Minggu, 17 Mei 2015

Ambivalensi HAM untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Negara Hukum

AMBIVALENSI HAK ASASI MANUSIA UNTUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI NEGARA HUKUM


1.      Pengantar
Indonesia adalah negara yang majemuk. Ada keberagaman agama dan kepercayaan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dijadikan objek studi. Menjadikan keberagaman agama dan kepercayaan sebagai objek studi berarti mengkaji upaya pemerintah dalam menjaga dan melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada.
Bagaimana pemerintah melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia? Pemerintah melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada melalui peraturan perundang-undangan, sebab Indonesia sendiri dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai negara hukum.[1] Maka setiap kebijakan pemerintahan diuraikan dalam undang-undang sebagai manifestasi hukum. Melalui konstitusi, pemerintah menjamin hak setiap penduduk untuk memeluk agama dan keyakinannya. Tentu sebagai warga masyarakat yang beragama, kita patut berbangga hati karena hak asasi untuk mengaktualisasikan agama dan keyakinan kita dilindungi.
Namun yang menjadi persoalan ialah ternyata masih banyak terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menyebabkan pelanggaran hak asasi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi? Lalu bagaimana cara kita meminimalisir pelanggaran hak asasi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi penuntun dalam memahami uraian penulis berikut ini.

2.      Memahami Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang mendasar dalam diri manusia.[2] Menurut Jimly Asshidiqie, HAM adalah hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia sebagai manusia.[3] Jadi HAM bukanlah hak yang diberikan oleh negara. Negara hanya memastikan bahwa hak setiap warga negaranya dapat terjamin.
Pada artikel pertama dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kita menemukan bahwa HAM adalah milik semua orang karena, “Semua orang dilahirkan mardeka dan memunyai hak serta martabat yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani”. Oleh karena itu, Prof. Dr. Armada Riyanto berpendapat, artikel pertama ini merupakan prinsip filosofis bahwa martabat manusia melekat dalam dirinya sejak kelahirannya. Karena manusia lahir menyandang sekaligus akal budi dan hati nurani. Dalam kodratnya, ia merindukan dan membangun persaudaraan dengan sesamanya.[4] Maka dalam pelaksanaannya, akal budi dan hati nurani harus menjadi rujukkan untuk kemanusiaan. 

3.      Latar Belakang Hak Asasi Manusia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Kemajuan cakrawala berpikir manusia membuat setiap orang menyadari bahwa ia memiliki hak yang sama sebagai manusia. Tentu kesadaran ini tidak bisa lepas dari di deklarasikannya Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.[5] Sepintas kita melihat bahwa deklarasi ini merupakan sebuah katalog mengenai HAM. Tetapi jika didalami dengan baik, tidaklah demikian. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) berusaha memberikan suatu pengertian yang utuh tentang martabat manusia yang harus diterima dan diakui haknya.[6]
Sebagai sebuah kesepakatan, DUHAM merupakan produk pencapaian bersama setelah perang dunia II[7] dan memiliki dokumen-dokumen pendahulu. Dokumen pendahulu yang pertama adalah Magna Carta di Inggris, pada 15 Juli 1215. Kelahiran Magna Carta, diikuti oleh pernyataan-pernyataan tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill of Rights 1689; Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776 yang kemudian dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Amerika Serikat, 17 September 1787; Declaration Des Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1789, dan pernyataan-pernyataan lainnya.[8]
Hak Asasi Manusia (HAM) untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan sendiri tertuang dalam dokumen-dokumen di atas. Dalam DUHAM misalnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan termuat dalam pasal 18. Begitu juga halnya dalam Deklarasi Kemardekaan Amerika Serikat, Virginia Bill of Rights, kebebasan beragama dan berkeyakinan termuat dalam pasal 16.[9]

4.      Regulasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang menerima dan menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).[10] Namun Indonesia baru menaruh perhatian terhadap persoalan HAM pada akhir masa Orde Baru dengan didirikannya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 1993. Kemudian di era Reformasi, keseriusan dengan persoalan HAM diwujudkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No XVII/MPR/1998 tentang HAM.[11] Ketetapan MPR itu dijabarkan dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM[12] dan UU no. 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM.
Pada tahun 2000, pemerintah melakukan amandemen II UUD 1945.[13] Amandemen II itu mencantumkan Bab XIA tentang HAM terkhusus pasal 28A-28J. Selain itu, pemerintah juga telah meratifikasikan berbagai Konvensi Internasional di bidang HAM, seperti ICESCR (The International Convenant on Economical, Social and Cultural Rights) tahun 1966 melalui UU no. 11 tahun 2005, ICCPR (International Convenant on Civil dan Political Rights) tahun 1966 melalui UU no. 12 tahun 2005, dan berbagai Konvensi Internasional lainnya.[14] Regulasi ini menjadi pegangan bagi para pengiat HAM dalam memerjuangkan HAM di Indonesia.

5.      Laporan terjadinya Pelanggaran HAM untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
Indonesia dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai negara hukum dan telah meratifikasikan Konvensi Internasional tentang HAM, namun dalam praktiknya masih banyak terjadi pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat kita lihat dari laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pertama, menurut Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), pada tahun 2013 dari 7 provinsi yang dipantau terdapat 26 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sedangkan pada tahun 2014 dari 11 provinsi terdapat 52 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.[15] Kedua, menurut SETARA Institute, pada tahun 2013 terjadi 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 121 pelanggaran.[16] Ketiga, menurut The Wahid Institute, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan intoleransi di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 245 kasus, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 154 kasus.[17]
Dari laporan LSM tersebut, kita melihat ada penurunan jumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah mengapa peristiwa pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terjadi, padahal konstitusi dan undang-undang telah menjamin?

6.      Ambivalensi HAM untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
Persoalan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia ternyata salah satunya dipicu oleh tindakkan pemerintah yang menghormati HAM dengan setengah hati. Sebagai contoh, pertama, pemerintah mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, tetapi dalam praktiknya, pemerintah sampai saat ini hanya mengakui enam agama resmi melalui UU no. 1/PNPS 1965.[18] Sedangkan rakyat Indonesia memeluk beberapa “agama” (kepercayaan) yang berasal dari nenek moyang mereka, dan itu tidak diakui oleh pemerintah.[19] Kedua, kurangnya wibawa pemerintah, sehingga kelompok intoleransi berkembang di daerah-daerah tertentu. Berkembangnya kelompok intoleransi yang mengganggap diri benar dan mengklaim sebagai penerus tradisi agama yang sah akan memandang kelompok yang tidak sejalan dengan mereka sebagai musuh.[20] Tentu dalam kasus seperti ini, pemerintah harus proaktif mengupayakan agar kelompok intoleransi tidak bertumbuh subur di Indonesia. Pemerintah perlu memberlakukan regulasi yang jelas dan pengupayakan penegakan hukum yang adil, agar setiap orang atau kelompok yang melanggar hukum mendapat sanksi.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang mengeluarkan regulasi tanpa memertimbangkan kelompok tertentu. Misalnya, ketika pemerintah menerbitkan UU no. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Provinsi Aceh, dalam pasal 3 ayat 2, tercantum bahwa keistimewaan Aceh meliputi, “Penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan para ulama dalam menetapkan kebijakan daerah”. Sedangkan pasal 4 berbunyi, “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat”.[21] UU ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat 1, 29 ayat 2 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22 ayat 1 dan 2.
Jika UUD 1945 pasal 28E ayat 1 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22 ayat 1 dan 2 mengatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat, sedangkan pasal 29 ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, maka seharusnya pemerintah tidak mencantumkan isi UU no. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dalam pasal 3 ayat 2 terkhusus, “Penyelenggaraan kehidupan beragama dan peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah”, dan pasal 4. Karena kedua pasal itu membuka kemungkinan Pemerintah Aceh memberlakukan Hukum Syariat bagi penduduk di Provinsi Aceh. Apalagi menurut UU no 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah[22] pasal 136 ayat 4 berbunyi, “Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Sedangkan pada pasal 10 ayat 3 huruf (f) tentang urusan pemerintah dikatakan bahwa “agama” adalah urusan pemerintah. Maka seharusnya pemerintah bisa memertimbangkan bagaimana kesulitan kelompok minoritas yang ada di daerah Provinsi Aceh jika Hukum Syariat diberlakukan. Tetapi hal ini tidak diperdulikan oleh pemerintah, sehingga regulasi itu tetap dijalankan.
Hal yang lebih mengecewakan lagi adalah Pemerintah Aceh telah membuat peraturan daerah tentang pelaksanaan Hukum Syariat yang ditandatangani oleh DRS. H. Armia Ibrahim SH, selaku Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iah Propinsi NAD pada tanggal 31 Maret 2009.[23] Dalam peraturan itu dikatakan bahwa, “Kita (Pemerintah Aceh) harus ‘mengislamkan’ terlebih dahulu peraturan perundang-undangan yang kita (Pemerintah Aceh) buat untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Dengan mengislamkan semua peraturan perundang-undangan yang Pemerintah Aceh buat, maka dengan sendirinya Hukum Syariat berlaku bagi masyarakat bukan muslim di Aceh, karena semua peraturan daerah di bawah payung Hukum Syariat.
 Padahal menurut laporan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011, penduduk Provinsi Aceh berjumlah 4.948.907 Jiwa. Jumlah penduduk yang beragama Islam: 98,80%, Kristen Protestan: 0,84% Katolik: 0,16%, Buddha: 0,18%, Hindu: 0,02%.[24] Dari data ini jelas bahwa penduduk Aceh bukan hanya umat Islam. Di sinilah HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dilanggar, karena kemungkinan besar kelompok keagamaan minoritas di Aceh akan mengalami kesulitan dalam mengaktualisasikan keyakinannya.

7.      Usaha untuk Meminimalisir Pelanggaran HAM
Sebagai bangsa, kita harus berusaha memastikan bahwa HAM dapat ditegakkan di Indonesia. Segala bentuk penindasan dan ketidakadilan harus pelan-pelan kita singkirkan. Untuk memastikan hak setiap orang dijamin di negeri ini, maka penulis akan mengajukan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kita harus menegakkan konstitusi negara. Penegakkan ini penting karena di dalam konstitusi, hak setiap orang dijamin dan dilindungi oleh negara. Kedua, pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun undang-undang dan peraturan daerah. Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang dan peraturan daerah merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga, pemerintah harus memastikan bahwa setiap kelompok yang melanggar HAM mendapatkan sanksi yang tegas. Oleh karena itu, pemerintah harus berjalan dalam norma hukum, karena hukum bersifat mengikat.[25] Keempat, kita harus memahami HAM dengan baik. Hal ini penting supaya kita tidak mementingkan kelompok tertentu dan mengabaikan hak yang lain. Sebagai warga negara, kita harus memastikan bahwa Indonesia adalah rumah yang nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia.[26] Kelima, kita harus memiliki rasa solidaritas dan simpati terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di negeri ini, misalnya kelompok agama dan kepercayaan minoritas, sebab mereka juga adalah rakyat Indonesia. Rasa solidaritas dan simpati terhadap kelompok minoritas merupakan aktualisasi diri kita sebagai sesama manusia yang saling menghargai dan menghormati. Keenam, pemerintah harus memastikan bahwa negara hadir untuk melindungi segenap masyarakat Indonesia. Kehadiran pemerintah dapat ditunjukkan dengan meminimalisirkan peristiwa pelanggaran HAM dan tidak membiarkan praktik-praktik pelanggaran HAM terjadi di Indonesia.

8.      Penutup
Setiap orang harus dihormati dan diakui haknya. Karena itu pemerintah tidak boleh mengambil atau mengurani hak setiap orang. Kita bisa berbangga karena di Indonesia, hak asasi kita dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang. Namun kita tidak boleh pasif dan hanya menikmati hak tanpa mau berbuat sesuatu yang berguna bagi sesama. Sebab, di dalam hak ada kewajiban yang harus kita emban. Kewajiban kita sebagai warga negara yang beragama adalah memastikan bahwa negeri ini menjadi tempat yang nyaman bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan. Sebelum hal itu terwujud, maka tugas kitalah untuk mewujudkannya.
Tentu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan negeri ini menjadi rumah yang nyaman dan aman adalah pemerintah. Sebab amanah ini diberikan oleh konstitusi negara, “Pemerintah bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.[27] Maka kepada pemerintahan baru, kita sangat mengharapkan tidak menambah persoalan HAM untuk bebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Kita mengharapkan apa yang tertuang dalam program prioritas Presiden Joko Widodo terkhusus penjelasan “Berdaulat dalam bidang politik” no. 11, poin (a) “Kami (Pemerintah) berkomitmen membangun politik legislasi yang jelas … penegakan HAM …” serta poin (aa) “Kami (Pemerintah) berkomitmen menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM …”[28] bukan hanya janji kampanye. Kita mengharapkan pemerintah berkomitmen sembari kita juga harus memerkuat kebhinekaan. Karena setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakatnya[29] dan mengupayakan bangsa ini menjadi tempat yang nyaman untuk didiami oleh semua pemeluk agama dan kepercayaan. (Pernah penulis muat di Jurnal Ilmiah FORUM STFT Widya Sasana, 2015).



Daftar Pustaka

Buku
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia (edisi kedua). Terj. Beriansyah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Diredja, M.E. Perang Dunia I & II dan Latar Belakangnya, Jakarta: CV. Analisa, 1960.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945-Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana, 2005.
Finnis, John. Natural Law and Natural Rights. New York: Oxford University Press, 1980.
Hardiman, F. Budi. Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Kelsay, John dan Sumner B. Twiss. Agama & Hak-Hak Asasi Manusia. Terj. Ahmad Suaedy dan Elga Sarapung, Jakarta: Dian Institut, 1997.

Pratiwi, Ceklik Setya. “Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-Prinsip dan Instrumen HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia”. “Hak Asasi Manusia Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Keniscayaan, Kenyataan dan Penguatan”. (Hasnan Bachtiar, ed). Malang: PUSAM Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, 2014.
Riyanto, Armada. “Hak Asasi Manusia: Pergumulan Etika dan Politik”. HAM: Telaah Filosofis Teologis. (Dr. Armada Riyanto, ed). Malang: STFT Widya Sasana, 2001.


Setiardji, A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Undang-Undang HAM 1999. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.

Undang-Undang Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Artikel dan Internet
Koran Kompas. Jumat 14 November 2014.
________. Selasa 30 Desember 2014.
Laporan Kemendagri tentang profil Provinsi Aceh, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam. Diakses, 22 Januari 2015.
Peraturan Daerah Aceh tentang pelaksanaan Hukum Syariat Islam, http://www.ms-aceh.go.id/images/data_lama/stories/food/data/peraturan/PP_tentang_Pelaksanaan_SI.pdf. Diakses, 2 Januari 2015.
UU no. 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/44/413.bpkp pdf. Diakses, 2 Januari 2015.



[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945, Pasal 1 ay. 3.
[2] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
[3] Jimly Asshidiqie, dalam Ceklik Setya Pratiwi, “Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-Prinsip dan Instrumen HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia”, Hak Asasi Manusia Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Keniscayaan, Kenyataan dan Penguatan, (Hasnan Bachtiar ed), Malang: PUSAM Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, 2014, hlm. 186.
[4] Dr. Armada Riyanto, “Hak Asasi Manusia: Pergumulan Etika dan Politik”, HAM: Telaah Filosofis Teologis, (Dr. Armada Riyanto ed.), Malang: STFT Widya Sasana, 2001, hlm. 20.
[5] Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia (edisi kedua), Terj. Briansyah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, hlm. 26-34.
[6] Dr. Armada Riyanto, Op, cit., hlm. 18-19.
[7] Untuk lebih memahami bagaimana PBB berdiri dan di Deklarasikannya HAM oleh PBB dapat dibaca dalam, M.E. Diredja, Perang Dunia I & II dan Latar Belakangnya, Jakarta: CV. Analisa, 1960, hlm. 193-206.
[8] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hal. 184.
[9] F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 47-48.
[10] Indonesia adalah salah satu dari 48 negara anggota yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ada delapan negara yang menyatakan abstain, yaitu Belarusia, Cekoslovakia, Polandia, Arab Saudi, Ukraina, Uni Soviet, Afrika Selatan dan Yugoslavia. 
[11] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hlm. 201.
[12] Isi UU no. 39 tahun 1999, dapat dibaca dalam, Undang-Undang HAM 1999, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.
[13] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hlm. 182.
[14] Ibid., hal. 202.
[16] Ibid.
[17] Koran Kompas, Selasa 30 Desember 2014, hlm. 12.            
[18] Melalui UU no. 1/PNPS 1965 pasal 1, Pemerintah menetapkan enam agama resmi negara yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sedangkan agama seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme tidak dilarang di Indonesia, dan dijamin penuh dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
[19] Lihat pendapat wakil ketua umum MUI Ma’aruf Amin ketika memberikan pernyataan tentang polemik kolom agama di KTP: “Lebih baik cukup enam agama itu. Nanti kalau dibuka bisa muncul (banyak agama) lagi, bahkan bisa sampai 300 agama. Padahal untuk menentukan keyakinan, itu agama atau bukan, tak mudah”, dalam Koran Kompas, Jumat 14 November 2014, hlm. 4.
[20] John Kelsay dan Sumner B. Twiss, Agama & Hak-Hak Asasi Manusia, Terj. Ahmad Suaedy dan Elga Sarapung, Jakarta: Dian Institut, 1997, hlm. 33.
[21] UU no. 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/44/413.bpkp pdf. Diakses, 2 Januari 2015.
[22] Lihat, UU no. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
[23] Peraturan Daerah Aceh tentang pelaksanaan Hukum Syariat Islam, http://www.ms-aceh.go.id/images/data_lama/stories/food/data/peraturan/PP_tentang_Pelaksanaan_SI.pdf. Diakses, 2 Januari 2015.
[24]Laporan Kemendagri tentang profil Provinsi Aceh, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam. Diakses, 22 Januari 2015.
[25] Prof. Dr. A. Gunawan Setiardji, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 152.
[26] Bdk. John Finnis, Natural Law and Natural Rights, New York: Oxford University Press, 1980, hlm. 210.
[27] Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
[29] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia art. 29 ay. 1.

Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79-80 dan Filsafat Politik Aristoteles

ENSIKLIK QUADRAGESIMO ANNO NO. 79-80 DAN FILSAFAT POLITIK ARISTOTELES



Manusia dalam kodratnya adalah makhluk sosial. Dimensi sosialitas manusia dapat kita jumpai dalam kehidupan hariannya ketika ia berpartisipasi dalam tata hidup bersama. Hal itu berarti bahwa manusia akan merasakan kegembiraan dan penderitaan bersama. Dalam bahasa Dokumen Konsili Vatikan II, perasaan bersama itu adalah “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman ini, terutama mereka yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.[1]
Dari ungkapan di atas nampak bahwa manusia akan berupaya untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik. Namun bagaimana manusia bisa mewujudkannya? Apa yang akan dilakukan oleh manusia untuk mengaktualisasikan kodratnya ketika melihat penderitaan sesamanya terutama dibidang ekonomi dan politik? Dua pertanyaan ini akan menjadi kerangka berpikir penulis dalam menguraikan tulisan ini.


  1. Latar Belakang Ensiklik Quadragesimo Anno

Quadragesimo Anno (QA) merupakan ensiklik Paus Pius XI yang dikeluarkan pada 15 Maret 1931, untuk merayakan 40 tahun Ensiklik Rerum Novarum (Ensiklik Paus Leo XIII yang dikeluarkan pada 15 Mei 1891). Quadragesimo Anno ditulis bertujuan untuk menangapi krisis ekonomi yang berlarut-larut dan menimbulkan dampak bagi banyak orang. Selain itu, jumlah pengangguran juga membengkak. Namun di sisi lain, berkembanglah sejumlah serikat buruh. Dari tahun 1914/1915 sampai 1920, di Prancis terdapat 600.000 sampai 2 juta; di Inggris dari 4 juta ke 8 juta, di Jerman dari 800.000 menjadi 2 setengah juta; di Amerika Serikat dari 2 juta menjadi 4 juta. Tetapi dari tahun 1920 muncullah perdebatan hangat yang akhirnya terjadi revolusi dan reformasi. Untuk mereformasi perekonomian, maka dibentuklah suatu bentuk kerja sama antar buruh di bawah Federasi Serikat Buruh Internasional. Sementara para buruh di Rusia mendirikan Serikat Buruh Internasional Merah.[2]
Selain itu, Eropa pada saat itu memiliki jajaran pemerintahan yang kuat. Di Italia ada fasisme, di mana Mussolini (pada tahun 1930) menerapkan korporatisme yang diatur oleh negara yang mengorganisasi kaum muda dan kaum buruh, dan menanamkan kesadaran kepada mereka bahwa mereka adalah negara kuat dan besar. Di Jerman muncul nyala api sosialisme nasional, kendatipun ada gencatan senjata antara tahun 1929 dan 1931. Begitu juga Mexico sedang mengalami penganiayaan religius, sedangkan Uni Soviet mulai menebarkan pengaruhnya melalui partai komunis.[3]
Karena itu, Paus Pius XI mengundang beberapa ahli, di antaranya Oswald von Nell-Breuning SJ, seorang ahli ekonomi yang dekat dengan serikat buruh beraliran liberal dan Desbuquois SJ dari Action Populaire Prancis, serta beberapa ahli sosial lainnya untuk membahas dan mengupayakan suatu eksiklik sosial yang baru. Setelah melalui tujuh atau delapan kali peredaksian, maka terbitlah Ensiklik Quadragesimo Anno (QA).[4]
      Sebagai sebuah ensiklik, QA merupakan wujud keprihatinan baru dari Gereja berkaitan dengan perkembangan tata politik dan tata sosial ekonomi bangsa-bangsa. Karena itu, QA mengajukan prinsip-prinsip sosial-politik yang akan menerangi perjalanan manusia “modern” (memasuki perkembangan baru).[5]

1.1.Isi Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79-80[6]

Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79 berbicara tentang pentingnya lembaga sosial menjalankan fungsinya masing-masing, sehingga tidak menimbulkan kekacauan tata tertib. Dan bagi lembaga sosial, diharapkan dapat menyelenggarakan bantuan bagi para anggota lembaga sosial, dan negara jangan pernah menghancurkan dan menyerap mereka.
Sedangkan QA no. 80 berbicara tentang pentingnya memetakan masalah supaya setiap persoalan dapat ditangani dengan baik dan pembagian kewanangan supaya lebih efektif. Para penguasa hendaknya memperhatikan pelbagai serikat dan mematuhi prinsip “subsidiritas”, supaya dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang akhirnya mensejahterakan suatu negara.
Dari dua isi artikel di atas, ada dua prinsip yang sangat penting bagi tata kehidupan sosial, yaitu: solidaritas dan subsidiaritas.[7] Terminologi kata “solidaritas” dapat kita simpulkan dari ungkapan bahwa setiap lembaga sosial menyelenggarakan bantuan bagi para anggota lembaga sosial. Tentu tujuannya supaya setiap anggota lembaga sosial tercukupi kebutuhan dasariahnya. Demikian juga negara harus memetakan kewenangan supaya apa yang dikerjakan oleh lembaga sosial, negara tidak perlu ikut campur. Negara masih memiliki banyak urusan yang harus diselesaikan. Inilah prinsip subsidiaritas.[8] Terminologi kata “solidaritas dan subsidiaritas” menunjukkan bahwa kodrat manusia sebagai makhluk sosial dalam negara diakui.


  1. Filsafat Politik Aristoteles

Aristoteles adalah seorang filsuf yang lahir sekitar tahun 384/3 SM di Stagira, daerah Thacia, Yunani. Ayahnya bernama Nicomachus, berprofesi sebagai seorang tabib pribadi Raja Makedonia, Amyntas II.[9]
Aristoteles menyumbang pemikiran yang cukup besar bagi filsafat politik. Baginya, seseorang akan menjadi eksis dalam polis. Yang dimaksud dengan polis adalah negara kota. Jika digambarkan, polis biasanya dilukiskan sebagai sebuah kota di atas bukit dengan dikelilingi oleh benteng atau tembok yang memiliki pintu gerbang sangat kokoh. Pada waktu itu, fungsi tembok sangat penting untuk melindungi kota dari serangan musuh. Maka, polis berarti sebuah keseluruhan sistem kehidupan bersama.[10]
Menurut Aristoteles, negara merupakan kumpulan dari individu-individu yang membentuk keluarga. Kumpulan keluarga akan membentuk desa, dan seterusnya menjadi negara.[11] Negara sebagai kumpulan masyarakat memiliki tujuan, yaitu kebaikan bersama,[12] karena dalam kodratnya, manusia adalah makhluk sosial. Dalam negara, manusia mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia.
Untuk mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia, maka manusia akan menjelankan fungsinya masing-masing. Ada manusia yang lahir untuk diperintah, seperti para budak, perempuan dan orang yang tidak memiliki status warga negara, serta ada yang memerintah. Pemerintah yang membawa negara ke tujuan yang baik, disebut Kingship (dipimpin oleh satu orang), Aristokrasi (dipimpin oleh beberapa orang kaum bangsawan) dan Polity (negara dipimpin oleh hukum). Sedangkan pemerintah yang membawa negara pada tujuan yang tidak baik disebut Tirani (dipimpin oleh seorang penguasa), Oligarki (dipimpin oleh beberapa orang yang berkuasa) dan Demokrasi (dipimpin oleh rakyat).[13]
Dengan menjalankan fungsinya masing-masing dalam sebuah negara, maka manusia telah mewujudkan kodratnya sebagai manusia. Manusia akan mengalami kepenuhan hidup dalam negara. Ada dua hal penting yang perlu didalami ketika manusia mengaktualisasikan kodratnya. Dua hal penting itu sangat berkaitan dengan prinsip Quadragesimo Anno no. 79-80, yaitu solidaritas dan subsidiaritas (dua prinsip ini akan dijelaskan secara mendalam dalam bagian berikut ini).


  1. Elaborasi Ensiklik Quadragesimo Anno no. 79-80 dengan Filsafat Politik Aristoteles

Ensiklik QA no. 79-80 merupakan suatu prestasi akal budi yang mampu merumuskan kodrat manusia dalam negara. Sebagai sebuah ensiklik, tujuannya adalah untuk mengimbangi keadaan, baik itu ekonomi maupun politik. Hal ini berarti, para perumus ensiklik QA adalah orang-orang yang telah mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia dengan cara menciptakan tata kehidupan yang lebih baik.
Dalam pemikiran Aristoteles, perumus QA adalah pemimpin yang mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Kingship. Tentu ini merupakan bentuk kesadaran seorang pemimpin yang telah belajar filsafat dan analisis-analisis sosial. Tanpa itu, orang tidak akan pernah merumuskan atau mendeklarasikan sebuah pemikiran yang sangat berguna bagi orang banyak.
Sebagai seorang pemimpin, Paus Pius XI adalah orang yang sangat mengerti politik dan memiliki practical wisdom. Kebijaksanaan praktis ini bukan ia gunakan untuk dirinya sendiri dan kelompoknya, tetapi ia gunakan untuk kepentingan umum (bonum commune, common good). Dengan menunjukkan keprihatiannya kepada kebaikan bersama, ia mengajukan dua terminologi kata yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi dan politik, yaitu “solidaritas” dan “subsidiaritas”.
Solidaritas adalah upaya manusia untuk membantu dan menolong sesamanya. Tentu solidaritas ini timbul dari kesadaran manusia sebagai manusia yang berupaya untuk menjadikan kehidupan sesamanya lebih baik. Dalam kesadaran ini muncul pertanyaan yang cukup mengusik kita, yaitu mengapa masih banyak orang yang tidak peduli akan hidup sesamanya? Kalau kita bertitik tolak dari pemikiran Aristoteles, jelas bahwa mereka yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesamanya adalah orang yang belum mengaktualisasikan kodratnya sebagai manusia, dan para pemimpin yang tidak mau peduli adalah para pemimpin yang tidak memiliki practical wisdom.
Apakah kita mau disebut sebagai orang tidak atau belum mewujudkan kodrat kita sebagai manusia? Penulis menjawab tidak! Sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal budi dan hati, kita akan sadar bahwa sesama kita adalah saudara. Mengapa kita harus menanamkan sikap solidaritas? Kita menanamkan sikap solidaritas pertama-tama bukanlah karena sesama membutuhkan uluran tangan kita, tetapi karena kita yang membutuhkan mereka suapaya kodrat kita sebagai manusia dapat diwujudnyatakan. Hal ini perlu ditanam dalam diri kita agar jangan sampai kita berpikir bahwa tanpa kita orang tidak bisa tercukupi kebutuhan dasarnya baik dibidang ekonomi dan politik.
Sebagai makhluk sosial, kita akan memiliki peran masing-masing dalam sebuah negara. Untuk membagi peran ini dibutuhkan seorang pemimpin yang cakap (atau memiliki practical wisdom), supaya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Sebagai contoh, seorang budak bertugas untuk menyokong kehidupan majikannya. Seorang tentara bertugas untuk menjaga keamanan kota dari serangan musuh. Begitu juga halnya dengan pedagang bertugas untuk mengatur kebutuhan hidup supaya masyarakat tidak kelaparan. Pembagian tugas itu penting supaya masyarakat mengetahui perannya dan tidak mengurusi apa yang bukan menjadi kecakapannya, misalnya seorang tentara yang memiliki kecakapan bertempur tidak mengurusi ekonomi. Inilah yang dinamakan subsidiaritas. Jika prinsip ini menjadi kesadaran pemerintah dan ditanamkan dalam masyarakat, maka negara akan maju dan seluruh warga negara akan makmur.


  1. Sumbangannya bagi Tata Hidup Bersama

Sebuah negara terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Kelompok itu biasanya akan memposisikan dirinya dalam bidang tertentu. Tetapi ada juga kelompok masyarakat yang ingin menguasai segalanya. Dalam hal ini, seorang pemimpin harus bisa memposisikan dirinya sebagai Kingship. Pemimpin yang bisa memetakan persoalan dan memastikan bahwa setiap segi kehidupan di isi oleh orang-orang yang profesional. Pembagian peran yang sesuai dengan kecakapan masing-masing anggota masyarakat sangat penting supaya negara tidak diurusi oleh orang-orang yang tidak cakap di dalam bidangnya.
Pemimpin harus menjadikan kepentingan semua orang di atas kepentingan individu dan golongan. Selain itu, sebagai anggota masyarakat, kita harus menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi bangsa. Pemberian diri dengan cara menyumbangkan kecakapan kita dibidang tertentu dan bekerja dibidang tertentu adalah bentuk dari aktualisasi kodrat kita sebagai manusia.
Ketika kita menjalankan peran dalam masyarakat, kita harus memiliki rasa peduli dengan orang lain yang ada di sekitar kita ketika menyaksikan orang yang bergulat dalam persoalan hidupnya, terutama mereka yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan hak politiknya. Mengapa kita harus membantu mereka? Karena dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 2-3, “Setiap orang memiliki hak untuk hidup (mempertahankan hidup, termasuk ekonomi) dan hak politik”.[14] Artinya, setiap warga negara memiliki hak dasar untuk hidup dan mardeka, dan kewajiban kita untuk mengupayakannya (DUHAM, pasal 29), sebab ini merupakan bagian dari perwujudan kodrat kita sebagai manusia yang lahir mardeka, memiliki akal budi dan memiliki martabat yang sama sebagai manusia (DUHAM, pasal 1), karena itu, jika kita menyadari kodrat kita ini, tidak ada alasan untuk kita tidak membantu sesama. Membantu sesama bisa dengan banyak cara, misalnya jika kita berprofesi sebagai lawyer, bantulah orang yang sangat menbutuhkan bantuan hukum, seperti nenek Asyani yang didakwa mencuri kayu jati milik Perum Perhutani di Situbondo.[15]
Rasa solidaritas ini merupakan langkah kepedulian dan kemauan untuk membantu sesama yang tidak lain adalah upaya kita mengembangkan diminsi sosial kita dalam kehidupan bersama. Dengan membantu mereka yang membutuhkan, kita telah berusaha menciptakan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Tentu dalam kehidupan bermasyarakat, kita akan mengalami dinamika persoalan yang akan dihadapi. Persoalan itu bisa terjadi dalam bidang politik maupun ekonomi, misalnya dalam bidang politik, negara diserang oleh negara lain, sedangkan dalam bidang ekonomi bisa terjadi karena gagalnya hasil panen karena buruknya cuaca ataupun karena hama. Dalam menyelesaikan persoalan itu, perlu adanya pemetaan masalah dan pembagian peran masyarakat supaya persoalannya terselesaikan, bukan malah membuat masalah baru. Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk memastikan setiap persoalan ditangani oleh orang yang cakap dibidangnya dan tidak dicampuri oleh pihak lain, dan apa yang telah dikerjakan oleh kelompok sosial masyarakat, pemerintah tidak ikut campur. Inilah prinsip subsidiaritas yang telah diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Prinsip subsidiaritas menjadi penting untuk masyarakat zaman ini, dimana orang ingin mencampuri urusan kelompok lain, termasuk dalam bidang sosial-religius. Sebagai contoh, perkataan wakil ketua umum MUI Ma’aruf Amin ketika memberikan pernyataan tentang polemik kolom agama di KTP: “Lebih baik cukup enam agama itu. Nanti kalau dibuka bisa muncul (banyak agama) lagi, bahkan bisa sampai 300 agama. Padahal untuk menentukan keyakinan, itu agama atau bukan, tak mudah”.[16] Dari pernyataan itu kita bisa mengajukan pertayaan, siapakah Ma’aruf Amin sampai dia memiliki kuasa untuk menentukan apakah kepercayaan kelompok lain itu agama atau bukan? Jelas penyataannya ini menunjukkan bahwa adanya kekeliruan berpikir bahwa dia (kelompoknya) memiliki kuasa untuk mengkafirkan kelompok lain. Padahal menurut Aristoteles, Ma’aruf Amin jelas bukan seseorang yang memiliki practical wisdom, sebab pernyataannya menimbulkan ketidakstabilan keamanan dalam masyarakat.
Dalam keadaan masyarakat yang tidak sehat ini diperlukan pembagian dan pembatasan wewenang. Di sinilah prinsip subsidiaritas sangat diperlukan untuk mengatur tata hidup bersama supaya setiap kelompok masyarakat tidak melakukan tindakan yang bukan menjadi wewenangnya.
Dua prinsip QA “solidaritas dan subsidiaritas” yang dicetuskan oleh Paus Pius XI merupakan seperti nyala obor yang menerangi manusia zaman ini dalam tata hidup bersama. Ini merupakan kemajuan pola berpikir manusia (Paus Pius XI dan teamnya) yang bukan hanya relevan untuk zamannya, tetapi juga sangat relevan untuk manusia yang hidup dalam abad 21 ini.


  1. Penutup

Ensiklik Quadragesimo Anno (QA) yang dikeluarkan oleh Paus Pius XI pada tahun 15 Maret 1931 dengan dua prinsip “solidaritas dan subsidiaritas” masih sangat relevan bagi manusia zaman ini. Paus Pius XI telah meletakkan fondasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi melampaui zamannya. Inilah seorang pemimpin yang memiliki practical wisdom.
Dua prinsip dalam QA, yaitu solidaritas dan subsidiaritas menjadi landasan dalam tata kehidupan bersama. Melalui prindip solidaritas, kita menyadari bahwa kodrat kita sebagai manusia harus diaktualisasikan dalam negara dengan cara membantu sesama. Tentu cara kita membantu sesama, sesuai dengan peran kita masing-masing dalam negara. Peran ini menjadi penting supaya tidak tumpang tindih kewenangan yang akhirnya bisa menimbulkan konflik kepentingan. Untuk menghindari hal ini, diperlukan distingsi yang jelas. Distingsi ini bukan mereduksikan kemampuan manusia yang sangat multi-talent, tetapi supaya setiap orang bisa memfokuskan perannya.
Dengan mengaktualisasikan kodrat kita sebagai makhluk sosial dengan cara memiliki rasa solidaritas terhadap sesama dan menjalankan peran kita masing-masing dalam sebuah negara, kita telah berusaha membawa negara pada tujuan yang baik. Tujuan yang baik ini menjadi impian kita bersama sebagai warga negara. Tujuan itu adalah menjadikan semua orang mendapat haknya sebagai warga negara. Tentu dengan memastikan hak setiap warga negara, orang akan menyadari kewajibannya sebagai warga negara, yaitu menjadikan negaranya bermartabat. Inilah tujuan akhir dari aktualisasi kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam negara, yaitu bermartabat dan tercapainya kebaikan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Aristoteles. Politik. (Buku Pertama). terj. Syamsur Irawan Kharie. Yogyakarta: Visimedia, 2008.
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia. (Edisi Kedua). Terj. Briansyah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Greece and Rome-From The Pre Socratics to Plotinus, Vol I, Doubleday. New York: Image Books, 1993.
Dokumen Konsili Vatikan II. terj. R. Hardawiryana SJ. Jakarta: DepDokPen KWI, 2004.
Kristiyanto, Eddy. Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII. Malang: Dioma, 2003.
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991: Dari Rerum Novarum Sampai Dengan Centisimus Annus. terj. R. Hardawiryana SJ. Jakarta: DepDokPen KWI, 1999.
Riyanto, Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
___________. Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Koran Kompas. Jumat 14 November 2014.
__________. Jumat 24 April 2015.
Koran Jawa Pos. Jumat 24 April 2015.




[1] “Gaudium et Spes”, no. 1, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana SJ, Jakarta: DepDokPen KWI, 2004.
[2] Dr. Eddy Kristiyanto OFM, Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hlm. 25.
[3] Ibid., hlm. 26.
[4] Ibid., hlm. 28.
[5] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 24.
[6] Bagian pokok dari Quadragesimo Anno ini, penulis rangkum dari isi Quadragesimo Anno no. 79-80, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991: Dari Rerum Novarum Sampai Dengan Centisimus Annus, terj. R. Hardawiryana SJ, Jakarta: DepDokPen KWI, 1999.
[7] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Op. cit., hlm. 25.
[8] Prinsip subsidiaritas, yaitu apa yang dikerjakan bawahan, atasan sebaiknya tidak ikut campur.
[9] Frederick Copleston SJ, A History of Philosophy: Greece and Rome-From The Pre Socratics to Plotinus, Vol I, Doubleday, New York: Image Books, 1993, hlm. 266.
[10] Prof. Dr. Armada Riyanto CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 115.
[11] Frederick Copleston SJ, Op. cit., hlm. 351.
[12] Aristoteles, Politik Buku Pertama, terj. Syamsur Irawan Kharie, Yogyakarta: Visimedia, 2008, hlm. 3.
[13] Frederick Copleston SJ, Op. cit., hlm. 355.
[14] Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia (Edisi Kedua), Terj. Briansyah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, hlm. 26-34.
[15] Lih. Koran Kompas, Jumat 24 April 2015, hlm. 1. Bdk. Koran Jawa Pos, Jumat 24 April 2015, hlm. 1.
[16] Koran Kompas, Jumat 14 November 2014, hlm. 4.