Rabu, 30 November 2016

Legenda Nsuman

Legenda Nsuman

Pada zaman dahulu hiduplah sekelompok manusia yang mendiami suatu tempat yang bernama Nsuman. Mereka hidup normal seperti manusia lainnya. Mereka membangun rumah Betang (rumah panjang; khas suku Dayak) dan tinggal bersama beberapa keluarga di dalamnya. Mereka menanam padi di ladang dan berburu binatang.
Namun pada suatu ketika seorang kepala keluarga di situ pergi memancing ke hilir sungai menggunakan perahu. Dia mendayung perahu menyusuri hilir sungai untuk mencari tempat yang banyak ikannya. Setelah sore hari dan mendapat banyak ikan, dia mengayuh perahunya memudiki sungai untuk kembali ke rumah.
Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Seladan, ia singgah di situ untuk mencari buluh (sejenis bambu) yang digunakan sebagai tempat memasak ikan yang didapat. Setelah mengamat-amati buluh yang ada, ia melihat satu pohon buluh yang tingginya melebihi puncak pohon tapang (Terminalia catappa). Ia menebang pohon buluh itu dan membaginya menjadi beberapa potong untuk dijadikan tempat memasak ikan. Ketika sedang memotong buluh, ia melihat didalamnya terdapat abu. Maka ia mengambil buluh yang terdapat abunya itu dan membawa ke rumah.
Sesampai di rumah, buluh yang terdapat abu, ia sandarkan ke jurong (tempat menyimpan padi). Pada pagi hari, sang istri pergi ke jurong mengambil padi untuk memberi makan ayam bertanya-tanya dimana jurong itu karena sudah tidak ada. Ia bertanya kepada suaminya, kone jurong ko nyimpane ten? (ke mana tempat nyimpan padi kamu letakan?). suaminya bilang, ada tuk pe ah (ini ada di sini), tetapi istrinya tidak melihat jurong itu. Karena istrinya masih belum melihat maka suaminya mengambil buluh yang ia letakan di jurong itu dan menyimpannya di tempat lain, baru istrinya melihat jurong. Maka suaminya berkata kepada istrinya, rotie buluh tuk isik abu ngolap (berarti di dalam buluh ini terdapat abu yang bisa membuat sesuatu menjadi hilang). Istrinya menjawab, nyak am rotie (itulah artinya).
Suaminya punya ide bagaimana kalau ia mencerita keberadaan buluh yang didalamnya terdapat abu kepada warga yang mendiami rumah betang itu. Ia mengundang mereka untuk berkumpul dan menjelaskan kronologi didapatkannya buluh yang berisi abu tersebut. Setelah mendengarkan penjelasannya maka mereka sepakat untuk memotong dua buluh itu dan meletakannya satu potong di ujung rumah betang sebelah sini dan satu sebelah sana untuk menghindari serangan musuh karena waktu itu masih perang suku.
Ketika musuh datang untuk menyerang kampung mereka, musuh tidak melihat rumah betang, mereka hanya melihat kumpulan pohon buluh. Tetapi musuh masih bisa mendengarkan suara binatang peliharaan warga di kampung, terkadang suara anak-anak bermain dan menangis juga masih terdengar. Karena musuh tidak menemukan orang di daerah itu maka mereka kembali ke kampung mereka dan memutuskan tidak menyerang kampung Nsuman lagi karena mereka ditolong oleh Petara (Tuhan; dalam bahasa Dayak Jawant).
Sampai sekarang pun daerah Nsuman ditumbuhi banyak pohon buluh. Terkadang orang yang melewati daerah itu masih mendengar suara ayam berkokok dan anak-anak bermain namun sudah tidak ada perkampungan. Maka mana daerah itu disebut kampung Nsuman, kampung warga yang menghilang.




Senin, 28 November 2016

Hak atas Kehidupan yang Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Hak atas Kehidupan yang Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Setiap pribadi memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) disebutkan bahwa “Pengakuan atas martabat yang melekat pada hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia”.
Namun acapkali dalam suatu proses pembangunan, masyarakat dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Hak-hak yang mendasar dan melekat sepertinya dicerabut hanya karena mereka tidak mau menjual tanahnya untuk sebuah pembangunan. Apalagi dalam proses pengukuran, pelepasan lahan dan pembangunan, pemerintah seringkali menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. Padahal setiap manusia memiliki hak atas kehidupan yang layak menyangkut rumah; hidup yang aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera; hak milik; hak atas lingkungan yang baik; hak atas identitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.
Untuk itu, penulis akan mengkaji (kemungkinan) pelanggaran HAM, terkhusus hak atas kehidupan yang layak apabila rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo dilanjutkan.

  1. Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia
Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.
Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.
Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

  1. Hak atas kehidupan yang Layak
Setiap warga negara mempunyai hak untuk kehidupan yang layak berupa tempat tinggal, lingkungan yang sehat dan bahkan mendapat jaminan sosial. Untuk itu berikut ini poin-poin dari regulasi yang mengatur hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.
·         UUD 1945 pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
·         UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
·         UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) pasal 11 ayat (1), “Negara pihak mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus...”
·         DUHAM pasal 25 ayat (1), “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
·         Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 27 ayat (3), “Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan”.
Ketentuan lain
·         Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya - ICESCR - 13 Desember 1991) No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat [1]) menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR – 1997) No. 7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergantung kasusnya, tersedia”.

3.      Proyek Bandara Kulonprogo
Kalau kita melihat Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah salah satu dari proyek strategis nasional. Namun menjadi persoalan ketika IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan.
Kalau melihat regulasi yang ada nampak bahwa ada ketidaksesuaian antara tahap-tahap yang harus dilalui dengan kenyataan yang ada. Maka sangat wajar kalau penetapan lokasi bandara di Kulonprogo terlihat dipaksakan karena memang tidak sesuai dengan mekanisme regulasi yang ada.

4.      Hak atas kehidupan yang Layak dalam Proyek Bandara Kulonprogo
Pembangunan bandara yang memang tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan terlihat dipaksakan telah mengakibatkan proses ini cacat dari awal. Selain itu pemilihan tempat pembangunan dilahan yang produktif juga menimbulkan persoalan. Apalagi tidak ada jaminan ekonomi bagi warga ketika mereka menyerahkan tanahnya untuk dijual ke pihak bandara telah menambah persoalan lain. Maka sangat wajar kalau warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga, tidak mau menjual tanah mereka, karena memang mereka punya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945 pasal 28A).
Seandainya proyek NYIA tetap dipaksakan untuk dijalankan maka negara harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara termasuk warga WTT. Hak untuk punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak tetap harus dijamin karena hak itu sudah melekat dalam setiap pribadi manusia sejak ia lahir. Pengabaian hak dasar warga WTT untuk dihormati haknya karena tidak bersedia menjual tanah dan memaksa mereka menjual tanah dengan cara mengintimidasi mereka telah menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggarannya bisa dilakukan oleh negara sendiri (by commission) atau negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan cara membiarkan pihak pengembang melakukan intimidasi kepada warga supaya mereka menjual tanahnya (by omission).
Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak warga negara. Apalagi hak untuk hidup, mempertahankan hidup, bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak boleh dilanggar (Non-derogable rights).
Untuk itu pemerintah memang perlu menghomati pilihan warga WTT untuk tidak menjual tanahnya karena hal ini menyangkut hak warga WTT atas kepemilikan, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Kalau rencana NYIA tetap dilanjutkan di Temon, Kulonprogo maka akan menambah catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.



Referensi
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
General Comment International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) no. 4 tanggal 13 Desember 1991.
General Comment International Convenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) no. 7 tahun 1997.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia no. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998.
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.
Konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.
Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.
Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Putusan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Dasar Nagara Indonesia 1945 Amandemen IV.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.


Pernah didiskusikan di Rumah Persma, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta pada tanggal 27 November 2016 pukul 16.30 sampai selesai
dan dimuat di laman persma.org
http://persma.org/diskusi/hak-atas-kehidupan-layak-dan-proyek-bandara-kulonprogo/



                                                       

Jumat, 25 November 2016

Menyelisik Moral Pejabat Publik




“To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society” – Theodore Roosevelt
Pada tanggal 2 Oktober 2013 kita disuguhkan dengan peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Peristiwa tangkap tangan ini sungguh sangat memalukan karena pemimpin pilar hukum tertinggi digerogoti oleh korupsi. Padahal sebagai pemimpin lembaga konstitusi, dia bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan hukum. Namun harapan tinggal harapan. Lembaga yang berwibawa pun kehilangan wibawanya dihadapan uang.
Pernahkah kita bertanya mengapa orang yang mempunyai kedudukan tinggi sering menyalahgunakan kekuasaan? Kalau kita melihat gelar akademis mereka, mereka bukanlah orang sembarangan. Mengapa mereka mengabaikan tanggung jawab moral mereka kepada masyarakat?

Perlukah Moral?
Melihat absennya sikap para pejabat publik terhadap tanggung jawab yang mereka terima dari masyarakat, maka pendidikan moral sangat diperlukan. Bahkan Theodore Roosevelt mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan aspek otak saja tanpa pendidikan moral adalah suatu ancaman bagi masyarakat. Suatu ancaman karena para pejabat publik sering bertindak tidak sesuai dengan moral. Padahal mereka telah belajar dan mendapatkan gelar akademis yang sungguh mengagumkan. Peristiwa tangkap tangan ketua MK oleh KPK adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang menunjukkan abainya sikap moral dan suara hati pejabat publik di negeri ini. Mereka bertindak tanpa tahu membedakan mana yang baik dan buruk. Suara hati yang seharusnya bisa menjadi palang pintu dari tindakannya pun sudah seperti mati. Absennya sikap moral dan matinya suara hati para pejabat publik telah melukai rakyat. Rakyat telah dibodohi dengan slogan manis pemoles bibir, tetapi suara hati mereka telah mati.
Absennya sikap moral dan suara hati menunjukkan bahwa perlunya pendidikan moral. Namun mari kita melihat terlebih dahulu analisis tahap perkembangan moral yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial dan ilmu pendidikan, Lawrence Kohlberg. Dia membagikan moral dalam tiga tahap yaitu: pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Tahap pra-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada hukuman dan balas jasa. Tahap konvensional adalah perbuatan yang berorientasi untuk menyenangkan orang lain dan perbuatan yang berorientasi pada otoritas. Sedangkan tahap pasca-konvensional adalah perbuatan yang berorientasi pada kontak sosial dan berorientasi pada keputusan suara hati (John dan Agus 1995:81-82).
Pembagian tahap perkembangan moral ini membantu kita untuk melihat di tahap mana perkembangan moral kita. Seringkali perkembangan moral setiap orang berbeda-beda. Faktor usia bukanlah penentu dalam perkembangan moral seseorang. Bahkan yang lebih muda bisa mencapai tahap pasca-konvensional, atau sebaliknya orang yang telah berumur hanya bisa sampai pada tahap konvensional.
Kita tidak mengetahui sampai tahap mana moral pejabat publik kita. Sungguh menjadi ironi seandainya mereka yang memegang tanggung jawab besar dari rakyat, punya gelar akademis yang tinggi, tetapi hanya berorientasi pada perbuatan menyenangkan orang lain karena takut dengan otoritas (tahap konvensional). Mereka hanya bisa mengajukan retorika yang indah untuk membangun simpati, tetapi hati dan perbuatan mereka jauh dari isi retorikanya.

Pedagogi
Kita perlu membangun pendidikan moral agar dalam berprilaku dan bersikap, orang sungguh menunjukkan moralitasnya. Untuk membangun pendidikan moral; pertama, harus dibangun dalam lingkungan sekolah. Sekolah harus mengusahakan dan mengkondisikan agar pendidikan moral itu tersampaikan baik dalam bentuk kurikulum atau melalui interaksi antara guru dengan murid, guru dengan guru dan murid dengan murid. Sekolah harus bisa mengajarkan dan memberikan pembedaan antara perbuatan yang baik dan buruk. Guru harus mengajarkan kepada anak-anak tentang apa yang harus dilakukan, menilai prilaku mereka, memantau relasi mereka di dalam kelas (John dan Agus 1995:118). Kedua, menurut sosiolog Emile Durkheim, sikap altruis dan rasa menjadi bagian kelompok menjadi inti pendidikan moral (John dan Agus 1995:121). Ketiga, pendidikan moral itu harus dikondisikan. Lingkungan sosial dan masyarakat harus menciptakan dan mendukung pendidikan moral. Orang tua harus menunjukkan sikap moralitasnya, agar anak-anak dapat meneladani sikap mereka.
            Dengan adanya pendidikan moral dan teladan moral memungkinkan seseorang tidak menyalahgunakan kekuasaan, sebab dia mengetahui perbuatan baik atau buruk, serta tidak lagi mengabaikan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sebagai suatu amanah yang harus dijalankan.


FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE
(“Allah telah Mati” sebagai Kritik Terhadap Agama Kristen)

1.      Pengantar
Allah telah mati. Itulah jargon Nietzsche mengkritik agama Kristen. Jargon ini merupakan pergulatan Nietzsche terhadap agamanya. Menurutnya, agama Kristen adalah agama orang kalah, tidak mampu bersaing dan agama kaum budak! Orang yang tidak mampu bersaing itu merekonstruksikan satu sosok (Allah) dengan ajarannya seperti lemah lembut, mengalah, menerima realitas, sebagai penghiburan.
Maka untuk menyingkirkan nilai-nilai Kristiani, Nietzsche merekonstruksikan manusia atas Der Ubermensch yang menjadi acuan dan memunculkan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru itu akan membuat manusia menerima (Ja-Sagen) terhadap realitas tanpa Allah. Maka Allah akan ditinggalkan dalam kehidupan manusia.
Kritik Nietzsche ini penting untuk mengkritik cara kita beragama (beriman) dan sekaligus mengkritik institusi yang menjadi simbol dari kehadiran iman kita. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh, maka kita akan mendalami pemikiran Nietzsche di bawah ini.

2.      Riwayat Hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche
2.1.Kehidupan Friedrich Wilhelm Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken daerah Sachsen Prusia dari keluarga yang sangat saleh. Ayahnya seorang Pastor Lutheran yang meninggal tahun 1849. Setelah ayahnya meninggal, ia pindah ke Naumburg tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan.[1] Teman-teman sekolahnya menjulukinya sebagai “Si Pendeta Kecil”, bahkan sampai dewasa orang-orang di sekitarnya melihat Nietzsche sebagai seorang Kristen. Pernah suatu ketika, seorang perempuan muda mengajaknya pergi ke gereja, tetapi dengan sopan ia menjawab “Hari ini tidak”. Sesudah itu ia menjelaskan kepada teman-temannya: “Kalau saya mengganggu pikiran gadis itu, saya tentu menimbulkan rasa ngeri”.[2]

2.2. Latar Belakang Pendidikannya
Pada tahun 1854 sampai 1858, Nietzsche sekolah di Gymnasium di kota Naumburg, namun pada tahun 1858 sampai 1864 dia pindah sekolah dan belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang termasyur di kota Pforta. Di sana, ia membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir besar seperti Schiller, Holderlin dan Byron, serta ia sangat tertarik pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno. Maka pada saat itu juga ia meminati Plato dan Aeschylus.[3] Selain itu, ia juga mempelajari puisi dan musik.[4]
Pada tahun 1864, Nietzsche studi di Universitas Bonn bersama temannya Paul Deussen yang kemudian juga termasyur sebagai pemikir dan filsuf. Waktu itu ia masih memeluk agamanya. Ketika Deussen mengatakan bahwa doa hanyalah ilusi belaka, dia menjawab: “Itu salah satu dari kedunguan Feurbach.” Pada tahun 1865 ketika musim gugur, dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota ini ia menemukan buku tulisan Schopenhauer dari penjual buku bekas yang berjudul: “Die Welt als Wille und Vorstellung” (The World as Will and Idea). Setelah mempelajari buku itu, maka di kota itulah dia meninggalkan agamanya.[5]

2.3. Karya-karyanya
Pada tahun 1867 dia menjalankan wajib militer di Naumburg, tetapi karena terluka, ia kembali ke Leipzig untuk belajar. Pada saat kembali belajar, ia berkenalan dengan Richard Wagner, seorang komponis Jerman yang termasyur dan menjadi sahabatnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner mempengaruhi tulisannya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik (In the Birth of Tragedy from the Spirit os Music/Kelahiran Tragedi dari Jiwa Musik). Pada tahun 1973-1876, Nietzsche menerbitkan empat esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations or Considerations/Kontemplasi Tak Aktual).[6]
Pada tahun 1878-1879, Nietzsche menerbitkan karyanya yang berjudul Menschliches, Allzumenschliches (Human, All-too-Human/Manusia Terlalu Manusiawi). Pada tahun 1881, Nietzsche menerbitkan Morgenrote (The Dawn of Day/Fajar Kemenangan). Pada tahun 1882 ia menerbitkan Die frohliche Wissenschaft (Joyful Wisdom/Pengetahuan Ceria). Pada tahun 1883-1885, Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra/Demikianlah Sabda Zarathustra). Pada tahun 1886, ia menerbitkan Jenseits von Gut und Bose (Beyond Good and Evil/Melampaui Kebaikan dan Keburukan). Setahun setelahnya, 1887 ia menerbitkan karya  Zur Genealogie der Moral (A Genealogy of Morals/Silsilah Moral). Pada tahun 1888, Nietzsche menerbitkan dua karya yaitu Ecce Homo (Itulah Manusia) dan Der Antichrist (The Antichrist/Sang Antikristus).[7]

3.      Kritik Terhadap Agama
Sebagai seorang filsuf yang mengkritik praktik kehidupan beragama umat Kristen, Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860). Schopenhauer dalam filsafatnya mengkritik filsafat Hegel dan Fichte. Alasan Schopenhauer tidak setuju dengan filsafat Hegel dan Fichte adalah keyakinannya bahwa mereka telah menghianati filsafat Kant. Schopenhauer berpendapat bahwa rasio tidak dapat mengetahui segala sesuatu dalam dirinya dan ide-ide kita tidak menyediakan jalan menuju dunia di luar perspektif indrawi.[8]
Bagi Schopenhauer tidak ada kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia. Namun Schopenhauer menolak bunuh diri karena baginya, ide ini tidak menghancurkan kehendak. Satu-satunya alternatif adalah membelokkan kehendak melawan dirinya dan dengan serangkaian usaha penolakan, menghapus hasrat-hasrat kita. Hasil yang diperoleh baginya bukanlah kematian, tetapi kontemplasi.[9]
Kritik Nietzsche terhadap agama banyak diinspirasi oleh karangan Schopenhauer yang berjudul Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Idea) ketika belajar filologi di Laipzig. Karangan ini menjadi batu pijakan untuk Nietzsche mengkritik agama dengan segala ajarannya.

3.1.Kritik Terhadap Praktik Agama Pada Zamannya
Kritik Nietzsche terhadap agama dapat kita temukan dalam beberapa karyanya. Dalam bukunya Genealogie der Moral, Nietzsche menggambarkan dua moralitas yaitu moralitas tuan (Herrenmoral) dan moralitas budak (Herdenmoral). Bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Meski demikian, mereka tidak mengklaim bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan tidak menunjukkan bagaimana harus bertindak, tetapi bagaimana tuan itu menyatakan tindakan. Hal ini berbeda dengan moralitas budak. Para budak tidak pernah bertindak bagi diri mereka sendiri, karena jika mereka bertindak sendiri, mereka menyangkal kodratnya. Maka bagi para kaum budak, yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelamahlembutan, kerendahan hati dalah hubungannya dengan kasta mereka.[10]
Karya Nietzsche ini melukiskan penjungkirbalikan nilai-nilai dalam agama Kristen dengan istilah “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara kaum budak. Menurut Nietzsche, moralitas budak menguasai agama Kristen. Karena segala yang rendah, lemah, celaka, jelek dan menderita malah disebut “baik”, sedang yang luhur, agung, berdaulat, bagus, malah disebut “jahat”. Apalagi diperparah dengan istilah “suara hati” (Gewissen) atau subjektivitas moral. Nietzsche menggangap “suara hati” tak kurang daripada suatu kegagalan melampiaskan ressentiment kepada kasta aristokrasi.[11]
Dalam karyanya Der Will zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), Nietzsche memodifikasi konsep Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup. Bagi Nietzsche, kehendak sepenuhnya adalah persoalan tindakan. Nietzsche meyakini tidak ada kehendak bebas, kecuali tindakan yang lebih kuat dan yang lemah, atau tindakan siapa yang menang.[12]
Dari beberapa karya Nietzsche ini kita bisa melihat bagaimana kritiknya terhadap agama. Kritiknya di sini bukan ditujukan kepada relasi antar manusia (agama lain), tetapi pada nilai-nilai agama Kristen yang menurutnya telah memperbudak kehendak manusia. Agama Kristen menawarkan konsep cinta kasih, kerendahan hati, menerima setiap penderitaan. Bagi Nietzsche itu merupakan mentalitas kaum budak. Konsep agama Kristen hanya bisa diterima oleh kaum budak (memiliki mentalitas kaum budak) yang bergantung pada tuan (Allah) mereka.
Mentalitas kaum budak ini yang membuat manusia (masyarakat Barat) tidak kritis terhadap segala yang mereka terima dan alami dalam hidupnya. Ajaran agama telah meracuni kehidupan mereka. Dengan mentalitas kaum budak ini, orang tidak berupaya untuk merekonstruksi keadaan, melainkan hanya menerimanya. Satu-satunya cara bagi kaum budak untuk menghibur diri agar terlepas dari ketertindasan mereka adalah merekonstruksikan gambar Allah. Allah menjadi sandaran dari ketertindasan mereka.

3.2.Der Ubermensch
Kritik Nietzsche terhadap agama semakin diperuncing dalam karyanya yang berjudul Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra).[13] Sebelum mendalami pemikiran Nietzsche lebih jauh, penulis akan menampilkan kisah Zarathustra.[14]
Zarathustra berusia 30 tahun saat ia meninggalkan rumah dan menyepi di gunung. Suatu saat dia pun turun dan di hutan bertemu orang suci. Ia memuji bahwa Zarathustra telah berubah menjadi kanak-kanak lewat kesunyiannya, yakni menjadi sadar. Zarathustra berkata bahwa ia mencintai manusia, namun pak tua mencintai Allah, karena cinta akan menusia dapat membunuhnya. Orang kudus itu bercerita bahwa di hutan ia menyanyi, menangis, tertawa, dan bergumam untuk memuji Allah. Namun, Zarathustra yang sudah mencapai pencerahan rohani berbicara dalam hatinya: “Mungkinkah itu? Orang suci dalam hutan ini belum pernah mendengar apa pun tentang ini, yaitu bahwa Allah sudah mati.” Zarathustra pun menuju kota dan bergabung dengan kerumunan yang menonton seorang peniti tali. Ia berseru kepada kalayak: “Aku mengajarkan kepada kalian tentang dunia atas. Manusia adalah sesuatu yang akan dilampaui. Apakah yang sudah kalian lakukan untuk melampaui manusia?” Ia berkata bahwa manusia memang sudah melampaui kera, namun manusia masih mirip kera, karena telah diracuni oleh nilai-nilai Kristiani. Kerumunan itu tidak memahami pesan Zarathustra, karena mereka berpikir ia mengacu pada kegiatan peniti tali itu. Tiba-tiba peniti tali itu jatuh dan mati. Zarathustra dan mayat peniti tali itu ditinggal sendiri di alun-alun itu. Ia pun sadar bahwa pesannya tak sampai, karena manusia terlalu bodoh dan acuh tak acuh.
Melalui kisah Zarathustra di atas, Nietzsche berfilsafat. Pandangannya mengenai Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi supermen,[15] atau menurut salah seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufmann, Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi overmen. Uber sejajar dengan over, yaitu “di atas”, sedangkan mensch sejajar dengan men, maka dapat diterjemahkan menjadi “Manusia Atas”. Dalam cerita itu, Nietzsche mempersonifikasikan dirinya sebagai Zarathustra. Melalui mulut tokoh itu, Nietzsche mengucapkan pandangannya: “Ich lehre euch den Ubermenchen. Der Mensch ist etwas, das uberwunden werden soll” (Aku mengajarkan kepada kalian mengenai Manusia Atas. Manusia adalah sesuatu yang harus dilampauinya).[16]
Nietzsche berbicara dan berharap mengenai manusia masa depan. Manusia atas bukanlah orang barbar, liar atau tak tahu aturan. Dia bukanlah seorang immoral, melainkan menciptakan nilai-nilainya sendiri. Muncul manusia atas harus didahului dengan kemampuan untuk menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai Kristiani harus dijungkirbalikan terlebih dahulu. Dengan mampunya manusia atas menciptakan nilai-nilai, mereka akan memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat terhadap diri sendiri dan toleran.[17]
Dengan menggambarkan manusia atas, Nietzsche mau menciptakan suatu nilai baru bagi manusia di luar nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai baru itu diyakini akan membuat manusia bebas bukan karena dipaksa oleh ajaran agama, melainkan dari kehendak. Manusia atas ini akan menjadi rujukan untuk menjadi teladan dalam menjalani kehidupan, sebab manusia atas tidak lari dari realitas dan bersandar kepada Tuhan, melainkan menghadapi realitas dengan kesadaran penuhnya (Ja-Sagen).

3.3.Allah telah mati
Puncak dari Kritik Nietzsche terhadap agama termuat dalam karyanya yang berjudul Antichrist. Namun ajaran terang-terangan mengenai ateismenya dapat ditemukan dalam aphorisme 125 buku Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan Ceria).[18]
Seorang gila membawa sebuah lentera menyala ke tengah pasar dan berseru-seru: “Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!” Orang-orang di pasar menertawakannya. Tapi si gila itu malah melompat ke tengah-tengah mereka dan menatap mereka sambil berteriak: “Ke manakah Allah? Aku memberi tahu kalian. Kita sudah membunuhnya. Kita semua pembunuh. Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan? Siapakah yang memberikan kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah bumi bergerak sekarang? Ke manakan kita bergerak? Menjauh dari segala matahari? Tidakkah kita tenggelam terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala arah? Masih adakah naik atau turun? Tidakkah kita tersesat ketiadaan tak terhingga? Tidakkah kita menghirup ruang kosong? ...Allah sudah mati...Dan kita telah membunuhnya...” sesudah itu si gila diam, menatap para pendengarnya. Mereka pun membisu. Si gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, lalu pergi sambil berkata: “Saya datang terlalu dini, waktuku belum sampai. Peristiwa besar ini masih sedang menjelang...”
Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila. Ia bukan hanya mengumumkan ateis, tetapi juga meramalkan datangnya ateis. Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak memahaminya. Ia mengumumkan kegilaan universal yaitu menemukan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah.[19]
Kematian Allah telah membuka kreativitas dan kemerdekaan manusia, sehingga manusia dapat berkembang penuh. Allah telah mati, sehingga tidak ada lagi larangan atau perintah, atau rujukan kita untuk melihat hal yang transenden. Sebab ide Allah dalam agama Kristen telah memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, mengkebiri daya-daya vital manusia. Nietzsche menggangap agama Kristen sebagai vampirisme.[20]
Dengan matinya Allah, manusia tidak lagi dibatasi atau diarah ke dunia transenden. Manusia tidak lagi menunjukkan sikap pengecutnya dengan berlindung di naungan Allah terhadap kerasnya realitas dunia ini. Manusia Ubermensch akan mampu mengekspresikan Ja-Sagen kepada realitas tanpa Allah. Lebih jauh Nietzsche mengatakan: “Tetaplah setia pada dunia dan jangan percaya pada orang-orang yang mengoceh kalian tentang harapan-harapan pada dunia atas sana! Entah tahu atau tidak, mereka itu penebar racun. Mereka itu orang-orang yang melecehkan kehidupan!”.[21]

4.      Kritik Terhadap Kehidupan Agama Dewasa Ini
Tidak mudah menemukan awal dari kritik Nietzsche terhadap agama Kristen. Kita hanya tahu bahwa berpuncak kritiknya terletak pada karyanya Antichrist. Sebelum mengkontekstualisasikan pemikiran Nietzsche untuk zaman ini, terlebih dahulu penulis menunjukkan dimensi yang menjadi dasar kritikannya.
Nietzsche tidak pernah mempersoalkan Allah. Dia tidak pernah mempersoalkan apakah Allah ada atau tidak. Allah yang dikritik Nietzsche adalah Allah ciptaan manusia, maka Allah itu harus dibunuh agar manusia bisa menerima realitas hidupnya. Allah yang diciptakan manusia itu telah menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya dan dunianya. Allah yang diciptakan oleh manusia itu dipasang sebagai kebenaran dan membuat manusia tenggelam dalam kebohongan. Allah ciptaan manusia itu memanifestasikan diri dalam agama, maka agama adalah ciptaan mereka yang kalah, tidak berani melawan, dan akhirnya tidak berani berkuasa.[22]
Kritik Nietzsche perlu kita refleksikan dalam menjalankan agama. Benarkah kepercayaan kita kepada Allah hanyalah pelarian ketika takut menghadapi realitas dunia? Benarkah keutamaan-keutamaan Kristiani seperti mengampuni, memaafkan, berbelas kasih dan suara hati hanyalah milik mereka yang kalah/budak? Benarkah untuk menghadapi realitas dunia yang penuh dengan kebencian, kita harus melupakan Allah? Sekarang kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri. Apakah sebagai orang yang beragama, kita memisahkan Allah dari realitas dunia yang kita hadapi? Apakah kita telah menghidupi atau mengkontekstualisasikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha menyadarkan kita akan realitas yang kita hadapi, sebab jangan-jangan kehidupan beragama kita hanya dipermukaannya yaitu pada identitas semu. Kritik Nietzsche ini mengajak kita untuk mendalami iman kita lebih jauh lagi dan tahu beriman secara benar. Beriman tidak bisa meninggalkan realitas sosial, sebab melalui tindakan sosiallah kita merealisasikan iman kita.

5.      Penutup
Kritik Nietzsche terhadap agama berangkat dari realitas zamannya. Ia mengkritik agama, karena agama baginya adalah ciptaan mereka yang kalah, mentalitas kaum budak yang tidak mampu berkuasa. Pertanyaannya apakah hanya sebatas itu? Bagaimana menjelaskan kepercayaan orang-orang kepada Allah dari mereka yang berkuasa, pemenang?
Namun Nietzsche telah menyadarkan kita bahwa tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi di antara kita yang percaya kepada Allah. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang karena takut menghadapi realitas hidupnya, pergi masuk biara atau seminari untuk mencari aman dalam lindungan tembok dengan cara ingin menjadi biarawan/i atau imam? Nietzsche memang meramalkan ateisme universal, tetapi jika kita memiliki agama dengan cara yang tidak benar, kita juga adalah ateis. Kita menciptakan teis-teis untuk menguasai diri sendiri seperti kekuasaan, harta dan perempuan? Kritik Nietzsche pertama-tama ditujukan kepada individu-individu yang beragama dan selanjutnya kepada institusi agama. Mampukan kita beriman dan berani menghadapi realitas dunia?






Daftar Pustaka

Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Vol. VII). New York: Image Books, 1994.
D. Aiken, Henry. Abad Ideologi: Dari Kant sampai Kierkegaard. Yogyakarta: RELIEF, 2009.
Frans, Magnis Suseno. Menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spake Zarathustra. terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.








[1] Frederick Copleston, S.J, A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Volume VII), New York: Image Books, 1965, hal. 390.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 258.
[3] Ibid., hal. 259.
[4] Frederich Copleston, S.J, Loc. cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal 391-392.
[7] Ibid. Bdk. F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 260.
[8] Henry D. Aiken, Abad Ideologi: Kant-Kierkegaard, Yogyakarta: Relief, 2009, hal. 117.
[9] Ibid., hal. 120-121.
[10] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 269.
[11] Ibid., hal 270. Bdk. Frederich Copleston, S.J, Op. cit., hal. 401.
[12] Henry D. Aiken, Op. cit., hal. 248.
[13] Sabda Zarathustra yang lengkap dapat dibaca dalam buku yang berjudul “Nietzsche: Sabda Zarathustra” terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso, dengan judul asli Thus Spake Zarathustra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 45-496.
[14] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 274.
[15] Bdk. Frederick Copleston, S.J, Op. cit., hal. 413.
[16] F. Budi Hardiman, Op. cit, hal. 274.
[17] Ibid., hal. 276.
[18] Ibid., hal. 279.
[19] Ibid., hal 279.
[20] Ibid., hal 280.
[21] A. Setyo Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 87.
[22] Frans Magnis Suseno, Menalar tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.