KRONOLOGIS
DAN PERS RELEASE PERISTIWA REPRESIFITAS APARAT KEAMANAN TERHADAP ORANG PAPUA DI
YOGYAKARTA
Kronologi Penangkapan Kawan-kawan Pemuda Papua Tanggal 15 Juli 2016, hingga Penetapan Tersangka terhadap Obby Kogaya
1.
Tanggal 15 Juli 2016, sekitar jam 8.00, Denny, Adius,
Terianus, Obed, Ferdinand, dan Benditus, membeli ketela dan singkong 34 kg di
pasar giwangan yang akan digunakan untuk makan siang teman-teman yang aksi di
asrama papua.
2.
Seusai membeli ketela sekitar jam 9.00, keenam mahasiswa
papua ini memutuskan untuk pulang ke asrama Papua. Saat mencoba untuk memasuki
Jalan Kusumanegara (lokasi asrama Papua), keenam mahasiswa ini sadar bahwa
Jalan Kusumanegara sekitar Asrama Mahasiswa Papua diblokir oleh aparat.
Sehingga tidak dapat dilewati. Pada akhirnya, enam mahasiswa ini memutuskan untuk pulang ke asrama papua melalui pintu belakang.
Sehingga tidak dapat dilewati. Pada akhirnya, enam mahasiswa ini memutuskan untuk pulang ke asrama papua melalui pintu belakang.
3.
Sebelum sempat memasuki asrama melalui pintu belakang,
sekitar 100 meter dari pintu belakang asrama, keenam mahasiswa ini diteriaki
dari belakang oleh aparat, dan dikepung dari dua arah. Keenam mahasiswa ini
dipaksa berhenti dan turun dari motor dengan todongan senjata laras panjang.
4.
Setelah turun dari motor, keenam mahasiswa ini dipukuli
oleh pria berpakaian preman dan brimob. Dalam proses penggeledahan dan
pemeriksaan barang bawaannya, keenam mahasiswa ini tetap dipukuli.
Ketela dan singkong 34 kg ini dihamburkan oleh aparat, dan keenam mahasiswa ini disuruh untuk memungut kembali ketela dan singkong itu, namun tetap ditendangi oleh aparat. Setelah mengumpulkan ketela dan singkong, keenam mahasiswa ini disuruh kembali ke asrama papua melalui pintu depan.
Ketela dan singkong 34 kg ini dihamburkan oleh aparat, dan keenam mahasiswa ini disuruh untuk memungut kembali ketela dan singkong itu, namun tetap ditendangi oleh aparat. Setelah mengumpulkan ketela dan singkong, keenam mahasiswa ini disuruh kembali ke asrama papua melalui pintu depan.
5.
Keenam mahasiswa papua ini mencoba menuju daerah
Kusumanegara, dengan niat masuk ke asrama Papua melalui pintu depan. Namun,
lagi-lagi diberhentikan oleh polisi di lampu merah, dan dipaksa untuk naik truk
dan dibawa ke Polda DIY.
6.
Di Polda DIY, keenam mahasiswa ini bertemu dengan dua
mahasiswa papua lainnya, bernama Obby Kogoya dan Debby Kogoya.
Kronologis
Obby dan Debby Diamankan
7.
Awalnya Obby dan Debby akan ke asrama papua bergabung
dengan mahasiswa papua untuk melaksanakan aksi.
8.
Namun, karena jalan kusumanegara ditutup, Obby dan Debby
memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang. Namun ternyata pintu belakang
dikunci. Saat kedua mahasiswa ini mencoba untuk memutarkan motor, mereka dua
didatangi aparat dan ditanyai SIM dan STNK, padahal jalan dibelakang gank
miliran kecil yang sebetulnya juga bukan jalan raya, hanya karena mereka Papua
mereka didatangi, berbeda perlakuan apabila yang lewat bukan papua maka tak
akan diperlakukan seperti itu .
9.
Karena kedua mahasiswa ini tidak bisa menunjukkan SIM dan
STNK, mereka kedua disuruh turun dari motor. Selagi turun dari motor, secara
sepihak seorang aparat berpakaian preman mengambil kunci motor Obby dan Debby,
dan menyeret Obby dengan mencengkram baju di bagian leher.
10.
Obby yang merasa terancam diperlakukan seperti itu dan
mencoba menyelamatkan diri. Dia pun dikejar aparat, tertangkap, dan
dipukul/dikeroyok oleh aparat. Lalu Obby pun diborgol dan dinaikkan ke truk
bersama Debby, lalu digelandang ke Polda DIY.
11.
Saat di POLDA DIY, pihak kepolisian melakukan interogasi
terhdap Obby Kogaya dan bahkan secara sepihak juga menetapkan Obby Kogaya
dengan status Tersangka, dengan sangkaan melakukan hukum 212 jo. 351(2) dan 213
KUHP. Malam itu polisi bersikukuh untuk menahannya,
Penetapan
Tersangka Yang Janggal.
12.
Penetapan tersangka ini janggal. Pertama Obby Kogaya
ditetapkan tersangka hanya karena dia dianggap melawan petugas polisi dengan
cara menyerang anggota kepolisian, saat setelah dimintai tunjuk dengan cara
yang tak sopan dan manusiawi diminta menunjakan SIM dan STNK, padahal polisi
secara sepihak mengambil kunci motornya dan juga sempat mencengkram erat dari
bagian belakang hanya karena ia Papua yang terlihat di gank miliran.
13.
Kuasa hukum dari LBH Yogyakarta pun berdebat terkait
dengan penetapan tersangka tersebut, LBH Yogyakarta menilai pentapan tersangka
tersebut tak berdasar dan lebih cenderung upaya polisi mencari—cari kesalahan
dari mahasiswa yang ikut rencananya akan ikut aksi dami pada tanggal 15 Juli
2016. LBH Yogyakarta memperdebatkan terkait dasar penetapan tersangka tersebut,
pihak penyidik POLDA adanya saksi, yang padahal saksi tersebut dari pihak
kepolisian sendiri.
14.
Kedua, Karena penyidik pun menetapkan dengan dasar 212 jo.
351(2) dan 213 KUHP, LBH Yogyakarta pun menanyakan terkait bukti visum dari
polisi yang mengaku korban, namun Penyidik
tidak pernah bisa menunjukkan dokumen fisik visum itu kepada Obby maupun
LBH Yogyakarta.
15.
Ketiga seharusnya Obby lah yang jadi korban, dan bukan
malah ditetapkan tersangka karena dia yang justru dikeroyok, dipukuli oleh
aparat baik yang berbaju preman atau seragam kepolisian sekali lagi hanya
karena ia pemuda papua. Pihak kepolisian dengan ringan menetapkannya sebagai
Tersangka, sungguh tak proporsional melihat perlakuan kepolisian pada mahasiswa
papua, sangat terasa hukum bukan milik pemuda papua.
16.
Obby Kogaya akhirnya bisa pulang dengan terlebih dahulu
pihak kuasa hukum mengajukan penahanan pada pukul 12.30 malam, pihak yang
diajukan sebagai penjamin adalah kedua
temannya yang ikut ditangkap yaitu Teriunus Aud dan Adius Kudligagal.
Warga Yogyakarta bersolidaritas dan
mengumpulkan logistik berupa nasi bungkus, minuman, gula, kopi, dan mie instan.
Logistik dikumpulkan di markas Palang Merah Indonesia, Kotagede, dan rencananya
dikirimkan dengan mobil Ambulans PMI dengan menimbang hukum internasional yang
menyatakan bahwa palang merah tidak boleh ditahan atau diserang.
Pukul 17.30 WIB, ambulans PMI yang
membawa logistik tiba di depan asrama. Ambulans dihentikan oleh polisi lalu
parkir di seberang jalan. Sopir ambulans terlihat bercakap-cakap dengan polisi.
10 menit kemudian ambulans pergi tanpa menurunkan logistik sama sekali.
Pukul 19.25 WIB sekitar lebih dari 150
orang yang terjebak berkumpul dan duduk di dalam aula asrama sambil menyanyikan
lagu daerah. Sebagian kawan membersihkan sampah-sampah di halaman depan asrama.
Saat mereka sedang membersihkan, polisi meneriakkan kata-kata: “mengganggu
pemandangan”. Beberapa kawan tadi keluar dari asrama untuk merespon teriakan
polisi. Polisi kemudian menembakkan gas air mata sebanyak tiga kali.
Pukul 22.37 WIB satu orang kawan Papua
yang ditangkap masih ditahan di Polda DIY. Tujuh orang lainnya sudah dibebaskan
setelah pembuatan BAP. Handphone dari salah satu korban penangkapan masih
ditahan di Polda DIY. LBH Yogyakarta masih mengupayakan pembebasan kawan yang
ditahan.
Pernyataan Sikap
Tanggal 14 Juli ini merupakan 47
tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di tanah Papua.
Pelaksanaan PEPERA sendiri mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Sistem one
man one vote dihapuskan dan diganti dengan menunjuk siapa yang berhak
mewakili untuk memilih ditambah dengan intervensi militer Indonesia. Tidak
heran kemudian hasil PEPERA adalah ingin bergabung dengan Indonesia. Sejak itu
Papua terus berada dalam penjajahan Indonesia, di bawah perlindungan dan
kepentingan kekuatan imperialis. Reformasi 1998 berhasil menggulingkan
Soeharto. Ruang demokrasi relatif terbuka. Namun di Papua militerisme Rejim
Soeharto masih terus mempertahankan kekuasaannya dengan menutup ruang
demokrasi.
Gerakan rakyat di Papua semakin lama semakin membesar, menuntut hak menentukan nasib sendiri. Bersamaan dengan itu ruang demokrasi semakin dipersempit. Dalam Rejim Jokowi-JK, penangkapan terhadap aktivis Papua memecahkan rekor. Sekitar 5 ribu rakyat Papua ditangkap dalam berbagai aksi, sebelum aksi dan bahkan ketika hanya membagikan selebaran. Pembunuhan terhadap rakyat Papua juga terus terjadi, setiap hari ditemukan 4-5 jenasah dengan luka-luka bekas penganiayaan. Korporasi seperti Freeport yang terus menghancurkan ruang hidup rakyat Papua justru dilindungi oleh Rejim Jokowi-JK. Sementara berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua terus ditutup-tutupi. Saat ini juga sudah terbentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang merupakan wadah persatuan bangsa Papua Barat atau wadah koordinatif untuk mengajukan aplikasi West Papua di MSG dan mendorong proses penyelesaian masalah Papua ditingkat Internasional melalui Jalur legal untuk mencapai Hak Penentuan Nasib Sendiri.
ULMWP ditetapkan menjadi Anggota
Pengamat dalam Forum MSG, pada KTT MSG di Honiara, Solomon Island, 19-21 Mei
2015 lalu, dan Melanesia Indonesia (Melindo) menjadi Anggota Penuh. Kini MSG
kembali menggelar pertemuan khusus pada tanggal 13-15 Juli 2016, untuk membahas
status ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Desakan untuk mengangkat ULMWP
menjadi anggota tetap datang dari berbagai pihak, termaksud ketua MSG (Perdana
Menteri Solomon Island), dikarenakan sikap Indonesia yang beberapa kali tidak
menghadiri dan bahkan tidak merespon undangan MSG untuk membahas persoalan
Papua di Forum MSG. MSG sendiri merupakan organisasi bersama bagi negara-negara
rumpun Melanesia yang setingkat dengan ASEAN.
Hak menentukan nasib sendiri adalah
bagian dari tuntutan-tuntutan demokratis, bagian dari tuntutan yang akan menyelesaikan
persoalan kebangsaan. Dan rakyat Indonesia sudah belajar terutama sepanjang
masa Rejim Militer Soeharto, bahwa kita tidak dapat membangun sebuah bangsa di
bawah moncong senjata. Pembangunan sebuah bangsa hanya bisa dilakukan dengan
berbasiskan nilai-nilai anti imperialisme, anti kapitalisme, demokrasi dan
solidaritas.
Saat ini, rakyat Indonesia juga
berhadapan dengan ruang demokrasi yang semakin sempit. Di berbagai tempat,
aktivis buruh dan petani dikriminalisasi, dipenjara, bahkan dibunuh. Tentara
semakin terlibat dalam persoalan-persoalan sipil. Kebebasan beragama,
berkeyakinan, berideologi, kebebasan akademik, kebebasan pers, berserikat dan
berkumpul terus menerus diserang oleh kelompok-kelompok reaksioner yang
dilindungi atau bersama-sama dengan aparat negara. Berbagai peraturan hukum
yang mempersempit ruang demokrasi terus disahkan. Penyempitan ruang demokrasi
tersebut berhubungan erat dengan semakin besarnya perampasan sumber daya alam
dan manusia. Sumber daya yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat, justru dirampas untuk kekayaan pribadi kelas borjuasi nasional maupun
internasional.
Adalah kebutuhan bagi rakyat
Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi seutuh-utuhnya. Demokrasi
seutuh-utuhnya yang bertujuan untuk menghapuskan penindasan dari manusia ke
manusia lainnya, serta menghapuskan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa
lainnya. Seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945: “Bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas bumi harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Hal ini juga
berarti bahwa kita harus mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi Papua
Barat.
Dukungan terhadap hak menentukan
nasib sendiri bagi Papua Barat serta kemerdekaan Papua Barat. Demikian juga
terwujudnya demokrasi seutuh-utuhnya juga akan berarti memukul kekuatan anti
demokrasi yang masih bercokol hingga sekarang, yaitu militerisme. Termasuk
memukul Imperialisme yang berkuasa di Indonesia melalui Rejim-rejim di
Indonesia. Imperialisme, Rejim Jokowi-JK serta militerisme-lah yang menghambat
perkembangan kemajuan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern dan
demokratis. Kekuatan yang ingin terus mengeksploitasi alam dan melanggengkan
penindasan terhadap rakyat Papua.
Oleh karena itu Persatuan Rakyat
Untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB), menuntut diberikannya “Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi
demokratis bagi Papua”. Serta menyatakan sikap :
1.
Mendukung ULMWP untuk
menjadi anggota penuh MSG.
2.
Kutuk Pelaksanaan PEPERA
1969
3.
Buka Ruang Demokrasi
Seutuh-utuhnya
4.
Tarik Militer, Organik dan
Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua
5.
Tutup Seluruh Perusahaan
Diatas Tanah Papua
6.
Hentikan represifitas aparat
keamanan dan ormas reaksioner yang menyerang dan mengepung asrama Papua Kamasan
1 Yogyakarta.
7.
Bebaskan kawan Obby Kogaya
dari status tersangka
Yogyakarta, 16 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar