“To
educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society”
– Theodore Roosevelt
Pada tanggal 2 Oktober 2013 kita disuguhkan dengan
peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Peristiwa tangkap tangan ini sungguh sangat memalukan karena pemimpin pilar
hukum tertinggi digerogoti oleh korupsi. Padahal sebagai pemimpin lembaga
konstitusi, dia bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari
keadilan hukum. Namun harapan tinggal harapan. Lembaga yang berwibawa pun
kehilangan wibawanya dihadapan uang.
Pernahkah kita bertanya mengapa orang yang mempunyai
kedudukan tinggi sering menyalahgunakan kekuasaan? Kalau kita melihat gelar
akademis mereka, mereka bukanlah orang sembarangan. Mengapa mereka mengabaikan
tanggung jawab moral mereka kepada masyarakat?
Perlukah Moral?
Melihat absennya sikap para pejabat publik terhadap
tanggung jawab yang mereka terima dari masyarakat, maka pendidikan moral sangat
diperlukan. Bahkan Theodore Roosevelt mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan aspek otak saja tanpa pendidikan moral adalah suatu ancaman bagi
masyarakat. Suatu ancaman karena para pejabat publik sering bertindak tidak
sesuai dengan moral. Padahal mereka telah belajar dan mendapatkan gelar
akademis yang sungguh mengagumkan. Peristiwa tangkap tangan ketua MK oleh KPK adalah
salah satu dari sekian banyak peristiwa yang menunjukkan abainya sikap moral
dan suara hati pejabat publik di negeri ini. Mereka bertindak tanpa tahu
membedakan mana yang baik dan buruk. Suara hati yang seharusnya bisa menjadi
palang pintu dari tindakannya pun sudah seperti mati. Absennya sikap moral dan
matinya suara hati para pejabat publik telah melukai rakyat. Rakyat telah
dibodohi dengan slogan manis pemoles bibir, tetapi suara hati mereka telah mati.
Absennya sikap moral dan suara hati menunjukkan
bahwa perlunya pendidikan moral. Namun mari kita melihat terlebih dahulu
analisis tahap perkembangan moral yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial
dan ilmu pendidikan, Lawrence Kohlberg. Dia membagikan moral dalam tiga tahap
yaitu: pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Tahap
pra-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada hukuman dan balas
jasa. Tahap konvensional adalah perbuatan yang berorientasi untuk menyenangkan
orang lain dan perbuatan yang berorientasi pada otoritas. Sedangkan tahap
pasca-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada kontak sosial dan berorientasi
pada keputusan suara hati (John dan Agus 1995:81-82).
Pembagian tahap perkembangan moral ini membantu kita
untuk melihat di tahap mana perkembangan moral kita. Seringkali perkembangan
moral setiap orang berbeda-beda. Faktor usia bukanlah penentu dalam
perkembangan moral seseorang. Bahkan yang lebih muda bisa mencapai tahap pasca-konvensional,
atau sebaliknya orang yang telah berumur hanya bisa sampai pada tahap
konvensional.
Kita tidak mengetahui sampai tahap mana moral
pejabat publik kita. Sungguh menjadi ironi seandainya mereka yang memegang
tanggung jawab besar dari rakyat, punya gelar akademis yang tinggi, tetapi
hanya berorientasi pada perbuatan menyenangkan orang lain karena takut dengan
otoritas (tahap konvensional). Mereka hanya bisa mengajukan retorika yang indah
untuk membangun simpati, tetapi hati dan perbuatan mereka jauh dari isi
retorikanya.
Pedagogi
Kita perlu membangun pendidikan moral agar dalam
berprilaku dan bersikap, orang sungguh menunjukkan moralitasnya. Untuk
membangun pendidikan moral; pertama, harus
dibangun dalam lingkungan sekolah. Sekolah harus mengusahakan dan
mengkondisikan agar pendidikan moral itu tersampaikan baik dalam bentuk
kurikulum atau melalui interaksi antara guru dengan murid, guru dengan guru dan
murid dengan murid. Sekolah harus bisa mengajarkan dan memberikan pembedaan
antara perbuatan yang baik dan buruk. Guru harus mengajarkan kepada anak-anak
tentang apa yang harus dilakukan, menilai prilaku mereka, memantau relasi
mereka di dalam kelas (John dan Agus 1995:118). Kedua, menurut sosiolog Emile Durkheim, sikap altruis dan rasa
menjadi bagian kelompok menjadi inti pendidikan moral (John dan Agus 1995:121).
Ketiga, pendidikan moral itu harus
dikondisikan. Lingkungan sosial dan masyarakat harus menciptakan dan mendukung
pendidikan moral. Orang tua harus menunjukkan sikap moralitasnya, agar
anak-anak dapat meneladani sikap mereka.
Dengan adanya pendidikan moral dan
teladan moral memungkinkan seseorang tidak menyalahgunakan kekuasaan, sebab dia
mengetahui perbuatan baik atau buruk, serta tidak lagi mengabaikan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya sebagai suatu amanah yang harus dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar