Fondasi sebuah
peradaban berangkat dari peristiwa, konsensus, komitmen dan impian dari
masyarakat di masa yang lalu dalam mengkonstruksi peradaban di hari esok. Peristiwa,
konsensus, komitmen dan impian masyarakat yang telah melintasi ruang dan waktu
perlu dikristalisasikan dalam tulisan. Tentu catatan ini sangat singkat
(seperti sebuah kronik) karena hanya mencantumkan peristiwa dan hasil dari
sebuah kesepakatan masyarakat Dayak tanpa mengulas sejarah serta latar belakangnya.
Beberapa peristiwa memang sudah diulas oleh beberapa tokoh dan aktor yang
terlibat tetapi yang lain perlu ada pendalaman lebih lanjut. Tulisan ini bukan
untuk mengorek peristiwa lama tetapi agar bisa belajar dari setiap peristiwa
demi tercapainya keharmonisan hidup sebagai manusia.
Masyarakat yang
mendiami pulau Kalimantan adalah golongan Polinesia (campuran budaya
Austronesia dan Austroasiatik) yang diperkirakan tahun 3000 SM (Heine-Galdern,
1928). Pada abad ke-4, mereka sudah bersentuhan dengan agama Hindu dan Buddha. Pada
abad ke-5 M kebudayaan Tiongkok (Dinasti Liang) sudah berkontak dengan penduduk
di Kalimantan. Agama Islam masuk sekitar abad ke-16, sedangkan Katolik sekitar
abad ke-17 dan agama Kristen sekitar abad 19.
Kolonialisme
Pada abad ke-16,
Spanyol sempat singgah di Kalimantan bagian utara namun kemudian hari mereka
berlayar mencari sumber rempah-rempah ke Pulau Maluku. Sekitar abad ke-17 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
masuk dan berdagang di Kalimantan. Tetapi dibagian utara pulau dikuasai Inggris
pada abad ke-19. Sedangkan pada tahun 1941-1945, Kalimantan pernah dikuasai
Jepang, namun karena kalah dalam perang dunia II maka para founding people mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945.
Penamaan
pulau Kalimantan
Pulau Kalimantan
mendapat beberapa penyebutan yang berangkat dari legenda dan bangsa yang
menjajahinya. Masyarakat setempat menyebutnya Tanah Kalimantan, Majapahit
menyebutnya Tanjung Negara, bangsa kolonial menyebutnya Borneo, Pulau Hujung
Tanah kalau dalam hikayat Lambung Mangkurat dan Pulau Bagawan Bawi Lawu Telo
atau negeri tempat tiga putri kalau dalam Tjilik Riwut. Namun penyebutan yang
populer adalah Pulau Kalimantan dan Pulau Borneo.
Penyebutan
Dayak
Penyebutan Dayak
pertama kali ditemukan dalam literatur pada tahun 1970 oleh Rademaker (Institut
Dayakologi, 2008), namun penggunaannya masih belum menunjukkan pada semua
masyarakat penduduk asli non melayu di Kalimantan karena di Malaysia lebih
dikenal Puak seperti Puak Murut, Puak Desa atau Suku Iban. Selain itu masih bertebaran
kata dalam penulisan dan penyebutan penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan
seperti adalah Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker dan Dayak.
Maka melalui ekspo budaya Dayak di Pontianak pada tahun 1992 diputuskan
menggunakan kata “Dayak” untuk menyebut penduduk asli yang mendiami pulau
Kalimantan.
Batas teritori negara
Pulau Kalimantan akhirnya
terbagi dalam tiga teritori negara seperti;
-
Tahun 1945, Kalimantan
bagian Barat, Timur, Tengah dan Selatan karena dijajah Belanda maka masuk
Indonesia. Pada tahun 2012 terbentuk Kalimantan Utara setelah pemekaran dari
Kalimantan Timur.
-
Sabah dan Sarawak pada tahun
1963 bergabung dengan persekutuan Tanah Melayu lalu membentuk Malaysia.
-
Brunei Darussalam mendapat
kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1984
Konflik dan kekerasan
-
Pada 1824 muncul kekerasan etnis antara
Dayak dengan Tionghoa di Monterado. Yang mendapat keuntungan adalah Belanda
karena tambang-tambang emas yang dulunya dikuasai orang Tionghoa dapat direbut.
-
Kekerasan terhadap Pasukan Gerilya
Rakyat Sarawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) pada tahun 1967-1968.
Peristiwa ini merupakan langkah sistematis rezim orde baru terhadap organisasi
(dalam konteks ini orang Tionghoa) yang dianggap berafiliasi ke Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan melibatkan masyarakat Dayak dalam pelaksanaannya di
lapangan.
-
Konflik yang berujung pada kekerasan
etnis (Dayak dengan Madura) di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat pada tahun 1997,
dan Dayak-Melayu dengan Madura di Sambas, Kalimantan Barat tahun 1999. Konflik
ini menunjukkan rapuhnya rajutan sosial dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah
yang tidak adil juga menyalakan bara disintegrasi kehidupan sosial.
-
Konflik yang berujung kekerasan etnis (Dayak
dengan Madura) di Sampit, Kalimantan Tengah pada tahun 2001. Kekerasan ini
dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi-politik dan
sosial-budaya yang mengakibatkan kurang harmoninya kehidupan masyarakat.
Konsensus, Perjanjian dan Deklarasi
-
Pada tahun 1894 diadakan Rapat
Damai Tumbang Anoi di Tumbang Anoi, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Rapat
di hadiri oleh 152 kepala suku yang berlangsung pada 22 Mei sampai 24 Juni 1894
(Dayak Tempo Doeloe, 2017). Selain kepala suku juga hadir pejabat kolonial
Belanda wilayah administrasi Borneo, utusan kerajaan Banjar dan kesultanan
Kalbar. Isinya ada beberapa poin, yaitu (1). Menghentikan permusuhan antar suku
Dayak (saling kayau, saling bunuh, saling motong kepala); (2). Menghentikan
sistem Jipen (hamba, budak belian); (3).
Mengantikan wujud Jipen dari manusia
menjadi barang seperti tempajan tajau; (4). Menyeragamkan dan hukum adat
bersifat umum; (5). Kalau ada yang membunuh suku lain harus membayar Sahiring (sanksi adat); (6). Menata dan
memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah sesuai dengan
kebiasaan dan tata hidup yang dianggap baik.
-
Pada 17 Desember 1946, atas
nama 142 suku Dayak, Tjilik Riwut (usia 28 tahun) mengangkat sumpah setia
kepada pemerintah Republik Indonesia di hadapan Presiden Sukarno di Gedung
Agung Yogyakarta
-
Pada tahun 1992 diadakan Ekspo
Budaya Dayak di Pontianak untuk menyepakati kata “Dayak” untuk menyebut
penduduk asli pulau kalimantan baik dalam pengucapan maupun tulisan.
-
Pada 3-6 Juni 2017 diadakan Kongres
Internasional 1 Kebudayaan Dayak di Bengkayang yang melahirkan Deklarasi
Kebudayaan Bengkayang, yaitu (1). Menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur kebudayaan Dayak berlandaskan asas kemanusiaan; (2). Mengakui
satu Dayak yang tidak terpisahkan oleh batas-batas; (3). Menghadirkan
kebudayaan Dayak dalam kehidupan sehari-hari; (4). Mengakui setiap orang yang
menikah dengan Dayak menjadi Dayak; (5). Memanfaatkan sumber daya alam, air,
tanah, dan udara secara arif dan bijaksana; (6). Tanggap dan secara
berkelanjutan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemakmuran dan
kesejahteraan umat manusia; (7). Berbahasa Dayak sekurang-kurangnya bahasa ibu.
-
Pada 26-27 Juli 2017
diadakan Kongres Dayak Internasional 1 di Pontianak yang melahirkan 7
protokol, yaitu (1). Makna dan dimensi dari agama, tujuan dan
kebahagiaan hakiki dari bangsa Dayak; (2). Dimensi nilai-nilai kepercayaan dan
norma-norma dalam kehidupan bangsa Dayak; (3). Keterlibatan aktif bangsa Dayak
dalam menciptakan kebersamaan, toleransi dan perdamaian dunia; (4). Pentingnya
bangsa Dayak dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme); (5).
Pentingnya bangsa Dayak mengembangkan budaya dan kebudayaan Dayak keseluruh
dunia; (6). Komitmen bangsa Dayak dalam mendukung pemerintahan yang kuat dan
berwibawa dan melindungi rakyatnya; (7). Diaspora Dayak harus menjadi jembatan
emas untuk membangun kekuatan.
Catatan ini hanya merekam peristiwa-peristiwa besar
yang dialami oleh masyarakat Dayak dan mengantisipasi peristiwa destruktif
terulang kembali. Harapannya para anak muda Dayak sendiri tertarik untuk
belajar sejarah masyarakatnya dan menggali kekayaan nilai budaya serta adat
istiadatnya. Karena dengan belajar tentang asal usul dan sejarah para leluhur,
kita sedang mengkonstruksi peradaban yang dilandaskan pada nilai hidup dan
penghormatan terhadap manusia serta alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar