Jumat, 25 November 2016

Sejarah Hak Asasi Manusia

Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia

Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.
Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.

Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

Sumber:

Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Negara, https://id.wikipedia.org/wiki/, dikases 21 November 2016.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.

Ni Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam, hhtps://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.  

Sabtu, 16 Juli 2016

Pernyataan sikap kasus papua di Jogja


KRONOLOGIS DAN PERS RELEASE PERISTIWA REPRESIFITAS APARAT KEAMANAN TERHADAP ORANG PAPUA DI YOGYAKARTA

Kronologi Penangkapan Kawan-kawan Pemuda Papua Tanggal 15 Juli 2016, hingga Penetapan Tersangka terhadap  Obby Kogaya
1.      Tanggal 15 Juli 2016, sekitar jam 8.00, Denny, Adius, Terianus, Obed, Ferdinand, dan Benditus, membeli ketela dan singkong 34 kg di pasar giwangan yang akan digunakan untuk makan siang teman-teman yang aksi di asrama papua.
2.      Seusai membeli ketela sekitar jam 9.00, keenam mahasiswa papua ini memutuskan untuk pulang ke asrama Papua. Saat mencoba untuk memasuki Jalan Kusumanegara (lokasi asrama Papua), keenam mahasiswa ini sadar bahwa Jalan Kusumanegara sekitar Asrama Mahasiswa Papua diblokir oleh aparat.
Sehingga tidak dapat dilewati. Pada akhirnya, enam mahasiswa ini memutuskan untuk pulang ke asrama papua melalui pintu belakang.
3.      Sebelum sempat memasuki asrama melalui pintu belakang, sekitar 100 meter dari pintu belakang asrama, keenam mahasiswa ini diteriaki dari belakang oleh aparat, dan dikepung dari dua arah. Keenam mahasiswa ini dipaksa berhenti dan turun dari motor dengan todongan senjata laras panjang.
4.      Setelah turun dari motor, keenam mahasiswa ini dipukuli oleh pria berpakaian preman dan brimob. Dalam proses penggeledahan dan pemeriksaan barang bawaannya, keenam mahasiswa ini tetap dipukuli.
Ketela dan singkong 34 kg ini dihamburkan oleh aparat, dan keenam mahasiswa ini disuruh untuk memungut kembali ketela dan singkong itu, namun tetap ditendangi oleh aparat. Setelah mengumpulkan ketela dan singkong, keenam mahasiswa ini disuruh kembali ke asrama papua melalui pintu depan.
5.      Keenam mahasiswa papua ini mencoba menuju daerah Kusumanegara, dengan niat masuk ke asrama Papua melalui pintu depan. Namun, lagi-lagi diberhentikan oleh polisi di lampu merah, dan dipaksa untuk naik truk dan dibawa ke Polda DIY.
6.      Di Polda DIY, keenam mahasiswa ini bertemu dengan dua mahasiswa papua lainnya, bernama Obby Kogoya dan Debby Kogoya.
Kronologis Obby dan Debby Diamankan
7.      Awalnya Obby dan Debby akan ke asrama papua bergabung dengan mahasiswa papua untuk melaksanakan aksi.
8.      Namun, karena jalan kusumanegara ditutup, Obby dan Debby memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang. Namun ternyata pintu belakang dikunci. Saat kedua mahasiswa ini mencoba untuk memutarkan motor, mereka dua didatangi aparat dan ditanyai SIM dan STNK, padahal jalan dibelakang gank miliran kecil yang sebetulnya juga bukan jalan raya, hanya karena mereka Papua mereka didatangi, berbeda perlakuan apabila yang lewat bukan papua maka tak akan diperlakukan seperti itu .
9.      Karena kedua mahasiswa ini tidak bisa menunjukkan SIM dan STNK, mereka kedua disuruh turun dari motor. Selagi turun dari motor, secara sepihak seorang aparat berpakaian preman mengambil kunci motor Obby dan Debby, dan menyeret Obby dengan mencengkram baju di bagian leher.
10.  Obby yang merasa terancam diperlakukan seperti itu dan mencoba menyelamatkan diri. Dia pun dikejar aparat, tertangkap, dan dipukul/dikeroyok oleh aparat. Lalu Obby pun diborgol dan dinaikkan ke truk bersama Debby, lalu digelandang ke Polda DIY.
11.  Saat di POLDA DIY, pihak kepolisian melakukan interogasi terhdap Obby Kogaya dan bahkan secara sepihak juga menetapkan Obby Kogaya dengan status Tersangka, dengan sangkaan melakukan hukum 212 jo. 351(2) dan 213 KUHP. Malam itu polisi bersikukuh untuk menahannya,
Penetapan Tersangka Yang Janggal.
12.  Penetapan tersangka ini janggal. Pertama Obby Kogaya ditetapkan tersangka hanya karena dia dianggap melawan petugas polisi dengan cara menyerang anggota kepolisian, saat setelah dimintai tunjuk dengan cara yang tak sopan dan manusiawi diminta menunjakan SIM dan STNK, padahal polisi secara sepihak mengambil kunci motornya dan juga sempat mencengkram erat dari bagian belakang hanya karena ia Papua yang terlihat di gank miliran.
13.  Kuasa hukum dari LBH Yogyakarta pun berdebat terkait dengan penetapan tersangka tersebut, LBH Yogyakarta menilai pentapan tersangka tersebut tak berdasar dan lebih cenderung upaya polisi mencari—cari kesalahan dari mahasiswa yang ikut rencananya akan ikut aksi dami pada tanggal 15 Juli 2016. LBH Yogyakarta memperdebatkan terkait dasar penetapan tersangka tersebut, pihak penyidik POLDA adanya saksi, yang padahal saksi tersebut dari pihak kepolisian sendiri.
14.  Kedua, Karena penyidik pun menetapkan dengan dasar 212 jo. 351(2) dan 213 KUHP, LBH Yogyakarta pun menanyakan terkait bukti visum dari polisi yang mengaku korban, namun Penyidik  tidak pernah bisa menunjukkan dokumen fisik visum itu kepada Obby maupun LBH Yogyakarta.
15.  Ketiga seharusnya Obby lah yang jadi korban, dan bukan malah ditetapkan tersangka karena dia yang justru dikeroyok, dipukuli oleh aparat baik yang berbaju preman atau seragam kepolisian sekali lagi hanya karena ia pemuda papua. Pihak kepolisian dengan ringan menetapkannya sebagai Tersangka, sungguh tak proporsional melihat perlakuan kepolisian pada mahasiswa papua, sangat terasa hukum bukan milik pemuda papua.
16.  Obby Kogaya akhirnya bisa pulang dengan terlebih dahulu pihak kuasa hukum mengajukan penahanan pada pukul 12.30 malam, pihak yang diajukan sebagai penjamin  adalah kedua temannya yang ikut ditangkap yaitu Teriunus Aud dan Adius Kudligagal.

Warga Yogyakarta bersolidaritas dan mengumpulkan logistik berupa nasi bungkus, minuman, gula, kopi, dan mie instan. Logistik dikumpulkan di markas Palang Merah Indonesia, Kotagede, dan rencananya dikirimkan dengan mobil Ambulans PMI dengan menimbang hukum internasional yang menyatakan bahwa palang merah tidak boleh ditahan atau diserang.
Pukul 17.30 WIB, ambulans PMI yang membawa logistik tiba di depan asrama. Ambulans dihentikan oleh polisi lalu parkir di seberang jalan. Sopir ambulans terlihat bercakap-cakap dengan polisi. 10 menit kemudian ambulans pergi tanpa menurunkan logistik sama sekali.
Pukul 19.25 WIB sekitar lebih dari 150 orang yang terjebak berkumpul dan duduk di dalam aula asrama sambil menyanyikan lagu daerah. Sebagian kawan membersihkan sampah-sampah di halaman depan asrama. Saat mereka sedang membersihkan, polisi meneriakkan kata-kata: “mengganggu pemandangan”. Beberapa kawan tadi keluar dari asrama untuk merespon teriakan polisi. Polisi kemudian menembakkan gas air mata sebanyak tiga kali.
Pukul 22.37 WIB satu orang kawan Papua yang ditangkap masih ditahan di Polda DIY. Tujuh orang lainnya sudah dibebaskan setelah pembuatan BAP. Handphone dari salah satu korban penangkapan masih ditahan di Polda DIY. LBH Yogyakarta masih mengupayakan pembebasan kawan yang ditahan.

Pernyataan Sikap

Tanggal 14 Juli ini merupakan 47 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di tanah Papua. Pelaksanaan PEPERA sendiri mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Sistem one man one vote dihapuskan dan diganti dengan menunjuk siapa yang berhak mewakili untuk memilih ditambah dengan intervensi militer Indonesia. Tidak heran kemudian hasil PEPERA adalah ingin bergabung dengan Indonesia. Sejak itu Papua terus berada dalam penjajahan Indonesia, di bawah perlindungan dan kepentingan kekuatan imperialis. Reformasi 1998 berhasil menggulingkan Soeharto. Ruang demokrasi relatif terbuka. Namun di Papua militerisme Rejim Soeharto masih terus mempertahankan kekuasaannya dengan menutup ruang demokrasi.

Gerakan rakyat di Papua semakin lama semakin membesar, menuntut hak menentukan nasib sendiri. Bersamaan dengan itu ruang demokrasi semakin dipersempit. Dalam Rejim Jokowi-JK, penangkapan terhadap aktivis Papua memecahkan rekor. Sekitar 5 ribu rakyat Papua ditangkap dalam berbagai aksi, sebelum aksi dan bahkan ketika hanya membagikan selebaran. Pembunuhan terhadap rakyat Papua juga terus terjadi, setiap hari ditemukan 4-5 jenasah dengan luka-luka bekas penganiayaan. Korporasi seperti Freeport yang terus menghancurkan ruang hidup rakyat Papua justru dilindungi oleh Rejim Jokowi-JK. Sementara berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua terus ditutup-tutupi. Saat ini juga sudah terbentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang merupakan wadah persatuan bangsa Papua Barat atau wadah koordinatif untuk mengajukan aplikasi West Papua di MSG dan mendorong proses penyelesaian masalah Papua ditingkat Internasional melalui Jalur legal untuk mencapai Hak Penentuan Nasib Sendiri.
ULMWP ditetapkan menjadi Anggota Pengamat dalam Forum MSG, pada KTT MSG di Honiara, Solomon Island, 19-21 Mei 2015 lalu, dan Melanesia Indonesia (Melindo) menjadi Anggota Penuh. Kini MSG kembali menggelar pertemuan khusus pada tanggal 13-15 Juli 2016, untuk membahas status ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Desakan untuk mengangkat ULMWP menjadi anggota tetap datang dari berbagai pihak, termaksud ketua MSG (Perdana Menteri Solomon Island), dikarenakan sikap Indonesia yang beberapa kali tidak menghadiri dan bahkan tidak merespon undangan MSG untuk membahas persoalan Papua di Forum MSG. MSG sendiri merupakan organisasi bersama bagi negara-negara rumpun Melanesia yang setingkat dengan ASEAN.
Hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari tuntutan-tuntutan demokratis, bagian dari tuntutan yang akan menyelesaikan persoalan kebangsaan. Dan rakyat Indonesia sudah belajar terutama sepanjang masa Rejim Militer Soeharto, bahwa kita tidak dapat membangun sebuah bangsa di bawah moncong senjata. Pembangunan sebuah bangsa hanya bisa dilakukan dengan berbasiskan nilai-nilai anti imperialisme, anti kapitalisme, demokrasi dan solidaritas.
Saat ini, rakyat Indonesia juga berhadapan dengan ruang demokrasi yang semakin sempit. Di berbagai tempat, aktivis buruh dan petani dikriminalisasi, dipenjara, bahkan dibunuh. Tentara semakin terlibat dalam persoalan-persoalan sipil. Kebebasan beragama, berkeyakinan, berideologi, kebebasan akademik, kebebasan pers, berserikat dan berkumpul terus menerus diserang oleh kelompok-kelompok reaksioner yang dilindungi atau bersama-sama dengan aparat negara. Berbagai peraturan hukum yang mempersempit ruang demokrasi terus disahkan. Penyempitan ruang demokrasi tersebut berhubungan erat dengan semakin besarnya perampasan sumber daya alam dan manusia. Sumber daya yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, justru dirampas untuk kekayaan pribadi kelas borjuasi nasional maupun internasional.
Adalah kebutuhan bagi rakyat Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi seutuh-utuhnya. Demokrasi seutuh-utuhnya yang bertujuan untuk menghapuskan penindasan dari manusia ke manusia lainnya, serta menghapuskan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945: “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Hal ini juga berarti bahwa kita harus mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat.
Dukungan terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat serta kemerdekaan Papua Barat. Demikian juga terwujudnya demokrasi seutuh-utuhnya juga akan berarti memukul kekuatan anti demokrasi yang masih bercokol hingga sekarang, yaitu militerisme. Termasuk memukul Imperialisme yang berkuasa di Indonesia melalui Rejim-rejim di Indonesia. Imperialisme, Rejim Jokowi-JK serta militerisme-lah yang menghambat perkembangan kemajuan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern dan demokratis. Kekuatan yang ingin terus mengeksploitasi alam dan melanggengkan penindasan terhadap rakyat Papua.

Oleh karena itu Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB), menuntut diberikannya “Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi Papua”.  Serta menyatakan sikap :
1.      Mendukung ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.
2.      Kutuk Pelaksanaan PEPERA 1969
3.      Buka Ruang Demokrasi Seutuh-utuhnya
4.      Tarik Militer, Organik dan Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua
5.      Tutup Seluruh Perusahaan Diatas Tanah Papua
6.      Hentikan represifitas aparat keamanan dan ormas reaksioner yang menyerang dan mengepung asrama Papua Kamasan 1 Yogyakarta.
7.      Bebaskan kawan Obby Kogaya dari status tersangka

Yogyakarta, 16 Juli 2016


Jumat, 03 Juni 2016

Paradoks Manusia bagi Lingkungan

Paradoks Manusia bagi Lingkungan

Manusia adalah animale rationale, kata Aristoteles. Karena berakal budi maka dalam narasi penciptaan, ia diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas makhluk di muka bumi (Kej 1:28). Namun dalam perkembangan sejarah, manusia seolah melupakan tanggung jawabnya. Alam yang seharusnya dirawat dan dipelihara dijadikan medium untuk memenuhi keserakahan ekologis.
Melihat fenomena itu maka penulis mencoba mengkaji persoalan keterkaitan relasi manusia dengan lingkungan hidup. Pengkajian ini menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bumi. Untuk itu penulis mengulas “Paradoks Manusia bagi Lingkungan” dalam terang ilmu positivis-biblis.

1. Paradoks kesejahteraan hidup
Alasan yang sering digunakan dalam pembenaran diri terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang tidak terkendali adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun ada pandangan yang lebih ekstrim adalah melihat alam sebagai materi (Theo Huijbers, 1986:29). Pendangan ini menjadikan alam hanya sekumpulan materi-materi yang siap digunakan untuk menyokong keserakahan hidup manusia.
Kedua pandangan diatas memang memiliki tingkat pemanfaatan lingkungan yang berbeda. Dalam pandangan pertama, alam diperlukan hanya sejauh memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti ketersediaan aneka hayati untuk bertahan hidup. Cara pandang seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat pedesaan. Contohnya masyarakat pedesaan memandang “alam dibungkus oleh legenda dan narasi misalnya pohon sebagai tempat tinggal roh nenek moyang” (Leonardus Samosir, 2010:136-137). Cara pandang seperti ini menjadikan alam sebagai tempat sakral yang perlu dilindungi, dijaga, dilestarikan dan dihormati. Pemanfaatan lingkungan pun hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangakan pada pandangan kedua, pola pikir manusia sudah berubah. Alam bukan lagi sebagai sahabat yang saling membutuhkan tetapi sebagai objek pemuas nafsu ekologis. Cara pandang seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat industri. Cara hidup yang tidak lagi hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar tetapi telah bergeser ke pola transaksi ekonomi. Hal ini dapat dilacak sampai pada mulainya eksploitasi besar-besaran di Eropa pada akhir abad 18. Bahkan Robert Emerson Lucas, peraih hadiah nobel ekonomi 1995 mengatakan bahwa “Untuk pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya”. Sejak saat itu desakan ekonomi dan mekanisme pasar bebas mencuat di berbagai belahan negara karena setiap negara menginginkan kemakmuran, kemajuan barang dan jasa yang tidak terbatas (Leonardo Boff, 2008:13). Maka lingkungan hidup hanya dipandang sebagai penyedian material barang dan jasa untuk menyokong kemajuan peradaban manusia.

2. Paradoks terhadap Teks Suci
Teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani banyak dituduh oleh kaum penggiat ekologi sebagai biang kerok dari rusaknya lingkungan hidup. Tuduhan itu sangat tajam dikemukan oleh Lynn White, seorang profesor di Universitas California yang mengatakan bahwa antroposentrisme yang dianut agama Yahudi-Kristen menjadi sebab utama kerusakan dan kekacauan lingkugan hidup. Beliau mengatakan hanya teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani yang secara jelas memberikan kekuasaan kepada manusia untuk menghancurkan lingkungan (Pidyarto, 2011: 216-217). Teks yang dituduh oleh Lynn White adalah “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Kata yang dipersoalkan adalah kata “Taklukkanlah” dan “Berkuasalah”.
Terhadap tuduhan Lynn White, maka Ian G. Barbour menjelaskannya dengan bertitiktolak dari kata aslinya (Baca buku Ian G Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama [terj.], Bandung: Mizan Media Utama, 2005).
a. Kata “Taklukkanlah”
Kata ini dalam bahasa Ibraninya adalah “kabbasy” yang berarti “menjejak-jejak”. Kalau dilihat dari konteksnya Kej 1:1-2:4a, maka tidak mungkin mengartikan menjejak-jejak secara negatif seperti dalam Zak 9:15 (Tuhan semesta alam akan melindungi mereka, dan mereka akan menghabisinya dan menginjak-injak pengumpan-pengumpan). Arti sesungguhnya ialah “mengolah” seperti ungkapan mengusahakan dan memelihara dalam Kej 2:15.
b. Kata “Berkuasalah”
Kata Ibraninya adalah “raddah” yang berarti “menginjak-injak”, bandingkan (memeras anggur dalam Yoel 3:13, Ayunkanlah sabit, sebab sudah masak tuaian; marilah, iriklah, sebab sudah penuh tempat anggur; tempat-tempat pemerasan kelimpahan, sebab banyak kejahatan mereka). kalau melihat padanannya dalam Kej 2:15, kata kerja “berkuasa” (raddah) tidak dapat diartikan sebagai “menginjak-injak” karena dasar etimologinya bukan Yoel 3:13, tetapi dalam bahasa Akkad yakni “redum” yang berarti “mendampingi atau mengurus dengan baik”, kata ini lebih menjadi sebuah perintah untuk mengembalakan makhluk ciptaan lain.
Sangat jelas bahwa tuduhan Lynn White tidak berdasar. Hanya karena tidak ada padanan kata yang pas dalam terjemahannya membuat teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani dikambinghitamkan. Padahal yang ditonjolkan dari teks Kej 1:28 adalah peran manusia sebagai penjaga kelangsungan ekosistem. Peran manusia dalam teks ini dianalogikan sebagai seorang raja yang memelihara dan mewaliki Allah di dunia (Tafsir Kitab Kejadian, 1990:82).

3. Relasional “subjek-subjek” dan promosi etika lingkungan
Untuk merevitalisasi lingkungan hidup perlu adanya kesadaran yang muncul dari setiap individu. Kesadaran bahwa lingkungan hidup bisa hancur dan punah. Perlu juga kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan namun lingkungan bisa terus lestari tanpa manusia.
Pola relasi subjek-objek antara manusia dengan lingkungan hidup perlu dirubah. Karena pola semacam ini hanya melihat lingkungan sebagai sebuah materi yang bisa dimanfaatkan sesuka hati untuk melayani keserakahan hidup manusia. Maka pola yang harus dibangun adalah relasi subjek-subjek. Bukankah manusia diberi tanggung jawab oleh Allah untuk memelihara dan melestarikan kelangsungan ekosistem? Bagaimana kalau manusia tidak menjalankan tanggung jawabnya? Mgr. F.X. Hadisumarto dalam artikelnya Cahaya Kitab Suci atas Ekologi mengatakan bahwa Kitab Suci membuktikan bahwa setiap pelanggaran kehendak Allah (termasuk tidak menjalankan tanggung jawab) menimbulkan distorsi bukan hanya antara hubungan Allah dengan manusia, tetapi juga menghancurkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam (Hadisumarto, 2008:62).
Pelaku usaha juga harus memperhatikan kaidah-kaidah etika dalam bidang ekonomi dan bisnis. Beberapa tokoh berikut yang mencoba merubah pola relasi subjek-objek menjadi subjek-subjek antara manusia dan lingkungan hidup serta membangun etika lingkungan, antara lain: Aldo Leopold seorang profesor dan ahli ekologi dari Universitas Wisconsin mengagas “etika tanah” yang mengubah peran homo sapiens dari penakhluk komunitas tanah ke anggota biasa. Dengan menggajukan etika tanah, Leopold meyakinkan bahwa anggotanya akan mempertahankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik (J. Baird Callicott, 2003:30-31).
Garrett Hardin seorang profesor dari Universitas Harvard menulis sebuah artikel yang berjudul “The tragedy of the commons”. The commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduk. Biasanya the commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya. Namun pada abad ke-12 konsep ini di Inggris dihapuskan dan diganti nama enclosure (pemagaran). Dalam konteks lingkungan hidup, Hardin mengkritik privatisasi oleh kebijakan penguasa; lingkungan menjadi milik sekelompok orang (K. Bertens, 2000, 316-317). Dalam konteks kebijakan publik, pengampuh kebijakan harus berupaya agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan dan mengelola alam serta usaha reboisasi dan rehabilitasi ekosistem demi keberlangsungan lingkungan hidup.

4. Penutup
Persoalan lingkungan hidup sudah menjadi persoalan global. Cara pandang dan perbuatan manusia adalah penyebab utama dari rusaknya ekositem. Perubahan pola pikir dan tindakan bisa merevitalisasi lingkungan hidup. Manusia tidak bisa berdiam diri dari persoalan ini sebab manusia adalah tersangka utama perusakan lingkungan lewat nafsu serakahnya. Paus Paulus VI lewat surat Apostoliknya Octogesima Adveniens mengajak semua orang untuk memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang telah memberikan manusia perlindungan (OA, 1971, art. 21).
Seruan yang sama kemudian disuarakan lagi oleh Paus Fransiskus lewat ensikliknya Laudatio Si (2015), yang mengajak semua orang dan pemangku kebijakan untuk merawat bumi sebagai rumah bersama. Karena benarlah perkataan Michelangelo (1475-1564), “My soul can find no staircase to Heaven unless it be through Earth’s loveliness”.


Sumber Buku

A Sunarko & Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama [terj.]. Bandung: Mizan Media Utama, 2005.
Benny Phang & Valentinus (eds). Minum dari Sumber sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan. Malang: STFT Widya Sasana, 2011.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Boff, Leonardo. Cry of the Earth, Cry of the Poor, (terj.). Medan: Bina Media Perintis, 2008.
Francis, Pope. Encylical Letter Laudatio Si. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015.
Heron, Heronimus. “Membangun Spiritualitas yang Berwawasan Ekologis”. Dalam Felix Brilyandio & Heronimus Heron. Jurnal Ilmiah FORUM, XLII. No. 02. Malang: STFT Widya Sasana, 2014.
Huijbers, Theo. Manusia Merenungkan Dunianya. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Mery Evelyn Tucker & John A. Grim (eds.). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Paul, Pope VI. Apostolic Letter Octogesima Adveniens. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1971
Samosir, Leonardus. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam konteks wajah Allah bagi Dunia, Paradoks Salib dan Penderitaan, Pluralisme Agama, Relasionalitas Alam dan Makna Sejarah. Jakarta: Obor, 2010.
Tafsir Kitab Alkitab Masa Kini 1Kejadian-Ester. Berdasarkan Fakta-fakta sejarah Ilmiah. Yogyakarta: Kanisius, 1990.


Data Diri

Nama : Heronimus Heron
Tempat tanggal lahir : Boti, 12 Pebruari 1992
PMKRI Cabang : Santo Thomas Aquinas Yogyakarta
Keaggotaan : Anggota biasa

Senin, 21 September 2015

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Tetapi keberagaman itu dapat dirajut dalam kebhinekaan dan kemauan politik para pendiri bangsa (founding fathers). Mereka rela melepaskan egoisme agama dan fanatisme kesukuannya untuk kesatuan dan persatuan Indonesia. Karena kemauan tekad mereka, kita bisa menikmati kemajemukan dan keberagaman bangsa.
Namun kemajemukan dan keberagaman harus selalu dirawat, karena rawan gesekkan dan silang pendapat. Apalagi tidak semua orang siap dengan situasi yang majemuk. Mereka lebih mengutamakan kelompok dan golongannya. Untuk itu perlu adanya orang-orang yang selalu merawat dan menjaga kemajemukan ini. Siapakah orang-orang itu? Bagaimana anak muda memahami kemajemukan dan multikulturalisme? Bagaimana anak muda menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan? Apa inspirasi untuk menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia? Beberapa pertanyaan ini akan menjadi penuntun dalam memahami uraian penulis.

  1. Pengertian Majemuk
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majemuk berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Sebagai contoh, orang Bauzi merupakan entitas orang Bauzi. Sebagai sebuah entitas, orang Bauzi berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tentu memiliki tata cara dan adat istiadat yang khas. Tetapi mereka juga harus memahami bahwa yang hidup di sekitar mereka ada begitu banyak suku dan budaya yang berbeda. Maka mereka harus menunjung dan menjaga persatuan dengan Indonesia, karena mereka adalah bagian dari Indonesia. Namun pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian kepada mereka, karena mereka bagian dari orang-orang yang ada di republik ini.
Sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman yang telah ada dan dirawat dalam satu kesatuan. Karena itu, Bangsa Indonesia disebut bangsa yang majemuk karena terdiri dari berbagai suku, agama, golongan dan sistem sosial yang diikat oleh rasa persatuan dan cinta tanah air. Keanekaragaman itu harus selalu dirawat dan dijaga, supaya kesadaran sebagai bagian dari bangsa ini tidak luntur. Untuk merawat ini diperlukan orang-orang yang memahami dengan baik arti kemajemukan, namun tetap berakar dalam tradisi dan keyakinnya.

  1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti banyak, dan “kultural” yang berarti budaya, ras dan kelompok sosial. Jadi, multikulturalisme adalah pandangan yang menempatkan manusia, entah apapun suku, ras, agama, termasuk kelompok gay dan lesbian memiliki nilai pada dirinya sendiri. Keberagaman itu harus diakui, dan setiap pribadi-pribadi yang menyandang status itu adalah unik.
Menurut Taylor (1994), sebagaimana dikutip oleh Reza Wattimena, multikulturalisme menempatkan setiap individu memiliki nilai pada dirinya sendiri. Maka setiap individu layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandang dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku, bukan hukum moral.
Pandangan multikulturalisme menunjukkan bahwa setiap pribadi manusia harus bisa menghargai perbedaan dan menempatkan pribadi lain pada posisinya tanpa mengurangi dan mengamputasi hak-hak mereka. Namun pengakuan dan penghargaan harus ditempatkan pada koridor yang benar. Dalam hal ini, hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Tentu tujuannya untuk merawat setiap perbedaan dan memberi batasan agar tidak terjadinya fanatisme suku, agama, golongan, status sosial dan berbagai kelompok sosial.
Sebagai sebuah pandangan, multikulturalisme memberikan kita pemahaman bahwa setiap individu bernilai dan bermartabat. Perbedaan agama, suku, ras, status sosial, dan kelompok sosial hanyalah bagian artifisial dari keutuhan hidup manusia. Perbedaan itu hanya terletak pada situasi di mana kita dilahirkan, pilihan dan keyakinan kita. Memang apa yang telah kita pilih dapat menjadi aktualisasi diri, tetapi di luar itu ada martabat yang sama sebagai manusia, entah dia pemulung, pengamen, gay-lesbian, kelompok suku minoritas, agama minoritas dan sebagainya.

  1. Kemajemukan dan Multikulturalisme Merupakan Keniscayaan
Kemajemukan dan keberagaman adalah suatu keniscayaan. Manusia tidak bisa menghindar hal itu. Yang perlu dilakukan adalah menerimanya dan menempatkan diri pada posisi yang benar. Untuk itu, kita perlu belajar dari para pendiri (founding fathers) bangsa Indonesia, misalnya Sukarno, Mohammad Hatta dan Ignatius Joseph Kasimo. Sukarno (1901-1970) adalah contoh manusia yang mampu menempatkan agama dan sukunya pada posisi yang benar, dan mampu menghargai kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia. Pancasila adalah cetusan gagasan yang sangat cemerlang dari Bung Karno untuk bangsa yang majemuk dan multikultural ini.
Mohammad Hatta (1902-1980) adalah orang yang mampu mengatasi tembok agama dan identitas kesukuan serta merangkul perbedaan yang ada. Dalam bidang politik, Bung Hatta adalah penggagas nasionalisme bersama Bung Karno. Misalnya ketika ada kaum agamis yang membajak ideologi nasionalis dengan memasukkan rumusan ajaran agama Islam dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Bung Hatta dengan sigap menerima pendapat kelompok non-muslim (diwakili oleh Latuharhary, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat) yang keberatan dengan di masukannya kata dan frasa yang sangat mengganggu kemajemukan dan keberagaman yang ada. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, kata dan frasa dalam Piagam Jakarta disempurnakan; adapun hal-hal yang disempurnakan sebagai berikut.
  1. Kata muqaddimah (diganti pembukaan)
  2. Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya)
  3. UUD 1945 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam (dihapus dan beragama Islam)
  4. UUD 1945 pasal 29 ayat 1, Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya).
Dalam bidang ekonomi, Bung Hatta sangat memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pada zaman itu berkembang sistem ekonomi kapitalis-sosialis dan komunis. Bung Hatta melihat bahwa sistem ekonomi itu tidak cocok untuk rakyat Indonesia, maka beliau menggagas sistem ekonomi koperasi. Sistem koperasi ini yang diharapkan mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.
Dikalangan umat Katolik, kita bisa mengenal beberapa tokoh nasional. Sebagai contah, Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986). Beliau adalah pejuang pluralisme, multikulturalisme dan salah satu tokoh yang mendirikan bangsa ini. Sebagai orang Katolik, beliau mampu berkerja sama dengan para tokoh bangsa yang lain untuk membangun ideologi nasionalis di negeri ini. Di jiwa beliau tertanam semboyan, 100% katolik, 100% Indonesia seperti digagas oleh Mgr. Soegijapranata, SJ (1896-1963).  

  1. Kaum Muda Perawat dan Penjaga Kemajemukan dan Multikulturalisme
Sebagai kaum muda, kita tidak bisa bersikap acuh tak acuh dengan kemajemukan dan multikulturalisme. Apalagi kehidupan sosial bangsa Indonesia tidak stabil. Sentimen kesukuan dan fanatisme agama seringkali terjadi dan membuat gesekan kehidupan sosial.
Untuk itu, kita perlu belajar pada tokoh-tokoh nasional, baik itu kaum nasionalis maupun kaum agamis yang nasionalis. Kita belajar dari mereka karena mereka mampu merejut keberagaman bangsa ini. Kita juga diharapkan mampu untuk memperkuat kemajemukan dan keberagaman yang ada. Sikap yang bisa kita tunjukkan adalah menghormati dan mengupayakan kemajemukan dan multikulturalisme tetap terjaga. Kitab Nabi Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”, bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk peduli dan mengusahakan keberagaman bangsa.
  
  1. Kesimpulan
Kaum muda adalah generasi penerus bangsa. Karena itu, kaum muda harus memahami dengan baik keberagaman suku, agama, ras, status sosial dan kelompok sosial bangsanya. Untuk bisa menjadi penjaga kemajemukan dan multikulturalisme, kaum muda dapat belajar dari para pendiri bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengatasi fanatisme agama dan sentimen kesukuan untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu kesatuan Indonesia.
Sebagai kaum muda Katolik, kita harus menanamkan di dalam hati kita semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Sebab kita hidup di bumi Indonesia dengan segala dinamika dan persoalannnya. Untuk itu, Yeremia 29:7 adalah inspirasi bagi kita untuk peduli dan terlibat dalam menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia.



Kehidupan Manusia Menurut Pandangan Moral Katolik

KEHIDUPAN MANUSIA
(Menurut Pandangan Moral Katolik)
Oleh: Heronimus Heron, S.S
Pernah digunakan untuk diskusi Blok C.1 "Conception, Fetal Growth and Congenital Anomaly" di Fakultas Kedokteran UGM tanggal 24 Agustus 2015 


Manusia adalah makhluk yang unik dan istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada keikutsertaannya dalam rencana Ilahi, yaitu memelihara dan melanjutkan kehidupan (bdk. Kej. 1:26-28) lewat reproduksi. Rencana Ilahi harus senantiasa dilanjutkan oleh setiap individu-individu sebagai rekan kerja Allah.
Dalam melanjutkan rencana Ilahi lewat reproduksi, terdapat pertanyaan dan persoalan, seperti siapa yang berhak melakukan pembuahan? Bagaimana dengan pasangan yang mandul? Kapan manusia disebut sebagai pribadi? Apakah manusia ikut serta dalam menciptakan generasi penerusnya? Apakah embrio dan janin bisa diperlakukan sesuka hati? Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi? Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu hamil yang sedang mengidap kanker rahim? Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap pribadi yang difabel?
Sederet pertanyaan di atas menyadarkan kita bahwa masih terdapat persoalan dalam melanjutkan rencana Ilahi. Setiap persoalan itu mengandung resiko yang tidak kecil, karena menyangkut kehidupan manusia. Untuk itu, Gereja Katolik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas dengan berlandaskan pada Kitab Suci dan Ajaran resmi Gereja Katolik.

1.      Pembuahan
Pembuahan hanya boleh dilakukan oleh pasangan (laki-perempuan) yang telah menikah secara sah (KHK Kan.1055 §1), diikat oleh perjanjian (foedus) untuk membentuk kebersamaan hidup (Gaudium et Spes 48) dan satu daging (Mat. 19:6).
Proses pembuahan dilakukan dengan hubungan sanggama (prokreasi alami), bukan tehnik pembuahan in vitro (pembuahan sel telur yg dilakukan di dalam tabung), kloning, pembekuan embrio, intervensi kromosom/genetis, dll.

Bagaimana dengan pasangan yang mandul?
Kitab Hukum kanonik Kan. 1055 §1 mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak. Karena itu, kalau ada argumentasi yang mengatakan bahwa hanya anak sebagai sumber kebahagiaan kehidupan suami-istri, itu kurang tepat. Walaupun memiliki anak merupakan keinginan dari pasangan yang menikah, tetapi pasangan tetap harus melakukannya dengan cara alami.
Setiap pasangan harus selalu sadar bahwa anak adalah anugerah Allah. Karena itu, diharapkan tidak melakukan proses pembuahan di luar hubungan sanggama, karena melanggar proses prokreasi dan campur tangan Allah. Yohanes Paulus II dalam eksortasi Apostolik, Familiaris Conscortio, mengatakan bahwa “Hidup perkawinan tak kehilangan makna, bila prokreasi hidup baru tak mungkin; kemandulan jasmani dapat menjadi kesempatan bagi suami-istri untuk melibatkan diri dalam karya pelayanan kehidupan”.


2.      Embrio
Sejak kapan manusia disebut manusia (pribadi/persona)? Sejak terjadi pembuahan (Pertemuan sel telur dan sel sperma). “Dari saat sel telur dibuahi sudah mulailah suatu kehidupan, yang bukan hidup ayah atau ibunya, melainkan hidup manusia yang baru beserta pertumbuhannya” (Evangelium Vitae 60). Bandingkan dengan Mazmur 139:13 “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”.

a. Apakah manusia berpartisipasi dalam awal kehidupan manusia?
Kita perlu menyadari bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26) dan menyerupai citra PutraNya (Rm. 8:28-29). Oleh sebab itu, manusia memiliki martabat yang amat luhur, karena ia rekan kerja Allah untuk melanjutkan kehidupan lewat perkawinan. Maka manusia harus ikut merawat kehidupan lewat hubungan sanggama suami istri.

b. Apakah manusia boleh memperlakukan embrio dan janin sesuka hatinya?
Manusia adalah rekan kerja Allah untuk memelihara kehidupan. Manusia harus melindungi dan menjaga kesehatan janin serta keselamatannya, karena tindakan pembuahan bukan semata-mata tindakan manusia, tetapi Allah turut berkarya (Donum Vitae 5). Kesehatan dan keselamatan embrio dan janin harus selalu diutamakan sebagai bentuk dari keikutsertaan manusia dalam melanjutkan kehidupan.

3.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi?
Allah adalah sumber kehidupan dan kematian. Hanya Allah yang berhak menghidupkan dan mematikan (Ul. 32:39). Tindakan pengguguran merupakan tindakan pembunuhan, karena membunuh janin. Tindakan ini melanggar perintah Allah yang ke-5 “Jangan membunuh” (Ul. 20:13), maka cintailah kehidupan. Dalam Kitab Yeremia dikatakan bahwa, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau...” (Yer. 1: 4-5).
Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa pengguguran adalah “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (GS 51). Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (HV 14). Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
            Jika tindakan aborsi dilakukan, maka dikenakan ekskomunikasi langsung (KHK Kan.1398),  termasuk mereka yang membantu seperti dokter, perawat, orang yang mendorong melakukan aborsi, orang yang membantu (termasuk yang mengantar) juga mendapat ekskomunikasi (KHK Kan. 1329 § 2). Bentuk konkrit dari sanksinya adalah tidak bisa menerima pelayanan dari Gereja, seperti pelayanan sakramental. Argumentasi Gereja adalah embrio/janin memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa. Hidup manusia harus dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (Aborsi 11).

Bagaimana caranya supaya pelaku aborsi itu dapat dipulihkan dari tindakan ekskomunikasi?
Allah maha rahim. Gereja adalah simbol dari belas kasih dan kerahiman Allah. Pelaku (dan orang yang terlibat dalam tindakan itu) harus datang mohon pengampunan kepada Allah melalui Gereja lewat sakramen tobat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bapa Uskup dapat memberikan wewenangnya supaya imam (bapa pengakuan) dapat mengampuni dosa ekskomunikasi. Setalah itu (bapa pengakuan) harus menginformasikannya kepada Bapa Uskup (KHK Kan. 1357). Atas nama Gereja Katolik, bapa pengakuan akan memulihkan haknya dan mengarahkan supaya pelaku tersebut melakukan ulah kesalehan.

Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu yang sedang hamil, tetapi terdapat tumor/kanker rahim yang harus dioperasi?
Jika menghadapi kasus ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
-          Konsultasikan dengan dokter yang berpengalaman tentang resiko yang akan dihadapi oleh si ibu berserta janinnya. Usahakanlah mendapat informasi yang cukup lengkap dan komprehensip.
-          Datanglah kepada imam/pastor untuk mendengarkan pendapat mereka. Utarakanlah segala resiko yang akan terjadi kalau tidak dioperasi/dilakukan operasi (meminta pandangannya mengenai ajaran resmi Gereja menyangkut persoalan yang dihadapi).
-          Berdoalah kepada Allah dan mohonlah petunjuk dariNya

Jika operasi tetap dilakukan, berikut argumentasi moralnya:
-          Tujuan utama dilakukannya operasi adalah untuk keselamatan si ibu/janin, bukan membunuh janin/ibu, (jika janin meninggal, ini merupakan sebab dari usaha menyelamatkan si ibu – atau sebaliknya, kesediaan si ibu berkorban untuk keselamatan si janin)
-          Harus mempunyai alasan seimbang (menyelamatkan si ibu karena si ibu masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga – atau si ibu dengan tindakan bebasnya ingin supaya janinnya dapat hidup)
-          Tujuan yang baik tidak boleh menghalalkan segala cara
-          Pilihan terakhir
-          (catatan: Tindakan ini hanya boleh dilakukan bila si ibu mendapat informasi mengenai kesehatan dan keselamatannya secara lengkap, dilakukan dengan kesadaran dan kebebasannya serta pilihan terakhir)

4.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang mereka yang difabel?
Kelainan fisik dan mental bukanlah alasan untuk mengucilkan (menghilangkan nyawa) seseorang, karena setiap pribadi memancarkan citra Allah. “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Tugas manusia adalah merawat dan menjaga kehidupan dengan segala resikonya.
Perlu kita sadari bahwa dalam hidup juga terdapat pohon salib (bdk. Yoh. 19:37). Jalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan terima serta rawatlah saudara-saudari yang hidup secara istimewa, sebab “Tuhan memiliki rencana untuk kehidupan ini, dan rencana Tuhan bukanlah rencana kita” (Yes. 55:8-9).
Hendaknya semua keluarga Katolik menerima dan menjalankan rencana Tuhan dalam kehidupannya. Mereka yang memiliki keistimewaan fisik dan mental adalah saudara kita dalam mengarungi kehidupan ini. Sebagai warga Katolik, tunjukkanlah bahwa keluarga kita adalah “kenizah kehidupan” (Mzm. 128:3), dan teladanilah keluarga Nazaret dalam kehidupan ini.


Sumber:
Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik) 1983. Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2006.
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Hardawiyana, SJ. Gaudium et Spes (Gereja dalam Dunia Modern), Dokumentasi Penerangan KWI, 2008.
Declaration on Procured Abortion. Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1974.
Instruction Donum Vitae (Hormat Terhadap Pribadi Manusia). Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1987.
Paul II, John. Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio (Keluarga Kristiani di Dunia Modern). Vatican:  Libreria Editrice Vaticana, 1981. 
_______. Encyclical Veretatis Splendor (Cahaya Kebenaran). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1993.
_______. Encyclical Evangelium Vitae (Injil Kehidupan). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1995.
VI, Paul. Encyclical Humanae Vitae (Hidup Manusia). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1968.