ENSIKLIK QUADRAGESIMO ANNO NO. 79-80 DAN FILSAFAT
POLITIK ARISTOTELES
Manusia dalam kodratnya adalah makhluk
sosial. Dimensi sosialitas manusia dapat kita jumpai dalam kehidupan hariannya
ketika ia berpartisipasi dalam tata hidup bersama. Hal itu berarti bahwa manusia
akan merasakan kegembiraan dan penderitaan bersama. Dalam bahasa Dokumen
Konsili Vatikan II, perasaan bersama itu adalah “Kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan orang-orang zaman ini, terutama mereka yang miskin dan menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.[1]
Dari ungkapan di atas nampak bahwa
manusia akan berupaya untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik. Namun
bagaimana manusia bisa mewujudkannya? Apa yang akan dilakukan oleh manusia
untuk mengaktualisasikan kodratnya ketika melihat penderitaan sesamanya
terutama dibidang ekonomi dan politik? Dua pertanyaan ini akan menjadi kerangka
berpikir penulis dalam menguraikan tulisan ini.
- Latar
Belakang Ensiklik Quadragesimo Anno
Quadragesimo Anno (QA) merupakan ensiklik
Paus Pius XI yang dikeluarkan pada 15 Maret 1931, untuk merayakan 40 tahun
Ensiklik Rerum Novarum (Ensiklik Paus Leo XIII yang dikeluarkan pada 15 Mei
1891). Quadragesimo Anno ditulis bertujuan untuk menangapi krisis ekonomi yang
berlarut-larut dan menimbulkan dampak bagi banyak orang. Selain itu, jumlah
pengangguran juga membengkak. Namun di sisi lain, berkembanglah sejumlah
serikat buruh. Dari tahun 1914/1915 sampai 1920, di Prancis terdapat 600.000
sampai 2 juta; di Inggris dari 4 juta ke 8 juta, di Jerman dari 800.000 menjadi
2 setengah juta; di Amerika Serikat dari 2 juta menjadi 4 juta. Tetapi dari
tahun 1920 muncullah perdebatan hangat yang akhirnya terjadi revolusi dan
reformasi. Untuk mereformasi perekonomian, maka dibentuklah suatu bentuk kerja
sama antar buruh di bawah Federasi
Serikat Buruh Internasional. Sementara para buruh di Rusia mendirikan Serikat Buruh Internasional Merah.[2]
Selain itu, Eropa pada saat itu memiliki
jajaran pemerintahan yang kuat. Di Italia ada fasisme, di mana Mussolini (pada
tahun 1930) menerapkan korporatisme yang diatur oleh negara yang mengorganisasi
kaum muda dan kaum buruh, dan menanamkan kesadaran kepada mereka bahwa mereka
adalah negara kuat dan besar. Di Jerman muncul nyala api sosialisme nasional,
kendatipun ada gencatan senjata antara tahun 1929 dan 1931. Begitu juga Mexico
sedang mengalami penganiayaan religius, sedangkan Uni Soviet mulai menebarkan
pengaruhnya melalui partai komunis.[3]
Karena itu, Paus Pius XI mengundang
beberapa ahli, di antaranya Oswald von Nell-Breuning SJ, seorang ahli ekonomi
yang dekat dengan serikat buruh beraliran liberal dan Desbuquois SJ dari Action Populaire Prancis, serta beberapa
ahli sosial lainnya untuk membahas dan mengupayakan suatu eksiklik sosial yang
baru. Setelah melalui tujuh atau delapan kali peredaksian, maka terbitlah
Ensiklik Quadragesimo Anno (QA).[4]
Sebagai
sebuah ensiklik, QA merupakan wujud keprihatinan baru dari Gereja berkaitan
dengan perkembangan tata politik dan tata sosial ekonomi bangsa-bangsa. Karena
itu, QA mengajukan prinsip-prinsip sosial-politik yang akan menerangi
perjalanan manusia “modern” (memasuki perkembangan baru).[5]
1.1.Isi
Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79-80[6]
Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79
berbicara tentang pentingnya lembaga sosial menjalankan fungsinya
masing-masing, sehingga tidak menimbulkan kekacauan tata tertib. Dan bagi
lembaga sosial, diharapkan dapat menyelenggarakan bantuan bagi para anggota
lembaga sosial, dan negara jangan pernah menghancurkan dan menyerap mereka.
Sedangkan QA no. 80 berbicara tentang
pentingnya memetakan masalah supaya setiap persoalan dapat ditangani dengan
baik dan pembagian kewanangan supaya lebih efektif. Para penguasa hendaknya
memperhatikan pelbagai serikat dan mematuhi prinsip “subsidiritas”, supaya
dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang akhirnya
mensejahterakan suatu negara.
Dari dua isi artikel di atas, ada dua
prinsip yang sangat penting bagi tata kehidupan sosial, yaitu: solidaritas dan
subsidiaritas.[7] Terminologi
kata “solidaritas” dapat kita simpulkan dari ungkapan bahwa setiap lembaga
sosial menyelenggarakan bantuan bagi para anggota lembaga sosial. Tentu
tujuannya supaya setiap anggota lembaga sosial tercukupi kebutuhan dasariahnya.
Demikian juga negara harus memetakan kewenangan supaya apa yang dikerjakan oleh
lembaga sosial, negara tidak perlu ikut campur. Negara masih memiliki banyak
urusan yang harus diselesaikan. Inilah prinsip subsidiaritas.[8]
Terminologi kata “solidaritas dan subsidiaritas” menunjukkan bahwa kodrat
manusia sebagai makhluk sosial dalam negara diakui.
- Filsafat
Politik Aristoteles
Aristoteles adalah seorang filsuf yang
lahir sekitar tahun 384/3 SM di Stagira, daerah Thacia, Yunani. Ayahnya bernama
Nicomachus, berprofesi sebagai seorang tabib pribadi Raja Makedonia, Amyntas
II.[9]
Aristoteles menyumbang pemikiran yang
cukup besar bagi filsafat politik. Baginya, seseorang akan menjadi eksis dalam polis. Yang dimaksud dengan polis adalah negara kota. Jika
digambarkan, polis biasanya dilukiskan
sebagai sebuah kota di atas bukit dengan dikelilingi oleh benteng atau tembok
yang memiliki pintu gerbang sangat kokoh. Pada waktu itu, fungsi tembok sangat
penting untuk melindungi kota dari serangan musuh. Maka, polis berarti sebuah keseluruhan sistem kehidupan bersama.[10]
Menurut Aristoteles, negara merupakan
kumpulan dari individu-individu yang membentuk keluarga. Kumpulan keluarga akan
membentuk desa, dan seterusnya menjadi negara.[11]
Negara sebagai kumpulan masyarakat memiliki tujuan, yaitu kebaikan bersama,[12]
karena dalam kodratnya, manusia adalah makhluk sosial. Dalam negara, manusia
mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia.
Untuk mengaktualisasikan kodratnya
sebagai manusia, maka manusia akan menjelankan fungsinya masing-masing. Ada
manusia yang lahir untuk diperintah, seperti para budak, perempuan dan orang
yang tidak memiliki status warga negara, serta ada yang memerintah. Pemerintah
yang membawa negara ke tujuan yang baik, disebut Kingship (dipimpin oleh satu orang), Aristokrasi (dipimpin oleh beberapa orang kaum bangsawan) dan Polity (negara dipimpin oleh hukum).
Sedangkan pemerintah yang membawa negara pada tujuan yang tidak baik disebut Tirani (dipimpin oleh seorang penguasa),
Oligarki (dipimpin oleh beberapa
orang yang berkuasa) dan Demokrasi
(dipimpin oleh rakyat).[13]
Dengan menjalankan fungsinya
masing-masing dalam sebuah negara, maka manusia telah mewujudkan kodratnya
sebagai manusia. Manusia akan mengalami kepenuhan hidup dalam negara. Ada dua
hal penting yang perlu didalami ketika manusia mengaktualisasikan kodratnya.
Dua hal penting itu sangat berkaitan dengan prinsip Quadragesimo Anno no.
79-80, yaitu solidaritas dan subsidiaritas (dua prinsip ini akan dijelaskan
secara mendalam dalam bagian berikut ini).
- Elaborasi
Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79-80 dengan Filsafat Politik Aristoteles
Ensiklik QA no. 79-80 merupakan suatu
prestasi akal budi yang mampu merumuskan kodrat manusia dalam negara. Sebagai
sebuah ensiklik, tujuannya adalah untuk mengimbangi keadaan, baik itu ekonomi
maupun politik. Hal ini berarti, para perumus ensiklik QA adalah orang-orang
yang telah mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia dengan cara menciptakan
tata kehidupan yang lebih baik.
Dalam pemikiran Aristoteles, perumus QA
adalah pemimpin yang mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Kingship. Tentu ini merupakan bentuk kesadaran seorang pemimpin
yang telah belajar filsafat dan analisis-analisis sosial. Tanpa itu, orang
tidak akan pernah merumuskan atau mendeklarasikan sebuah pemikiran yang sangat
berguna bagi orang banyak.
Sebagai seorang pemimpin, Paus Pius XI adalah
orang yang sangat mengerti politik dan memiliki practical wisdom. Kebijaksanaan praktis ini bukan ia gunakan untuk
dirinya sendiri dan kelompoknya, tetapi ia gunakan untuk kepentingan umum (bonum commune, common good). Dengan menunjukkan keprihatiannya kepada kebaikan
bersama, ia mengajukan dua terminologi kata yang sangat penting bagi kehidupan
ekonomi dan politik, yaitu “solidaritas” dan “subsidiaritas”.
Solidaritas adalah upaya manusia untuk
membantu dan menolong sesamanya. Tentu solidaritas ini timbul dari kesadaran
manusia sebagai manusia yang berupaya untuk menjadikan kehidupan sesamanya lebih
baik. Dalam kesadaran ini muncul pertanyaan yang cukup mengusik kita, yaitu
mengapa masih banyak orang yang tidak peduli akan hidup sesamanya? Kalau kita
bertitik tolak dari pemikiran Aristoteles, jelas bahwa mereka yang tidak
memiliki kepedulian terhadap sesamanya adalah orang yang belum
mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia, dan para pemimpin yang tidak mau
peduli adalah para pemimpin yang tidak memiliki practical wisdom.
Apakah kita mau disebut sebagai orang
tidak atau belum mewujudkan kodrat kita sebagai manusia? Penulis menjawab
tidak! Sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal budi dan hati, kita akan
sadar bahwa sesama kita adalah saudara. Mengapa kita harus menanamkan sikap
solidaritas? Kita menanamkan sikap solidaritas pertama-tama bukanlah karena
sesama membutuhkan uluran tangan kita, tetapi karena kita yang membutuhkan
mereka suapaya kodrat kita sebagai manusia dapat diwujudnyatakan. Hal ini perlu
ditanam dalam diri kita agar jangan sampai kita berpikir bahwa tanpa kita orang
tidak bisa tercukupi kebutuhan dasarnya baik dibidang ekonomi dan politik.
Sebagai makhluk sosial, kita akan memiliki
peran masing-masing dalam sebuah negara. Untuk membagi peran ini dibutuhkan
seorang pemimpin yang cakap (atau memiliki practical
wisdom), supaya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Sebagai contoh,
seorang budak bertugas untuk menyokong kehidupan majikannya. Seorang tentara
bertugas untuk menjaga keamanan kota dari serangan musuh. Begitu juga halnya
dengan pedagang bertugas untuk mengatur kebutuhan hidup supaya masyarakat tidak
kelaparan. Pembagian tugas itu penting supaya masyarakat mengetahui perannya
dan tidak mengurusi apa yang bukan menjadi kecakapannya, misalnya seorang
tentara yang memiliki kecakapan bertempur tidak mengurusi ekonomi. Inilah yang
dinamakan subsidiaritas. Jika prinsip ini menjadi kesadaran pemerintah dan
ditanamkan dalam masyarakat, maka negara akan maju dan seluruh warga negara
akan makmur.
- Sumbangannya
bagi Tata Hidup Bersama
Sebuah negara terdiri dari berbagai
kelompok masyarakat. Kelompok itu biasanya akan memposisikan dirinya dalam
bidang tertentu. Tetapi ada juga kelompok masyarakat yang ingin menguasai
segalanya. Dalam hal ini, seorang pemimpin harus bisa memposisikan dirinya
sebagai Kingship. Pemimpin yang bisa
memetakan persoalan dan memastikan bahwa setiap segi kehidupan di isi oleh
orang-orang yang profesional. Pembagian peran yang sesuai dengan kecakapan masing-masing
anggota masyarakat sangat penting supaya negara tidak diurusi oleh orang-orang
yang tidak cakap di dalam bidangnya.
Pemimpin harus menjadikan kepentingan
semua orang di atas kepentingan individu dan golongan. Selain itu, sebagai
anggota masyarakat, kita harus menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi bangsa.
Pemberian diri dengan cara menyumbangkan kecakapan kita dibidang tertentu dan
bekerja dibidang tertentu adalah bentuk dari aktualisasi kodrat kita sebagai
manusia.
Ketika kita menjalankan peran
dalam masyarakat, kita harus memiliki rasa peduli dengan orang lain yang ada di
sekitar kita ketika menyaksikan orang yang bergulat dalam persoalan hidupnya,
terutama mereka yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan hak
politiknya. Mengapa kita harus membantu mereka? Karena dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 2-3, “Setiap orang memiliki hak untuk hidup
(mempertahankan hidup, termasuk ekonomi) dan hak politik”.[14]
Artinya, setiap warga negara memiliki hak dasar untuk hidup dan mardeka, dan
kewajiban kita untuk mengupayakannya (DUHAM, pasal 29), sebab ini merupakan
bagian dari perwujudan kodrat kita sebagai manusia yang lahir mardeka, memiliki
akal budi dan memiliki martabat yang sama sebagai manusia (DUHAM, pasal 1),
karena itu, jika kita menyadari kodrat kita ini, tidak ada alasan untuk kita
tidak membantu sesama. Membantu sesama bisa dengan banyak cara, misalnya jika
kita berprofesi sebagai lawyer,
bantulah orang yang sangat menbutuhkan bantuan hukum, seperti nenek Asyani yang
didakwa mencuri kayu jati milik Perum Perhutani di Situbondo.[15]
Rasa solidaritas ini merupakan
langkah kepedulian dan kemauan untuk membantu sesama yang tidak lain adalah
upaya kita mengembangkan diminsi sosial kita dalam kehidupan bersama. Dengan
membantu mereka yang membutuhkan, kita telah berusaha menciptakan tatanan
kehidupan sosial yang lebih baik.
Tentu dalam kehidupan bermasyarakat,
kita akan mengalami dinamika persoalan yang akan dihadapi. Persoalan itu bisa
terjadi dalam bidang politik maupun ekonomi, misalnya dalam bidang politik, negara
diserang oleh negara lain, sedangkan dalam bidang ekonomi bisa terjadi karena
gagalnya hasil panen karena buruknya cuaca ataupun karena hama. Dalam
menyelesaikan persoalan itu, perlu adanya pemetaan masalah dan pembagian peran
masyarakat supaya persoalannya terselesaikan, bukan malah membuat masalah baru.
Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk memastikan setiap persoalan
ditangani oleh orang yang cakap dibidangnya dan tidak dicampuri oleh pihak
lain, dan apa yang telah dikerjakan oleh kelompok sosial masyarakat, pemerintah
tidak ikut campur. Inilah prinsip subsidiaritas yang telah diimplementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Prinsip subsidiaritas menjadi penting
untuk masyarakat zaman ini, dimana orang ingin mencampuri urusan kelompok lain,
termasuk dalam bidang sosial-religius. Sebagai contoh, perkataan wakil ketua
umum MUI Ma’aruf Amin ketika memberikan pernyataan tentang polemik kolom agama
di KTP: “Lebih baik cukup enam agama itu. Nanti kalau dibuka bisa muncul
(banyak agama) lagi, bahkan bisa sampai 300 agama. Padahal untuk menentukan
keyakinan, itu agama atau bukan, tak mudah”.[16]
Dari pernyataan itu kita bisa mengajukan pertayaan, siapakah Ma’aruf Amin sampai
dia memiliki kuasa untuk menentukan apakah kepercayaan kelompok lain itu agama
atau bukan? Jelas penyataannya ini menunjukkan bahwa adanya kekeliruan berpikir
bahwa dia (kelompoknya) memiliki kuasa untuk mengkafirkan kelompok lain.
Padahal menurut Aristoteles, Ma’aruf Amin jelas bukan seseorang yang memiliki practical wisdom, sebab pernyataannya
menimbulkan ketidakstabilan keamanan dalam masyarakat.
Dalam keadaan masyarakat yang
tidak sehat ini diperlukan pembagian dan pembatasan wewenang. Di sinilah prinsip
subsidiaritas sangat diperlukan untuk mengatur tata hidup bersama supaya setiap
kelompok masyarakat tidak melakukan tindakan yang bukan menjadi wewenangnya.
Dua prinsip QA “solidaritas dan
subsidiaritas” yang dicetuskan oleh Paus Pius XI merupakan seperti nyala obor
yang menerangi manusia zaman ini dalam tata hidup bersama. Ini merupakan
kemajuan pola berpikir manusia (Paus Pius XI dan teamnya) yang bukan hanya
relevan untuk zamannya, tetapi juga sangat relevan untuk manusia yang hidup
dalam abad 21 ini.
- Penutup
Ensiklik Quadragesimo Anno (QA) yang
dikeluarkan oleh Paus Pius XI pada tahun 15 Maret 1931 dengan dua prinsip
“solidaritas dan subsidiaritas” masih sangat relevan bagi manusia zaman ini.
Paus Pius XI telah meletakkan fondasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi
melampaui zamannya. Inilah seorang pemimpin yang memiliki practical wisdom.
Dua prinsip dalam QA, yaitu solidaritas
dan subsidiaritas menjadi landasan dalam tata kehidupan bersama. Melalui
prindip solidaritas, kita menyadari bahwa kodrat kita sebagai manusia harus
diaktualisasikan dalam negara dengan cara membantu sesama. Tentu cara kita
membantu sesama, sesuai dengan peran kita masing-masing dalam negara. Peran ini
menjadi penting supaya tidak tumpang tindih kewenangan yang akhirnya bisa
menimbulkan konflik kepentingan. Untuk menghindari hal ini, diperlukan
distingsi yang jelas. Distingsi ini bukan mereduksikan kemampuan manusia yang
sangat multi-talent, tetapi supaya
setiap orang bisa memfokuskan perannya.
Dengan mengaktualisasikan kodrat kita
sebagai makhluk sosial dengan cara memiliki rasa solidaritas terhadap sesama
dan menjalankan peran kita masing-masing dalam sebuah negara, kita telah
berusaha membawa negara pada tujuan yang baik. Tujuan yang baik ini menjadi
impian kita bersama sebagai warga negara. Tujuan itu adalah menjadikan semua
orang mendapat haknya sebagai warga negara. Tentu dengan memastikan hak setiap warga
negara, orang akan menyadari kewajibannya sebagai warga negara, yaitu
menjadikan negaranya bermartabat. Inilah tujuan akhir dari aktualisasi kodrat
manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam negara, yaitu bermartabat dan
tercapainya kebaikan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Aristoteles. Politik. (Buku Pertama). terj. Syamsur Irawan Kharie. Yogyakarta:
Visimedia, 2008.
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia. (Edisi Kedua).
Terj. Briansyah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Greece and
Rome-From The Pre Socratics to Plotinus, Vol I, Doubleday. New York: Image
Books, 1993.
Dokumen Konsili Vatikan II. terj. R.
Hardawiryana SJ. Jakarta: DepDokPen KWI, 2004.
Kristiyanto,
Eddy. Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo
XIII. Malang: Dioma, 2003.
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991: Dari Rerum Novarum Sampai Dengan
Centisimus Annus. terj. R. Hardawiryana SJ. Jakarta: DepDokPen KWI, 1999.
Riyanto, Armada.
Berfilsafat Politik. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
___________. Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik.
Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Koran Kompas. Jumat 14 November 2014.
__________. Jumat 24 April 2015.
Koran Jawa Pos. Jumat 24 April 2015.
[1] “Gaudium et Spes”, no. 1, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R.
Hardawiryana SJ, Jakarta: DepDokPen KWI, 2004.
[2] Dr. Eddy Kristiyanto OFM, Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII,
Malang: Dioma, 2003, hlm. 25.
[3] Ibid., hlm. 26.
[4] Ibid., hlm. 28.
[5] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 24.
[6] Bagian pokok dari Quadragesimo
Anno ini, penulis rangkum dari isi Quadragesimo Anno no. 79-80, dalam Kumpulan
Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun
1891-1991: Dari Rerum Novarum Sampai Dengan Centisimus Annus, terj. R.
Hardawiryana SJ, Jakarta: DepDokPen KWI, 1999.
[7] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Op. cit., hlm. 25.
[8] Prinsip subsidiaritas, yaitu apa
yang dikerjakan bawahan, atasan sebaiknya tidak ikut campur.
[9] Frederick Copleston SJ, A History of Philosophy: Greece and
Rome-From The Pre Socratics to Plotinus, Vol I, Doubleday, New York: Image
Books, 1993, hlm. 266.
[10] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta:
Kanisius, 2011, hlm. 115.
[11] Frederick Copleston SJ, Op. cit., hlm. 351.
[12] Aristoteles, Politik Buku Pertama, terj. Syamsur Irawan Kharie, Yogyakarta:
Visimedia, 2008, hlm. 3.
[13] Frederick Copleston SJ, Op. cit., hlm. 355.
[14] Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi
Manusia (Edisi Kedua), Terj. Briansyah, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1993, hlm. 26-34.
[15] Lih. Koran Kompas, Jumat 24 April 2015, hlm. 1. Bdk. Koran Jawa Pos, Jumat 24 April 2015,
hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar