Kamis, 26 Oktober 2017

Perjalanan Masyarakat Dayak Melintasi Zaman

Fondasi sebuah peradaban berangkat dari peristiwa, konsensus, komitmen dan impian dari masyarakat di masa yang lalu dalam mengkonstruksi peradaban di hari esok. Peristiwa, konsensus, komitmen dan impian masyarakat yang telah melintasi ruang dan waktu perlu dikristalisasikan dalam tulisan. Tentu catatan ini sangat singkat (seperti sebuah kronik) karena hanya mencantumkan peristiwa dan hasil dari sebuah kesepakatan masyarakat Dayak tanpa mengulas sejarah serta latar belakangnya. Beberapa peristiwa memang sudah diulas oleh beberapa tokoh dan aktor yang terlibat tetapi yang lain perlu ada pendalaman lebih lanjut. Tulisan ini bukan untuk mengorek peristiwa lama tetapi agar bisa belajar dari setiap peristiwa demi tercapainya keharmonisan hidup sebagai manusia.
Masyarakat yang mendiami pulau Kalimantan adalah golongan Polinesia (campuran budaya Austronesia dan Austroasiatik) yang diperkirakan tahun 3000 SM (Heine-Galdern, 1928). Pada abad ke-4, mereka sudah bersentuhan dengan agama Hindu dan Buddha. Pada abad ke-5 M kebudayaan Tiongkok (Dinasti Liang) sudah berkontak dengan penduduk di Kalimantan. Agama Islam masuk sekitar abad ke-16, sedangkan Katolik sekitar abad ke-17 dan agama Kristen sekitar abad 19.

Kolonialisme  
Pada abad ke-16, Spanyol sempat singgah di Kalimantan bagian utara namun kemudian hari mereka berlayar mencari sumber rempah-rempah ke Pulau Maluku. Sekitar abad ke-17 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) masuk dan berdagang di Kalimantan. Tetapi dibagian utara pulau dikuasai Inggris pada abad ke-19. Sedangkan pada tahun 1941-1945, Kalimantan pernah dikuasai Jepang, namun karena kalah dalam perang dunia II maka para founding people mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945.

Penamaan pulau Kalimantan
Pulau Kalimantan mendapat beberapa penyebutan yang berangkat dari legenda dan bangsa yang menjajahinya. Masyarakat setempat menyebutnya Tanah Kalimantan, Majapahit menyebutnya Tanjung Negara, bangsa kolonial menyebutnya Borneo, Pulau Hujung Tanah kalau dalam hikayat Lambung Mangkurat dan Pulau Bagawan Bawi Lawu Telo atau negeri tempat tiga putri kalau dalam Tjilik Riwut. Namun penyebutan yang populer adalah Pulau Kalimantan dan Pulau Borneo.

Penyebutan Dayak
Penyebutan Dayak pertama kali ditemukan dalam literatur pada tahun 1970 oleh Rademaker (Institut Dayakologi, 2008), namun penggunaannya masih belum menunjukkan pada semua masyarakat penduduk asli non melayu di Kalimantan karena di Malaysia lebih dikenal Puak seperti Puak Murut, Puak Desa atau Suku Iban. Selain itu masih bertebaran kata dalam penulisan dan penyebutan penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan seperti adalah Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker dan Dayak. Maka melalui ekspo budaya Dayak di Pontianak pada tahun 1992 diputuskan menggunakan kata “Dayak” untuk menyebut penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan.

Batas teritori negara
Pulau Kalimantan akhirnya terbagi dalam tiga teritori negara seperti;
-          Tahun 1945, Kalimantan bagian Barat, Timur, Tengah dan Selatan karena dijajah Belanda maka masuk Indonesia. Pada tahun 2012 terbentuk Kalimantan Utara setelah pemekaran dari Kalimantan Timur.
-          Sabah dan Sarawak pada tahun 1963 bergabung dengan persekutuan Tanah Melayu lalu membentuk Malaysia.
-          Brunei Darussalam mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1984

Konflik dan kekerasan
-          Pada 1824 muncul kekerasan etnis antara Dayak dengan Tionghoa di Monterado. Yang mendapat keuntungan adalah Belanda karena tambang-tambang emas yang dulunya dikuasai orang Tionghoa dapat direbut.
-          Kekerasan terhadap Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) pada tahun 1967-1968. Peristiwa ini merupakan langkah sistematis rezim orde baru terhadap organisasi (dalam konteks ini orang Tionghoa) yang dianggap berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melibatkan masyarakat Dayak dalam pelaksanaannya di lapangan.
-          Konflik yang berujung pada kekerasan etnis (Dayak dengan Madura) di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat pada tahun 1997, dan Dayak-Melayu dengan Madura di Sambas, Kalimantan Barat tahun 1999. Konflik ini menunjukkan rapuhnya rajutan sosial dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah yang tidak adil juga menyalakan bara disintegrasi kehidupan sosial.
-          Konflik yang berujung kekerasan etnis (Dayak dengan Madura) di Sampit, Kalimantan Tengah pada tahun 2001. Kekerasan ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi-politik dan sosial-budaya yang mengakibatkan kurang harmoninya kehidupan masyarakat.

Konsensus, Perjanjian dan Deklarasi
-          Pada tahun 1894 diadakan Rapat Damai Tumbang Anoi di Tumbang Anoi, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Rapat di hadiri oleh 152 kepala suku yang berlangsung pada 22 Mei sampai 24 Juni 1894 (Dayak Tempo Doeloe, 2017). Selain kepala suku juga hadir pejabat kolonial Belanda wilayah administrasi Borneo, utusan kerajaan Banjar dan kesultanan Kalbar. Isinya ada beberapa poin, yaitu (1). Menghentikan permusuhan antar suku Dayak (saling kayau, saling bunuh, saling motong kepala); (2). Menghentikan sistem Jipen (hamba, budak belian); (3). Mengantikan wujud Jipen dari manusia menjadi barang seperti tempajan tajau; (4). Menyeragamkan dan hukum adat bersifat umum; (5). Kalau ada yang membunuh suku lain harus membayar Sahiring (sanksi adat); (6). Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah sesuai dengan kebiasaan dan tata hidup yang dianggap baik.
-          Pada 17 Desember 1946, atas nama 142 suku Dayak, Tjilik Riwut (usia 28 tahun) mengangkat sumpah setia kepada pemerintah Republik Indonesia di hadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta
-          Pada tahun 1992 diadakan Ekspo Budaya Dayak di Pontianak untuk menyepakati kata “Dayak” untuk menyebut penduduk asli pulau kalimantan baik dalam pengucapan maupun tulisan.
-          Pada 3-6 Juni 2017 diadakan Kongres Internasional 1 Kebudayaan Dayak di Bengkayang yang melahirkan Deklarasi Kebudayaan Bengkayang, yaitu (1). Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan Dayak berlandaskan asas kemanusiaan; (2). Mengakui satu Dayak yang tidak terpisahkan oleh batas-batas; (3). Menghadirkan kebudayaan Dayak dalam kehidupan sehari-hari; (4). Mengakui setiap orang yang menikah dengan Dayak menjadi Dayak; (5). Memanfaatkan sumber daya alam, air, tanah, dan udara secara arif dan bijaksana; (6). Tanggap dan secara berkelanjutan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia; (7). Berbahasa Dayak sekurang-kurangnya bahasa ibu.
-          Pada 26-27 Juli 2017 diadakan Kongres Dayak Internasional 1 di Pontianak yang melahirkan 7 protokol, yaitu (1). Makna dan dimensi dari agama, tujuan dan kebahagiaan hakiki dari bangsa Dayak; (2). Dimensi nilai-nilai kepercayaan dan norma-norma dalam kehidupan bangsa Dayak; (3). Keterlibatan aktif bangsa Dayak dalam menciptakan kebersamaan, toleransi dan perdamaian dunia; (4). Pentingnya bangsa Dayak dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme); (5). Pentingnya bangsa Dayak mengembangkan budaya dan kebudayaan Dayak keseluruh dunia; (6). Komitmen bangsa Dayak dalam mendukung pemerintahan yang kuat dan berwibawa dan melindungi rakyatnya; (7). Diaspora Dayak harus menjadi jembatan emas untuk membangun kekuatan.
Catatan ini hanya merekam peristiwa-peristiwa besar yang dialami oleh masyarakat Dayak dan mengantisipasi peristiwa destruktif terulang kembali. Harapannya para anak muda Dayak sendiri tertarik untuk belajar sejarah masyarakatnya dan menggali kekayaan nilai budaya serta adat istiadatnya. Karena dengan belajar tentang asal usul dan sejarah para leluhur, kita sedang mengkonstruksi peradaban yang dilandaskan pada nilai hidup dan penghormatan terhadap manusia serta alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar