Alienasi Rakyat dalam Pembangunan
Oleh:
Heronimus Heron
Indonesia
adalah salah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas daratan sekitar
lebih dari satu juta kilometer persegi (Kemendagri, 2010), luas lautan lebih
dari tiga juta kilometer persegi (UNCLOS 1982) dan terdiri dari lebih dari
tujuhbelas ribu pulau (Kemandagri, 2004); walaupun yang tercatat di PBB baru
sekitar tigabelas ribu lebih pulau. Dengan jumlah luas keseluruhan lebih dari lima
juta kilometer persegi membuat Indonesia kaya akan keanakaragaman hayati, baik
di darat maupun di laut.
Namun
sangat ironis karena kekayaan alam baik di darat maupun di laut hanya dinikmati
oleh segelintir orang –misalnya 30% hutan Indonesia dikuasai oleh 25 orang saja
dari total 120 juta hektar, pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Sabtu,
3/12/2016. Sedangkan jumlah penduduk
Indonesia lebih dari dua ratus limapuluh juta jiwa. Selain itu, kebijakan
pemerintah juga ternyata tidak berpihak pada rakyat kecil pemilik republik ini.
Padahal salah satu komitmen para pendiri bangsa adalah “memajukan kesejahteraan
umum” (alinea ke-4 pembukaan UUD 1945).
Rakyat tidak Dianggap dalam
Pembangunan
Komitmen
para pendiri bangsa sepertinya telah dikhianati oleh sejumlah anak bangsanya
sendiri. Hal itu terbukti dari masih banyaknya penduduk miskin di negeri ini
(sekitar 28 juta jiwa, Data BPS, Maret 2016). Apalagi pembangunan yang
digalakkan oleh pemerintah nampaknya menyingkirkan masyarakat kecil. Persoalan
reklamasi teluk Jakarta dengan 17 pulau baru hanyalah salah satu contoh dimana
para nelayan kehilangan mata pencarian dan harus pindah dari rumah mereka
sendiri. Di rencana pembangunan New
Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah
persoalan lain lagi. Bahkan IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015
mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu
pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada
sebelum IPL dan pembebasan lahan. Belum lagi persoalan nasib dan masa depan
mereka.
Selain
itu, ada ancaman yang lebih besar lagi bagi penduduk dikepulauan ini dengan
dikeluarkannya Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019. Di buku III sangat jelas disebutkan zonasi setiap pulau besar yang
ada di Indonesia. Misalnya pulau Papua sebagai lumbung pangan, dll; Maluku
sebagai produsen makanan laut dan lumbung ikan, dll; kepulauan Nusa Tenggara
(NTT & NTB) sebagai sebagai pintu gerbang pariwisata ekologis, pusat
peternakan, dll; Sulawesi sebagai basis pengembangan industri logistik, dll;
Kalimantan sebagai kawasan batu bara, dll; Jawa-Bali sebagai pendorong industri
dan jasa nasional, dll; Sumatera sebagai kawasan komoditas batu bara, dll.
Belum lagi
diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KepMen ESDM)
tentang Penetapan Wilayah Pertambangan di Indonesia. Pertambangan meliputi Pertambangan Batubara, Pertambangan Mineral Logam,
Pertambangan Mineral Radioaktif, dan Cadangan Negara. Pulau Papua diatur dalam Kepmen ESDM: 4004 K/30/MEM/2013; Pulau
Maluku diatur dalam Kepmen ESDM 4002 K/30/MEM/2013; Pulau Nusa Tenggara (NTT
& NTB) diatur dalam Kepmen ESDM: 1329 K/30/MEM/2014; Pulau Sulawesi diatur
dalam Kepmen ESDM: 2737 K/30/MEM/2013; Pulau Kalimantan diatur dalam Kepmen
ESDM: 4003 K/30/MEM/2013; Pulau Jawa-Bali diatur dalam KepMen ESDM: 1204
K/30/MEM/2014; Pulau Sumatera diatur dalam Kepmen ESDM: 1095 K/30/MEM/2014.
Pembangunan dan pembentukan zonasi oleh pemerintah
sepertinya mengabaikan manusia yang hidup dan mencari nafkah di wilayah
tersebut. Perspektif pemerintahan yang bertumpu pada faktor ekonomi dan
pemasukan negara telah menginjak-injak rakyat kecil. Bahkan nampak bahwa mereka
tidak dianggap sebagai subjek pembangunan dan perekonomian nasional. Rakyat
kecil dan miskin telah dialienasikan oleh rezim yang menyembah materi dan
kekuasaan.
Rakyat, Bangkitlah
Melihat data dan fakta yang sedang disusun dan dijalankan
oleh pemerintah membuat hilangnya ruang hidup dan sumber penghidupan rakyat.
Nasib mereka bahkan tidak diperhatikan oleh rezim yang berkuasa. Untuk itu,
rakyat yang tertindas harus bangkit membebaskan dirinya. Rakyat tertindas harus
melepaskan belenggu ketundukannya untuk melawan mereka yang merampas ruang
hidupnya. Rakyat tertindas harus berdiri dengan gagah diatas tanah dan airnya.
Maka semua pihak yang masih mempunyai nalar sehat dan
kritis harus mendukung perjuangan rakyat. Setiap orang bisa mengambil perannya
masing-masing. Dalam hal ini, pers mahasiswa harus ambil bagian dan menyuarakan
suara rakyat tertindas. Buatlah media sebagai corong kewarasan bernalar dan
berprilaku adil.
Follow up-lah berita-berita perjuangan para petani, nelayan dan kaum tertindas
lainnya. Kemaslah setiap informasi dan berita yang ada dengan sebaik mungkin
agar setiap orang tertarik membacanya namun tetap berbobot, sebab persaingan
media memang tidak ringan. Jadikanlah pers mahasiswa sebagai bagian dari
perjuangan rakyat agar setiap informasi dan berita yang diwartakan adalah suara
hati nurani para petani, nelayan dan rakyat yang berjuang mempertahankan
kehidupan lainnya.
Bahan ini pernah digunakan untuk mengisi diskusi persma Poros, Universitas Ahmad Dahlan dan termuat di web.persmaporos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar