Rabu, 08 Februari 2017

Aliansi Rakyat dalam Pembangunan

Alienasi Rakyat dalam Pembangunan
Oleh: Heronimus Heron

Indonesia adalah salah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas daratan sekitar lebih dari satu juta kilometer persegi (Kemendagri, 2010), luas lautan lebih dari tiga juta kilometer persegi (UNCLOS 1982) dan terdiri dari lebih dari tujuhbelas ribu pulau (Kemandagri, 2004); walaupun yang tercatat di PBB baru sekitar tigabelas ribu lebih pulau. Dengan jumlah luas keseluruhan lebih dari lima juta kilometer persegi membuat Indonesia kaya akan keanakaragaman hayati, baik di darat maupun di laut.
Namun sangat ironis karena kekayaan alam baik di darat maupun di laut hanya dinikmati oleh segelintir orang –misalnya 30% hutan Indonesia dikuasai oleh 25 orang saja dari total 120 juta hektar, pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Sabtu, 3/12/2016.  Sedangkan jumlah penduduk Indonesia lebih dari dua ratus limapuluh juta jiwa. Selain itu, kebijakan pemerintah juga ternyata tidak berpihak pada rakyat kecil pemilik republik ini. Padahal salah satu komitmen para pendiri bangsa adalah “memajukan kesejahteraan umum” (alinea ke-4 pembukaan UUD 1945).
Rakyat tidak Dianggap dalam Pembangunan
Komitmen para pendiri bangsa sepertinya telah dikhianati oleh sejumlah anak bangsanya sendiri. Hal itu terbukti dari masih banyaknya penduduk miskin di negeri ini (sekitar 28 juta jiwa, Data BPS, Maret 2016). Apalagi pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah nampaknya menyingkirkan masyarakat kecil. Persoalan reklamasi teluk Jakarta dengan 17 pulau baru hanyalah salah satu contoh dimana para nelayan kehilangan mata pencarian dan harus pindah dari rumah mereka sendiri. Di rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah persoalan lain lagi. Bahkan IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan. Belum lagi persoalan nasib dan masa depan mereka.
Selain itu, ada ancaman yang lebih besar lagi bagi penduduk dikepulauan ini dengan dikeluarkannya Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di buku III sangat jelas disebutkan zonasi setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Misalnya pulau Papua sebagai lumbung pangan, dll; Maluku sebagai produsen makanan laut dan lumbung ikan, dll; kepulauan Nusa Tenggara (NTT & NTB) sebagai sebagai pintu gerbang pariwisata ekologis, pusat peternakan, dll; Sulawesi sebagai basis pengembangan industri logistik, dll; Kalimantan sebagai kawasan batu bara, dll; Jawa-Bali sebagai pendorong industri dan jasa nasional, dll; Sumatera sebagai kawasan komoditas batu bara, dll.
Belum lagi diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KepMen ESDM) tentang Penetapan Wilayah Pertambangan di Indonesia. Pertambangan meliputi Pertambangan Batubara, Pertambangan Mineral Logam, Pertambangan Mineral Radioaktif, dan Cadangan Negara. Pulau Papua diatur dalam Kepmen ESDM: 4004 K/30/MEM/2013; Pulau Maluku diatur dalam Kepmen ESDM 4002 K/30/MEM/2013; Pulau Nusa Tenggara (NTT & NTB) diatur dalam Kepmen ESDM: 1329 K/30/MEM/2014; Pulau Sulawesi diatur dalam Kepmen ESDM: 2737 K/30/MEM/2013; Pulau Kalimantan diatur dalam Kepmen ESDM: 4003 K/30/MEM/2013; Pulau Jawa-Bali diatur dalam KepMen ESDM: 1204 K/30/MEM/2014; Pulau Sumatera diatur dalam Kepmen ESDM: 1095 K/30/MEM/2014.
Pembangunan dan pembentukan zonasi oleh pemerintah sepertinya mengabaikan manusia yang hidup dan mencari nafkah di wilayah tersebut. Perspektif pemerintahan yang bertumpu pada faktor ekonomi dan pemasukan negara telah menginjak-injak rakyat kecil. Bahkan nampak bahwa mereka tidak dianggap sebagai subjek pembangunan dan perekonomian nasional. Rakyat kecil dan miskin telah dialienasikan oleh rezim yang menyembah materi dan kekuasaan.
Rakyat, Bangkitlah
Melihat data dan fakta yang sedang disusun dan dijalankan oleh pemerintah membuat hilangnya ruang hidup dan sumber penghidupan rakyat. Nasib mereka bahkan tidak diperhatikan oleh rezim yang berkuasa. Untuk itu, rakyat yang tertindas harus bangkit membebaskan dirinya. Rakyat tertindas harus melepaskan belenggu ketundukannya untuk melawan mereka yang merampas ruang hidupnya. Rakyat tertindas harus berdiri dengan gagah diatas tanah dan airnya.
Maka semua pihak yang masih mempunyai nalar sehat dan kritis harus mendukung perjuangan rakyat. Setiap orang bisa mengambil perannya masing-masing. Dalam hal ini, pers mahasiswa harus ambil bagian dan menyuarakan suara rakyat tertindas. Buatlah media sebagai corong kewarasan bernalar dan berprilaku adil.
Follow up-lah berita-berita perjuangan para petani, nelayan dan kaum tertindas lainnya. Kemaslah setiap informasi dan berita yang ada dengan sebaik mungkin agar setiap orang tertarik membacanya namun tetap berbobot, sebab persaingan media memang tidak ringan. Jadikanlah pers mahasiswa sebagai bagian dari perjuangan rakyat agar setiap informasi dan berita yang diwartakan adalah suara hati nurani para petani, nelayan dan rakyat yang berjuang mempertahankan kehidupan lainnya.

Bahan ini pernah digunakan untuk mengisi diskusi persma Poros, Universitas Ahmad Dahlan dan termuat di web.persmaporos.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar