Senin, 21 September 2015

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Tetapi keberagaman itu dapat dirajut dalam kebhinekaan dan kemauan politik para pendiri bangsa (founding fathers). Mereka rela melepaskan egoisme agama dan fanatisme kesukuannya untuk kesatuan dan persatuan Indonesia. Karena kemauan tekad mereka, kita bisa menikmati kemajemukan dan keberagaman bangsa.
Namun kemajemukan dan keberagaman harus selalu dirawat, karena rawan gesekkan dan silang pendapat. Apalagi tidak semua orang siap dengan situasi yang majemuk. Mereka lebih mengutamakan kelompok dan golongannya. Untuk itu perlu adanya orang-orang yang selalu merawat dan menjaga kemajemukan ini. Siapakah orang-orang itu? Bagaimana anak muda memahami kemajemukan dan multikulturalisme? Bagaimana anak muda menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan? Apa inspirasi untuk menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia? Beberapa pertanyaan ini akan menjadi penuntun dalam memahami uraian penulis.

  1. Pengertian Majemuk
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majemuk berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Sebagai contoh, orang Bauzi merupakan entitas orang Bauzi. Sebagai sebuah entitas, orang Bauzi berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tentu memiliki tata cara dan adat istiadat yang khas. Tetapi mereka juga harus memahami bahwa yang hidup di sekitar mereka ada begitu banyak suku dan budaya yang berbeda. Maka mereka harus menunjung dan menjaga persatuan dengan Indonesia, karena mereka adalah bagian dari Indonesia. Namun pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian kepada mereka, karena mereka bagian dari orang-orang yang ada di republik ini.
Sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman yang telah ada dan dirawat dalam satu kesatuan. Karena itu, Bangsa Indonesia disebut bangsa yang majemuk karena terdiri dari berbagai suku, agama, golongan dan sistem sosial yang diikat oleh rasa persatuan dan cinta tanah air. Keanekaragaman itu harus selalu dirawat dan dijaga, supaya kesadaran sebagai bagian dari bangsa ini tidak luntur. Untuk merawat ini diperlukan orang-orang yang memahami dengan baik arti kemajemukan, namun tetap berakar dalam tradisi dan keyakinnya.

  1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti banyak, dan “kultural” yang berarti budaya, ras dan kelompok sosial. Jadi, multikulturalisme adalah pandangan yang menempatkan manusia, entah apapun suku, ras, agama, termasuk kelompok gay dan lesbian memiliki nilai pada dirinya sendiri. Keberagaman itu harus diakui, dan setiap pribadi-pribadi yang menyandang status itu adalah unik.
Menurut Taylor (1994), sebagaimana dikutip oleh Reza Wattimena, multikulturalisme menempatkan setiap individu memiliki nilai pada dirinya sendiri. Maka setiap individu layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandang dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku, bukan hukum moral.
Pandangan multikulturalisme menunjukkan bahwa setiap pribadi manusia harus bisa menghargai perbedaan dan menempatkan pribadi lain pada posisinya tanpa mengurangi dan mengamputasi hak-hak mereka. Namun pengakuan dan penghargaan harus ditempatkan pada koridor yang benar. Dalam hal ini, hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Tentu tujuannya untuk merawat setiap perbedaan dan memberi batasan agar tidak terjadinya fanatisme suku, agama, golongan, status sosial dan berbagai kelompok sosial.
Sebagai sebuah pandangan, multikulturalisme memberikan kita pemahaman bahwa setiap individu bernilai dan bermartabat. Perbedaan agama, suku, ras, status sosial, dan kelompok sosial hanyalah bagian artifisial dari keutuhan hidup manusia. Perbedaan itu hanya terletak pada situasi di mana kita dilahirkan, pilihan dan keyakinan kita. Memang apa yang telah kita pilih dapat menjadi aktualisasi diri, tetapi di luar itu ada martabat yang sama sebagai manusia, entah dia pemulung, pengamen, gay-lesbian, kelompok suku minoritas, agama minoritas dan sebagainya.

  1. Kemajemukan dan Multikulturalisme Merupakan Keniscayaan
Kemajemukan dan keberagaman adalah suatu keniscayaan. Manusia tidak bisa menghindar hal itu. Yang perlu dilakukan adalah menerimanya dan menempatkan diri pada posisi yang benar. Untuk itu, kita perlu belajar dari para pendiri (founding fathers) bangsa Indonesia, misalnya Sukarno, Mohammad Hatta dan Ignatius Joseph Kasimo. Sukarno (1901-1970) adalah contoh manusia yang mampu menempatkan agama dan sukunya pada posisi yang benar, dan mampu menghargai kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia. Pancasila adalah cetusan gagasan yang sangat cemerlang dari Bung Karno untuk bangsa yang majemuk dan multikultural ini.
Mohammad Hatta (1902-1980) adalah orang yang mampu mengatasi tembok agama dan identitas kesukuan serta merangkul perbedaan yang ada. Dalam bidang politik, Bung Hatta adalah penggagas nasionalisme bersama Bung Karno. Misalnya ketika ada kaum agamis yang membajak ideologi nasionalis dengan memasukkan rumusan ajaran agama Islam dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Bung Hatta dengan sigap menerima pendapat kelompok non-muslim (diwakili oleh Latuharhary, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat) yang keberatan dengan di masukannya kata dan frasa yang sangat mengganggu kemajemukan dan keberagaman yang ada. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, kata dan frasa dalam Piagam Jakarta disempurnakan; adapun hal-hal yang disempurnakan sebagai berikut.
  1. Kata muqaddimah (diganti pembukaan)
  2. Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya)
  3. UUD 1945 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam (dihapus dan beragama Islam)
  4. UUD 1945 pasal 29 ayat 1, Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya).
Dalam bidang ekonomi, Bung Hatta sangat memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pada zaman itu berkembang sistem ekonomi kapitalis-sosialis dan komunis. Bung Hatta melihat bahwa sistem ekonomi itu tidak cocok untuk rakyat Indonesia, maka beliau menggagas sistem ekonomi koperasi. Sistem koperasi ini yang diharapkan mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.
Dikalangan umat Katolik, kita bisa mengenal beberapa tokoh nasional. Sebagai contah, Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986). Beliau adalah pejuang pluralisme, multikulturalisme dan salah satu tokoh yang mendirikan bangsa ini. Sebagai orang Katolik, beliau mampu berkerja sama dengan para tokoh bangsa yang lain untuk membangun ideologi nasionalis di negeri ini. Di jiwa beliau tertanam semboyan, 100% katolik, 100% Indonesia seperti digagas oleh Mgr. Soegijapranata, SJ (1896-1963).  

  1. Kaum Muda Perawat dan Penjaga Kemajemukan dan Multikulturalisme
Sebagai kaum muda, kita tidak bisa bersikap acuh tak acuh dengan kemajemukan dan multikulturalisme. Apalagi kehidupan sosial bangsa Indonesia tidak stabil. Sentimen kesukuan dan fanatisme agama seringkali terjadi dan membuat gesekan kehidupan sosial.
Untuk itu, kita perlu belajar pada tokoh-tokoh nasional, baik itu kaum nasionalis maupun kaum agamis yang nasionalis. Kita belajar dari mereka karena mereka mampu merejut keberagaman bangsa ini. Kita juga diharapkan mampu untuk memperkuat kemajemukan dan keberagaman yang ada. Sikap yang bisa kita tunjukkan adalah menghormati dan mengupayakan kemajemukan dan multikulturalisme tetap terjaga. Kitab Nabi Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”, bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk peduli dan mengusahakan keberagaman bangsa.
  
  1. Kesimpulan
Kaum muda adalah generasi penerus bangsa. Karena itu, kaum muda harus memahami dengan baik keberagaman suku, agama, ras, status sosial dan kelompok sosial bangsanya. Untuk bisa menjadi penjaga kemajemukan dan multikulturalisme, kaum muda dapat belajar dari para pendiri bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengatasi fanatisme agama dan sentimen kesukuan untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu kesatuan Indonesia.
Sebagai kaum muda Katolik, kita harus menanamkan di dalam hati kita semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Sebab kita hidup di bumi Indonesia dengan segala dinamika dan persoalannnya. Untuk itu, Yeremia 29:7 adalah inspirasi bagi kita untuk peduli dan terlibat dalam menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia.



Kehidupan Manusia Menurut Pandangan Moral Katolik

KEHIDUPAN MANUSIA
(Menurut Pandangan Moral Katolik)
Oleh: Heronimus Heron, S.S
Pernah digunakan untuk diskusi Blok C.1 "Conception, Fetal Growth and Congenital Anomaly" di Fakultas Kedokteran UGM tanggal 24 Agustus 2015 


Manusia adalah makhluk yang unik dan istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada keikutsertaannya dalam rencana Ilahi, yaitu memelihara dan melanjutkan kehidupan (bdk. Kej. 1:26-28) lewat reproduksi. Rencana Ilahi harus senantiasa dilanjutkan oleh setiap individu-individu sebagai rekan kerja Allah.
Dalam melanjutkan rencana Ilahi lewat reproduksi, terdapat pertanyaan dan persoalan, seperti siapa yang berhak melakukan pembuahan? Bagaimana dengan pasangan yang mandul? Kapan manusia disebut sebagai pribadi? Apakah manusia ikut serta dalam menciptakan generasi penerusnya? Apakah embrio dan janin bisa diperlakukan sesuka hati? Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi? Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu hamil yang sedang mengidap kanker rahim? Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap pribadi yang difabel?
Sederet pertanyaan di atas menyadarkan kita bahwa masih terdapat persoalan dalam melanjutkan rencana Ilahi. Setiap persoalan itu mengandung resiko yang tidak kecil, karena menyangkut kehidupan manusia. Untuk itu, Gereja Katolik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas dengan berlandaskan pada Kitab Suci dan Ajaran resmi Gereja Katolik.

1.      Pembuahan
Pembuahan hanya boleh dilakukan oleh pasangan (laki-perempuan) yang telah menikah secara sah (KHK Kan.1055 §1), diikat oleh perjanjian (foedus) untuk membentuk kebersamaan hidup (Gaudium et Spes 48) dan satu daging (Mat. 19:6).
Proses pembuahan dilakukan dengan hubungan sanggama (prokreasi alami), bukan tehnik pembuahan in vitro (pembuahan sel telur yg dilakukan di dalam tabung), kloning, pembekuan embrio, intervensi kromosom/genetis, dll.

Bagaimana dengan pasangan yang mandul?
Kitab Hukum kanonik Kan. 1055 §1 mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak. Karena itu, kalau ada argumentasi yang mengatakan bahwa hanya anak sebagai sumber kebahagiaan kehidupan suami-istri, itu kurang tepat. Walaupun memiliki anak merupakan keinginan dari pasangan yang menikah, tetapi pasangan tetap harus melakukannya dengan cara alami.
Setiap pasangan harus selalu sadar bahwa anak adalah anugerah Allah. Karena itu, diharapkan tidak melakukan proses pembuahan di luar hubungan sanggama, karena melanggar proses prokreasi dan campur tangan Allah. Yohanes Paulus II dalam eksortasi Apostolik, Familiaris Conscortio, mengatakan bahwa “Hidup perkawinan tak kehilangan makna, bila prokreasi hidup baru tak mungkin; kemandulan jasmani dapat menjadi kesempatan bagi suami-istri untuk melibatkan diri dalam karya pelayanan kehidupan”.


2.      Embrio
Sejak kapan manusia disebut manusia (pribadi/persona)? Sejak terjadi pembuahan (Pertemuan sel telur dan sel sperma). “Dari saat sel telur dibuahi sudah mulailah suatu kehidupan, yang bukan hidup ayah atau ibunya, melainkan hidup manusia yang baru beserta pertumbuhannya” (Evangelium Vitae 60). Bandingkan dengan Mazmur 139:13 “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”.

a. Apakah manusia berpartisipasi dalam awal kehidupan manusia?
Kita perlu menyadari bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26) dan menyerupai citra PutraNya (Rm. 8:28-29). Oleh sebab itu, manusia memiliki martabat yang amat luhur, karena ia rekan kerja Allah untuk melanjutkan kehidupan lewat perkawinan. Maka manusia harus ikut merawat kehidupan lewat hubungan sanggama suami istri.

b. Apakah manusia boleh memperlakukan embrio dan janin sesuka hatinya?
Manusia adalah rekan kerja Allah untuk memelihara kehidupan. Manusia harus melindungi dan menjaga kesehatan janin serta keselamatannya, karena tindakan pembuahan bukan semata-mata tindakan manusia, tetapi Allah turut berkarya (Donum Vitae 5). Kesehatan dan keselamatan embrio dan janin harus selalu diutamakan sebagai bentuk dari keikutsertaan manusia dalam melanjutkan kehidupan.

3.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi?
Allah adalah sumber kehidupan dan kematian. Hanya Allah yang berhak menghidupkan dan mematikan (Ul. 32:39). Tindakan pengguguran merupakan tindakan pembunuhan, karena membunuh janin. Tindakan ini melanggar perintah Allah yang ke-5 “Jangan membunuh” (Ul. 20:13), maka cintailah kehidupan. Dalam Kitab Yeremia dikatakan bahwa, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau...” (Yer. 1: 4-5).
Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa pengguguran adalah “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (GS 51). Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (HV 14). Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
            Jika tindakan aborsi dilakukan, maka dikenakan ekskomunikasi langsung (KHK Kan.1398),  termasuk mereka yang membantu seperti dokter, perawat, orang yang mendorong melakukan aborsi, orang yang membantu (termasuk yang mengantar) juga mendapat ekskomunikasi (KHK Kan. 1329 § 2). Bentuk konkrit dari sanksinya adalah tidak bisa menerima pelayanan dari Gereja, seperti pelayanan sakramental. Argumentasi Gereja adalah embrio/janin memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa. Hidup manusia harus dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (Aborsi 11).

Bagaimana caranya supaya pelaku aborsi itu dapat dipulihkan dari tindakan ekskomunikasi?
Allah maha rahim. Gereja adalah simbol dari belas kasih dan kerahiman Allah. Pelaku (dan orang yang terlibat dalam tindakan itu) harus datang mohon pengampunan kepada Allah melalui Gereja lewat sakramen tobat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bapa Uskup dapat memberikan wewenangnya supaya imam (bapa pengakuan) dapat mengampuni dosa ekskomunikasi. Setalah itu (bapa pengakuan) harus menginformasikannya kepada Bapa Uskup (KHK Kan. 1357). Atas nama Gereja Katolik, bapa pengakuan akan memulihkan haknya dan mengarahkan supaya pelaku tersebut melakukan ulah kesalehan.

Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu yang sedang hamil, tetapi terdapat tumor/kanker rahim yang harus dioperasi?
Jika menghadapi kasus ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
-          Konsultasikan dengan dokter yang berpengalaman tentang resiko yang akan dihadapi oleh si ibu berserta janinnya. Usahakanlah mendapat informasi yang cukup lengkap dan komprehensip.
-          Datanglah kepada imam/pastor untuk mendengarkan pendapat mereka. Utarakanlah segala resiko yang akan terjadi kalau tidak dioperasi/dilakukan operasi (meminta pandangannya mengenai ajaran resmi Gereja menyangkut persoalan yang dihadapi).
-          Berdoalah kepada Allah dan mohonlah petunjuk dariNya

Jika operasi tetap dilakukan, berikut argumentasi moralnya:
-          Tujuan utama dilakukannya operasi adalah untuk keselamatan si ibu/janin, bukan membunuh janin/ibu, (jika janin meninggal, ini merupakan sebab dari usaha menyelamatkan si ibu – atau sebaliknya, kesediaan si ibu berkorban untuk keselamatan si janin)
-          Harus mempunyai alasan seimbang (menyelamatkan si ibu karena si ibu masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga – atau si ibu dengan tindakan bebasnya ingin supaya janinnya dapat hidup)
-          Tujuan yang baik tidak boleh menghalalkan segala cara
-          Pilihan terakhir
-          (catatan: Tindakan ini hanya boleh dilakukan bila si ibu mendapat informasi mengenai kesehatan dan keselamatannya secara lengkap, dilakukan dengan kesadaran dan kebebasannya serta pilihan terakhir)

4.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang mereka yang difabel?
Kelainan fisik dan mental bukanlah alasan untuk mengucilkan (menghilangkan nyawa) seseorang, karena setiap pribadi memancarkan citra Allah. “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Tugas manusia adalah merawat dan menjaga kehidupan dengan segala resikonya.
Perlu kita sadari bahwa dalam hidup juga terdapat pohon salib (bdk. Yoh. 19:37). Jalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan terima serta rawatlah saudara-saudari yang hidup secara istimewa, sebab “Tuhan memiliki rencana untuk kehidupan ini, dan rencana Tuhan bukanlah rencana kita” (Yes. 55:8-9).
Hendaknya semua keluarga Katolik menerima dan menjalankan rencana Tuhan dalam kehidupannya. Mereka yang memiliki keistimewaan fisik dan mental adalah saudara kita dalam mengarungi kehidupan ini. Sebagai warga Katolik, tunjukkanlah bahwa keluarga kita adalah “kenizah kehidupan” (Mzm. 128:3), dan teladanilah keluarga Nazaret dalam kehidupan ini.


Sumber:
Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik) 1983. Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2006.
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Hardawiyana, SJ. Gaudium et Spes (Gereja dalam Dunia Modern), Dokumentasi Penerangan KWI, 2008.
Declaration on Procured Abortion. Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1974.
Instruction Donum Vitae (Hormat Terhadap Pribadi Manusia). Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1987.
Paul II, John. Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio (Keluarga Kristiani di Dunia Modern). Vatican:  Libreria Editrice Vaticana, 1981. 
_______. Encyclical Veretatis Splendor (Cahaya Kebenaran). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1993.
_______. Encyclical Evangelium Vitae (Injil Kehidupan). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1995.
VI, Paul. Encyclical Humanae Vitae (Hidup Manusia). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1968.