Jumat, 25 November 2016

FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE
(“Allah telah Mati” sebagai Kritik Terhadap Agama Kristen)

1.      Pengantar
Allah telah mati. Itulah jargon Nietzsche mengkritik agama Kristen. Jargon ini merupakan pergulatan Nietzsche terhadap agamanya. Menurutnya, agama Kristen adalah agama orang kalah, tidak mampu bersaing dan agama kaum budak! Orang yang tidak mampu bersaing itu merekonstruksikan satu sosok (Allah) dengan ajarannya seperti lemah lembut, mengalah, menerima realitas, sebagai penghiburan.
Maka untuk menyingkirkan nilai-nilai Kristiani, Nietzsche merekonstruksikan manusia atas Der Ubermensch yang menjadi acuan dan memunculkan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru itu akan membuat manusia menerima (Ja-Sagen) terhadap realitas tanpa Allah. Maka Allah akan ditinggalkan dalam kehidupan manusia.
Kritik Nietzsche ini penting untuk mengkritik cara kita beragama (beriman) dan sekaligus mengkritik institusi yang menjadi simbol dari kehadiran iman kita. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh, maka kita akan mendalami pemikiran Nietzsche di bawah ini.

2.      Riwayat Hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche
2.1.Kehidupan Friedrich Wilhelm Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken daerah Sachsen Prusia dari keluarga yang sangat saleh. Ayahnya seorang Pastor Lutheran yang meninggal tahun 1849. Setelah ayahnya meninggal, ia pindah ke Naumburg tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan.[1] Teman-teman sekolahnya menjulukinya sebagai “Si Pendeta Kecil”, bahkan sampai dewasa orang-orang di sekitarnya melihat Nietzsche sebagai seorang Kristen. Pernah suatu ketika, seorang perempuan muda mengajaknya pergi ke gereja, tetapi dengan sopan ia menjawab “Hari ini tidak”. Sesudah itu ia menjelaskan kepada teman-temannya: “Kalau saya mengganggu pikiran gadis itu, saya tentu menimbulkan rasa ngeri”.[2]

2.2. Latar Belakang Pendidikannya
Pada tahun 1854 sampai 1858, Nietzsche sekolah di Gymnasium di kota Naumburg, namun pada tahun 1858 sampai 1864 dia pindah sekolah dan belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang termasyur di kota Pforta. Di sana, ia membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir besar seperti Schiller, Holderlin dan Byron, serta ia sangat tertarik pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno. Maka pada saat itu juga ia meminati Plato dan Aeschylus.[3] Selain itu, ia juga mempelajari puisi dan musik.[4]
Pada tahun 1864, Nietzsche studi di Universitas Bonn bersama temannya Paul Deussen yang kemudian juga termasyur sebagai pemikir dan filsuf. Waktu itu ia masih memeluk agamanya. Ketika Deussen mengatakan bahwa doa hanyalah ilusi belaka, dia menjawab: “Itu salah satu dari kedunguan Feurbach.” Pada tahun 1865 ketika musim gugur, dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota ini ia menemukan buku tulisan Schopenhauer dari penjual buku bekas yang berjudul: “Die Welt als Wille und Vorstellung” (The World as Will and Idea). Setelah mempelajari buku itu, maka di kota itulah dia meninggalkan agamanya.[5]

2.3. Karya-karyanya
Pada tahun 1867 dia menjalankan wajib militer di Naumburg, tetapi karena terluka, ia kembali ke Leipzig untuk belajar. Pada saat kembali belajar, ia berkenalan dengan Richard Wagner, seorang komponis Jerman yang termasyur dan menjadi sahabatnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner mempengaruhi tulisannya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik (In the Birth of Tragedy from the Spirit os Music/Kelahiran Tragedi dari Jiwa Musik). Pada tahun 1973-1876, Nietzsche menerbitkan empat esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations or Considerations/Kontemplasi Tak Aktual).[6]
Pada tahun 1878-1879, Nietzsche menerbitkan karyanya yang berjudul Menschliches, Allzumenschliches (Human, All-too-Human/Manusia Terlalu Manusiawi). Pada tahun 1881, Nietzsche menerbitkan Morgenrote (The Dawn of Day/Fajar Kemenangan). Pada tahun 1882 ia menerbitkan Die frohliche Wissenschaft (Joyful Wisdom/Pengetahuan Ceria). Pada tahun 1883-1885, Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra/Demikianlah Sabda Zarathustra). Pada tahun 1886, ia menerbitkan Jenseits von Gut und Bose (Beyond Good and Evil/Melampaui Kebaikan dan Keburukan). Setahun setelahnya, 1887 ia menerbitkan karya  Zur Genealogie der Moral (A Genealogy of Morals/Silsilah Moral). Pada tahun 1888, Nietzsche menerbitkan dua karya yaitu Ecce Homo (Itulah Manusia) dan Der Antichrist (The Antichrist/Sang Antikristus).[7]

3.      Kritik Terhadap Agama
Sebagai seorang filsuf yang mengkritik praktik kehidupan beragama umat Kristen, Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860). Schopenhauer dalam filsafatnya mengkritik filsafat Hegel dan Fichte. Alasan Schopenhauer tidak setuju dengan filsafat Hegel dan Fichte adalah keyakinannya bahwa mereka telah menghianati filsafat Kant. Schopenhauer berpendapat bahwa rasio tidak dapat mengetahui segala sesuatu dalam dirinya dan ide-ide kita tidak menyediakan jalan menuju dunia di luar perspektif indrawi.[8]
Bagi Schopenhauer tidak ada kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia. Namun Schopenhauer menolak bunuh diri karena baginya, ide ini tidak menghancurkan kehendak. Satu-satunya alternatif adalah membelokkan kehendak melawan dirinya dan dengan serangkaian usaha penolakan, menghapus hasrat-hasrat kita. Hasil yang diperoleh baginya bukanlah kematian, tetapi kontemplasi.[9]
Kritik Nietzsche terhadap agama banyak diinspirasi oleh karangan Schopenhauer yang berjudul Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Idea) ketika belajar filologi di Laipzig. Karangan ini menjadi batu pijakan untuk Nietzsche mengkritik agama dengan segala ajarannya.

3.1.Kritik Terhadap Praktik Agama Pada Zamannya
Kritik Nietzsche terhadap agama dapat kita temukan dalam beberapa karyanya. Dalam bukunya Genealogie der Moral, Nietzsche menggambarkan dua moralitas yaitu moralitas tuan (Herrenmoral) dan moralitas budak (Herdenmoral). Bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Meski demikian, mereka tidak mengklaim bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan tidak menunjukkan bagaimana harus bertindak, tetapi bagaimana tuan itu menyatakan tindakan. Hal ini berbeda dengan moralitas budak. Para budak tidak pernah bertindak bagi diri mereka sendiri, karena jika mereka bertindak sendiri, mereka menyangkal kodratnya. Maka bagi para kaum budak, yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelamahlembutan, kerendahan hati dalah hubungannya dengan kasta mereka.[10]
Karya Nietzsche ini melukiskan penjungkirbalikan nilai-nilai dalam agama Kristen dengan istilah “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara kaum budak. Menurut Nietzsche, moralitas budak menguasai agama Kristen. Karena segala yang rendah, lemah, celaka, jelek dan menderita malah disebut “baik”, sedang yang luhur, agung, berdaulat, bagus, malah disebut “jahat”. Apalagi diperparah dengan istilah “suara hati” (Gewissen) atau subjektivitas moral. Nietzsche menggangap “suara hati” tak kurang daripada suatu kegagalan melampiaskan ressentiment kepada kasta aristokrasi.[11]
Dalam karyanya Der Will zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), Nietzsche memodifikasi konsep Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup. Bagi Nietzsche, kehendak sepenuhnya adalah persoalan tindakan. Nietzsche meyakini tidak ada kehendak bebas, kecuali tindakan yang lebih kuat dan yang lemah, atau tindakan siapa yang menang.[12]
Dari beberapa karya Nietzsche ini kita bisa melihat bagaimana kritiknya terhadap agama. Kritiknya di sini bukan ditujukan kepada relasi antar manusia (agama lain), tetapi pada nilai-nilai agama Kristen yang menurutnya telah memperbudak kehendak manusia. Agama Kristen menawarkan konsep cinta kasih, kerendahan hati, menerima setiap penderitaan. Bagi Nietzsche itu merupakan mentalitas kaum budak. Konsep agama Kristen hanya bisa diterima oleh kaum budak (memiliki mentalitas kaum budak) yang bergantung pada tuan (Allah) mereka.
Mentalitas kaum budak ini yang membuat manusia (masyarakat Barat) tidak kritis terhadap segala yang mereka terima dan alami dalam hidupnya. Ajaran agama telah meracuni kehidupan mereka. Dengan mentalitas kaum budak ini, orang tidak berupaya untuk merekonstruksi keadaan, melainkan hanya menerimanya. Satu-satunya cara bagi kaum budak untuk menghibur diri agar terlepas dari ketertindasan mereka adalah merekonstruksikan gambar Allah. Allah menjadi sandaran dari ketertindasan mereka.

3.2.Der Ubermensch
Kritik Nietzsche terhadap agama semakin diperuncing dalam karyanya yang berjudul Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra).[13] Sebelum mendalami pemikiran Nietzsche lebih jauh, penulis akan menampilkan kisah Zarathustra.[14]
Zarathustra berusia 30 tahun saat ia meninggalkan rumah dan menyepi di gunung. Suatu saat dia pun turun dan di hutan bertemu orang suci. Ia memuji bahwa Zarathustra telah berubah menjadi kanak-kanak lewat kesunyiannya, yakni menjadi sadar. Zarathustra berkata bahwa ia mencintai manusia, namun pak tua mencintai Allah, karena cinta akan menusia dapat membunuhnya. Orang kudus itu bercerita bahwa di hutan ia menyanyi, menangis, tertawa, dan bergumam untuk memuji Allah. Namun, Zarathustra yang sudah mencapai pencerahan rohani berbicara dalam hatinya: “Mungkinkah itu? Orang suci dalam hutan ini belum pernah mendengar apa pun tentang ini, yaitu bahwa Allah sudah mati.” Zarathustra pun menuju kota dan bergabung dengan kerumunan yang menonton seorang peniti tali. Ia berseru kepada kalayak: “Aku mengajarkan kepada kalian tentang dunia atas. Manusia adalah sesuatu yang akan dilampaui. Apakah yang sudah kalian lakukan untuk melampaui manusia?” Ia berkata bahwa manusia memang sudah melampaui kera, namun manusia masih mirip kera, karena telah diracuni oleh nilai-nilai Kristiani. Kerumunan itu tidak memahami pesan Zarathustra, karena mereka berpikir ia mengacu pada kegiatan peniti tali itu. Tiba-tiba peniti tali itu jatuh dan mati. Zarathustra dan mayat peniti tali itu ditinggal sendiri di alun-alun itu. Ia pun sadar bahwa pesannya tak sampai, karena manusia terlalu bodoh dan acuh tak acuh.
Melalui kisah Zarathustra di atas, Nietzsche berfilsafat. Pandangannya mengenai Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi supermen,[15] atau menurut salah seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufmann, Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi overmen. Uber sejajar dengan over, yaitu “di atas”, sedangkan mensch sejajar dengan men, maka dapat diterjemahkan menjadi “Manusia Atas”. Dalam cerita itu, Nietzsche mempersonifikasikan dirinya sebagai Zarathustra. Melalui mulut tokoh itu, Nietzsche mengucapkan pandangannya: “Ich lehre euch den Ubermenchen. Der Mensch ist etwas, das uberwunden werden soll” (Aku mengajarkan kepada kalian mengenai Manusia Atas. Manusia adalah sesuatu yang harus dilampauinya).[16]
Nietzsche berbicara dan berharap mengenai manusia masa depan. Manusia atas bukanlah orang barbar, liar atau tak tahu aturan. Dia bukanlah seorang immoral, melainkan menciptakan nilai-nilainya sendiri. Muncul manusia atas harus didahului dengan kemampuan untuk menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai Kristiani harus dijungkirbalikan terlebih dahulu. Dengan mampunya manusia atas menciptakan nilai-nilai, mereka akan memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat terhadap diri sendiri dan toleran.[17]
Dengan menggambarkan manusia atas, Nietzsche mau menciptakan suatu nilai baru bagi manusia di luar nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai baru itu diyakini akan membuat manusia bebas bukan karena dipaksa oleh ajaran agama, melainkan dari kehendak. Manusia atas ini akan menjadi rujukan untuk menjadi teladan dalam menjalani kehidupan, sebab manusia atas tidak lari dari realitas dan bersandar kepada Tuhan, melainkan menghadapi realitas dengan kesadaran penuhnya (Ja-Sagen).

3.3.Allah telah mati
Puncak dari Kritik Nietzsche terhadap agama termuat dalam karyanya yang berjudul Antichrist. Namun ajaran terang-terangan mengenai ateismenya dapat ditemukan dalam aphorisme 125 buku Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan Ceria).[18]
Seorang gila membawa sebuah lentera menyala ke tengah pasar dan berseru-seru: “Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!” Orang-orang di pasar menertawakannya. Tapi si gila itu malah melompat ke tengah-tengah mereka dan menatap mereka sambil berteriak: “Ke manakah Allah? Aku memberi tahu kalian. Kita sudah membunuhnya. Kita semua pembunuh. Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan? Siapakah yang memberikan kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah bumi bergerak sekarang? Ke manakan kita bergerak? Menjauh dari segala matahari? Tidakkah kita tenggelam terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala arah? Masih adakah naik atau turun? Tidakkah kita tersesat ketiadaan tak terhingga? Tidakkah kita menghirup ruang kosong? ...Allah sudah mati...Dan kita telah membunuhnya...” sesudah itu si gila diam, menatap para pendengarnya. Mereka pun membisu. Si gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, lalu pergi sambil berkata: “Saya datang terlalu dini, waktuku belum sampai. Peristiwa besar ini masih sedang menjelang...”
Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila. Ia bukan hanya mengumumkan ateis, tetapi juga meramalkan datangnya ateis. Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak memahaminya. Ia mengumumkan kegilaan universal yaitu menemukan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah.[19]
Kematian Allah telah membuka kreativitas dan kemerdekaan manusia, sehingga manusia dapat berkembang penuh. Allah telah mati, sehingga tidak ada lagi larangan atau perintah, atau rujukan kita untuk melihat hal yang transenden. Sebab ide Allah dalam agama Kristen telah memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, mengkebiri daya-daya vital manusia. Nietzsche menggangap agama Kristen sebagai vampirisme.[20]
Dengan matinya Allah, manusia tidak lagi dibatasi atau diarah ke dunia transenden. Manusia tidak lagi menunjukkan sikap pengecutnya dengan berlindung di naungan Allah terhadap kerasnya realitas dunia ini. Manusia Ubermensch akan mampu mengekspresikan Ja-Sagen kepada realitas tanpa Allah. Lebih jauh Nietzsche mengatakan: “Tetaplah setia pada dunia dan jangan percaya pada orang-orang yang mengoceh kalian tentang harapan-harapan pada dunia atas sana! Entah tahu atau tidak, mereka itu penebar racun. Mereka itu orang-orang yang melecehkan kehidupan!”.[21]

4.      Kritik Terhadap Kehidupan Agama Dewasa Ini
Tidak mudah menemukan awal dari kritik Nietzsche terhadap agama Kristen. Kita hanya tahu bahwa berpuncak kritiknya terletak pada karyanya Antichrist. Sebelum mengkontekstualisasikan pemikiran Nietzsche untuk zaman ini, terlebih dahulu penulis menunjukkan dimensi yang menjadi dasar kritikannya.
Nietzsche tidak pernah mempersoalkan Allah. Dia tidak pernah mempersoalkan apakah Allah ada atau tidak. Allah yang dikritik Nietzsche adalah Allah ciptaan manusia, maka Allah itu harus dibunuh agar manusia bisa menerima realitas hidupnya. Allah yang diciptakan manusia itu telah menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya dan dunianya. Allah yang diciptakan oleh manusia itu dipasang sebagai kebenaran dan membuat manusia tenggelam dalam kebohongan. Allah ciptaan manusia itu memanifestasikan diri dalam agama, maka agama adalah ciptaan mereka yang kalah, tidak berani melawan, dan akhirnya tidak berani berkuasa.[22]
Kritik Nietzsche perlu kita refleksikan dalam menjalankan agama. Benarkah kepercayaan kita kepada Allah hanyalah pelarian ketika takut menghadapi realitas dunia? Benarkah keutamaan-keutamaan Kristiani seperti mengampuni, memaafkan, berbelas kasih dan suara hati hanyalah milik mereka yang kalah/budak? Benarkah untuk menghadapi realitas dunia yang penuh dengan kebencian, kita harus melupakan Allah? Sekarang kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri. Apakah sebagai orang yang beragama, kita memisahkan Allah dari realitas dunia yang kita hadapi? Apakah kita telah menghidupi atau mengkontekstualisasikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha menyadarkan kita akan realitas yang kita hadapi, sebab jangan-jangan kehidupan beragama kita hanya dipermukaannya yaitu pada identitas semu. Kritik Nietzsche ini mengajak kita untuk mendalami iman kita lebih jauh lagi dan tahu beriman secara benar. Beriman tidak bisa meninggalkan realitas sosial, sebab melalui tindakan sosiallah kita merealisasikan iman kita.

5.      Penutup
Kritik Nietzsche terhadap agama berangkat dari realitas zamannya. Ia mengkritik agama, karena agama baginya adalah ciptaan mereka yang kalah, mentalitas kaum budak yang tidak mampu berkuasa. Pertanyaannya apakah hanya sebatas itu? Bagaimana menjelaskan kepercayaan orang-orang kepada Allah dari mereka yang berkuasa, pemenang?
Namun Nietzsche telah menyadarkan kita bahwa tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi di antara kita yang percaya kepada Allah. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang karena takut menghadapi realitas hidupnya, pergi masuk biara atau seminari untuk mencari aman dalam lindungan tembok dengan cara ingin menjadi biarawan/i atau imam? Nietzsche memang meramalkan ateisme universal, tetapi jika kita memiliki agama dengan cara yang tidak benar, kita juga adalah ateis. Kita menciptakan teis-teis untuk menguasai diri sendiri seperti kekuasaan, harta dan perempuan? Kritik Nietzsche pertama-tama ditujukan kepada individu-individu yang beragama dan selanjutnya kepada institusi agama. Mampukan kita beriman dan berani menghadapi realitas dunia?






Daftar Pustaka

Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Vol. VII). New York: Image Books, 1994.
D. Aiken, Henry. Abad Ideologi: Dari Kant sampai Kierkegaard. Yogyakarta: RELIEF, 2009.
Frans, Magnis Suseno. Menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spake Zarathustra. terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.








[1] Frederick Copleston, S.J, A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Volume VII), New York: Image Books, 1965, hal. 390.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 258.
[3] Ibid., hal. 259.
[4] Frederich Copleston, S.J, Loc. cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal 391-392.
[7] Ibid. Bdk. F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 260.
[8] Henry D. Aiken, Abad Ideologi: Kant-Kierkegaard, Yogyakarta: Relief, 2009, hal. 117.
[9] Ibid., hal. 120-121.
[10] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 269.
[11] Ibid., hal 270. Bdk. Frederich Copleston, S.J, Op. cit., hal. 401.
[12] Henry D. Aiken, Op. cit., hal. 248.
[13] Sabda Zarathustra yang lengkap dapat dibaca dalam buku yang berjudul “Nietzsche: Sabda Zarathustra” terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso, dengan judul asli Thus Spake Zarathustra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 45-496.
[14] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 274.
[15] Bdk. Frederick Copleston, S.J, Op. cit., hal. 413.
[16] F. Budi Hardiman, Op. cit, hal. 274.
[17] Ibid., hal. 276.
[18] Ibid., hal. 279.
[19] Ibid., hal 279.
[20] Ibid., hal 280.
[21] A. Setyo Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 87.
[22] Frans Magnis Suseno, Menalar tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar