KEHIDUPAN
MANUSIA
(Menurut Pandangan Moral Katolik)
Oleh: Heronimus Heron, S.S
Pernah digunakan untuk diskusi Blok C.1 "Conception, Fetal Growth and Congenital Anomaly" di Fakultas Kedokteran UGM tanggal 24 Agustus 2015
Manusia adalah makhluk yang unik dan
istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada keikutsertaannya dalam
rencana Ilahi, yaitu memelihara dan melanjutkan kehidupan (bdk. Kej. 1:26-28)
lewat reproduksi. Rencana Ilahi harus senantiasa dilanjutkan oleh setiap
individu-individu sebagai rekan kerja Allah.
Dalam melanjutkan rencana Ilahi lewat
reproduksi, terdapat pertanyaan dan persoalan, seperti siapa yang berhak
melakukan pembuahan? Bagaimana dengan pasangan yang mandul? Kapan manusia
disebut sebagai pribadi? Apakah manusia ikut serta dalam menciptakan generasi
penerusnya? Apakah embrio dan janin bisa diperlakukan sesuka hati? Bagaimana
pandangan Gereja Katolik tentang aborsi? Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu
hamil yang sedang mengidap kanker rahim? Bagaimana pandangan Gereja Katolik
terhadap pribadi yang difabel?
Sederet pertanyaan di atas menyadarkan
kita bahwa masih terdapat persoalan dalam melanjutkan rencana Ilahi. Setiap
persoalan itu mengandung resiko yang tidak kecil, karena menyangkut kehidupan
manusia. Untuk itu, Gereja Katolik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan di atas dengan berlandaskan pada Kitab Suci dan Ajaran resmi Gereja
Katolik.
1.
Pembuahan
Pembuahan
hanya boleh dilakukan oleh pasangan (laki-perempuan) yang telah menikah secara
sah (KHK Kan.1055 §1), diikat oleh perjanjian (foedus) untuk membentuk
kebersamaan hidup (Gaudium et Spes 48) dan satu daging (Mat. 19:6).
Proses
pembuahan dilakukan dengan hubungan sanggama (prokreasi alami), bukan tehnik
pembuahan in vitro (pembuahan sel
telur yg dilakukan di dalam tabung), kloning, pembekuan embrio, intervensi
kromosom/genetis, dll.
Bagaimana
dengan pasangan yang mandul?
Kitab
Hukum kanonik Kan. 1055 §1 mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak. Karena
itu, kalau ada argumentasi yang mengatakan bahwa hanya anak sebagai sumber
kebahagiaan kehidupan suami-istri, itu kurang tepat. Walaupun memiliki anak
merupakan keinginan dari pasangan yang menikah, tetapi pasangan tetap harus
melakukannya dengan cara alami.
Setiap
pasangan harus selalu sadar bahwa anak adalah anugerah Allah. Karena itu,
diharapkan tidak melakukan proses pembuahan di luar hubungan sanggama, karena melanggar
proses prokreasi dan campur tangan Allah. Yohanes Paulus II dalam eksortasi
Apostolik, Familiaris Conscortio, mengatakan bahwa “Hidup perkawinan tak
kehilangan makna, bila prokreasi hidup baru tak mungkin; kemandulan jasmani
dapat menjadi kesempatan bagi suami-istri untuk melibatkan diri dalam karya
pelayanan kehidupan”.
2.
Embrio
Sejak
kapan manusia disebut manusia (pribadi/persona)? Sejak terjadi pembuahan
(Pertemuan sel telur dan sel sperma). “Dari saat
sel telur dibuahi sudah mulailah suatu kehidupan, yang bukan hidup ayah atau
ibunya, melainkan hidup manusia yang baru beserta pertumbuhannya” (Evangelium
Vitae 60). Bandingkan dengan Mazmur 139:13 “Sebab Engkaulah yang
membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”.
a.
Apakah manusia berpartisipasi dalam awal kehidupan manusia?
Kita
perlu menyadari bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26) dan menyerupai
citra PutraNya (Rm. 8:28-29). Oleh sebab itu, manusia memiliki martabat yang amat
luhur, karena ia rekan kerja Allah untuk melanjutkan kehidupan lewat
perkawinan. Maka manusia harus ikut merawat kehidupan lewat hubungan sanggama
suami istri.
b.
Apakah manusia boleh memperlakukan embrio dan janin sesuka hatinya?
Manusia
adalah rekan kerja Allah untuk memelihara kehidupan. Manusia harus melindungi
dan menjaga kesehatan janin serta keselamatannya, karena tindakan pembuahan
bukan semata-mata tindakan manusia, tetapi Allah turut berkarya (Donum Vitae 5).
Kesehatan dan keselamatan embrio dan janin harus selalu diutamakan sebagai
bentuk dari keikutsertaan manusia dalam melanjutkan kehidupan.
3. Bagaimana pandangan Gereja Katolik
tentang aborsi?
Allah
adalah sumber kehidupan dan kematian. Hanya Allah yang berhak menghidupkan dan
mematikan (Ul. 32:39). Tindakan pengguguran merupakan tindakan pembunuhan,
karena membunuh janin. Tindakan ini melanggar perintah Allah yang ke-5 “Jangan
membunuh” (Ul. 20:13), maka cintailah kehidupan. Dalam Kitab Yeremia dikatakan
bahwa, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim
ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku
telah menguduskan engkau...” (Yer. 1: 4-5).
Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa pengguguran adalah
“tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia
melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak
baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat
cermat” (GS 51). Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan
terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (HV 14).
Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis
Splendor (1993), pengguguran
digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya –
dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. “Apa
saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun
juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa
pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun
yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji,
mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan
Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
Jika tindakan aborsi dilakukan, maka dikenakan ekskomunikasi
langsung (KHK Kan.1398), termasuk mereka
yang membantu seperti dokter, perawat, orang yang mendorong melakukan aborsi,
orang yang membantu (termasuk yang mengantar) juga mendapat ekskomunikasi (KHK
Kan. 1329 § 2). Bentuk konkrit dari sanksinya adalah tidak bisa menerima
pelayanan dari Gereja, seperti pelayanan sakramental. Argumentasi Gereja adalah
embrio/janin memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa. Hidup manusia harus
dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (Aborsi 11).
Bagaimana
caranya supaya pelaku aborsi itu dapat dipulihkan dari tindakan ekskomunikasi?
Allah
maha rahim. Gereja adalah simbol dari belas kasih dan kerahiman Allah. Pelaku
(dan orang yang terlibat dalam tindakan itu) harus datang mohon pengampunan
kepada Allah melalui Gereja lewat sakramen tobat dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi. Bapa Uskup dapat memberikan wewenangnya supaya imam (bapa
pengakuan) dapat mengampuni dosa ekskomunikasi. Setalah itu (bapa pengakuan)
harus menginformasikannya kepada Bapa Uskup (KHK Kan. 1357). Atas nama Gereja
Katolik, bapa pengakuan akan memulihkan haknya dan mengarahkan supaya pelaku
tersebut melakukan ulah kesalehan.
Bagaimana
menghadapi kasus seorang ibu yang sedang hamil, tetapi terdapat tumor/kanker
rahim yang harus dioperasi?
Jika
menghadapi kasus ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
-
Konsultasikan dengan dokter yang
berpengalaman tentang resiko yang akan dihadapi oleh si ibu berserta janinnya.
Usahakanlah mendapat informasi yang cukup lengkap dan komprehensip.
-
Datanglah kepada imam/pastor untuk
mendengarkan pendapat mereka. Utarakanlah segala resiko yang akan terjadi kalau
tidak dioperasi/dilakukan operasi (meminta pandangannya mengenai ajaran resmi Gereja
menyangkut persoalan yang dihadapi).
-
Berdoalah kepada Allah dan mohonlah
petunjuk dariNya
Jika
operasi tetap dilakukan, berikut argumentasi moralnya:
-
Tujuan utama dilakukannya operasi adalah
untuk keselamatan si ibu/janin, bukan membunuh janin/ibu, (jika janin
meninggal, ini merupakan sebab dari usaha menyelamatkan si ibu – atau sebaliknya,
kesediaan si ibu berkorban untuk keselamatan si janin)
-
Harus mempunyai alasan seimbang
(menyelamatkan si ibu karena si ibu masih memiliki tanggung jawab terhadap
keluarga – atau si ibu dengan tindakan bebasnya ingin supaya janinnya dapat
hidup)
-
Tujuan yang baik tidak boleh
menghalalkan segala cara
-
Pilihan terakhir
-
(catatan: Tindakan ini hanya boleh
dilakukan bila si ibu mendapat informasi mengenai kesehatan dan keselamatannya
secara lengkap, dilakukan dengan kesadaran dan kebebasannya serta pilihan
terakhir)
4. Bagaimana pandangan Gereja Katolik
tentang mereka yang difabel?
Kelainan
fisik dan mental bukanlah alasan untuk mengucilkan (menghilangkan nyawa)
seseorang, karena setiap pribadi memancarkan citra Allah. “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi
tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Tugas manusia adalah merawat dan menjaga kehidupan
dengan segala resikonya.
Perlu kita sadari bahwa dalam hidup juga terdapat
pohon salib (bdk. Yoh. 19:37). Jalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan
terima serta rawatlah saudara-saudari yang hidup secara istimewa, sebab “Tuhan
memiliki rencana untuk kehidupan ini, dan rencana Tuhan bukanlah rencana kita”
(Yes. 55:8-9).
Hendaknya semua keluarga Katolik menerima dan
menjalankan rencana Tuhan dalam kehidupannya. Mereka yang memiliki keistimewaan
fisik dan mental adalah saudara kita dalam mengarungi kehidupan ini. Sebagai
warga Katolik, tunjukkanlah bahwa keluarga kita adalah “kenizah
kehidupan” (Mzm. 128:3), dan teladanilah keluarga Nazaret dalam kehidupan ini.
Sumber:
Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum
Kanonik) 1983. Jakarta: Konferensi Wali Gereja
Indonesia, 2006.
Dokumen
Konsili Vatikan II, terj. Hardawiyana, SJ. Gaudium
et Spes (Gereja dalam Dunia Modern), Dokumentasi Penerangan KWI, 2008.
Declaration on Procured Abortion. Vatican: Congregation for
The Doctrine of The Faith, 1974.
Instruction Donum Vitae (Hormat
Terhadap Pribadi Manusia). Vatican: Congregation for The
Doctrine of The Faith, 1987.
Paul
II, John. Apostolic Exhortation,
Familiaris Consortio (Keluarga Kristiani di Dunia Modern). Vatican: Libreria
Editrice Vaticana, 1981.
_______. Encyclical Veretatis
Splendor (Cahaya Kebenaran). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1993.
_______.
Encyclical Evangelium Vitae (Injil
Kehidupan). Vatican: Libreria Editrice
Vaticana, 1995.
VI, Paul. Encyclical Humanae Vitae (Hidup Manusia).
Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1968.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar