulus.

Selasa, 03 Januari 2017

Filosofi Pemuda Dayak Jawant




Sebagai seorang pemuda yang hidup dan bernafaskan tradisi, ada kebiasaan di masyarakat kami untuk selalu memegang teguh adat istiadat dan tradisi sebagai filosofi hidup. Salah satu contohnya adalah ungkapan, Bajalan Betungkah Adat, Tidi Bebantal Malu”. Arti harafiahnya adalah “Berjalan Bertongkat Adat, Tidur Berbantal Malu”.

Kepada kaum muda selalu ditanamkan kehormatan dirinya dan keluhuran martabat keluarganya. Tindakan seberono dan bodoh dapat mencoreng kehormatan diri dan keluhuran martabat keluarga. Karena itu, rasa bersalah dan berdosa akan selalu membayang-bayangi hidup bahkan sampai ke tempat tidur. Kamar yang seharusnya menjadi tempat yang enak untuk merebahkan badan menjadi ruang penggap karena di ruang itu rasa bersalah selalu membayang-bayangi dan rasa malu menjadi bantal tidurnya. Tempat privasi seperti kamar tidur menjadi pengadilan antara diri dan perbuatan.

Untuk menghindari tindakan yang bisa mencoreng kehormatan diri dan keluhuran martabat keluarga maka berpegangteguhlah pada adat dan tradisi. Istilah yang digunakan adalah “Bajalan Batungkah Adat”. Dalam menjalankan aktivitas keseharian berpegangteguhlah pada adat istiadat yang telah mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, kekeluargaan dan kerukunan. Selain itu tongkat juga bisa digunakan untuk menyingkirkan segala rintangan yang mengganggu perjalanan agar hidup selalu lurus dan selaras dengan tujuan kehidupan yaitu menjadi manusia sebagai manusia.

Karena itulah sangat penting bagi kami para generasi muda untuk selalu menghidupi adat istiadat dan tradisi kami. Dayak kami, subsuku Dayak Jawant adalah 1 dari 151 subsuku yang ada di Kalimantan Barat. Sebaran penduduk suku kami ada di sepanjang Sungai Menterap (anak Sungai Sekadau) dan desa-desa di sekitarnya yang terletak di Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. Suku kami mendiami beberapa desa diantaranya Roca, Boti, Sulang Botong, Mondi, Nate Kelampe, Tapang Birah, Gintong, Engkorong, Sungai Gontin, Bongkit, Sengiang, Ensibo, Kerentak, Jangkak, Gurong dan Bunut.


Referensi:
Alloy, Sujarni, dkk. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Institut Dayakologi: Pontianak, 2008.


Rabu, 30 November 2016

Legenda Nsuman

Legenda Nsuman

Pada zaman dahulu hiduplah sekelompok manusia yang mendiami suatu tempat yang bernama Nsuman. Mereka hidup normal seperti manusia lainnya. Mereka membangun rumah Betang (rumah panjang; khas suku Dayak) dan tinggal bersama beberapa keluarga di dalamnya. Mereka menanam padi di ladang dan berburu binatang.
Namun pada suatu ketika seorang kepala keluarga di situ pergi memancing ke hilir sungai menggunakan perahu. Dia mendayung perahu menyusuri hilir sungai untuk mencari tempat yang banyak ikannya. Setelah sore hari dan mendapat banyak ikan, dia mengayuh perahunya memudiki sungai untuk kembali ke rumah.
Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Seladan, ia singgah di situ untuk mencari buluh (sejenis bambu) yang digunakan sebagai tempat memasak ikan yang didapat. Setelah mengamat-amati buluh yang ada, ia melihat satu pohon buluh yang tingginya melebihi puncak pohon tapang (Terminalia catappa). Ia menebang pohon buluh itu dan membaginya menjadi beberapa potong untuk dijadikan tempat memasak ikan. Ketika sedang memotong buluh, ia melihat didalamnya terdapat abu. Maka ia mengambil buluh yang terdapat abunya itu dan membawa ke rumah.
Sesampai di rumah, buluh yang terdapat abu, ia sandarkan ke jurong (tempat menyimpan padi). Pada pagi hari, sang istri pergi ke jurong mengambil padi untuk memberi makan ayam bertanya-tanya dimana jurong itu karena sudah tidak ada. Ia bertanya kepada suaminya, kone jurong ko nyimpane ten? (ke mana tempat nyimpan padi kamu letakan?). suaminya bilang, ada tuk pe ah (ini ada di sini), tetapi istrinya tidak melihat jurong itu. Karena istrinya masih belum melihat maka suaminya mengambil buluh yang ia letakan di jurong itu dan menyimpannya di tempat lain, baru istrinya melihat jurong. Maka suaminya berkata kepada istrinya, rotie buluh tuk isik abu ngolap (berarti di dalam buluh ini terdapat abu yang bisa membuat sesuatu menjadi hilang). Istrinya menjawab, nyak am rotie (itulah artinya).
Suaminya punya ide bagaimana kalau ia mencerita keberadaan buluh yang didalamnya terdapat abu kepada warga yang mendiami rumah betang itu. Ia mengundang mereka untuk berkumpul dan menjelaskan kronologi didapatkannya buluh yang berisi abu tersebut. Setelah mendengarkan penjelasannya maka mereka sepakat untuk memotong dua buluh itu dan meletakannya satu potong di ujung rumah betang sebelah sini dan satu sebelah sana untuk menghindari serangan musuh karena waktu itu masih perang suku.
Ketika musuh datang untuk menyerang kampung mereka, musuh tidak melihat rumah betang, mereka hanya melihat kumpulan pohon buluh. Tetapi musuh masih bisa mendengarkan suara binatang peliharaan warga di kampung, terkadang suara anak-anak bermain dan menangis juga masih terdengar. Karena musuh tidak menemukan orang di daerah itu maka mereka kembali ke kampung mereka dan memutuskan tidak menyerang kampung Nsuman lagi karena mereka ditolong oleh Petara (Tuhan; dalam bahasa Dayak Jawant).
Sampai sekarang pun daerah Nsuman ditumbuhi banyak pohon buluh. Terkadang orang yang melewati daerah itu masih mendengar suara ayam berkokok dan anak-anak bermain namun sudah tidak ada perkampungan. Maka mana daerah itu disebut kampung Nsuman, kampung warga yang menghilang.




Senin, 28 November 2016

Hak atas Kehidupan yang Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Hak atas Kehidupan yang Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Setiap pribadi memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) disebutkan bahwa “Pengakuan atas martabat yang melekat pada hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia”.
Namun acapkali dalam suatu proses pembangunan, masyarakat dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Hak-hak yang mendasar dan melekat sepertinya dicerabut hanya karena mereka tidak mau menjual tanahnya untuk sebuah pembangunan. Apalagi dalam proses pengukuran, pelepasan lahan dan pembangunan, pemerintah seringkali menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. Padahal setiap manusia memiliki hak atas kehidupan yang layak menyangkut rumah; hidup yang aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera; hak milik; hak atas lingkungan yang baik; hak atas identitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.
Untuk itu, penulis akan mengkaji (kemungkinan) pelanggaran HAM, terkhusus hak atas kehidupan yang layak apabila rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo dilanjutkan.

  1. Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia
Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.
Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.
Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

  1. Hak atas kehidupan yang Layak
Setiap warga negara mempunyai hak untuk kehidupan yang layak berupa tempat tinggal, lingkungan yang sehat dan bahkan mendapat jaminan sosial. Untuk itu berikut ini poin-poin dari regulasi yang mengatur hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.
·         UUD 1945 pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
·         UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
·         UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) pasal 11 ayat (1), “Negara pihak mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus...”
·         DUHAM pasal 25 ayat (1), “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
·         Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 27 ayat (3), “Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan”.
Ketentuan lain
·         Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya - ICESCR - 13 Desember 1991) No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat [1]) menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR – 1997) No. 7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergantung kasusnya, tersedia”.

3.      Proyek Bandara Kulonprogo
Kalau kita melihat Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah salah satu dari proyek strategis nasional. Namun menjadi persoalan ketika IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan.
Kalau melihat regulasi yang ada nampak bahwa ada ketidaksesuaian antara tahap-tahap yang harus dilalui dengan kenyataan yang ada. Maka sangat wajar kalau penetapan lokasi bandara di Kulonprogo terlihat dipaksakan karena memang tidak sesuai dengan mekanisme regulasi yang ada.

4.      Hak atas kehidupan yang Layak dalam Proyek Bandara Kulonprogo
Pembangunan bandara yang memang tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan terlihat dipaksakan telah mengakibatkan proses ini cacat dari awal. Selain itu pemilihan tempat pembangunan dilahan yang produktif juga menimbulkan persoalan. Apalagi tidak ada jaminan ekonomi bagi warga ketika mereka menyerahkan tanahnya untuk dijual ke pihak bandara telah menambah persoalan lain. Maka sangat wajar kalau warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga, tidak mau menjual tanah mereka, karena memang mereka punya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945 pasal 28A).
Seandainya proyek NYIA tetap dipaksakan untuk dijalankan maka negara harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara termasuk warga WTT. Hak untuk punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak tetap harus dijamin karena hak itu sudah melekat dalam setiap pribadi manusia sejak ia lahir. Pengabaian hak dasar warga WTT untuk dihormati haknya karena tidak bersedia menjual tanah dan memaksa mereka menjual tanah dengan cara mengintimidasi mereka telah menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggarannya bisa dilakukan oleh negara sendiri (by commission) atau negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan cara membiarkan pihak pengembang melakukan intimidasi kepada warga supaya mereka menjual tanahnya (by omission).
Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak warga negara. Apalagi hak untuk hidup, mempertahankan hidup, bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak boleh dilanggar (Non-derogable rights).
Untuk itu pemerintah memang perlu menghomati pilihan warga WTT untuk tidak menjual tanahnya karena hal ini menyangkut hak warga WTT atas kepemilikan, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Kalau rencana NYIA tetap dilanjutkan di Temon, Kulonprogo maka akan menambah catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.



Referensi
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
General Comment International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) no. 4 tanggal 13 Desember 1991.
General Comment International Convenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) no. 7 tahun 1997.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia no. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998.
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.
Konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.
Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.
Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Putusan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Dasar Nagara Indonesia 1945 Amandemen IV.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.


Pernah didiskusikan di Rumah Persma, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta pada tanggal 27 November 2016 pukul 16.30 sampai selesai
dan dimuat di laman persma.org
http://persma.org/diskusi/hak-atas-kehidupan-layak-dan-proyek-bandara-kulonprogo/



                                                       

Jumat, 25 November 2016

Menyelisik Moral Pejabat Publik




“To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society” – Theodore Roosevelt
Pada tanggal 2 Oktober 2013 kita disuguhkan dengan peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Peristiwa tangkap tangan ini sungguh sangat memalukan karena pemimpin pilar hukum tertinggi digerogoti oleh korupsi. Padahal sebagai pemimpin lembaga konstitusi, dia bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan hukum. Namun harapan tinggal harapan. Lembaga yang berwibawa pun kehilangan wibawanya dihadapan uang.
Pernahkah kita bertanya mengapa orang yang mempunyai kedudukan tinggi sering menyalahgunakan kekuasaan? Kalau kita melihat gelar akademis mereka, mereka bukanlah orang sembarangan. Mengapa mereka mengabaikan tanggung jawab moral mereka kepada masyarakat?

Perlukah Moral?
Melihat absennya sikap para pejabat publik terhadap tanggung jawab yang mereka terima dari masyarakat, maka pendidikan moral sangat diperlukan. Bahkan Theodore Roosevelt mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan aspek otak saja tanpa pendidikan moral adalah suatu ancaman bagi masyarakat. Suatu ancaman karena para pejabat publik sering bertindak tidak sesuai dengan moral. Padahal mereka telah belajar dan mendapatkan gelar akademis yang sungguh mengagumkan. Peristiwa tangkap tangan ketua MK oleh KPK adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang menunjukkan abainya sikap moral dan suara hati pejabat publik di negeri ini. Mereka bertindak tanpa tahu membedakan mana yang baik dan buruk. Suara hati yang seharusnya bisa menjadi palang pintu dari tindakannya pun sudah seperti mati. Absennya sikap moral dan matinya suara hati para pejabat publik telah melukai rakyat. Rakyat telah dibodohi dengan slogan manis pemoles bibir, tetapi suara hati mereka telah mati.
Absennya sikap moral dan suara hati menunjukkan bahwa perlunya pendidikan moral. Namun mari kita melihat terlebih dahulu analisis tahap perkembangan moral yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial dan ilmu pendidikan, Lawrence Kohlberg. Dia membagikan moral dalam tiga tahap yaitu: pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Tahap pra-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada hukuman dan balas jasa. Tahap konvensional adalah perbuatan yang berorientasi untuk menyenangkan orang lain dan perbuatan yang berorientasi pada otoritas. Sedangkan tahap pasca-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada kontak sosial dan berorientasi pada keputusan suara hati (John dan Agus 1995:81-82).
Pembagian tahap perkembangan moral ini membantu kita untuk melihat di tahap mana perkembangan moral kita. Seringkali perkembangan moral setiap orang berbeda-beda. Faktor usia bukanlah penentu dalam perkembangan moral seseorang. Bahkan yang lebih muda bisa mencapai tahap pasca-konvensional, atau sebaliknya orang yang telah berumur hanya bisa sampai pada tahap konvensional.
Kita tidak mengetahui sampai tahap mana moral pejabat publik kita. Sungguh menjadi ironi seandainya mereka yang memegang tanggung jawab besar dari rakyat, punya gelar akademis yang tinggi, tetapi hanya berorientasi pada perbuatan menyenangkan orang lain karena takut dengan otoritas (tahap konvensional). Mereka hanya bisa mengajukan retorika yang indah untuk membangun simpati, tetapi hati dan perbuatan mereka jauh dari isi retorikanya.

Pedagogi
Kita perlu membangun pendidikan moral agar dalam berprilaku dan bersikap, orang sungguh menunjukkan moralitasnya. Untuk membangun pendidikan moral; pertama, harus dibangun dalam lingkungan sekolah. Sekolah harus mengusahakan dan mengkondisikan agar pendidikan moral itu tersampaikan baik dalam bentuk kurikulum atau melalui interaksi antara guru dengan murid, guru dengan guru dan murid dengan murid. Sekolah harus bisa mengajarkan dan memberikan pembedaan antara perbuatan yang baik dan buruk. Guru harus mengajarkan kepada anak-anak tentang apa yang harus dilakukan, menilai prilaku mereka, memantau relasi mereka di dalam kelas (John dan Agus 1995:118). Kedua, menurut sosiolog Emile Durkheim, sikap altruis dan rasa menjadi bagian kelompok menjadi inti pendidikan moral (John dan Agus 1995:121). Ketiga, pendidikan moral itu harus dikondisikan. Lingkungan sosial dan masyarakat harus menciptakan dan mendukung pendidikan moral. Orang tua harus menunjukkan sikap moralitasnya, agar anak-anak dapat meneladani sikap mereka.
            Dengan adanya pendidikan moral dan teladan moral memungkinkan seseorang tidak menyalahgunakan kekuasaan, sebab dia mengetahui perbuatan baik atau buruk, serta tidak lagi mengabaikan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sebagai suatu amanah yang harus dijalankan.