Jumat, 25 November 2016

Menyelisik Moral Pejabat Publik




“To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society” – Theodore Roosevelt
Pada tanggal 2 Oktober 2013 kita disuguhkan dengan peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Peristiwa tangkap tangan ini sungguh sangat memalukan karena pemimpin pilar hukum tertinggi digerogoti oleh korupsi. Padahal sebagai pemimpin lembaga konstitusi, dia bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan hukum. Namun harapan tinggal harapan. Lembaga yang berwibawa pun kehilangan wibawanya dihadapan uang.
Pernahkah kita bertanya mengapa orang yang mempunyai kedudukan tinggi sering menyalahgunakan kekuasaan? Kalau kita melihat gelar akademis mereka, mereka bukanlah orang sembarangan. Mengapa mereka mengabaikan tanggung jawab moral mereka kepada masyarakat?

Perlukah Moral?
Melihat absennya sikap para pejabat publik terhadap tanggung jawab yang mereka terima dari masyarakat, maka pendidikan moral sangat diperlukan. Bahkan Theodore Roosevelt mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan aspek otak saja tanpa pendidikan moral adalah suatu ancaman bagi masyarakat. Suatu ancaman karena para pejabat publik sering bertindak tidak sesuai dengan moral. Padahal mereka telah belajar dan mendapatkan gelar akademis yang sungguh mengagumkan. Peristiwa tangkap tangan ketua MK oleh KPK adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang menunjukkan abainya sikap moral dan suara hati pejabat publik di negeri ini. Mereka bertindak tanpa tahu membedakan mana yang baik dan buruk. Suara hati yang seharusnya bisa menjadi palang pintu dari tindakannya pun sudah seperti mati. Absennya sikap moral dan matinya suara hati para pejabat publik telah melukai rakyat. Rakyat telah dibodohi dengan slogan manis pemoles bibir, tetapi suara hati mereka telah mati.
Absennya sikap moral dan suara hati menunjukkan bahwa perlunya pendidikan moral. Namun mari kita melihat terlebih dahulu analisis tahap perkembangan moral yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial dan ilmu pendidikan, Lawrence Kohlberg. Dia membagikan moral dalam tiga tahap yaitu: pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Tahap pra-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada hukuman dan balas jasa. Tahap konvensional adalah perbuatan yang berorientasi untuk menyenangkan orang lain dan perbuatan yang berorientasi pada otoritas. Sedangkan tahap pasca-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada kontak sosial dan berorientasi pada keputusan suara hati (John dan Agus 1995:81-82).
Pembagian tahap perkembangan moral ini membantu kita untuk melihat di tahap mana perkembangan moral kita. Seringkali perkembangan moral setiap orang berbeda-beda. Faktor usia bukanlah penentu dalam perkembangan moral seseorang. Bahkan yang lebih muda bisa mencapai tahap pasca-konvensional, atau sebaliknya orang yang telah berumur hanya bisa sampai pada tahap konvensional.
Kita tidak mengetahui sampai tahap mana moral pejabat publik kita. Sungguh menjadi ironi seandainya mereka yang memegang tanggung jawab besar dari rakyat, punya gelar akademis yang tinggi, tetapi hanya berorientasi pada perbuatan menyenangkan orang lain karena takut dengan otoritas (tahap konvensional). Mereka hanya bisa mengajukan retorika yang indah untuk membangun simpati, tetapi hati dan perbuatan mereka jauh dari isi retorikanya.

Pedagogi
Kita perlu membangun pendidikan moral agar dalam berprilaku dan bersikap, orang sungguh menunjukkan moralitasnya. Untuk membangun pendidikan moral; pertama, harus dibangun dalam lingkungan sekolah. Sekolah harus mengusahakan dan mengkondisikan agar pendidikan moral itu tersampaikan baik dalam bentuk kurikulum atau melalui interaksi antara guru dengan murid, guru dengan guru dan murid dengan murid. Sekolah harus bisa mengajarkan dan memberikan pembedaan antara perbuatan yang baik dan buruk. Guru harus mengajarkan kepada anak-anak tentang apa yang harus dilakukan, menilai prilaku mereka, memantau relasi mereka di dalam kelas (John dan Agus 1995:118). Kedua, menurut sosiolog Emile Durkheim, sikap altruis dan rasa menjadi bagian kelompok menjadi inti pendidikan moral (John dan Agus 1995:121). Ketiga, pendidikan moral itu harus dikondisikan. Lingkungan sosial dan masyarakat harus menciptakan dan mendukung pendidikan moral. Orang tua harus menunjukkan sikap moralitasnya, agar anak-anak dapat meneladani sikap mereka.
            Dengan adanya pendidikan moral dan teladan moral memungkinkan seseorang tidak menyalahgunakan kekuasaan, sebab dia mengetahui perbuatan baik atau buruk, serta tidak lagi mengabaikan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sebagai suatu amanah yang harus dijalankan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar