AMBIVALENSI HAK ASASI MANUSIA UNTUK
KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI NEGARA HUKUM
1. Pengantar
Indonesia
adalah negara yang majemuk. Ada keberagaman agama dan kepercayaan menjadikan Indonesia
sebagai negara yang menarik untuk dijadikan objek studi. Menjadikan keberagaman
agama dan kepercayaan sebagai objek studi berarti mengkaji upaya pemerintah
dalam menjaga dan melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada.
Bagaimana
pemerintah melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia? Pemerintah
melindungi kelompok agama dan kepercayaan yang ada melalui peraturan
perundang-undangan, sebab Indonesia sendiri dalam konstitusinya menyatakan diri
sebagai negara hukum.[1]
Maka setiap kebijakan pemerintahan diuraikan dalam undang-undang sebagai manifestasi
hukum. Melalui konstitusi, pemerintah menjamin hak setiap penduduk untuk
memeluk agama dan keyakinannya. Tentu sebagai warga masyarakat yang beragama,
kita patut berbangga hati karena hak asasi untuk mengaktualisasikan agama dan keyakinan
kita dilindungi.
Namun
yang menjadi persoalan ialah ternyata masih banyak terjadi peristiwa pelanggaran
hak asasi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Mengapa hal
ini bisa terjadi? Apa yang menyebabkan pelanggaran hak asasi untuk kebebasan
beragama dan berkeyakinan terjadi? Lalu bagaimana cara kita meminimalisir
pelanggaran hak asasi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi penuntun dalam memahami uraian penulis
berikut ini.
2. Memahami Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang
mendasar dalam diri manusia.[2]
Menurut Jimly Asshidiqie, HAM adalah hak yang melekat pada manusia karena
hakekat dan kodrat kelahiran manusia sebagai manusia.[3]
Jadi HAM bukanlah hak yang diberikan oleh negara. Negara hanya memastikan bahwa
hak setiap warga negaranya dapat terjamin.
Pada artikel pertama dari Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), kita menemukan bahwa HAM adalah milik semua orang
karena, “Semua orang dilahirkan mardeka dan memunyai hak serta martabat yang
sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani”. Oleh karena itu, Prof. Dr. Armada Riyanto berpendapat, artikel
pertama ini merupakan prinsip filosofis bahwa martabat manusia melekat dalam
dirinya sejak kelahirannya. Karena manusia lahir menyandang sekaligus akal budi
dan hati nurani. Dalam kodratnya, ia merindukan dan membangun persaudaraan
dengan sesamanya.[4]
Maka dalam pelaksanaannya, akal budi dan hati nurani harus menjadi rujukkan
untuk kemanusiaan.
3. Latar Belakang Hak Asasi Manusia
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Kemajuan
cakrawala berpikir manusia membuat setiap orang menyadari bahwa ia memiliki hak
yang sama sebagai manusia. Tentu kesadaran ini tidak bisa lepas dari di
deklarasikannya Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.[5]
Sepintas kita melihat bahwa deklarasi ini merupakan sebuah katalog mengenai
HAM. Tetapi jika didalami dengan baik, tidaklah demikian. Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) berusaha memberikan suatu pengertian yang utuh
tentang martabat manusia yang harus diterima dan diakui haknya.[6]
Sebagai
sebuah kesepakatan, DUHAM merupakan produk pencapaian bersama setelah perang
dunia II[7]
dan memiliki dokumen-dokumen pendahulu. Dokumen pendahulu yang pertama adalah Magna
Carta di Inggris, pada 15 Juli 1215. Kelahiran Magna Carta, diikuti oleh pernyataan-pernyataan
tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill of Rights 1689; Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776 yang kemudian dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Amerika Serikat, 17 September 1787; Declaration Des
Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1789, dan pernyataan-pernyataan lainnya.[8]
Hak
Asasi Manusia (HAM) untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan sendiri tertuang
dalam dokumen-dokumen di atas. Dalam DUHAM misalnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan
termuat dalam pasal 18. Begitu juga halnya dalam Deklarasi Kemardekaan Amerika
Serikat, Virginia Bill of Rights,
kebebasan beragama dan berkeyakinan termuat dalam pasal 16.[9]
4. Regulasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Indonesia
adalah salah satu negara yang menerima dan menandatangani Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM).[10]
Namun Indonesia baru menaruh perhatian terhadap persoalan HAM pada akhir masa
Orde Baru dengan didirikannya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
tahun 1993. Kemudian di era Reformasi, keseriusan dengan persoalan HAM
diwujudkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No XVII/MPR/1998
tentang HAM.[11]
Ketetapan MPR itu dijabarkan dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM[12]
dan UU no. 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM.
Pada
tahun 2000, pemerintah melakukan amandemen II UUD 1945.[13]
Amandemen II itu mencantumkan Bab XIA tentang HAM terkhusus pasal 28A-28J. Selain
itu, pemerintah juga telah meratifikasikan berbagai Konvensi Internasional di
bidang HAM, seperti ICESCR (The
International Convenant on Economical, Social and Cultural Rights) tahun
1966 melalui UU no. 11 tahun 2005, ICCPR (International
Convenant on Civil dan Political Rights) tahun 1966 melalui UU no. 12 tahun
2005, dan berbagai Konvensi Internasional lainnya.[14]
Regulasi ini menjadi pegangan bagi para pengiat HAM dalam memerjuangkan HAM di
Indonesia.
5. Laporan terjadinya Pelanggaran HAM
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
Indonesia
dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai negara hukum dan telah
meratifikasikan Konvensi Internasional tentang HAM, namun dalam praktiknya
masih banyak terjadi pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia. Pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat kita
lihat dari laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pertama, menurut Lembaga Studi &
Advokasi Masyarakat (ELSAM), pada tahun 2013 dari 7 provinsi yang dipantau terdapat 26
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sedangkan pada tahun
2014 dari 11 provinsi terdapat 52 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan.[15]
Kedua, menurut SETARA Institute, pada
tahun 2013 terjadi 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,
sedangkan pada tahun 2014 tercatat 121 pelanggaran.[16] Ketiga, menurut The Wahid Institute, peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama, berkeyakinan dan intoleransi di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 245 kasus, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 154 kasus.[17]
Dari laporan LSM
tersebut, kita melihat ada penurunan jumlah kasus pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah
mengapa peristiwa pelanggaran HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan
masih terjadi, padahal konstitusi dan undang-undang telah menjamin?
6. Ambivalensi HAM untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
Persoalan pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia ternyata salah satunya dipicu
oleh tindakkan pemerintah yang menghormati HAM dengan setengah hati. Sebagai
contoh, pertama, pemerintah mengakui
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, tetapi dalam praktiknya, pemerintah
sampai saat ini hanya mengakui enam agama resmi melalui UU no. 1/PNPS 1965.[18] Sedangkan rakyat
Indonesia memeluk beberapa “agama” (kepercayaan) yang berasal dari nenek moyang
mereka, dan itu tidak diakui oleh pemerintah.[19] Kedua, kurangnya wibawa pemerintah, sehingga kelompok intoleransi berkembang
di daerah-daerah tertentu. Berkembangnya kelompok intoleransi yang mengganggap
diri benar dan mengklaim sebagai penerus tradisi agama yang sah akan memandang
kelompok yang tidak sejalan dengan mereka sebagai musuh.[20] Tentu dalam kasus seperti
ini, pemerintah harus proaktif mengupayakan agar kelompok intoleransi tidak
bertumbuh subur di Indonesia. Pemerintah perlu memberlakukan regulasi yang
jelas dan pengupayakan penegakan hukum yang adil, agar setiap orang atau
kelompok yang melanggar hukum mendapat sanksi.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang mengeluarkan regulasi tanpa
memertimbangkan kelompok tertentu. Misalnya, ketika pemerintah menerbitkan UU
no. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Provinsi Aceh, dalam pasal 3 ayat 2,
tercantum bahwa keistimewaan Aceh meliputi, “Penyelenggaraan kehidupan
beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan para
ulama dalam menetapkan kebijakan daerah”. Sedangkan pasal 4 berbunyi, “Penyelenggaraan
kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam
bagi pemeluknya dalam masyarakat”.[21] UU ini jelas bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 28E ayat 1, 29 ayat 2 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang
HAM pasal 22 ayat 1 dan 2.
Jika UUD 1945 pasal 28E
ayat 1 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22 ayat 1 dan 2 mengatakan
bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat, sedangkan pasal 29 ayat 2,
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, maka
seharusnya pemerintah tidak mencantumkan isi UU no. 44 tahun 1999 tentang
keistimewaan Aceh dalam pasal 3 ayat 2 terkhusus, “Penyelenggaraan kehidupan
beragama dan peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah”, dan pasal 4.
Karena kedua pasal itu membuka kemungkinan Pemerintah Aceh memberlakukan Hukum
Syariat bagi penduduk di Provinsi Aceh. Apalagi menurut UU no 32 tahun 2004
tentang Otonomi Daerah[22] pasal 136 ayat 4
berbunyi, “Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”. Sedangkan pada pasal 10 ayat 3 huruf (f)
tentang urusan pemerintah dikatakan bahwa “agama” adalah urusan pemerintah. Maka
seharusnya pemerintah bisa memertimbangkan bagaimana kesulitan kelompok
minoritas yang ada di daerah Provinsi Aceh jika Hukum Syariat diberlakukan.
Tetapi hal ini tidak diperdulikan oleh pemerintah, sehingga regulasi itu tetap
dijalankan.
Hal yang lebih
mengecewakan lagi adalah Pemerintah Aceh telah membuat peraturan daerah tentang
pelaksanaan Hukum Syariat yang ditandatangani oleh DRS. H. Armia Ibrahim SH,
selaku Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iah Propinsi NAD pada tanggal 31 Maret 2009.[23] Dalam peraturan itu
dikatakan bahwa, “Kita (Pemerintah Aceh) harus ‘mengislamkan’ terlebih dahulu
peraturan perundang-undangan yang kita (Pemerintah Aceh) buat untuk diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Dengan mengislamkan semua peraturan
perundang-undangan yang Pemerintah Aceh buat, maka dengan sendirinya Hukum
Syariat berlaku bagi masyarakat bukan muslim di Aceh, karena semua peraturan
daerah di bawah payung Hukum Syariat.
Padahal menurut laporan Kementerian Dalam
Negeri pada tahun 2011, penduduk Provinsi Aceh berjumlah 4.948.907 Jiwa. Jumlah penduduk yang
beragama Islam: 98,80%, Kristen Protestan: 0,84% Katolik: 0,16%, Buddha: 0,18%,
Hindu: 0,02%.[24] Dari data ini jelas bahwa penduduk Aceh bukan hanya umat
Islam. Di sinilah HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dilanggar,
karena kemungkinan besar kelompok keagamaan minoritas di Aceh akan mengalami
kesulitan dalam mengaktualisasikan keyakinannya.
7. Usaha untuk Meminimalisir
Pelanggaran HAM
Sebagai
bangsa, kita harus berusaha memastikan bahwa HAM dapat ditegakkan di Indonesia.
Segala bentuk penindasan dan ketidakadilan harus pelan-pelan kita singkirkan.
Untuk memastikan hak setiap orang dijamin di negeri ini, maka penulis akan
mengajukan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kita harus menegakkan konstitusi negara. Penegakkan ini
penting karena di dalam konstitusi, hak setiap orang dijamin dan dilindungi
oleh negara. Kedua, pemerintah harus berhati-hati
dalam menyusun undang-undang dan peraturan daerah. Pemerintah harus memastikan
bahwa undang-undang dan peraturan daerah merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan
tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga,
pemerintah harus memastikan bahwa setiap kelompok yang melanggar HAM mendapatkan
sanksi yang tegas. Oleh karena itu, pemerintah harus berjalan dalam norma
hukum, karena hukum bersifat mengikat.[25]
Keempat, kita harus memahami HAM
dengan baik. Hal ini penting supaya kita tidak mementingkan kelompok tertentu dan
mengabaikan hak yang lain. Sebagai warga negara, kita harus memastikan bahwa
Indonesia adalah rumah yang nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia.[26]
Kelima, kita harus memiliki rasa
solidaritas dan simpati terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di negeri
ini, misalnya kelompok agama dan kepercayaan minoritas, sebab mereka juga
adalah rakyat Indonesia. Rasa solidaritas dan simpati terhadap kelompok minoritas
merupakan aktualisasi diri kita sebagai sesama manusia yang saling menghargai
dan menghormati. Keenam, pemerintah
harus memastikan bahwa negara hadir untuk melindungi segenap masyarakat
Indonesia. Kehadiran pemerintah dapat ditunjukkan dengan meminimalisirkan
peristiwa pelanggaran HAM dan tidak membiarkan praktik-praktik pelanggaran HAM
terjadi di Indonesia.
8. Penutup
Setiap
orang harus dihormati dan diakui haknya. Karena itu pemerintah tidak boleh
mengambil atau mengurani hak setiap orang. Kita bisa berbangga karena di
Indonesia, hak asasi kita dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang. Namun
kita tidak boleh pasif dan hanya menikmati hak tanpa mau berbuat sesuatu yang
berguna bagi sesama. Sebab, di dalam hak ada kewajiban yang harus kita emban.
Kewajiban kita sebagai warga negara yang beragama adalah memastikan bahwa
negeri ini menjadi tempat yang nyaman bagi setiap pemeluk agama dan
kepercayaan. Sebelum hal itu terwujud, maka tugas kitalah untuk mewujudkannya.
Tentu
pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan negeri ini menjadi rumah
yang nyaman dan aman adalah pemerintah. Sebab amanah ini diberikan oleh konstitusi
negara, “Pemerintah bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia…”.[27] Maka kepada pemerintahan baru, kita
sangat mengharapkan tidak menambah persoalan HAM untuk bebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia.
Kita
mengharapkan apa yang tertuang dalam program prioritas Presiden Joko Widodo terkhusus penjelasan “Berdaulat dalam bidang
politik” no. 11, poin (a) “Kami
(Pemerintah) berkomitmen membangun politik legislasi yang jelas … penegakan HAM
…” serta poin (aa) “Kami (Pemerintah) berkomitmen menghapus regulasi yang
berpotensi melanggar HAM …”[28]
bukan hanya janji kampanye. Kita mengharapkan pemerintah berkomitmen sembari
kita juga harus memerkuat kebhinekaan. Karena setiap orang memiliki kewajiban
terhadap masyarakatnya[29]
dan mengupayakan bangsa ini menjadi tempat yang nyaman untuk didiami oleh semua
pemeluk agama dan kepercayaan. (Pernah penulis muat di Jurnal Ilmiah FORUM STFT Widya Sasana, 2015).
Daftar
Pustaka
Buku
Brownlie,
Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak
Asasi Manusia (edisi kedua). Terj. Beriansyah. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1993.
Diredja,
M.E. Perang Dunia I & II dan Latar
Belakangnya, Jakarta: CV. Analisa, 1960.
El-Muhtaj,
Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
Indonesia: Dari UUD 1945-Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana,
2005.
Finnis, John. Natural
Law and Natural Rights. New York: Oxford University Press, 1980.
Hardiman,
F. Budi. Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik
dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kamus Besar
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Kelsay,
John dan Sumner B. Twiss. Agama &
Hak-Hak Asasi Manusia. Terj. Ahmad Suaedy dan Elga Sarapung, Jakarta: Dian
Institut, 1997.
Pratiwi, Ceklik Setya. “Hak Asasi
Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-Prinsip dan Instrumen HAM di Tingkat Internasional
dan di Indonesia”. “Hak Asasi Manusia
Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Keniscayaan, Kenyataan
dan Penguatan”. (Hasnan Bachtiar, ed). Malang: PUSAM Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah, 2014.
Riyanto,
Armada. “Hak Asasi Manusia: Pergumulan Etika dan Politik”. HAM: Telaah Filosofis Teologis. (Dr. Armada Riyanto, ed). Malang:
STFT Widya Sasana, 2001.
Setiardji,
A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Undang-Undang
HAM 1999.
Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.
Undang-Undang
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Artikel
dan Internet
Koran Kompas.
Jumat 14 November 2014.
________.
Selasa 30 Desember 2014.
Laporan Kemendagri tentang profil Provinsi Aceh, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam.
Diakses, 22 Januari 2015.
Laporan
tahunan ELSAM, http://elsam.or.id/article.php?act=content&id=3184&cid=101&lang=in#.VNPCZtLF88l.
Diakses 6
Januari 2015.
Peraturan
Daerah Aceh tentang pelaksanaan Hukum Syariat Islam, http://www.ms-aceh.go.id/images/data_lama/stories/food/data/peraturan/PP_tentang_Pelaksanaan_SI.pdf. Diakses, 2 Januari 2015.
UU
no. 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/44/413.bpkp pdf.
Diakses, 2 Januari 2015.
Visi Misi
Presiden Joko Widodo, http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf. Diakses, 4
Januari 2015.
[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945, Pasal 1 ay. 3.
[2] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
[3] Jimly Asshidiqie, dalam Ceklik
Setya Pratiwi, “Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-Prinsip dan Instrumen
HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia”, Hak Asasi Manusia Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia: Keniscayaan, Kenyataan dan Penguatan, (Hasnan Bachtiar ed), Malang:
PUSAM Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, 2014, hlm. 186.
[4] Dr. Armada Riyanto, “Hak Asasi
Manusia: Pergumulan Etika dan Politik”, HAM:
Telaah Filosofis Teologis, (Dr. Armada Riyanto ed.), Malang: STFT Widya
Sasana, 2001, hlm. 20.
[5] Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi
Manusia (edisi kedua), Terj. Briansyah, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1993, hlm. 26-34.
[6] Dr. Armada Riyanto, Op, cit., hlm. 18-19.
[7] Untuk lebih memahami bagaimana
PBB berdiri dan di Deklarasikannya HAM oleh PBB dapat dibaca dalam, M.E.
Diredja, Perang Dunia I & II dan
Latar Belakangnya, Jakarta: CV. Analisa, 1960, hlm. 193-206.
[8] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hal. 184.
[9] F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama
dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 47-48.
[10] Indonesia adalah salah satu dari
48 negara anggota yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ada
delapan negara yang menyatakan abstain, yaitu Belarusia, Cekoslovakia,
Polandia, Arab Saudi, Ukraina, Uni Soviet, Afrika Selatan dan Yugoslavia.
[11] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hlm. 201.
[12] Isi UU no. 39
tahun 1999, dapat dibaca dalam, Undang-Undang
HAM 1999, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.
[13] Ceklik Setya Pratiwi, Op. cit., hlm. 182.
[14] Ibid., hal. 202.
[15] Laporan tahunan
ELSAM, http://elsam.or.id/article.php?act=content&id=3184&cid=101&lang=in#.VNPCZtLF88l
Diakses 6
Januari 2015.
[16] Ibid.
[17] Koran Kompas, Selasa 30 Desember 2014, hlm. 12.
[18] Melalui UU no. 1/PNPS 1965 pasal
1, Pemerintah menetapkan enam agama resmi negara yaitu, Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sedangkan agama seperti Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, Taoisme tidak dilarang di Indonesia, dan dijamin penuh
dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
[19] Lihat pendapat wakil ketua umum
MUI Ma’aruf Amin ketika memberikan pernyataan tentang polemik kolom agama di
KTP: “Lebih baik cukup enam agama itu. Nanti kalau dibuka bisa muncul (banyak
agama) lagi, bahkan bisa sampai 300 agama. Padahal untuk menentukan keyakinan,
itu agama atau bukan, tak mudah”, dalam Koran
Kompas, Jumat 14 November 2014, hlm. 4.
[20] John Kelsay dan Sumner B. Twiss,
Agama & Hak-Hak Asasi Manusia, Terj.
Ahmad Suaedy dan Elga Sarapung, Jakarta: Dian Institut, 1997, hlm. 33.
[21] UU no. 44 tahun
1999 tentang Daerah Istimewa Aceh, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/44/413.bpkp pdf.
Diakses, 2 Januari 2015.
[23] Peraturan
Daerah Aceh tentang pelaksanaan Hukum Syariat Islam, http://www.ms-aceh.go.id/images/data_lama/stories/food/data/peraturan/PP_tentang_Pelaksanaan_SI.pdf. Diakses, 2 Januari 2015.
[24]Laporan Kemendagri tentang profil Provinsi
Aceh, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam.
Diakses, 22 Januari 2015.
[25] Prof. Dr. A. Gunawan Setiardji, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 152.
[26] Bdk. John Finnis, Natural Law and Natural Rights, New
York: Oxford University Press, 1980, hlm. 210.
[28]
Lihat Nawacita
Presiden Joko Widodo di http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf. Diakses, 4 Januari 2015.
[29] Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia art. 29 ay. 1.