Rabu, 02 Juli 2014

Kemanusiaan Diambang Batas Manusia





  1. Pengantar
Kehidupan manusia dalam budaya sekuler tidak terlepas dari pelbagai macam kebutuhan. Alat-alat pemuas kebutuhan diperlukan untuk menunjang kehidupan. Keinginan menunjang kehidupan dapat membawa orang pada hasrat untuk saling menguasai. Hasrat untuk mendominasi segala sesuatu dalam masyarakat modern yang tersistematisasi disebut sistem kapitalis. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang mempunyai modal besar dan dengan modalnya dapat mengontrol perekonomian.
Perekonomian suatu negara yang kapitalistis berpotensi besar untuk menciptakan jurang pemisah antara pemilik modal dengan rakyat biasa. Kondisi semacam inilah yang melahirkan masyarakat konsumtif; masyarakat yang mandul dan hanya menggunakan produk buatan orang lain. Era konsumtif yang berkepanjangan memperanakkan masyarakat konsumeris, yakni masyarakat yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan.[1]
Anggapan bahwa kepemilikan barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan menciptakan masyarakat dengan pelbagai kelas sosial. Adanya pelbagai kelas sosial dalam masyarakat membuat pribadi manusia dinilai berdasarkan barang yang dimiliki; bila demikian halnya maka tidak ada lagi penghargaan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia tiada ubahnya dengan sebuah boneka yang didandani dengan pelbagai aksesoris menarik dan mahal yang dihargai, dikagumi, dihormati serta diperjual belikan berdasarkan kenampakan luar yang melekat padanya.  
Melihat fenomena ini, penulis mencoba menyajikan gambaran pribadi manusia dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Berbekal pemahaman ini, penulis menyandingkannya dengan kecenderungan manusia dalam budaya sekuler. Setelah kedua variabel ini diketahui dengan jelas, penulis menawarkan beberapa upaya untuk beriman dalam budaya sekuler.
Terlalu menarikkah pelbagai tawaran dalam dunia ini? Benarkah manusia saat ini sepenuhnya telah dibutakan oleh pelbagai macam “berhala”? Masih relevankah beriman dalam budaya sekuler? Selamat menyimak!



  1. Manusia dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Gambaran manusia dalam kisah penciptaan sungguh mulia. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26); tidak ada ciptaan yang lebih mulia daripada manusia.[2] Allah menciptakan manusia sebagai puncak karya penciptaanNya (Kej 1:1-26), maka manusia diberi kebebasan untuk menguasai makhluk ciptaan yang lain. Dalam kebebasan dan keinginan untuk menguasai, manusia jatuh ke dalam dosa; manusia mengingkari perjanjian dengan Allah. Pengingkaran perjanjian dengan Allah ini disebabkan oleh hasrat untuk mendominasi dan menandingi Allah (Kej 3). Akibatnya manusia jatuh dalam perpecahan dengan Allah dan sesama.[3] Kendati demikian, Allah tetap setia pada perjanjianNya.
Pengingkaran perjanjian tersebut nyata dalam gaya hidup bangsa Israel. Bangsa Israel adalah bangsa yang dipilih oleh Allah sendiri menjadi umatNya. Tetapi karena kedegilan hatinya, bangsa Israel seringkali berpaling kepada ilah-ilah lain. Dalam kisah penyelamatan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, kita telah memahami bagaimana Allah sangat memandang dan memerhatikan mereka sehingga Allah berinisiatif untuk membebaskan mereka. Namun dalam situasi sulit, bangsa Israel tidak mengindahkan perjanjian yang telah mereka ikat dengan Allah; bangsa Israel berpaling kepada patung buatan tangannya sendiri dan menyembahnya (Kel 32:1-6).
Ketidaksetiaan manusia pada perjanjian dengan Allah telah mengantar manusia pada perbudakan; manusia diperbudak oleh sesamanya sendiri. Dalam Kitab nabi Amos ditunjukkan bagaimana orang Israel berbuat jahat terhadap sesamanya. “Mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut. Mereka menginjak-injak kepala orang lemah dan membelokkan jalan orang sengsara, anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama Tuhan” (Am 2:6-7).
Dalam situasi penindasan oleh sesamanya, Allah mengutus para nabiNya untuk menyadarkan orang Israel atas perbuatan dan pelanggaran yang telah mereka lakukan terhadap sesama. Nabi Amos diutus untuk membangkitkan kaum tertindas dengan janji keselamatan yang akan mereka terima dari Allah (Am 9:11-15). Nabi Yeremia diutus untuk menyadarkan kembali orang Israel dari ibadah palsu yang mereka persembahkan kepada Allah (Yer 7:22). Nabi Habakuk diutus untuk memperingatkan orang Israel dari pengkhianatan kekayaan dan sikap rakus yang mereka miliki dalam membangun kota dan kerajaan dengan cara memeras orang miskin (Hab 2:6-19).[4]
Ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Israel telah menggeser dan bahkan merendahkan martabat sesamanya. Sesama yang miskin dan lemah hanya dimanfaatkan untuk memuaskan keinginan diri sendiri. Keserakahan dan sikap acuh tak acuh telah menutup mata mereka akan realitas kehidupan di luar mereka; kekudusan nama Allah dicemarkan dengan berlaku tidak adil terhadap sesama. Ibadat palsu mereka lakukan untuk menutupi tindakan mereka. Mereka menyangka dengan besarnya kurban yang mereka persembahkan kepada Allah, dosa dan kesalahan mereka akan diampuni, padahal yang Allah tuntut dari mereka adalah kesetiaan (Yer 7:21-28). Allah yang telah membawa mereka keluar dari perbudakan tidak lagi mereka sembah. Mereka berpaling dan menyembah dewa-dewa lain (Yer 7:30-31). Namun Allah senantiasa memanggil mereka untuk kembali kepadaNya. Bangsa Israel diajak untuk berbalik kepada Allah, bahkan mereka akan dikumpulkan ke tempat yang telah Allah pilih bagi mereka (Neh 1:9). Mereka diajak untuk meninggalkan berhala dan hidup dalam perjanjian dengan Allah.  

  1. Manusia dalam Budaya Sekuler
Konsumerisme adalah salah satu gejala masyarakat sekuler. Mentalitas ini sudah merambat sampai kepada masyarakat kelas bawah. Sebagai contoh: Ketika ada alat komunikasi canggih terbaru, orang berlomba-lomba untuk membeli barang tersebut. Barang tersebut sebenarnya tidak terlalu penting dan mendesak untuk dibeli, tetapi karena ingin diakui sebagai anak zamannya maka barang yang tidak penting dan mendesak itu pun dibeli.
Tentu ini adalah salah satu senjata kaum kapitalis untuk menguasai perekonomian global. Prinsip dan cara kerja kaum kapitalis melalui aktivitas riset ilmiah dan hukum alam yang berhasil ditemukan, dialihkan menjadi prinsip, cara kerja, dan hukum untuk menata, mengelola masyarakat.[5] Dengan pelbagai penemuan, mereka menciptakan kebutuhan-kebutuhan” palsu dalam masyarakat. Sistem kerja kaum kapitalis sungguh genial karena mereka berhasil mengkondisikan kebutuhan. Kebutuhan bukan lagi didasarkan pada skala prioritas, melainkan telah diciptakan; salah satunya melalui imperium iklan.[6] Indikasinya, masyarakat berlomba-lomba membeli barang mewah yang dianggap sebagai kebutuhan karena ingin diakui status sosialnya. Itulah salah satu gaya hidup masyarakat sekuler.[7]
Untuk mengkokohkan status quo, kaum kapitalis menciptakan pasar. Barang diciptakan dengan dalih untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat. Barang-barang tersebut dipasarkan kepada negara-negara yang baru berkembang dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan suatu negara. Padahal ambisi mereka adalah untuk melumpuhkan perekonomian Negara tersebut. Dengan sistem ini, lahirlah kesenjangan sosial-ekonomi antara negara satu dengan negara yang lain. Negara yang satu semakin maju dan berkembang di segala bidang, sedangkan negara yang lain tetap dalam pemiskinan serta pemelaratan.
Sistem kaum kapitalis ini telah melahirkan masyarakat yang konsumtif; mentalitas mereka hanyalah sebatas memproduksi, memasarkan, membeli dan mengkonsumsi.[8] Mereka berlomba-lomba memproduksi suatu barang dengan kualitas tertentu. Setelah memproduksi, mereka berlomba-lomba memasuki pasar untuk memasarkan produk mereka. Dalam kelarutan mengikuti trend, masyarakat semakin terbuai untuk mengkonsumsi dan bersaing menjadi yang ter-update.
Mentalitas semacam ini mengikis kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap hal-hal lain di luar dirinya. Masyarakat telah membentengi diri dengan gaya hidup mereka. Mereka hanya berelasi dengan orang sekelas mereka. Pribadi-pribadi yang lemah mereka abaikan karena hanya mengganggu aktivitas mereka. Kehidupan mewah dan kemakmuran dibayar dengan pemiskinan dan perbudakan.[9] Pribadi yang lemah semakin lemah dan tertindas. Mereka hanya menjadi buruh upahan untuk menyokong kelas sosial yang lebih tinggi.
Masyarakat seperti ini lambat laun pasti mengalami kekosongan batin, keretakan relasi sosial, ketamakan, ketidakadilan serta pengabaian terhadap sesama yang lemah.[10] Kekosongan batin mereka alami karena mereka hanya mengejar hal-hal yang memuaskan mereka sesaat. Mereka larut dalam kelimpahan materi, dihargai karena penampilan mereka yang memukau mata, tetapi batin mereka hampa. Hidup mereka hanya berpaut pada barang mewah, sedangkan batin mereka hidup dalam ketelanjangan. Relasi sosial mereka menjadi rusak. Relasi mereka hanya sebatas menguntungkan. Dalam relasi seperti ini kualitas persahabatan ditentukan oleh seberapa mewah dan berharganya barang-barang yang dimiliki. Benda menjadi ukuran kepercayaan. Persahabatan dengan paradigma semacam ini tentunya tidak bisa dijalin bersama sesama yang miskin dan lemah. Sebab berelasi dengan sesama yang miskin dan lemah sama sekali tidak menguntungkan! Yang miskin dan lemah semakin tersingkir dari dunia. Martabat yang miskin dan lemah direndahkan. Mereka hanya menjadi semacam manusia di mata sesamanya; pribadi lenyap, tergantikan oleh gemerlapnya benda-benda.
Ketidakadilan terjadi karena mereka menumpuk kekayaan untuk diri mereka sendiri. Kemewahan dan kelimpahan harta telah menutup mata mereka terhadap yang miskin dan lemah. Mereka yang miskin dan lemah hanya dimanfaatkan tenaganya untuk mengokohkan status quo si penguasa. Mereka dipakai jika diperlukan dan dihargai sebatas hasil kerja mereka. Jika mereka yang miskin dan lemah tidak produktif maka sedapat mungkin dihindari. Demikianlah bentuk pengabaian kaum kapitalis terhadap manusia di luar kelompok mereka; yakni orang yang hidup dalam kelemahan dan kemiskinan.

  1. Menjadi Manusia Baru
Sikap hidup yang konsumtif telah mengantar orang pada perbudakan dan pemiskinan. Orang-orang lemah telah menjadi alat untuk membangun kehidupan pribadi. Pribadi yang lemah dan miskin tidak dihargai; dalam situasi seperti ini ternyata Allah mendengar jeritan mereka. Mereka menjerit, memohon kebebasan dalam ketertindasan, maka Allah mengutus nabiNya untuk menyerukan keadilan bagi bangsa yang menindas orang yang lemah.
"Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8).
Allah melalui nabi Mikha,[11] ingin menyadarkan bangsa Israel dari tindakan mereka yang berlaku tidak adil terhadap mereka yang miskin. Seruan kepada bangsa Israel ini juga menjadi seruan kepada para bangsa yang hidup dalam ketidakadilan kepada sesamanya. Allah mengajak manusia untuk kembali kepadaNya, hidup dalam perjanjian dan mencintai kesetiaan. Manusia telah lama memalingkan diri dari Allah dan hidup dalam berhala yang menyengsarakan mereka. Allah membutuhkan pertobatan dari pihak manusia dan mengakui keterbatasannya di hadapan Allah.
Nabi Yesaya diutus oleh Allah untuk memperlihatkan perjanjian dan penghargaan terhadap martabat manusia.[12]
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan”. (Yes 58:6-11).
Melalui seruan nabi Yesaya, Allah mengkritik ibadat palsu yang telah dilakukan oleh bangsa Israel. Allah mengajak mereka membuka semua belenggu kelaliman dan melepaskan tali kuk agar mereka dapat membagikan makanan kepada orang lemah dan memberikan suatu hal bagi sesama yang membutuhkan. Dengan berlaku demikian, Allah berkenan dan mendengarkan jeritan mereka.
Bangsa Israel dipanggil untuk mengusahakan hidup baru dengan Allah dan sesamanya. Hidup baru terwujud saat mereka mau melakukan hal-hal yang telah diperintahkan oleh Allah. Dengan cara seperti ini martabat orang lemah diangkat dan tidak ada lagi penindasan serta perbudakan.
Ajakan seperti ini juga diberikan kepada masyarakat yang konsumtif. Benny Phang memberikan tuntunan untuk menemukan kembali pribadi yang hilang, yakni memperkaya kehidupan rohani, memperkuat relasi antar pribadi, senantiasa mengusahakan sikap hidup ugahari, serta membangun kepekaan batin untuk merangkul sesama yang lemah.[13]
Kekayaan hidup rohani hendaknya semakin diperkaya dari hari ke hari sehingga kekosongan batin dapat dielakkan. Hal ini dapat diusahakan dengan cara memerhatikan asupan rohani; hendaknya hanya hal-hal yang dapat mempererat relasi dengan Tuhan-lah yang diperjuangkan. Relasi antar pribadi hendaknya semakin diperkuat. Relasi yang senantiasa diperjuangkan tersebut sebaiknya tidak lagi hanya sebatas menguntungkan, tetapi benar-benar tumbuh dari kedalaman diri dan membangun sikap saling menerima. Martin Buber mengambarkannya dalam relasi I-Thou. Relasi yang dibangun atas dasar penghargaan terhadap pribadi lain. Barang milik pribadi tidak lagi didewakan sebab hal tersebut hanyalah buatan tangan manusia yang tidak dapat menggantikan keluhuran pribadi manusia. Dengan demikian, penghargaan terhadap keluhuran pribadi sesama yang lemah sangat kentara. Sesama yang lemah tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan sebagai sesama yang membutuhkan bantuan dan perhatian manusia yang berkelimpahan.
            Ketika kita hidup dalam perjanjian dengan Allah dan pemulihan martabat manusia, manusia tidak lagi dinilai sebagai sebuah benda. Dalam gaya hidup semacam ini terjalin relasi kasih. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (DC 16). Karena relasi kasih dapat mengatasi kekosongan batin, keretakan relasi, kerakusan, ketidakadilan, serta sikap acuh tak acuh terhadap sesama yang lemah. Dengan menjalin relasi kasih terhadap sesama, kita dapat melihat yang miskin dan tertindas sebagai saudara. Bisa jadi, kemiskinan dan ketertindasan mereka disebabkan oleh tindakan kita yang terlalu rakus. Kita terlalu mementingkan diri sendiri dan kekayaan sendiri tanpa pernah mau berbagi dengan orang lain. Hanya dengan kekuatan relasi kasih yang bersumber dari Sang Kasih, kita dapat merangkul sesama yang miskin dan tertindas.
Kekuatan ekonomi yang menjadi penghambat penghargaan terhadap martabat manusia dapat dikendalikan oleh manusia (GS 65). Kekuatan ekonomi itu sendiri diciptakan oleh manusia dalam rangka menunjang kehidupan agar lebih baik. Namun karena keserakahan dan sikap acuh tak acuh, manusia menjadi lupa bahwa hal-hal yang diciptakannya tersebut memengaruhi dan mengontrol hidupnya; manusia menjadi budak dari barang-barang yang telah diciptanya tersebut. Sikap seperti ini harus kita sadari sebab kalau tidak maka kita bisa jatuh pada pemujaan berhala. Mungkin kita mengira bahwa pemujaan berhala itu hanya berkaitan dengan hidup religius ketika orang menyembah dewa-dewa lain selain Allah. Namun kita lupa bahwa ketika kita mendewa-dewakan barang mewah yang kita punya dan mengabaikan orang lemah, kita telah memuja berhala; sesama yang miskin dan lemah adalah representasi diri Allah.

  1. Penutup
Untuk membangun kehidupan yang dilandaskan pada iman dalam budaya sekuler, kita harus kembali kepada dasar hidup kita yakni manusia sebagai citra Allah. Kita harus menyadari arti luhur dari harkat dan martabat manusia di hadapan Allah. Di hadapan Allah tidak ada kata “saya” dan “kamu”, yang ada hanyalah “kita”. Kita sebagai sebagai representasi diri Allah; Allah yang hadir dalam pribadi-pribadi.
Kesadaran ini hendaknya senantiasa dihidupi agar jangan sampai disilaukan oleh gemerlapnya tawaran budaya sekuler. Jika kesadaran ini hilang, maka relasi antar manusia tiada ubahnya dengan relasi subjek-objek. Ironisnya, hal inilah yang terjadi dalam budaya sekuler; masyarakat yang konsumeris. Kita melupakan keluhuran harkat dan martabat manusia dan seolah-olah pribadi lain diciptakan untuk menyokong kehidupan kita, dan akibatnya kita memperlakukan pribadi lain sebagai benda.
Dalam budaya sekuler yang memperlakukan pribadi lain sebagai sebuah benda, kita sebagai murid Kristus diajak untuk kembali melihat dan menyadari arti hidup sebagai citra Allah. Kita harus melakukan counter culture dan menjadikan diri kita sebagai teladan hidup. Untuk membangun sikap seperti ini, kita harus belajar dari hidup Yesus.

Teladan hidup Yesus memberikan arahan bagaimana membangun sikap di tengah budaya yang menilai orang sakit dan lemah sebagai batu sandungan dalam masyarakat; dalam budaya semacam ini, Yesus justru bertindak sebaliknya. Ia mengulurkan tangan dan merangkul mereka. Sehingga dengan tindakanNya tersebut, bukan hanya penyakit fisik yang disembuhkan melainkan juga penyakit rohani (penolakan dari masyarakat). Ketika hukum mewajibkan hukuman yang setimpal, mata ganti mata dan gigi ganti gigi, Yesus justru bertindak sebaliknya memaafkan orang yang bersalah dan memberikan pipi kiri jika ada yang menampar pipi kanan (Mat 5:38-39). Tindakan ini bukan tanda kelemahan diri tetapi ini adalah tindakan cinta kasih kepada sesama yang meniadakan batas-batas pembalasan.[14] Kita diajak untuk meneladan sikap hidup Yesus dan pada akhirnya kita dapat membangun hidup di atas dasar penghargaan martabat pribadi-pribadi lain. Ketika kita mampu hidup di atas dasar penghargaan martabat pribadi-pribadi lain, di situlah kita merealisasikan kehidupan iman kita kepada Allah. Bila demikian halnya tentulah beriman dalam budaya sekuler masih sangat relevan. 
(heronimus heron. Pernah saya muat di jurnal ilmiah kampus FORUM STFT Widya Sasana. Thn XLI No. 2/2013).


Daftar Pustaka
Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI. 1999.
De Heer, Drs. J.J. Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-11 tahun 2011.
Deus Caritas Est. Terj. Piet Go. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan Konfrensi WaliGereja Indonesia. 2006.
F. Kavanaugh, John. Following Christ in a Consumer Society. New York: Orbit Books. 2006.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Penyusun Anton M. Moeliono dkk. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Lembaga Biblika Indonesia. Injil Matius. Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-3 tahun 1986.
Phang, Benny. Hidup dalam Botol Parfum Refleksi atas Gaya Hidup Konsumtif, dalam Majalah Bulanan Kristiani “Inspirasi” Nomor 103 Tahun IX Maret 2013.
Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2012.
Valentinus. Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis dalam Imperium Iklan. Yogyakarta: Kanisius. 2011.














[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
[2] John F. Kavanaugh, Following Christ in a Consumer Society, New York: Orbit Books, 2006, hal 89
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal 90
[5] Valentinus Saeng, Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012, hal 193
[6] Valentinus, Menyibak Selubung Ideologi Kapitalis dalam Imperium Iklan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal 113
[7] John F. Kavanaugh, Op cit., hal 4
[8] Benny Phang, Hidup dalam Botol Parfum Refleksi atas Gaya Hidup Konsumtif, sebuah artikel dalam Majalah Inspirasi Nomor 103 Tahun IX Maret 2013, hal 16
[9] Valentinus Saeng, Op cit, hal 241
[10] John F. Kavanaugh, Op cit, hal 5-24. Bdk. Benny Phang, Op cit, hal 16-17
[11] Ibid., hal 90
[12] Ibid.
[13] Benny Phang, Op cit, hal 17-18
[14] Lembaga Biblika Indonesia, Injil Matius, Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-3 tahun 1986, hal 57 Bdk. Drs. J.J. de Heer, Injil Matius Pasal 1-22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-11 tahun 2011, hlm. 89. Siapa yang menampar pipi kananmu (suatu penghinaan besar di antara orang Yahudi), berikanlah juga kepadanya pipi kirimu. Itu contoh kesabaran dan kasih yang mungkin mengharukan dan memperbaiki penjahat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar