Rabu, 02 Juli 2014

Belajar



Belajar
Mendengar kata belajar, apa yang terlintas dipikiran kita? Apakah pikiran kita mengarah kepada sekelompok orang muda atau pun dewasa yang berada dalam satu ruangan untuk menimba ilmu, atau setiap aktivitas yang dilalui oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu tugas? Mari kita melihat arti belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kelanjutan dari setiap proses belajar yang kita jalani seperti ajakan Seneca kepada muridnya Lucius.
Belajar menurut KBBI, ada tiga arti yang diajukan. Pertama, berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; Kedua, berlatih; Sedangkan yang ketiga, berubah tingkahlaku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Mari kita membahas arti pertama terlebih dahulu. Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menimba ilmu dan biasanya di dalam kelas. Di dalam kelas seorang siswa-siswi dapat belajar dari seorang guru dan memanfaatkan fasilitas penunjang yang ada. Dalam proses belajar hendaknya siswa dilibatkan secara aktif, karena siswa merupakan subjek dari ilmu pengetahuan dan ia bukan objek. Perlu juga diperhatikan kecakapan masing-masing siswa, sebab setiap siswa mempunyai daya nalar yang berbeda dan ada baiknya guru menjelaskan materi secara terperinci supaya siswa dapat memahami setiap materi yang diberikan. Setelah memahami dan mengerti materi dengan baik, siswa dapat menjadikan materi pelajaran itu sebagai miliknya dan memasuki arti yang kedua.
Arti yang kedua adalah berlatih. Berlatih adalah kelanjutan dari proses belajar yang telah dilakukan oleh siswa di dalam kelas. Melalui kegiatan latihan, siswa dapat mempraktekkan ilmu yang telah ia terima dan ia pelajari di dalam kelas. Dengan mempraktekkan ilmu dengan latihan, siswa dapat menjadi seorang manusia profesional. Keprofesionalan itu dapat membawa siswa kepada arti belajar yang ketiga.
Arti yang ketiga adalah berubah tingkahlaku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Sebagai seorang siswa kita seharusnya sampai kepada arti belajar yang ketiga ini. Kita belajar untuk mendapatkan kepandaian ilmu, kepandaian ilmu yang kita peroleh juga disertai dengan suatu usaha dan latihan. Latihan yang kita jalani dengan segala usaha dapat menjadikan kita sebagai manusia terampil. Dengan menjadi manusia terampil, kita dapat merubah tinggkahlaku kita, mengubah hidup kita. Setelah hidup kita diubah oleh proses kita belajar, seharusnya kita mempunyai disposisi batin untuk mengoreksi hidup yang kita jalani dari pengalaman yang telah kita miliki untuk memasuki sebuah kehidupan yang lebih baik. Inilah yang disebut oleh Seneca, seorang filosof yang hidup pada abad ke-4 SM dalam suratnya kepada Lucius “Non Scholae, Sed Vitae Discimus” Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup (Pandor 2010:93).
Dalam suratnya ini, Seneca mengingatkan Lucius untuk memperhatikan pendidikan yang ia jalani. Ajakan Seneca kepada Lucius membawa kita berlayar lebih jauh mengarungi samudera pemahaman yaitu bahwa kita belajar bukan hanya untuk sebuah prestasi, sebuah nilai, tetapi untuk hidup. Karena kita belajar membentuk suatu habitus, suatu kebiasaan. Jika habitus yang kita hidupi selama belajar adalah baik yaitu rajin belajar, aktif, tidak mudah menyerah, maka kita akan menjadi manusia mempunyai daya juang yang tinggi dalam menjalani hidup yang akan kita lalui. Tetapi sebaliknya jika kita menjadi orang yang tidak mau belajar, tidak mau berusaha, maka kita akan menjadi manusia yang hanya menginginkan sebuah hasil tetapi tidak peduli proses seperti apa yang kita lalui. Kalau sikap seperti ini yang kita hidupi, maka masa depan kita akan hancur dan mungkin bangsa kita akan hancur oleh karena habitus seperti ini.
Mari kita memulai habitus yang baik, belajarlah dengan rajin sertailah Tuhan dalam setiap langkah hidupmu dan gantunglah cita-citamu setinggi bintang di langit dan raihlah itu melalui langkah pertamamu di sekolah. Setiap tujuan yang besar selalu dimulai dengan satu langkah pertama. Mari melangkah untuk menggapai impian dan meraih masa depan. Jadikanlah dirimu seperti matahari yang selalu memberikan sinarnya kepada dunia. Dunia menunggu orang jujur dan mempunyai daya juang sepertimu. (Heronimus Heron- ys- Tulisan ini pernah saya muat di Majalah Duta).


Politik



Politik

Politik menurut KBBI, artinya telah dipersempit, yang hanya menyangkut pengetahuan tentang ketatanegaraan dan tindakan dalam segala urusan kenegaraan. Tetapi politik tidak hanya sebatas itu. Politik berasal dari bahasa Yunani politikos (menyangkut warga negara), dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan politics. Dari akar kata politikos itu mendapat kata turunan yaitu polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), politeia (kewarganegaraan).
Aristoteles adalah seorang filsuf klasik yang sudah bicara tentang tema politik. Aristoteles menulis risalah yang berjudul “politeia” (politik). Baginya, politik adalah cabang pengetahuan praktis. Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Manusia adalah makhluk-makhluk polis (negara kota), kecendrungan alamiah manusia adalah membentuk kelompok, bertindak dalam kelompok dan bertindak sebagai kelompok. Sedangkan maksud (tujuan, sasaran) politik sama dengan tujuan etika dan sama dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan), bonum commune, kesejahteraan umum, kesejahteraan yang sangat vital bagi setiap orang (Lorens Bagus, 2005).
Kalau kita melihat arti kata politik, maka sebenarnya tidak ada alasan untuk umat beriman tidak mau peduli dengan masalah politik. Politik adalah bagian dari kehidupan kita manusia yang mempunyai panggilan untuk memperbaiki tatanan hidup bersama. Sebab semua orang mengingini apa yang namanya eudaimonia, bonum commune, kesejahteraan umum. Maka menyongsong tahun politik 2014, seharusnya para warga katolik bisa berperan aktif atau terjun langsung dalam perpolitikan nasional. Kita sebagai warga katolik bukanlah komunitas yang hidup di awan-awan, yang tidak mau peduli terhadap persoalan bangsa. Kita adalah warga negara yang beragama katolik, bukan umat katolik yang memisahkan diri dari negara.
Dalam artian untuk memperbaiki kehidupan bersama, sebenarnya gereja juga berpolitik. Gereja hanya tidak berpolitik praktis. Sebab dalam pengertian luas, politik bertujuan agar terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, kesejahteraan umum, kebaikan umum. Bukan apa yang kita saksikan akhir-akhir ini tentang perpolitikan yang terjadi dalam bangsa kita. Akhir-akhir ini politik hanya digunakan untuk menguasai, mempengaruhi, menaklukkan dan akhirnya memiliki. Politik semacam itu telah kehilangan tujuannya. Maka menjadi penting bagi kita sebagai umat katolik yang memiliki potensi untuk terjun langsung dalam dunia politik, harus terjun dalam dunia politik, dan itu perlu kita dukung. Sebab jika kita ingin perubahan yang terjadi pada bangsa kita, kita harus ikut merubahnya, bukan berdiam diri menantikan orang lain untuk merubahnya, atau ikut serta dalam memperburuk keadaan.
Untuk para kader katolik yang ikut dalam politik praktis, ada baiknya setiap paroki dan keuskupan memberikan pemberdayaan dan pemahaman mengenai politik yang sehat, politik yang diharapkan oleh gereja, politik yang bertujuan pada bonum commune. Gereja baik itu paroki dan keuskupan tidak bisa berdiam diri melihat warga gerejanya ikut berpolitik, atau “melarang” anggota gereja berpolitik. Tidak ada kata larangan jika kita ingin perubahan menuju bangsa yang memperhatikan kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan kelompok, apalagi kesejahteraan pribadi.
Kita bisa melihat tokoh-tokoh nasional yang hangat dibicarakan dan yang melakukan trobosan-trobosan, hampir tidak ada orang katolik yang muncul. Mengapa bisa demikian, ini menjadi pertanyaan untuk kita sebagai umat katolik. Apakah kita berdiam diri ketika bangsa kita jatuh terpuruk dalam berbagai bidang, padahal kita sendiri juga berada didalamnya? Kita bisa mencontohi tokoh-tokoh nasional yang beragama katolik seperti I.J. Kasimo, Frans Seda, atau Mgr. Soegijopranata, mungkin masih ada yang lain, yang melakukan perubahan, tetapi tidak tercatat dalam sejarah. Mereka-mereka bisa kita teladani untuk terlibat dalam politik praktis, tetapi tidak kehilangan identitasnya sebagai orang katolik.
Maka sekali lagi saya tekankan bahwa kita sebagai umat katolik jangan anti politik, terjunlah dalam politik praktis. Agar jangan sampai kita hanya menggerutu mengenai persoalan bangsa, tetapi kita sendiri tidak mau terlibat di dalamnya. Dan gereja harus memberikan pendampingan-pendampingan bagi mereka-mereka yang terlibat dalam dunia politik, agar jangan sampai terjun bebas ke panggung politik, karena bisa jatuh pada lubang yang sama. Mereka harus dibekali prinsip-prinsip dasar berpolitik dan harus menatap tujuan politik yaitu, eudaimonia, bonum commune, kesejahteraan umum. Gereja tidak bisa memisahkan diri dari persoalan dunia. Gereja ada dalam dunia dan untuk dunia. Ketika umat katolik terlibat aktif dalam politik praktis, sebenarnya mereka telah menjalankan misi Yesus yaitu mawartakan Kerajaan Allah, yaitu kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus (bdk. Rm 14:17). Karena kalau kita berbicara mengenai kepenuhan Kerajaan Allah pada akhir zaman, kita seharusnya bisa mengusahakan kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah umat manusia. Ketika kita mampu menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah bangsa yang lagi krisis dalam segala bidang kehidupan, kitalah orang yang Yesus bicarakan dalam perumpamaan Garam dan Terang dunia (Mat 5:13-16). (Heronimus Heron - ys - tulisan ini pernah saya muat di Majalah Duta Pontianak).



Politik merupakan diskursus istimewa filosofis. Aristoteles melandaskan politik pada etika, dimana tujuan dari politik adalah kesejahteraan umum (BONUM COMMUNE) warga polis (kota). Thomas Hobbes (filsuf Inggris) mengkonfrontasikan pemikiran Aristoleles yang mengatakan dalam "STATE OF NATURE", setiap orang berjuang mempertahankan eksistensinya, baru setelah mereka mampu bertahan, hukum yang mengatur. Tetapi para diktator dan rejim totaliter lebih mengaplikasikan pemikiran Machiavelli (filsuf Italia) yang dalam bukunya "IL PRINCIPE", mengatakan bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang pemimpin dapat mengunakan kekuasaan untuk menindas. Pemikiran Machiavelli ini dipraktekkan oleh Hitler di Jerman untuk menegakkan ras bangsa ARYA. Bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah pemimpin orde baru bisa digolongkan dengan rejim totaliter?
Persaingan kedua calon presiden adalah persaingan dua masa. Yang satu anak kandung dari rejim orde baru, sedangkan yang lain adalah anak yang lahir dari zaman reformasi. Maka tentukanlah pilihan untuk Indonesia yang modern, demokratis dan beradab. Indonesia memanggil untuk perubahan.