- Pengantar
Kehidupan
manusia dalam budaya sekuler tidak terlepas dari pelbagai macam kebutuhan. Alat-alat
pemuas kebutuhan diperlukan untuk
menunjang kehidupan. Keinginan menunjang kehidupan dapat membawa orang pada
hasrat untuk saling menguasai. Hasrat untuk mendominasi segala sesuatu dalam
masyarakat modern yang
tersistematisasi disebut sistem
kapitalis. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang mempunyai modal besar
dan dengan modalnya
dapat mengontrol perekonomian.
Perekonomian suatu negara yang kapitalistis berpotensi besar untuk menciptakan jurang pemisah antara pemilik modal dengan rakyat biasa. Kondisi semacam inilah yang melahirkan
masyarakat konsumtif; masyarakat yang mandul dan hanya menggunakan produk
buatan orang lain. Era konsumtif yang berkepanjangan
memperanakkan masyarakat konsumeris, yakni masyarakat yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan.[1]
Anggapan bahwa kepemilikan barang-barang mewah sebagai
ukuran kebahagiaan menciptakan
masyarakat dengan pelbagai “kelas sosial”. Adanya pelbagai “kelas sosial” dalam masyarakat
membuat pribadi manusia dinilai berdasarkan barang yang dimiliki;
bila demikian halnya maka tidak ada lagi penghargaan martabat manusia sebagai
ciptaan Tuhan. Manusia tiada ubahnya dengan sebuah boneka yang didandani dengan
pelbagai aksesoris menarik dan mahal yang dihargai, dikagumi, dihormati serta
diperjual belikan berdasarkan kenampakan luar yang melekat padanya.
Melihat
fenomena ini, penulis mencoba menyajikan gambaran pribadi manusia dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama. Berbekal pemahaman ini, penulis menyandingkannya dengan
kecenderungan manusia dalam budaya sekuler. Setelah kedua variabel ini diketahui dengan
jelas, penulis menawarkan beberapa upaya untuk beriman dalam budaya sekuler.
Terlalu menarikkah pelbagai tawaran dalam dunia ini? Benarkah manusia saat
ini sepenuhnya telah dibutakan oleh pelbagai macam “berhala”? Masih relevankah
beriman dalam budaya sekuler? Selamat menyimak!
- Manusia dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Gambaran
manusia dalam kisah penciptaan sungguh mulia. Manusia diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah (Kej 1:26); tidak ada ciptaan yang lebih mulia daripada
manusia.[2] Allah menciptakan manusia
sebagai puncak karya penciptaanNya (Kej 1:1-26), maka manusia
diberi kebebasan untuk menguasai makhluk ciptaan yang lain. Dalam
kebebasan dan keinginan untuk menguasai, manusia jatuh ke dalam dosa; manusia
mengingkari perjanjian dengan Allah. Pengingkaran perjanjian dengan Allah ini disebabkan
oleh hasrat untuk mendominasi dan menandingi Allah (Kej 3). Akibatnya
manusia jatuh dalam perpecahan dengan Allah dan sesama.[3] Kendati demikian, Allah tetap setia pada perjanjianNya.
Pengingkaran
perjanjian tersebut nyata
dalam gaya hidup bangsa Israel. Bangsa Israel adalah bangsa yang dipilih
oleh Allah sendiri menjadi umatNya. Tetapi karena kedegilan hatinya, bangsa
Israel seringkali berpaling kepada ilah-ilah lain. Dalam kisah penyelamatan
bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, kita telah memahami bagaimana Allah
sangat memandang dan memerhatikan mereka sehingga Allah berinisiatif untuk membebaskan mereka. Namun dalam situasi sulit, bangsa Israel tidak mengindahkan perjanjian yang telah mereka ikat dengan Allah; bangsa Israel berpaling kepada patung buatan tangannya sendiri dan menyembahnya (Kel
32:1-6).
Ketidaksetiaan
manusia pada perjanjian dengan Allah telah mengantar manusia pada perbudakan; manusia
diperbudak oleh sesamanya sendiri. Dalam Kitab nabi Amos ditunjukkan
bagaimana orang Israel berbuat jahat terhadap sesamanya. “Mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena
sepasang kasut. Mereka menginjak-injak kepala orang lemah dan membelokkan jalan
orang sengsara, anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar
kekudusan nama Tuhan” (Am 2:6-7).
Dalam
situasi penindasan oleh sesamanya, Allah mengutus para nabiNya untuk
menyadarkan orang Israel atas perbuatan dan pelanggaran yang telah mereka
lakukan terhadap sesama. Nabi Amos diutus untuk membangkitkan kaum tertindas
dengan janji keselamatan yang akan mereka terima dari Allah (Am 9:11-15). Nabi
Yeremia diutus untuk menyadarkan kembali orang Israel dari ibadah palsu yang
mereka persembahkan kepada Allah (Yer 7:22). Nabi Habakuk diutus untuk
memperingatkan orang Israel dari pengkhianatan kekayaan dan sikap rakus yang
mereka miliki dalam membangun kota dan kerajaan dengan cara memeras orang
miskin (Hab 2:6-19).[4]
Ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Israel telah menggeser dan bahkan merendahkan martabat sesamanya.
Sesama yang miskin dan lemah hanya dimanfaatkan untuk memuaskan keinginan diri
sendiri. Keserakahan dan sikap
acuh tak acuh telah menutup mata mereka
akan realitas kehidupan di luar mereka; kekudusan nama Allah dicemarkan
dengan berlaku tidak adil terhadap sesama. Ibadat palsu mereka lakukan untuk
menutupi tindakan mereka. Mereka menyangka dengan besarnya kurban yang mereka
persembahkan kepada Allah, dosa dan kesalahan mereka akan diampuni, padahal
yang Allah tuntut dari mereka adalah kesetiaan (Yer 7:21-28). Allah yang telah
membawa mereka keluar dari perbudakan tidak lagi mereka sembah. Mereka
berpaling dan menyembah dewa-dewa lain (Yer 7:30-31). Namun Allah senantiasa
memanggil mereka untuk kembali kepadaNya. Bangsa Israel diajak untuk berbalik kepada
Allah, bahkan mereka akan dikumpulkan ke tempat yang telah Allah pilih bagi
mereka (Neh 1:9). Mereka diajak untuk meninggalkan berhala dan hidup dalam
perjanjian dengan Allah.
- Manusia dalam Budaya Sekuler
Konsumerisme adalah salah satu
gejala masyarakat sekuler. Mentalitas ini sudah merambat sampai kepada masyarakat kelas bawah. Sebagai
contoh: Ketika ada alat komunikasi canggih terbaru, orang berlomba-lomba untuk membeli
barang tersebut. Barang tersebut
sebenarnya tidak terlalu penting dan mendesak untuk dibeli, tetapi karena ingin diakui sebagai anak zamannya maka barang
yang tidak penting dan
mendesak itu pun dibeli.
Tentu
ini adalah salah satu senjata kaum kapitalis untuk menguasai perekonomian
global. Prinsip dan cara kerja kaum
kapitalis melalui aktivitas riset ilmiah dan hukum alam yang berhasil ditemukan, dialihkan
menjadi prinsip, cara kerja, dan hukum untuk menata, mengelola masyarakat.[5]
Dengan pelbagai
penemuan, mereka menciptakan “kebutuhan-kebutuhan” palsu dalam masyarakat. Sistem kerja kaum
kapitalis sungguh genial karena mereka
berhasil mengkondisikan kebutuhan. Kebutuhan bukan lagi didasarkan pada skala prioritas, melainkan telah diciptakan; salah
satunya melalui imperium iklan.[6] Indikasinya, masyarakat berlomba-lomba membeli barang mewah yang dianggap sebagai
kebutuhan karena ingin diakui status sosialnya. Itulah salah satu gaya hidup masyarakat sekuler.[7]
Untuk
mengkokohkan status quo, kaum kapitalis menciptakan
pasar. Barang diciptakan dengan dalih untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat. Barang-barang tersebut dipasarkan kepada negara-negara yang baru berkembang dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan suatu negara. Padahal ambisi mereka adalah untuk melumpuhkan perekonomian Negara tersebut. Dengan sistem ini, lahirlah kesenjangan sosial-ekonomi antara negara satu dengan negara yang lain. Negara yang satu
semakin maju dan berkembang di segala bidang, sedangkan negara yang lain tetap
dalam pemiskinan serta pemelaratan.
Sistem kaum kapitalis ini telah melahirkan masyarakat yang konsumtif; mentalitas mereka hanyalah sebatas memproduksi, memasarkan, membeli dan mengkonsumsi.[8] Mereka berlomba-lomba
memproduksi suatu barang dengan kualitas tertentu. Setelah memproduksi,
mereka berlomba-lomba memasuki pasar untuk memasarkan produk mereka. Dalam
kelarutan mengikuti trend, masyarakat semakin terbuai untuk mengkonsumsi dan
bersaing menjadi yang ter-update.
Mentalitas semacam ini mengikis kepedulian dan kepekaan masyarakat
terhadap hal-hal lain di luar dirinya. Masyarakat telah membentengi diri dengan gaya hidup mereka. Mereka hanya
berelasi dengan orang sekelas mereka. Pribadi-pribadi yang lemah mereka
abaikan karena hanya mengganggu aktivitas mereka. Kehidupan
mewah dan kemakmuran dibayar dengan pemiskinan dan perbudakan.[9] Pribadi yang lemah semakin
lemah dan tertindas. Mereka hanya menjadi buruh upahan untuk menyokong kelas sosial yang lebih tinggi.
Masyarakat
seperti ini lambat laun pasti mengalami kekosongan batin, keretakan relasi sosial, ketamakan, ketidakadilan serta pengabaian terhadap sesama yang lemah.[10]
Kekosongan batin mereka alami karena mereka hanya mengejar hal-hal yang
memuaskan mereka sesaat. Mereka larut dalam kelimpahan materi, dihargai karena
penampilan mereka yang memukau mata, tetapi batin mereka hampa. Hidup mereka
hanya berpaut pada barang mewah, sedangkan batin mereka hidup dalam ketelanjangan.
Relasi sosial mereka menjadi rusak. Relasi mereka hanya sebatas menguntungkan.
Dalam relasi seperti ini
kualitas persahabatan ditentukan
oleh seberapa mewah dan berharganya barang-barang
yang dimiliki. Benda menjadi ukuran
kepercayaan. Persahabatan dengan
paradigma semacam ini tentunya tidak bisa dijalin bersama sesama yang miskin dan lemah. Sebab berelasi dengan sesama yang miskin dan lemah sama sekali tidak menguntungkan!
Yang miskin dan lemah semakin tersingkir dari dunia. Martabat yang miskin dan
lemah direndahkan. Mereka hanya
menjadi semacam manusia di mata sesamanya; pribadi lenyap, tergantikan oleh gemerlapnya
benda-benda.
Ketidakadilan
terjadi karena mereka menumpuk kekayaan untuk diri mereka sendiri. Kemewahan
dan kelimpahan harta telah menutup mata mereka terhadap yang miskin
dan lemah. Mereka yang miskin dan lemah hanya dimanfaatkan tenaganya untuk
mengokohkan status quo si penguasa. Mereka dipakai jika
diperlukan dan dihargai sebatas hasil kerja mereka. Jika mereka yang miskin dan
lemah tidak produktif maka sedapat mungkin dihindari. Demikianlah bentuk
pengabaian kaum kapitalis terhadap manusia di luar kelompok mereka; yakni orang yang hidup dalam kelemahan
dan kemiskinan.
- Menjadi Manusia Baru
Sikap hidup yang konsumtif telah
mengantar orang pada perbudakan dan pemiskinan. Orang-orang lemah telah menjadi
alat untuk membangun kehidupan pribadi. Pribadi yang lemah dan miskin tidak
dihargai; dalam
situasi seperti ini ternyata Allah mendengar jeritan mereka. Mereka menjerit,
memohon kebebasan dalam ketertindasan, maka Allah mengutus nabiNya untuk menyerukan keadilan bagi
bangsa yang menindas orang yang lemah.
"Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan
apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai
kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8).
Allah melalui nabi Mikha,[11] ingin menyadarkan bangsa
Israel dari tindakan mereka yang berlaku tidak adil terhadap mereka yang miskin. Seruan kepada bangsa Israel ini juga menjadi
seruan kepada para bangsa yang hidup dalam ketidakadilan kepada sesamanya.
Allah mengajak manusia untuk kembali kepadaNya, hidup dalam perjanjian dan
mencintai kesetiaan. Manusia telah lama memalingkan diri dari Allah dan hidup
dalam berhala yang menyengsarakan mereka. Allah membutuhkan pertobatan dari pihak
manusia dan mengakui keterbatasannya di hadapan Allah.
Nabi Yesaya diutus oleh Allah untuk
memperlihatkan perjanjian dan penghargaan terhadap martabat manusia.[12]
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka
belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau
memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau
memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin
yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau
memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih
dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan
belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab,
engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau
tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang
dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa
yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu
akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN
akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering,
dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan
baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan”. (Yes 58:6-11).
Melalui seruan nabi
Yesaya, Allah mengkritik ibadat palsu yang telah dilakukan oleh bangsa Israel. Allah mengajak mereka membuka semua belenggu
kelaliman dan melepaskan tali kuk agar mereka dapat membagikan makanan kepada
orang lemah dan memberikan suatu hal bagi sesama yang membutuhkan. Dengan berlaku demikian, Allah berkenan
dan mendengarkan jeritan mereka.
Bangsa Israel dipanggil untuk mengusahakan hidup baru dengan Allah dan
sesamanya. Hidup baru terwujud saat mereka mau melakukan hal-hal yang telah
diperintahkan oleh Allah. Dengan
cara seperti ini martabat orang lemah diangkat dan tidak ada lagi
penindasan serta perbudakan.
Ajakan seperti ini juga diberikan kepada masyarakat yang
konsumtif. Benny Phang memberikan tuntunan untuk menemukan kembali pribadi yang
hilang, yakni memperkaya kehidupan
rohani, memperkuat relasi antar pribadi, senantiasa mengusahakan sikap hidup ugahari, serta membangun
kepekaan batin untuk merangkul sesama
yang lemah.[13]
Kekayaan hidup rohani hendaknya semakin diperkaya dari hari ke hari sehingga kekosongan batin
dapat dielakkan. Hal ini dapat diusahakan dengan cara memerhatikan
asupan rohani; hendaknya hanya hal-hal yang dapat mempererat relasi dengan
Tuhan-lah yang diperjuangkan. Relasi antar pribadi hendaknya semakin
diperkuat. Relasi yang senantiasa diperjuangkan tersebut
sebaiknya tidak lagi hanya sebatas
menguntungkan, tetapi benar-benar tumbuh dari kedalaman diri dan
membangun sikap saling menerima. Martin Buber mengambarkannya dalam relasi I-Thou. Relasi yang dibangun atas dasar penghargaan terhadap pribadi lain. Barang milik pribadi tidak lagi didewakan sebab hal tersebut hanyalah buatan tangan manusia yang tidak dapat menggantikan keluhuran pribadi manusia. Dengan
demikian, penghargaan terhadap keluhuran pribadi sesama yang lemah sangat
kentara. Sesama yang lemah tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan sebagai
sesama yang membutuhkan bantuan dan perhatian manusia yang berkelimpahan.
Ketika kita hidup dalam perjanjian dengan Allah dan
pemulihan martabat manusia, manusia tidak lagi dinilai sebagai sebuah benda. Dalam gaya hidup semacam ini terjalin relasi kasih.
Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (DC 16). Karena relasi kasih dapat
mengatasi kekosongan batin,
keretakan relasi, kerakusan, ketidakadilan, serta sikap acuh tak acuh terhadap
sesama yang lemah. Dengan menjalin
relasi kasih terhadap sesama, kita dapat melihat yang miskin dan tertindas sebagai saudara. Bisa
jadi, kemiskinan dan
ketertindasan mereka disebabkan oleh tindakan kita yang
terlalu rakus. Kita terlalu
mementingkan diri sendiri dan kekayaan sendiri tanpa pernah mau berbagi dengan
orang lain. Hanya dengan kekuatan relasi kasih yang bersumber dari Sang Kasih,
kita dapat merangkul sesama yang miskin dan tertindas.
Kekuatan
ekonomi yang menjadi penghambat penghargaan terhadap martabat manusia dapat dikendalikan
oleh manusia (GS 65). Kekuatan ekonomi itu sendiri diciptakan oleh manusia
dalam rangka menunjang kehidupan agar lebih baik. Namun karena keserakahan dan sikap acuh tak acuh, manusia menjadi “lupa” bahwa hal-hal yang diciptakannya
tersebut memengaruhi dan mengontrol hidupnya; manusia menjadi budak dari
barang-barang yang telah diciptanya tersebut. Sikap seperti ini harus kita sadari sebab kalau tidak maka kita
bisa jatuh pada pemujaan berhala. Mungkin kita mengira bahwa pemujaan berhala
itu hanya berkaitan dengan hidup religius ketika orang menyembah dewa-dewa lain
selain Allah. Namun kita lupa bahwa ketika kita mendewa-dewakan barang mewah
yang kita punya dan mengabaikan orang lemah, kita telah memuja berhala; sesama yang miskin dan lemah adalah representasi diri Allah.
- Penutup
Untuk
membangun kehidupan yang dilandaskan pada iman dalam budaya sekuler, kita harus kembali kepada dasar hidup kita yakni manusia sebagai citra Allah. Kita harus menyadari arti luhur dari harkat dan
martabat
manusia di hadapan Allah. Di
hadapan Allah tidak ada kata “saya” dan “kamu”, yang ada hanyalah “kita”. Kita
sebagai sebagai representasi diri Allah; Allah yang hadir dalam pribadi-pribadi.
Kesadaran
ini hendaknya senantiasa dihidupi agar jangan sampai disilaukan oleh gemerlapnya tawaran budaya sekuler. Jika kesadaran
ini hilang,
maka relasi antar manusia tiada ubahnya dengan
relasi subjek-objek. Ironisnya, hal inilah yang terjadi dalam budaya sekuler; masyarakat yang konsumeris.
Kita melupakan keluhuran harkat dan martabat manusia dan seolah-olah pribadi
lain diciptakan untuk menyokong kehidupan kita, dan akibatnya kita
memperlakukan pribadi lain sebagai benda.
Dalam budaya sekuler yang
memperlakukan pribadi lain sebagai sebuah benda, kita sebagai murid Kristus
diajak untuk kembali melihat dan menyadari arti hidup sebagai citra Allah. Kita
harus melakukan counter culture dan
menjadikan diri kita sebagai teladan hidup. Untuk membangun sikap seperti ini,
kita harus belajar dari hidup Yesus.
Teladan hidup Yesus memberikan arahan bagaimana membangun sikap di tengah budaya yang menilai orang sakit dan lemah sebagai batu sandungan dalam masyarakat; dalam budaya semacam ini, Yesus justru bertindak sebaliknya. Ia mengulurkan tangan dan merangkul mereka. Sehingga dengan tindakanNya tersebut, bukan hanya penyakit fisik yang disembuhkan melainkan juga penyakit rohani (penolakan dari masyarakat). Ketika hukum mewajibkan hukuman yang setimpal, mata ganti mata dan gigi ganti gigi, Yesus justru bertindak sebaliknya memaafkan orang yang bersalah dan memberikan pipi kiri jika ada yang menampar pipi kanan (Mat 5:38-39). Tindakan ini bukan tanda kelemahan diri tetapi ini adalah tindakan cinta kasih kepada sesama yang meniadakan batas-batas pembalasan.[14] Kita diajak untuk meneladan sikap hidup Yesus dan pada akhirnya kita dapat membangun hidup di atas dasar penghargaan martabat pribadi-pribadi lain. Ketika kita mampu hidup di atas dasar penghargaan martabat pribadi-pribadi lain, di situlah kita merealisasikan kehidupan iman kita kepada Allah. Bila demikian halnya tentulah beriman dalam budaya sekuler masih sangat relevan.
(heronimus heron. Pernah saya muat di jurnal ilmiah kampus FORUM STFT Widya Sasana. Thn XLI No. 2/2013).
Daftar Pustaka
Ajaran
Sosial Gereja tahun 1891-1991. Terj. R.
Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI. 1999.
De Heer, Drs. J.J. Injil
Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-11 tahun 2011.
Deus
Caritas Est. Terj. Piet Go.
Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan Konfrensi WaliGereja Indonesia.
2006.
F. Kavanaugh, John. Following Christ in a Consumer Society. New York: Orbit Books.
2006.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Penyusun Anton M. Moeliono dkk. Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Lembaga Biblika Indonesia. Injil
Matius. Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-3 tahun 1986.
Phang, Benny. Hidup dalam
Botol Parfum Refleksi atas Gaya Hidup Konsumtif, dalam Majalah Bulanan
Kristiani “Inspirasi” Nomor 103 Tahun IX Maret 2013.
Saeng, Valentinus. Herbert
Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2012.
Valentinus. Menyibak
Selubung Ideologi Kapitalis dalam Imperium Iklan. Yogyakarta: Kanisius.
2011.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal 90
[5] Valentinus Saeng, Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012, hal 193
[6] Valentinus, Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis dalam
Imperium Iklan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal 113
[8] Benny Phang, Hidup dalam Botol Parfum Refleksi atas Gaya
Hidup Konsumtif, sebuah artikel dalam Majalah Inspirasi Nomor 103 Tahun IX
Maret 2013, hal
16
[12] Ibid.
[14] Lembaga Biblika
Indonesia, Injil Matius, Yogyakarta:
Kanisius, cetakan ke-3 tahun 1986, hal
57 Bdk. Drs. J.J. de Heer, Injil Matius
Pasal 1-22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-11 tahun 2011, hlm. 89.
Siapa yang menampar pipi kananmu (suatu penghinaan besar di antara orang
Yahudi), berikanlah juga kepadanya pipi kirimu. Itu contoh kesabaran dan kasih
yang mungkin mengharukan dan memperbaiki penjahat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar