Jumat, 03 Juni 2016

Paradoks Manusia bagi Lingkungan

Paradoks Manusia bagi Lingkungan

Manusia adalah animale rationale, kata Aristoteles. Karena berakal budi maka dalam narasi penciptaan, ia diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas makhluk di muka bumi (Kej 1:28). Namun dalam perkembangan sejarah, manusia seolah melupakan tanggung jawabnya. Alam yang seharusnya dirawat dan dipelihara dijadikan medium untuk memenuhi keserakahan ekologis.
Melihat fenomena itu maka penulis mencoba mengkaji persoalan keterkaitan relasi manusia dengan lingkungan hidup. Pengkajian ini menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bumi. Untuk itu penulis mengulas “Paradoks Manusia bagi Lingkungan” dalam terang ilmu positivis-biblis.

1. Paradoks kesejahteraan hidup
Alasan yang sering digunakan dalam pembenaran diri terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang tidak terkendali adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun ada pandangan yang lebih ekstrim adalah melihat alam sebagai materi (Theo Huijbers, 1986:29). Pendangan ini menjadikan alam hanya sekumpulan materi-materi yang siap digunakan untuk menyokong keserakahan hidup manusia.
Kedua pandangan diatas memang memiliki tingkat pemanfaatan lingkungan yang berbeda. Dalam pandangan pertama, alam diperlukan hanya sejauh memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti ketersediaan aneka hayati untuk bertahan hidup. Cara pandang seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat pedesaan. Contohnya masyarakat pedesaan memandang “alam dibungkus oleh legenda dan narasi misalnya pohon sebagai tempat tinggal roh nenek moyang” (Leonardus Samosir, 2010:136-137). Cara pandang seperti ini menjadikan alam sebagai tempat sakral yang perlu dilindungi, dijaga, dilestarikan dan dihormati. Pemanfaatan lingkungan pun hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangakan pada pandangan kedua, pola pikir manusia sudah berubah. Alam bukan lagi sebagai sahabat yang saling membutuhkan tetapi sebagai objek pemuas nafsu ekologis. Cara pandang seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat industri. Cara hidup yang tidak lagi hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar tetapi telah bergeser ke pola transaksi ekonomi. Hal ini dapat dilacak sampai pada mulainya eksploitasi besar-besaran di Eropa pada akhir abad 18. Bahkan Robert Emerson Lucas, peraih hadiah nobel ekonomi 1995 mengatakan bahwa “Untuk pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya”. Sejak saat itu desakan ekonomi dan mekanisme pasar bebas mencuat di berbagai belahan negara karena setiap negara menginginkan kemakmuran, kemajuan barang dan jasa yang tidak terbatas (Leonardo Boff, 2008:13). Maka lingkungan hidup hanya dipandang sebagai penyedian material barang dan jasa untuk menyokong kemajuan peradaban manusia.

2. Paradoks terhadap Teks Suci
Teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani banyak dituduh oleh kaum penggiat ekologi sebagai biang kerok dari rusaknya lingkungan hidup. Tuduhan itu sangat tajam dikemukan oleh Lynn White, seorang profesor di Universitas California yang mengatakan bahwa antroposentrisme yang dianut agama Yahudi-Kristen menjadi sebab utama kerusakan dan kekacauan lingkugan hidup. Beliau mengatakan hanya teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani yang secara jelas memberikan kekuasaan kepada manusia untuk menghancurkan lingkungan (Pidyarto, 2011: 216-217). Teks yang dituduh oleh Lynn White adalah “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Kata yang dipersoalkan adalah kata “Taklukkanlah” dan “Berkuasalah”.
Terhadap tuduhan Lynn White, maka Ian G. Barbour menjelaskannya dengan bertitiktolak dari kata aslinya (Baca buku Ian G Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama [terj.], Bandung: Mizan Media Utama, 2005).
a. Kata “Taklukkanlah”
Kata ini dalam bahasa Ibraninya adalah “kabbasy” yang berarti “menjejak-jejak”. Kalau dilihat dari konteksnya Kej 1:1-2:4a, maka tidak mungkin mengartikan menjejak-jejak secara negatif seperti dalam Zak 9:15 (Tuhan semesta alam akan melindungi mereka, dan mereka akan menghabisinya dan menginjak-injak pengumpan-pengumpan). Arti sesungguhnya ialah “mengolah” seperti ungkapan mengusahakan dan memelihara dalam Kej 2:15.
b. Kata “Berkuasalah”
Kata Ibraninya adalah “raddah” yang berarti “menginjak-injak”, bandingkan (memeras anggur dalam Yoel 3:13, Ayunkanlah sabit, sebab sudah masak tuaian; marilah, iriklah, sebab sudah penuh tempat anggur; tempat-tempat pemerasan kelimpahan, sebab banyak kejahatan mereka). kalau melihat padanannya dalam Kej 2:15, kata kerja “berkuasa” (raddah) tidak dapat diartikan sebagai “menginjak-injak” karena dasar etimologinya bukan Yoel 3:13, tetapi dalam bahasa Akkad yakni “redum” yang berarti “mendampingi atau mengurus dengan baik”, kata ini lebih menjadi sebuah perintah untuk mengembalakan makhluk ciptaan lain.
Sangat jelas bahwa tuduhan Lynn White tidak berdasar. Hanya karena tidak ada padanan kata yang pas dalam terjemahannya membuat teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani dikambinghitamkan. Padahal yang ditonjolkan dari teks Kej 1:28 adalah peran manusia sebagai penjaga kelangsungan ekosistem. Peran manusia dalam teks ini dianalogikan sebagai seorang raja yang memelihara dan mewaliki Allah di dunia (Tafsir Kitab Kejadian, 1990:82).

3. Relasional “subjek-subjek” dan promosi etika lingkungan
Untuk merevitalisasi lingkungan hidup perlu adanya kesadaran yang muncul dari setiap individu. Kesadaran bahwa lingkungan hidup bisa hancur dan punah. Perlu juga kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan namun lingkungan bisa terus lestari tanpa manusia.
Pola relasi subjek-objek antara manusia dengan lingkungan hidup perlu dirubah. Karena pola semacam ini hanya melihat lingkungan sebagai sebuah materi yang bisa dimanfaatkan sesuka hati untuk melayani keserakahan hidup manusia. Maka pola yang harus dibangun adalah relasi subjek-subjek. Bukankah manusia diberi tanggung jawab oleh Allah untuk memelihara dan melestarikan kelangsungan ekosistem? Bagaimana kalau manusia tidak menjalankan tanggung jawabnya? Mgr. F.X. Hadisumarto dalam artikelnya Cahaya Kitab Suci atas Ekologi mengatakan bahwa Kitab Suci membuktikan bahwa setiap pelanggaran kehendak Allah (termasuk tidak menjalankan tanggung jawab) menimbulkan distorsi bukan hanya antara hubungan Allah dengan manusia, tetapi juga menghancurkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam (Hadisumarto, 2008:62).
Pelaku usaha juga harus memperhatikan kaidah-kaidah etika dalam bidang ekonomi dan bisnis. Beberapa tokoh berikut yang mencoba merubah pola relasi subjek-objek menjadi subjek-subjek antara manusia dan lingkungan hidup serta membangun etika lingkungan, antara lain: Aldo Leopold seorang profesor dan ahli ekologi dari Universitas Wisconsin mengagas “etika tanah” yang mengubah peran homo sapiens dari penakhluk komunitas tanah ke anggota biasa. Dengan menggajukan etika tanah, Leopold meyakinkan bahwa anggotanya akan mempertahankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik (J. Baird Callicott, 2003:30-31).
Garrett Hardin seorang profesor dari Universitas Harvard menulis sebuah artikel yang berjudul “The tragedy of the commons”. The commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduk. Biasanya the commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya. Namun pada abad ke-12 konsep ini di Inggris dihapuskan dan diganti nama enclosure (pemagaran). Dalam konteks lingkungan hidup, Hardin mengkritik privatisasi oleh kebijakan penguasa; lingkungan menjadi milik sekelompok orang (K. Bertens, 2000, 316-317). Dalam konteks kebijakan publik, pengampuh kebijakan harus berupaya agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan dan mengelola alam serta usaha reboisasi dan rehabilitasi ekosistem demi keberlangsungan lingkungan hidup.

4. Penutup
Persoalan lingkungan hidup sudah menjadi persoalan global. Cara pandang dan perbuatan manusia adalah penyebab utama dari rusaknya ekositem. Perubahan pola pikir dan tindakan bisa merevitalisasi lingkungan hidup. Manusia tidak bisa berdiam diri dari persoalan ini sebab manusia adalah tersangka utama perusakan lingkungan lewat nafsu serakahnya. Paus Paulus VI lewat surat Apostoliknya Octogesima Adveniens mengajak semua orang untuk memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang telah memberikan manusia perlindungan (OA, 1971, art. 21).
Seruan yang sama kemudian disuarakan lagi oleh Paus Fransiskus lewat ensikliknya Laudatio Si (2015), yang mengajak semua orang dan pemangku kebijakan untuk merawat bumi sebagai rumah bersama. Karena benarlah perkataan Michelangelo (1475-1564), “My soul can find no staircase to Heaven unless it be through Earth’s loveliness”.


Sumber Buku

A Sunarko & Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama [terj.]. Bandung: Mizan Media Utama, 2005.
Benny Phang & Valentinus (eds). Minum dari Sumber sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan. Malang: STFT Widya Sasana, 2011.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Boff, Leonardo. Cry of the Earth, Cry of the Poor, (terj.). Medan: Bina Media Perintis, 2008.
Francis, Pope. Encylical Letter Laudatio Si. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015.
Heron, Heronimus. “Membangun Spiritualitas yang Berwawasan Ekologis”. Dalam Felix Brilyandio & Heronimus Heron. Jurnal Ilmiah FORUM, XLII. No. 02. Malang: STFT Widya Sasana, 2014.
Huijbers, Theo. Manusia Merenungkan Dunianya. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Mery Evelyn Tucker & John A. Grim (eds.). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Paul, Pope VI. Apostolic Letter Octogesima Adveniens. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1971
Samosir, Leonardus. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam konteks wajah Allah bagi Dunia, Paradoks Salib dan Penderitaan, Pluralisme Agama, Relasionalitas Alam dan Makna Sejarah. Jakarta: Obor, 2010.
Tafsir Kitab Alkitab Masa Kini 1Kejadian-Ester. Berdasarkan Fakta-fakta sejarah Ilmiah. Yogyakarta: Kanisius, 1990.


Data Diri

Nama : Heronimus Heron
Tempat tanggal lahir : Boti, 12 Pebruari 1992
PMKRI Cabang : Santo Thomas Aquinas Yogyakarta
Keaggotaan : Anggota biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar