Senin, 21 September 2015

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme

Merawat Kemajemukan dan Multikulturalisme Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Tetapi keberagaman itu dapat dirajut dalam kebhinekaan dan kemauan politik para pendiri bangsa (founding fathers). Mereka rela melepaskan egoisme agama dan fanatisme kesukuannya untuk kesatuan dan persatuan Indonesia. Karena kemauan tekad mereka, kita bisa menikmati kemajemukan dan keberagaman bangsa.
Namun kemajemukan dan keberagaman harus selalu dirawat, karena rawan gesekkan dan silang pendapat. Apalagi tidak semua orang siap dengan situasi yang majemuk. Mereka lebih mengutamakan kelompok dan golongannya. Untuk itu perlu adanya orang-orang yang selalu merawat dan menjaga kemajemukan ini. Siapakah orang-orang itu? Bagaimana anak muda memahami kemajemukan dan multikulturalisme? Bagaimana anak muda menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan? Apa inspirasi untuk menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia? Beberapa pertanyaan ini akan menjadi penuntun dalam memahami uraian penulis.

  1. Pengertian Majemuk
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majemuk berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Sebagai contoh, orang Bauzi merupakan entitas orang Bauzi. Sebagai sebuah entitas, orang Bauzi berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tentu memiliki tata cara dan adat istiadat yang khas. Tetapi mereka juga harus memahami bahwa yang hidup di sekitar mereka ada begitu banyak suku dan budaya yang berbeda. Maka mereka harus menunjung dan menjaga persatuan dengan Indonesia, karena mereka adalah bagian dari Indonesia. Namun pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian kepada mereka, karena mereka bagian dari orang-orang yang ada di republik ini.
Sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman yang telah ada dan dirawat dalam satu kesatuan. Karena itu, Bangsa Indonesia disebut bangsa yang majemuk karena terdiri dari berbagai suku, agama, golongan dan sistem sosial yang diikat oleh rasa persatuan dan cinta tanah air. Keanekaragaman itu harus selalu dirawat dan dijaga, supaya kesadaran sebagai bagian dari bangsa ini tidak luntur. Untuk merawat ini diperlukan orang-orang yang memahami dengan baik arti kemajemukan, namun tetap berakar dalam tradisi dan keyakinnya.

  1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti banyak, dan “kultural” yang berarti budaya, ras dan kelompok sosial. Jadi, multikulturalisme adalah pandangan yang menempatkan manusia, entah apapun suku, ras, agama, termasuk kelompok gay dan lesbian memiliki nilai pada dirinya sendiri. Keberagaman itu harus diakui, dan setiap pribadi-pribadi yang menyandang status itu adalah unik.
Menurut Taylor (1994), sebagaimana dikutip oleh Reza Wattimena, multikulturalisme menempatkan setiap individu memiliki nilai pada dirinya sendiri. Maka setiap individu layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandang dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku, bukan hukum moral.
Pandangan multikulturalisme menunjukkan bahwa setiap pribadi manusia harus bisa menghargai perbedaan dan menempatkan pribadi lain pada posisinya tanpa mengurangi dan mengamputasi hak-hak mereka. Namun pengakuan dan penghargaan harus ditempatkan pada koridor yang benar. Dalam hal ini, hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Tentu tujuannya untuk merawat setiap perbedaan dan memberi batasan agar tidak terjadinya fanatisme suku, agama, golongan, status sosial dan berbagai kelompok sosial.
Sebagai sebuah pandangan, multikulturalisme memberikan kita pemahaman bahwa setiap individu bernilai dan bermartabat. Perbedaan agama, suku, ras, status sosial, dan kelompok sosial hanyalah bagian artifisial dari keutuhan hidup manusia. Perbedaan itu hanya terletak pada situasi di mana kita dilahirkan, pilihan dan keyakinan kita. Memang apa yang telah kita pilih dapat menjadi aktualisasi diri, tetapi di luar itu ada martabat yang sama sebagai manusia, entah dia pemulung, pengamen, gay-lesbian, kelompok suku minoritas, agama minoritas dan sebagainya.

  1. Kemajemukan dan Multikulturalisme Merupakan Keniscayaan
Kemajemukan dan keberagaman adalah suatu keniscayaan. Manusia tidak bisa menghindar hal itu. Yang perlu dilakukan adalah menerimanya dan menempatkan diri pada posisi yang benar. Untuk itu, kita perlu belajar dari para pendiri (founding fathers) bangsa Indonesia, misalnya Sukarno, Mohammad Hatta dan Ignatius Joseph Kasimo. Sukarno (1901-1970) adalah contoh manusia yang mampu menempatkan agama dan sukunya pada posisi yang benar, dan mampu menghargai kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia. Pancasila adalah cetusan gagasan yang sangat cemerlang dari Bung Karno untuk bangsa yang majemuk dan multikultural ini.
Mohammad Hatta (1902-1980) adalah orang yang mampu mengatasi tembok agama dan identitas kesukuan serta merangkul perbedaan yang ada. Dalam bidang politik, Bung Hatta adalah penggagas nasionalisme bersama Bung Karno. Misalnya ketika ada kaum agamis yang membajak ideologi nasionalis dengan memasukkan rumusan ajaran agama Islam dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Bung Hatta dengan sigap menerima pendapat kelompok non-muslim (diwakili oleh Latuharhary, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat) yang keberatan dengan di masukannya kata dan frasa yang sangat mengganggu kemajemukan dan keberagaman yang ada. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, kata dan frasa dalam Piagam Jakarta disempurnakan; adapun hal-hal yang disempurnakan sebagai berikut.
  1. Kata muqaddimah (diganti pembukaan)
  2. Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya)
  3. UUD 1945 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam (dihapus dan beragama Islam)
  4. UUD 1945 pasal 29 ayat 1, Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (dihapus dan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya).
Dalam bidang ekonomi, Bung Hatta sangat memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pada zaman itu berkembang sistem ekonomi kapitalis-sosialis dan komunis. Bung Hatta melihat bahwa sistem ekonomi itu tidak cocok untuk rakyat Indonesia, maka beliau menggagas sistem ekonomi koperasi. Sistem koperasi ini yang diharapkan mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.
Dikalangan umat Katolik, kita bisa mengenal beberapa tokoh nasional. Sebagai contah, Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986). Beliau adalah pejuang pluralisme, multikulturalisme dan salah satu tokoh yang mendirikan bangsa ini. Sebagai orang Katolik, beliau mampu berkerja sama dengan para tokoh bangsa yang lain untuk membangun ideologi nasionalis di negeri ini. Di jiwa beliau tertanam semboyan, 100% katolik, 100% Indonesia seperti digagas oleh Mgr. Soegijapranata, SJ (1896-1963).  

  1. Kaum Muda Perawat dan Penjaga Kemajemukan dan Multikulturalisme
Sebagai kaum muda, kita tidak bisa bersikap acuh tak acuh dengan kemajemukan dan multikulturalisme. Apalagi kehidupan sosial bangsa Indonesia tidak stabil. Sentimen kesukuan dan fanatisme agama seringkali terjadi dan membuat gesekan kehidupan sosial.
Untuk itu, kita perlu belajar pada tokoh-tokoh nasional, baik itu kaum nasionalis maupun kaum agamis yang nasionalis. Kita belajar dari mereka karena mereka mampu merejut keberagaman bangsa ini. Kita juga diharapkan mampu untuk memperkuat kemajemukan dan keberagaman yang ada. Sikap yang bisa kita tunjukkan adalah menghormati dan mengupayakan kemajemukan dan multikulturalisme tetap terjaga. Kitab Nabi Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”, bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk peduli dan mengusahakan keberagaman bangsa.
  
  1. Kesimpulan
Kaum muda adalah generasi penerus bangsa. Karena itu, kaum muda harus memahami dengan baik keberagaman suku, agama, ras, status sosial dan kelompok sosial bangsanya. Untuk bisa menjadi penjaga kemajemukan dan multikulturalisme, kaum muda dapat belajar dari para pendiri bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengatasi fanatisme agama dan sentimen kesukuan untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu kesatuan Indonesia.
Sebagai kaum muda Katolik, kita harus menanamkan di dalam hati kita semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Sebab kita hidup di bumi Indonesia dengan segala dinamika dan persoalannnya. Untuk itu, Yeremia 29:7 adalah inspirasi bagi kita untuk peduli dan terlibat dalam menjaga kemajemukan dan multikulturalisme bangsa Indonesia.



Kehidupan Manusia Menurut Pandangan Moral Katolik

KEHIDUPAN MANUSIA
(Menurut Pandangan Moral Katolik)
Oleh: Heronimus Heron, S.S
Pernah digunakan untuk diskusi Blok C.1 "Conception, Fetal Growth and Congenital Anomaly" di Fakultas Kedokteran UGM tanggal 24 Agustus 2015 


Manusia adalah makhluk yang unik dan istimewa. Keunikan dan keistimewaannya terletak pada keikutsertaannya dalam rencana Ilahi, yaitu memelihara dan melanjutkan kehidupan (bdk. Kej. 1:26-28) lewat reproduksi. Rencana Ilahi harus senantiasa dilanjutkan oleh setiap individu-individu sebagai rekan kerja Allah.
Dalam melanjutkan rencana Ilahi lewat reproduksi, terdapat pertanyaan dan persoalan, seperti siapa yang berhak melakukan pembuahan? Bagaimana dengan pasangan yang mandul? Kapan manusia disebut sebagai pribadi? Apakah manusia ikut serta dalam menciptakan generasi penerusnya? Apakah embrio dan janin bisa diperlakukan sesuka hati? Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi? Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu hamil yang sedang mengidap kanker rahim? Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap pribadi yang difabel?
Sederet pertanyaan di atas menyadarkan kita bahwa masih terdapat persoalan dalam melanjutkan rencana Ilahi. Setiap persoalan itu mengandung resiko yang tidak kecil, karena menyangkut kehidupan manusia. Untuk itu, Gereja Katolik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas dengan berlandaskan pada Kitab Suci dan Ajaran resmi Gereja Katolik.

1.      Pembuahan
Pembuahan hanya boleh dilakukan oleh pasangan (laki-perempuan) yang telah menikah secara sah (KHK Kan.1055 §1), diikat oleh perjanjian (foedus) untuk membentuk kebersamaan hidup (Gaudium et Spes 48) dan satu daging (Mat. 19:6).
Proses pembuahan dilakukan dengan hubungan sanggama (prokreasi alami), bukan tehnik pembuahan in vitro (pembuahan sel telur yg dilakukan di dalam tabung), kloning, pembekuan embrio, intervensi kromosom/genetis, dll.

Bagaimana dengan pasangan yang mandul?
Kitab Hukum kanonik Kan. 1055 §1 mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak. Karena itu, kalau ada argumentasi yang mengatakan bahwa hanya anak sebagai sumber kebahagiaan kehidupan suami-istri, itu kurang tepat. Walaupun memiliki anak merupakan keinginan dari pasangan yang menikah, tetapi pasangan tetap harus melakukannya dengan cara alami.
Setiap pasangan harus selalu sadar bahwa anak adalah anugerah Allah. Karena itu, diharapkan tidak melakukan proses pembuahan di luar hubungan sanggama, karena melanggar proses prokreasi dan campur tangan Allah. Yohanes Paulus II dalam eksortasi Apostolik, Familiaris Conscortio, mengatakan bahwa “Hidup perkawinan tak kehilangan makna, bila prokreasi hidup baru tak mungkin; kemandulan jasmani dapat menjadi kesempatan bagi suami-istri untuk melibatkan diri dalam karya pelayanan kehidupan”.


2.      Embrio
Sejak kapan manusia disebut manusia (pribadi/persona)? Sejak terjadi pembuahan (Pertemuan sel telur dan sel sperma). “Dari saat sel telur dibuahi sudah mulailah suatu kehidupan, yang bukan hidup ayah atau ibunya, melainkan hidup manusia yang baru beserta pertumbuhannya” (Evangelium Vitae 60). Bandingkan dengan Mazmur 139:13 “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”.

a. Apakah manusia berpartisipasi dalam awal kehidupan manusia?
Kita perlu menyadari bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26) dan menyerupai citra PutraNya (Rm. 8:28-29). Oleh sebab itu, manusia memiliki martabat yang amat luhur, karena ia rekan kerja Allah untuk melanjutkan kehidupan lewat perkawinan. Maka manusia harus ikut merawat kehidupan lewat hubungan sanggama suami istri.

b. Apakah manusia boleh memperlakukan embrio dan janin sesuka hatinya?
Manusia adalah rekan kerja Allah untuk memelihara kehidupan. Manusia harus melindungi dan menjaga kesehatan janin serta keselamatannya, karena tindakan pembuahan bukan semata-mata tindakan manusia, tetapi Allah turut berkarya (Donum Vitae 5). Kesehatan dan keselamatan embrio dan janin harus selalu diutamakan sebagai bentuk dari keikutsertaan manusia dalam melanjutkan kehidupan.

3.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang aborsi?
Allah adalah sumber kehidupan dan kematian. Hanya Allah yang berhak menghidupkan dan mematikan (Ul. 32:39). Tindakan pengguguran merupakan tindakan pembunuhan, karena membunuh janin. Tindakan ini melanggar perintah Allah yang ke-5 “Jangan membunuh” (Ul. 20:13), maka cintailah kehidupan. Dalam Kitab Yeremia dikatakan bahwa, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau...” (Yer. 1: 4-5).
Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa pengguguran adalah “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (GS 51). Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (HV 14). Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
            Jika tindakan aborsi dilakukan, maka dikenakan ekskomunikasi langsung (KHK Kan.1398),  termasuk mereka yang membantu seperti dokter, perawat, orang yang mendorong melakukan aborsi, orang yang membantu (termasuk yang mengantar) juga mendapat ekskomunikasi (KHK Kan. 1329 § 2). Bentuk konkrit dari sanksinya adalah tidak bisa menerima pelayanan dari Gereja, seperti pelayanan sakramental. Argumentasi Gereja adalah embrio/janin memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa. Hidup manusia harus dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (Aborsi 11).

Bagaimana caranya supaya pelaku aborsi itu dapat dipulihkan dari tindakan ekskomunikasi?
Allah maha rahim. Gereja adalah simbol dari belas kasih dan kerahiman Allah. Pelaku (dan orang yang terlibat dalam tindakan itu) harus datang mohon pengampunan kepada Allah melalui Gereja lewat sakramen tobat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bapa Uskup dapat memberikan wewenangnya supaya imam (bapa pengakuan) dapat mengampuni dosa ekskomunikasi. Setalah itu (bapa pengakuan) harus menginformasikannya kepada Bapa Uskup (KHK Kan. 1357). Atas nama Gereja Katolik, bapa pengakuan akan memulihkan haknya dan mengarahkan supaya pelaku tersebut melakukan ulah kesalehan.

Bagaimana menghadapi kasus seorang ibu yang sedang hamil, tetapi terdapat tumor/kanker rahim yang harus dioperasi?
Jika menghadapi kasus ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
-          Konsultasikan dengan dokter yang berpengalaman tentang resiko yang akan dihadapi oleh si ibu berserta janinnya. Usahakanlah mendapat informasi yang cukup lengkap dan komprehensip.
-          Datanglah kepada imam/pastor untuk mendengarkan pendapat mereka. Utarakanlah segala resiko yang akan terjadi kalau tidak dioperasi/dilakukan operasi (meminta pandangannya mengenai ajaran resmi Gereja menyangkut persoalan yang dihadapi).
-          Berdoalah kepada Allah dan mohonlah petunjuk dariNya

Jika operasi tetap dilakukan, berikut argumentasi moralnya:
-          Tujuan utama dilakukannya operasi adalah untuk keselamatan si ibu/janin, bukan membunuh janin/ibu, (jika janin meninggal, ini merupakan sebab dari usaha menyelamatkan si ibu – atau sebaliknya, kesediaan si ibu berkorban untuk keselamatan si janin)
-          Harus mempunyai alasan seimbang (menyelamatkan si ibu karena si ibu masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga – atau si ibu dengan tindakan bebasnya ingin supaya janinnya dapat hidup)
-          Tujuan yang baik tidak boleh menghalalkan segala cara
-          Pilihan terakhir
-          (catatan: Tindakan ini hanya boleh dilakukan bila si ibu mendapat informasi mengenai kesehatan dan keselamatannya secara lengkap, dilakukan dengan kesadaran dan kebebasannya serta pilihan terakhir)

4.      Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang mereka yang difabel?
Kelainan fisik dan mental bukanlah alasan untuk mengucilkan (menghilangkan nyawa) seseorang, karena setiap pribadi memancarkan citra Allah. “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Tugas manusia adalah merawat dan menjaga kehidupan dengan segala resikonya.
Perlu kita sadari bahwa dalam hidup juga terdapat pohon salib (bdk. Yoh. 19:37). Jalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan terima serta rawatlah saudara-saudari yang hidup secara istimewa, sebab “Tuhan memiliki rencana untuk kehidupan ini, dan rencana Tuhan bukanlah rencana kita” (Yes. 55:8-9).
Hendaknya semua keluarga Katolik menerima dan menjalankan rencana Tuhan dalam kehidupannya. Mereka yang memiliki keistimewaan fisik dan mental adalah saudara kita dalam mengarungi kehidupan ini. Sebagai warga Katolik, tunjukkanlah bahwa keluarga kita adalah “kenizah kehidupan” (Mzm. 128:3), dan teladanilah keluarga Nazaret dalam kehidupan ini.


Sumber:
Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik) 1983. Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2006.
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Hardawiyana, SJ. Gaudium et Spes (Gereja dalam Dunia Modern), Dokumentasi Penerangan KWI, 2008.
Declaration on Procured Abortion. Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1974.
Instruction Donum Vitae (Hormat Terhadap Pribadi Manusia). Vatican: Congregation for The Doctrine of The Faith, 1987.
Paul II, John. Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio (Keluarga Kristiani di Dunia Modern). Vatican:  Libreria Editrice Vaticana, 1981. 
_______. Encyclical Veretatis Splendor (Cahaya Kebenaran). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1993.
_______. Encyclical Evangelium Vitae (Injil Kehidupan). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1995.
VI, Paul. Encyclical Humanae Vitae (Hidup Manusia). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1968.









Senin, 01 Juni 2015

Friedrich Wilhelm Nietzsche

FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE
(“Allah telah Mati” sebagai Kritik Terhadap Agama Kristen)

1.      Pengantar
Allah telah mati. Itulah jargon Nietzsche mengkritik agama Kristen. Jargon ini merupakan pergulatan Nietzsche terhadap agamanya. Menurutnya, agama Kristen adalah agama orang kalah, tidak mampu bersaing dan agama kaum budak! Orang yang tidak mampu bersaing itu merekonstruksikan satu sosok (Allah) dengan ajarannya seperti lemah lembut, mengalah, menerima realitas, sebagai penghiburan.
Maka untuk menyingkirkan nilai-nilai Kristiani, Nietzsche merekonstruksikan manusia atas Der Ubermensch yang menjadi acuan dan memunculkan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru itu akan membuat manusia menerima (Ja-Sagen) terhadap realitas tanpa Allah. Maka Allah akan ditinggalkan dalam kehidupan manusia.
Kritik Nietzsche ini penting untuk mengkritik cara kita beragama (beriman) dan sekaligus mengkritik institusi yang menjadi simbol dari kehadiran iman kita. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh, maka kita akan mendalami pemikiran Nietzsche di bawah ini.

2.      Riwayat Hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche
2.1.Kehidupan Friedrich Wilhelm Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken daerah Sachsen Prusia dari keluarga yang sangat saleh. Ayahnya seorang Pastor Lutheran yang meninggal tahun 1849. Setelah ayahnya meninggal, ia pindah ke Naumburg tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan.[1] Teman-teman sekolahnya menjulukinya sebagai “Si Pendeta Kecil”, bahkan sampai dewasa orang-orang di sekitarnya melihat Nietzsche sebagai seorang Kristen. Pernah suatu ketika, seorang perempuan muda mengajaknya pergi ke gereja, tetapi dengan sopan ia menjawab “Hari ini tidak”. Sesudah itu ia menjelaskan kepada teman-temannya: “Kalau saya mengganggu pikiran gadis itu, saya tentu menimbulkan rasa ngeri”.[2]

2.2. Latar Belakang Pendidikannya
Pada tahun 1854 sampai 1858, Nietzsche sekolah di Gymnasium di kota Naumburg, namun pada tahun 1858 sampai 1864 dia pindah sekolah dan belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang termasyur di kota Pforta. Di sana, ia membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir besar seperti Schiller, Holderlin dan Byron, serta ia sangat tertarik pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno. Maka pada saat itu juga ia meminati Plato dan Aeschylus.[3] Selain itu, ia juga mempelajari puisi dan musik.[4]
Pada tahun 1864, Nietzsche studi di Universitas Bonn bersama temannya Paul Deussen yang kemudian juga termasyur sebagai pemikir dan filsuf. Waktu itu ia masih memeluk agamanya. Ketika Deussen mengatakan bahwa doa hanyalah ilusi belaka, dia menjawab: “Itu salah satu dari kedunguan Feurbach.” Pada tahun 1865 ketika musim gugur, dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota ini ia menemukan buku tulisan Schopenhauer dari penjual buku bekas yang berjudul: “Die Welt als Wille und Vorstellung” (The World as Will and Idea). Setelah mempelajari buku itu, maka di kota itulah dia meninggalkan agamanya.[5]

2.3. Karya-karyanya
Pada tahun 1867 dia menjalankan wajib militer di Naumburg, tetapi karena terluka, ia kembali ke Leipzig untuk belajar. Pada saat kembali belajar, ia berkenalan dengan Richard Wagner, seorang komponis Jerman yang termasyur dan menjadi sahabatnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner mempengaruhi tulisannya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik (In the Birth of Tragedy from the Spirit os Music/Kelahiran Tragedi dari Jiwa Musik). Pada tahun 1973-1876, Nietzsche menerbitkan empat esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations or Considerations/Kontemplasi Tak Aktual).[6]
Pada tahun 1878-1879, Nietzsche menerbitkan karyanya yang berjudul Menschliches, Allzumenschliches (Human, All-too-Human/Manusia Terlalu Manusiawi). Pada tahun 1881, Nietzsche menerbitkan Morgenrote (The Dawn of Day/Fajar Kemenangan). Pada tahun 1882 ia menerbitkan Die frohliche Wissenschaft (Joyful Wisdom/Pengetahuan Ceria). Pada tahun 1883-1885, Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra/Demikianlah Sabda Zarathustra). Pada tahun 1886, ia menerbitkan Jenseits von Gut und Bose (Beyond Good and Evil/Melampaui Kebaikan dan Keburukan). Setahun setelahnya, 1887 ia menerbitkan karya  Zur Genealogie der Moral (A Genealogy of Morals/Silsilah Moral). Pada tahun 1888, Nietzsche menerbitkan dua karya yaitu Ecce Homo (Itulah Manusia) dan Der Antichrist (The Antichrist/Sang Antikristus).[7]

3.      Kritik Terhadap Agama
Sebagai seorang filsuf yang mengkritik praktik kehidupan beragama umat Kristen, Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860). Schopenhauer dalam filsafatnya mengkritik filsafat Hegel dan Fichte. Alasan Schopenhauer tidak setuju dengan filsafat Hegel dan Fichte adalah keyakinannya bahwa mereka telah menghianati filsafat Kant. Schopenhauer berpendapat bahwa rasio tidak dapat mengetahui segala sesuatu dalam dirinya dan ide-ide kita tidak menyediakan jalan menuju dunia di luar perspektif indrawi.[8]
Bagi Schopenhauer tidak ada kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia. Namun Schopenhauer menolak bunuh diri karena baginya, ide ini tidak menghancurkan kehendak. Satu-satunya alternatif adalah membelokkan kehendak melawan dirinya dan dengan serangkaian usaha penolakan, menghapus hasrat-hasrat kita. Hasil yang diperoleh baginya bukanlah kematian, tetapi kontemplasi.[9]
Kritik Nietzsche terhadap agama banyak diinspirasi oleh karangan Schopenhauer yang berjudul Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Idea) ketika belajar filologi di Laipzig. Karangan ini menjadi batu pijakan untuk Nietzsche mengkritik agama dengan segala ajarannya.

3.1.Kritik Terhadap Praktik Agama Pada Zamannya
Kritik Nietzsche terhadap agama dapat kita temukan dalam beberapa karyanya. Dalam bukunya Genealogie der Moral, Nietzsche menggambarkan dua moralitas yaitu moralitas tuan (Herrenmoral) dan moralitas budak (Herdenmoral). Bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Meski demikian, mereka tidak mengklaim bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan tidak menunjukkan bagaimana harus bertindak, tetapi bagaimana tuan itu menyatakan tindakan. Hal ini berbeda dengan moralitas budak. Para budak tidak pernah bertindak bagi diri mereka sendiri, karena jika mereka bertindak sendiri, mereka menyangkal kodratnya. Maka bagi para kaum budak, yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelamahlembutan, kerendahan hati dalah hubungannya dengan kasta mereka.[10]
Karya Nietzsche ini melukiskan penjungkirbalikan nilai-nilai dalam agama Kristen dengan istilah “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara kaum budak. Menurut Nietzsche, moralitas budak menguasai agama Kristen. Karena segala yang rendah, lemah, celaka, jelek dan menderita malah disebut “baik”, sedang yang luhur, agung, berdaulat, bagus, malah disebut “jahat”. Apalagi diperparah dengan istilah “suara hati” (Gewissen) atau subjektivitas moral. Nietzsche menggangap “suara hati” tak kurang daripada suatu kegagalan melampiaskan ressentiment kepada kasta aristokrasi.[11]
Dalam karyanya Der Will zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), Nietzsche memodifikasi konsep Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup. Bagi Nietzsche, kehendak sepenuhnya adalah persoalan tindakan. Nietzsche meyakini tidak ada kehendak bebas, kecuali tindakan yang lebih kuat dan yang lemah, atau tindakan siapa yang menang.[12]
Dari beberapa karya Nietzsche ini kita bisa melihat bagaimana kritiknya terhadap agama. Kritiknya di sini bukan ditujukan kepada relasi antar manusia (agama lain), tetapi pada nilai-nilai agama Kristen yang menurutnya telah memperbudak kehendak manusia. Agama Kristen menawarkan konsep cinta kasih, kerendahan hati, menerima setiap penderitaan. Bagi Nietzsche itu merupakan mentalitas kaum budak. Konsep agama Kristen hanya bisa diterima oleh kaum budak (memiliki mentalitas kaum budak) yang bergantung pada tuan (Allah) mereka.
Mentalitas kaum budak ini yang membuat manusia (masyarakat Barat) tidak kritis terhadap segala yang mereka terima dan alami dalam hidupnya. Ajaran agama telah meracuni kehidupan mereka. Dengan mentalitas kaum budak ini, orang tidak berupaya untuk merekonstruksi keadaan, melainkan hanya menerimanya. Satu-satunya cara bagi kaum budak untuk menghibur diri agar terlepas dari ketertindasan mereka adalah merekonstruksikan gambar Allah. Allah menjadi sandaran dari ketertindasan mereka.

3.2.Der Ubermensch
Kritik Nietzsche terhadap agama semakin diperuncing dalam karyanya yang berjudul Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra).[13] Sebelum mendalami pemikiran Nietzsche lebih jauh, penulis akan menampilkan kisah Zarathustra.[14]
Zarathustra berusia 30 tahun saat ia meninggalkan rumah dan menyepi di gunung. Suatu saat dia pun turun dan di hutan bertemu orang suci. Ia memuji bahwa Zarathustra telah berubah menjadi kanak-kanak lewat kesunyiannya, yakni menjadi sadar. Zarathustra berkata bahwa ia mencintai manusia, namun pak tua mencintai Allah, karena cinta akan menusia dapat membunuhnya. Orang kudus itu bercerita bahwa di hutan ia menyanyi, menangis, tertawa, dan bergumam untuk memuji Allah. Namun, Zarathustra yang sudah mencapai pencerahan rohani berbicara dalam hatinya: “Mungkinkah itu? Orang suci dalam hutan ini belum pernah mendengar apa pun tentang ini, yaitu bahwa Allah sudah mati.” Zarathustra pun menuju kota dan bergabung dengan kerumunan yang menonton seorang peniti tali. Ia berseru kepada kalayak: “Aku mengajarkan kepada kalian tentang dunia atas. Manusia adalah sesuatu yang akan dilampaui. Apakah yang sudah kalian lakukan untuk melampaui manusia?” Ia berkata bahwa manusia memang sudah melampaui kera, namun manusia masih mirip kera, karena telah diracuni oleh nilai-nilai Kristiani. Kerumunan itu tidak memahami pesan Zarathustra, karena mereka berpikir ia mengacu pada kegiatan peniti tali itu. Tiba-tiba peniti tali itu jatuh dan mati. Zarathustra dan mayat peniti tali itu ditinggal sendiri di alun-alun itu. Ia pun sadar bahwa pesannya tak sampai, karena manusia terlalu bodoh dan acuh tak acuh.
Melalui kisah Zarathustra di atas, Nietzsche berfilsafat. Pandangannya mengenai Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi supermen,[15] atau menurut salah seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufmann, Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi overmen. Uber sejajar dengan over, yaitu “di atas”, sedangkan mensch sejajar dengan men, maka dapat diterjemahkan menjadi “Manusia Atas”. Dalam cerita itu, Nietzsche mempersonifikasikan dirinya sebagai Zarathustra. Melalui mulut tokoh itu, Nietzsche mengucapkan pandangannya: “Ich lehre euch den Ubermenchen. Der Mensch ist etwas, das uberwunden werden soll” (Aku mengajarkan kepada kalian mengenai Manusia Atas. Manusia adalah sesuatu yang harus dilampauinya).[16]
Nietzsche berbicara dan berharap mengenai manusia masa depan. Manusia atas bukanlah orang barbar, liar atau tak tahu aturan. Dia bukanlah seorang immoral, melainkan menciptakan nilai-nilainya sendiri. Muncul manusia atas harus didahului dengan kemampuan untuk menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai Kristiani harus dijungkirbalikan terlebih dahulu. Dengan mampunya manusia atas menciptakan nilai-nilai, mereka akan memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat terhadap diri sendiri dan toleran.[17]
Dengan menggambarkan manusia atas, Nietzsche mau menciptakan suatu nilai baru bagi manusia di luar nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai baru itu diyakini akan membuat manusia bebas bukan karena dipaksa oleh ajaran agama, melainkan dari kehendak. Manusia atas ini akan menjadi rujukan untuk menjadi teladan dalam menjalani kehidupan, sebab manusia atas tidak lari dari realitas dan bersandar kepada Tuhan, melainkan menghadapi realitas dengan kesadaran penuhnya (Ja-Sagen).

3.3.Allah telah mati
Puncak dari Kritik Nietzsche terhadap agama termuat dalam karyanya yang berjudul Antichrist. Namun ajaran terang-terangan mengenai ateismenya dapat ditemukan dalam aphorisme 125 buku Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan Ceria).[18]
Seorang gila membawa sebuah lentera menyala ke tengah pasar dan berseru-seru: “Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!” Orang-orang di pasar menertawakannya. Tapi si gila itu malah melompat ke tengah-tengah mereka dan menatap mereka sambil berteriak: “Ke manakah Allah? Aku memberi tahu kalian. Kita sudah membunuhnya. Kita semua pembunuh. Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan? Siapakah yang memberikan kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah bumi bergerak sekarang? Ke manakan kita bergerak? Menjauh dari segala matahari? Tidakkah kita tenggelam terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala arah? Masih adakah naik atau turun? Tidakkah kita tersesat ketiadaan tak terhingga? Tidakkah kita menghirup ruang kosong? ...Allah sudah mati...Dan kita telah membunuhnya...” sesudah itu si gila diam, menatap para pendengarnya. Mereka pun membisu. Si gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, lalu pergi sambil berkata: “Saya datang terlalu dini, waktuku belum sampai. Peristiwa besar ini masih sedang menjelang...”
Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila. Ia bukan hanya mengumumkan ateis, tetapi juga meramalkan datangnya ateis. Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak memahaminya. Ia mengumumkan kegilaan universal yaitu menemukan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah.[19]
Kematian Allah telah membuka kreativitas dan kemerdekaan manusia, sehingga manusia dapat berkembang penuh. Allah telah mati, sehingga tidak ada lagi larangan atau perintah, atau rujukan kita untuk melihat hal yang transenden. Sebab ide Allah dalam agama Kristen telah memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, mengkebiri daya-daya vital manusia. Nietzsche menggangap agama Kristen sebagai vampirisme.[20]
Dengan matinya Allah, manusia tidak lagi dibatasi atau diarah ke dunia transenden. Manusia tidak lagi menunjukkan sikap pengecutnya dengan berlindung di naungan Allah terhadap kerasnya realitas dunia ini. Manusia Ubermensch akan mampu mengekspresikan Ja-Sagen kepada realitas tanpa Allah. Lebih jauh Nietzsche mengatakan: “Tetaplah setia pada dunia dan jangan percaya pada orang-orang yang mengoceh kalian tentang harapan-harapan pada dunia atas sana! Entah tahu atau tidak, mereka itu penebar racun. Mereka itu orang-orang yang melecehkan kehidupan!”.[21]

4.      Kritik Terhadap Kehidupan Agama Dewasa Ini
Tidak mudah menemukan awal dari kritik Nietzsche terhadap agama Kristen. Kita hanya tahu bahwa berpuncak kritiknya terletak pada karyanya Antichrist. Sebelum mengkontekstualisasikan pemikiran Nietzsche untuk zaman ini, terlebih dahulu penulis menunjukkan dimensi yang menjadi dasar kritikannya.
Nietzsche tidak pernah mempersoalkan Allah. Dia tidak pernah mempersoalkan apakah Allah ada atau tidak. Allah yang dikritik Nietzsche adalah Allah ciptaan manusia, maka Allah itu harus dibunuh agar manusia bisa menerima realitas hidupnya. Allah yang diciptakan manusia itu telah menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya dan dunianya. Allah yang diciptakan oleh manusia itu dipasang sebagai kebenaran dan membuat manusia tenggelam dalam kebohongan. Allah ciptaan manusia itu memanifestasikan diri dalam agama, maka agama adalah ciptaan mereka yang kalah, tidak berani melawan, dan akhirnya tidak berani berkuasa.[22]
Kritik Nietzsche perlu kita refleksikan dalam menjalankan agama. Benarkah kepercayaan kita kepada Allah hanyalah pelarian ketika takut menghadapi realitas dunia? Benarkah keutamaan-keutamaan Kristiani seperti mengampuni, memaafkan, berbelas kasih dan suara hati hanyalah milik mereka yang kalah/budak? Benarkah untuk menghadapi realitas dunia yang penuh dengan kebencian, kita harus melupakan Allah? Sekarang kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri. Apakah sebagai orang yang beragama, kita memisahkan Allah dari realitas dunia yang kita hadapi? Apakah kita telah menghidupi atau mengkontekstualisasikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha menyadarkan kita akan realitas yang kita hadapi, sebab jangan-jangan kehidupan beragama kita hanya dipermukaannya yaitu pada identitas semu. Kritik Nietzsche ini mengajak kita untuk mendalami iman kita lebih jauh lagi dan tahu beriman secara benar. Beriman tidak bisa meninggalkan realitas sosial, sebab melalui tindakan sosiallah kita merealisasikan iman kita.

5.      Penutup
Kritik Nietzsche terhadap agama berangkat dari realitas zamannya. Ia mengkritik agama, karena agama baginya adalah ciptaan mereka yang kalah, mentalitas kaum budak yang tidak mampu berkuasa. Pertanyaannya apakah hanya sebatas itu? Bagaimana menjelaskan kepercayaan orang-orang kepada Allah dari mereka yang berkuasa, pemenang?
Namun Nietzsche telah menyadarkan kita bahwa tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi di antara kita yang percaya kepada Allah. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang karena takut menghadapi realitas hidupnya, pergi masuk biara atau seminari untuk mencari aman dalam lindungan tembok dengan cara ingin menjadi biarawan/i atau imam? Nietzsche memang meramalkan ateisme universal, tetapi jika kita memiliki agama dengan cara yang tidak benar, kita juga adalah ateis. Kita menciptakan teis-teis untuk menguasai diri sendiri seperti kekuasaan, harta dan perempuan? Kritik Nietzsche pertama-tama ditujukan kepada individu-individu yang beragama dan selanjutnya kepada institusi agama. Mampukan kita beriman dan berani menghadapi realitas dunia?






Daftar Pustaka

Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Vol. VII). New York: Image Books, 1994.
D. Aiken, Henry. Abad Ideologi: Dari Kant sampai Kierkegaard. Yogyakarta: RELIEF, 2009.
Frans, Magnis Suseno. Menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spake Zarathustra. terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.







[1] Frederick Copleston, S.J, A History of Philosophy: Modern Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Volume VII), New York: Image Books, 1965, hal. 390.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 258.
[3] Ibid., hal. 259.
[4] Frederich Copleston, S.J, Loc. cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal 391-392.
[7] Ibid. Bdk. F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 260.
[8] Henry D. Aiken, Abad Ideologi: Kant-Kierkegaard, Yogyakarta: Relief, 2009, hal. 117.
[9] Ibid., hal. 120-121.
[10] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 269.
[11] Ibid., hal 270. Bdk. Frederich Copleston, S.J, Op. cit., hal. 401.
[12] Henry D. Aiken, Op. cit., hal. 248.
[13] Sabda Zarathustra yang lengkap dapat dibaca dalam buku yang berjudul “Nietzsche: Sabda Zarathustra” terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso, dengan judul asli Thus Spake Zarathustra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 45-496.
[14] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 274.
[15] Bdk. Frederick Copleston, S.J, Op. cit., hal. 413.
[16] F. Budi Hardiman, Op. cit, hal. 274.
[17] Ibid., hal. 276.
[18] Ibid., hal. 279.
[19] Ibid., hal 279.
[20] Ibid., hal 280.
[21] A. Setyo Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 87.
[22] Frans Magnis Suseno, Menalar tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.