Senin, 20 Februari 2017

Rakyat Mati di Tanah Air Sendiri

Rakyat Mati di Tanah Air Sendiri

Indonesia adalah salah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas daratan sekitar lebih dari satu juta kilometer persegi (Kemendagri, 2010), luas lautan lebih dari tiga juta kilometer persegi (UNCLOS 1982) dan terdiri lebih dari tujuhbelas ribu pulau (Kemandagri, 2004); walaupun yang tercatat di PBB baru sekitar tigabelas ribu lebih pulau. Dengan jumlah luas keseluruhan lebih dari lima juta kilometer persegi membuat Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan penduduknya.
Penguasaan Lahan dan Konflik-Konfliknya
Namun sangat ironis, di negeri ini masih terdapat sekitar 28 juta dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan (data BPS maret 2016). Hutan sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia ternyata 30% dari 120 juta hektar hanya dikuasai oleh 25 orang saja (pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Sabtu, 3/12/2016). Mongabay pada 12 Januari 2017 merilis berita mengenai konflik besar di lahan sepanjang tahun 2016 yang terdiri dari lahan perkebunan sawit dengan luas 601.680 hektar, kehutanan seluas 450.215 hektar, properti 104.379 hektar, migas 43.882 hektar, insfrastruktur 35.824 hektar, pertambangan 27.393 hektar, pesisir 1.706 hektar dan pertanian 5 hektar.
Konflik-konflik lahan warga di tahun-tahun berikutnya akan terus bertambah jika pemerintah tetap ingin mempergunakan tanah rakyat untuk proyek-proyeknya seperti Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di buku III sangat jelas disebutkan zonasi setiap pulau besar yang ada di Indonesia. Misalnya pulau Papua sebagai lumbung pangan, dll; Maluku sebagai produsen makanan laut dan lumbung ikan, dll; kepulauan Nusa Tenggara (NTT & NTB) sebagai sebagai pintu gerbang pariwisata ekologis, pusat peternakan, dll; Sulawesi sebagai basis pengembangan industri logistik, dll; Kalimantan sebagai kawasan batu bara, dll; Jawa-Bali sebagai pendorong industri dan jasa nasional, dll; Sumatera sebagai kawasan komoditas batu bara, dll. Belum lagi ditambahkan dengan pengambilalihan lahan serta hak milik warga untuk proyek-proyek strategis nasional seperti bandara, pelabuhan, waduk, jalur rel, jalan raya, dll.
Konflik atas ruang hidup akan semakin diperparah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (KepMen ESDM) tentang Penetapan Wilayah Pertambangan di Indonesia. Pertambangan meliputi Pertambangan Batubara, Pertambangan Mineral Logam, Pertambangan Mineral Radioaktif, dan Cadangan Negara. Pulau Papua diatur dalam Kepmen ESDM: 4004 K/30/MEM/2013; Pulau Maluku diatur dalam Kepmen ESDM 4002 K/30/MEM/2013; Pulau Nusa Tenggara (NTT & NTB) diatur dalam Kepmen ESDM: 1329 K/30/MEM/2014; Pulau Sulawesi diatur dalam Kepmen ESDM: 2737 K/30/MEM/2013; Pulau Kalimantan diatur dalam Kepmen ESDM: 4003 K/30/MEM/2013; Pulau Jawa-Bali diatur dalam KepMen ESDM: 1204 K/30/MEM/2014; Pulau Sumatera diatur dalam Kepmen ESDM: 1095 K/30/MEM/2014.
Padahal wilayah-wilayah yang dijadikan zonasi adalah wilayah berpenghuni. Warga yang mendiami wilayah tersebut mau dipindah kemana? Padahal tidak semua proses pemindahan masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain karena ruang hidup mereka digunakan oleh proyek tertentu berhasil. Program relokasi beberapa wilayah di Jakarta adalah salah satu contoh bagaimana relokasi terhadap warga di Jakarta ternyata meninggalkan masalah. Selain susahnya membayar uang sewa tempat tinggal karena sulitnya mendapat pekerjaan, mereka juga kehilangan ikatan dengan tanah kelahirannya.
Program-program pemberdayaan pemerintah nampaknya tidak menyentuh esensi persoalan negeri ini, karena tanah dan air tempat rakyat berdaulat, kini dikuasai oleh segelintir konglomerat. Rakyat sebagai entitas bangsa pun seperti teralienasi dari lumbungnya sendiri. Berita mengenai para petani yang dikriminalisasi dan dirampas ruang hidupnya sudah menjadi sarapan harian sehingga informasi tentang penderitaan mereka pun tidak mengusik hati nurani penguasa. Ketika ada rakyat yang melawan perampasan ruang hidupnya dianggap membangkang oleh penguasa. Lalu apa gunanya bernegara kalau rakyat terus menderita? Apa gunanya peraturan perundang-undangan kalau rakyat terus dirundung malang? Apa gunanya wakil rakyat kalau ternyata mereka mewakili konglomerat? Padahal tujuan dari bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan bagi para penduduknya.
Mengembalikan Kedaulatan Rakyat
Langkah terbaik untuk mengatasi persoalan yang terjadi adalah dengan cara mengembalikan tanah dan air ke rakyat agar mereka kembali berdaulat. Hal itu bukan berarti menolak pembangunan. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana sebuah pembangunan berorientasi pada pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia, ekologi dan menghormati nilai-nilai luhur setiap kebudayaan. Karena selain perintah konstitusi juga sebagai perealisasian nilai-nilai keadaban dan pemenuhan rasa keadilan dalam pembangunan.
Kita mendengar ada program reforma agraria yang diusung oleh presiden. Namun pertanyaannya adalah apakah menyentuh esensi persoalan yaitu tentang ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia seperti yang digugat oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)? Selama ketimpangan itu tidak dipenuhi dan tidak ada perlindungan hukum bagi masyarakat, maka kita akan masih mendengar kebrutalan para pemilik modal merampas tanah rakyat seperti di Kulonprogo, Kendeng, suku Dayak Meratus Kalimantan Selatan, masyarakat Luwu Utara, dll. Alih-alih untuk menyejahterakan rakyat, para pemimpinnya justru menghilangkan sumber pokok kehidupan masyarakat yaitu tanah dan air.
Kalau keadilan agraria tidak pernah dirasakan oleh para petani dan masyarakat, jangan salahkan mereka untuk merebutnya dengan cara sendiri. Karena mereka tidak pernah diminta diurusi oleh negara. Mereka sudah bisa mengurusi dirinya sendiri. Malah kehadiran negara yang menyandera kehidupan mereka.   


pernah dimuat di laman: http://lpmrhetor.com/2017/02/rakyat-mati-di-tanah-air-sendiri.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar