Sabtu, 16 Juli 2016

Pernyataan sikap kasus papua di Jogja


KRONOLOGIS DAN PERS RELEASE PERISTIWA REPRESIFITAS APARAT KEAMANAN TERHADAP ORANG PAPUA DI YOGYAKARTA

Kronologi Penangkapan Kawan-kawan Pemuda Papua Tanggal 15 Juli 2016, hingga Penetapan Tersangka terhadap  Obby Kogaya
1.      Tanggal 15 Juli 2016, sekitar jam 8.00, Denny, Adius, Terianus, Obed, Ferdinand, dan Benditus, membeli ketela dan singkong 34 kg di pasar giwangan yang akan digunakan untuk makan siang teman-teman yang aksi di asrama papua.
2.      Seusai membeli ketela sekitar jam 9.00, keenam mahasiswa papua ini memutuskan untuk pulang ke asrama Papua. Saat mencoba untuk memasuki Jalan Kusumanegara (lokasi asrama Papua), keenam mahasiswa ini sadar bahwa Jalan Kusumanegara sekitar Asrama Mahasiswa Papua diblokir oleh aparat.
Sehingga tidak dapat dilewati. Pada akhirnya, enam mahasiswa ini memutuskan untuk pulang ke asrama papua melalui pintu belakang.
3.      Sebelum sempat memasuki asrama melalui pintu belakang, sekitar 100 meter dari pintu belakang asrama, keenam mahasiswa ini diteriaki dari belakang oleh aparat, dan dikepung dari dua arah. Keenam mahasiswa ini dipaksa berhenti dan turun dari motor dengan todongan senjata laras panjang.
4.      Setelah turun dari motor, keenam mahasiswa ini dipukuli oleh pria berpakaian preman dan brimob. Dalam proses penggeledahan dan pemeriksaan barang bawaannya, keenam mahasiswa ini tetap dipukuli.
Ketela dan singkong 34 kg ini dihamburkan oleh aparat, dan keenam mahasiswa ini disuruh untuk memungut kembali ketela dan singkong itu, namun tetap ditendangi oleh aparat. Setelah mengumpulkan ketela dan singkong, keenam mahasiswa ini disuruh kembali ke asrama papua melalui pintu depan.
5.      Keenam mahasiswa papua ini mencoba menuju daerah Kusumanegara, dengan niat masuk ke asrama Papua melalui pintu depan. Namun, lagi-lagi diberhentikan oleh polisi di lampu merah, dan dipaksa untuk naik truk dan dibawa ke Polda DIY.
6.      Di Polda DIY, keenam mahasiswa ini bertemu dengan dua mahasiswa papua lainnya, bernama Obby Kogoya dan Debby Kogoya.
Kronologis Obby dan Debby Diamankan
7.      Awalnya Obby dan Debby akan ke asrama papua bergabung dengan mahasiswa papua untuk melaksanakan aksi.
8.      Namun, karena jalan kusumanegara ditutup, Obby dan Debby memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang. Namun ternyata pintu belakang dikunci. Saat kedua mahasiswa ini mencoba untuk memutarkan motor, mereka dua didatangi aparat dan ditanyai SIM dan STNK, padahal jalan dibelakang gank miliran kecil yang sebetulnya juga bukan jalan raya, hanya karena mereka Papua mereka didatangi, berbeda perlakuan apabila yang lewat bukan papua maka tak akan diperlakukan seperti itu .
9.      Karena kedua mahasiswa ini tidak bisa menunjukkan SIM dan STNK, mereka kedua disuruh turun dari motor. Selagi turun dari motor, secara sepihak seorang aparat berpakaian preman mengambil kunci motor Obby dan Debby, dan menyeret Obby dengan mencengkram baju di bagian leher.
10.  Obby yang merasa terancam diperlakukan seperti itu dan mencoba menyelamatkan diri. Dia pun dikejar aparat, tertangkap, dan dipukul/dikeroyok oleh aparat. Lalu Obby pun diborgol dan dinaikkan ke truk bersama Debby, lalu digelandang ke Polda DIY.
11.  Saat di POLDA DIY, pihak kepolisian melakukan interogasi terhdap Obby Kogaya dan bahkan secara sepihak juga menetapkan Obby Kogaya dengan status Tersangka, dengan sangkaan melakukan hukum 212 jo. 351(2) dan 213 KUHP. Malam itu polisi bersikukuh untuk menahannya,
Penetapan Tersangka Yang Janggal.
12.  Penetapan tersangka ini janggal. Pertama Obby Kogaya ditetapkan tersangka hanya karena dia dianggap melawan petugas polisi dengan cara menyerang anggota kepolisian, saat setelah dimintai tunjuk dengan cara yang tak sopan dan manusiawi diminta menunjakan SIM dan STNK, padahal polisi secara sepihak mengambil kunci motornya dan juga sempat mencengkram erat dari bagian belakang hanya karena ia Papua yang terlihat di gank miliran.
13.  Kuasa hukum dari LBH Yogyakarta pun berdebat terkait dengan penetapan tersangka tersebut, LBH Yogyakarta menilai pentapan tersangka tersebut tak berdasar dan lebih cenderung upaya polisi mencari—cari kesalahan dari mahasiswa yang ikut rencananya akan ikut aksi dami pada tanggal 15 Juli 2016. LBH Yogyakarta memperdebatkan terkait dasar penetapan tersangka tersebut, pihak penyidik POLDA adanya saksi, yang padahal saksi tersebut dari pihak kepolisian sendiri.
14.  Kedua, Karena penyidik pun menetapkan dengan dasar 212 jo. 351(2) dan 213 KUHP, LBH Yogyakarta pun menanyakan terkait bukti visum dari polisi yang mengaku korban, namun Penyidik  tidak pernah bisa menunjukkan dokumen fisik visum itu kepada Obby maupun LBH Yogyakarta.
15.  Ketiga seharusnya Obby lah yang jadi korban, dan bukan malah ditetapkan tersangka karena dia yang justru dikeroyok, dipukuli oleh aparat baik yang berbaju preman atau seragam kepolisian sekali lagi hanya karena ia pemuda papua. Pihak kepolisian dengan ringan menetapkannya sebagai Tersangka, sungguh tak proporsional melihat perlakuan kepolisian pada mahasiswa papua, sangat terasa hukum bukan milik pemuda papua.
16.  Obby Kogaya akhirnya bisa pulang dengan terlebih dahulu pihak kuasa hukum mengajukan penahanan pada pukul 12.30 malam, pihak yang diajukan sebagai penjamin  adalah kedua temannya yang ikut ditangkap yaitu Teriunus Aud dan Adius Kudligagal.

Warga Yogyakarta bersolidaritas dan mengumpulkan logistik berupa nasi bungkus, minuman, gula, kopi, dan mie instan. Logistik dikumpulkan di markas Palang Merah Indonesia, Kotagede, dan rencananya dikirimkan dengan mobil Ambulans PMI dengan menimbang hukum internasional yang menyatakan bahwa palang merah tidak boleh ditahan atau diserang.
Pukul 17.30 WIB, ambulans PMI yang membawa logistik tiba di depan asrama. Ambulans dihentikan oleh polisi lalu parkir di seberang jalan. Sopir ambulans terlihat bercakap-cakap dengan polisi. 10 menit kemudian ambulans pergi tanpa menurunkan logistik sama sekali.
Pukul 19.25 WIB sekitar lebih dari 150 orang yang terjebak berkumpul dan duduk di dalam aula asrama sambil menyanyikan lagu daerah. Sebagian kawan membersihkan sampah-sampah di halaman depan asrama. Saat mereka sedang membersihkan, polisi meneriakkan kata-kata: “mengganggu pemandangan”. Beberapa kawan tadi keluar dari asrama untuk merespon teriakan polisi. Polisi kemudian menembakkan gas air mata sebanyak tiga kali.
Pukul 22.37 WIB satu orang kawan Papua yang ditangkap masih ditahan di Polda DIY. Tujuh orang lainnya sudah dibebaskan setelah pembuatan BAP. Handphone dari salah satu korban penangkapan masih ditahan di Polda DIY. LBH Yogyakarta masih mengupayakan pembebasan kawan yang ditahan.

Pernyataan Sikap

Tanggal 14 Juli ini merupakan 47 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di tanah Papua. Pelaksanaan PEPERA sendiri mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Sistem one man one vote dihapuskan dan diganti dengan menunjuk siapa yang berhak mewakili untuk memilih ditambah dengan intervensi militer Indonesia. Tidak heran kemudian hasil PEPERA adalah ingin bergabung dengan Indonesia. Sejak itu Papua terus berada dalam penjajahan Indonesia, di bawah perlindungan dan kepentingan kekuatan imperialis. Reformasi 1998 berhasil menggulingkan Soeharto. Ruang demokrasi relatif terbuka. Namun di Papua militerisme Rejim Soeharto masih terus mempertahankan kekuasaannya dengan menutup ruang demokrasi.

Gerakan rakyat di Papua semakin lama semakin membesar, menuntut hak menentukan nasib sendiri. Bersamaan dengan itu ruang demokrasi semakin dipersempit. Dalam Rejim Jokowi-JK, penangkapan terhadap aktivis Papua memecahkan rekor. Sekitar 5 ribu rakyat Papua ditangkap dalam berbagai aksi, sebelum aksi dan bahkan ketika hanya membagikan selebaran. Pembunuhan terhadap rakyat Papua juga terus terjadi, setiap hari ditemukan 4-5 jenasah dengan luka-luka bekas penganiayaan. Korporasi seperti Freeport yang terus menghancurkan ruang hidup rakyat Papua justru dilindungi oleh Rejim Jokowi-JK. Sementara berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua terus ditutup-tutupi. Saat ini juga sudah terbentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang merupakan wadah persatuan bangsa Papua Barat atau wadah koordinatif untuk mengajukan aplikasi West Papua di MSG dan mendorong proses penyelesaian masalah Papua ditingkat Internasional melalui Jalur legal untuk mencapai Hak Penentuan Nasib Sendiri.
ULMWP ditetapkan menjadi Anggota Pengamat dalam Forum MSG, pada KTT MSG di Honiara, Solomon Island, 19-21 Mei 2015 lalu, dan Melanesia Indonesia (Melindo) menjadi Anggota Penuh. Kini MSG kembali menggelar pertemuan khusus pada tanggal 13-15 Juli 2016, untuk membahas status ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Desakan untuk mengangkat ULMWP menjadi anggota tetap datang dari berbagai pihak, termaksud ketua MSG (Perdana Menteri Solomon Island), dikarenakan sikap Indonesia yang beberapa kali tidak menghadiri dan bahkan tidak merespon undangan MSG untuk membahas persoalan Papua di Forum MSG. MSG sendiri merupakan organisasi bersama bagi negara-negara rumpun Melanesia yang setingkat dengan ASEAN.
Hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari tuntutan-tuntutan demokratis, bagian dari tuntutan yang akan menyelesaikan persoalan kebangsaan. Dan rakyat Indonesia sudah belajar terutama sepanjang masa Rejim Militer Soeharto, bahwa kita tidak dapat membangun sebuah bangsa di bawah moncong senjata. Pembangunan sebuah bangsa hanya bisa dilakukan dengan berbasiskan nilai-nilai anti imperialisme, anti kapitalisme, demokrasi dan solidaritas.
Saat ini, rakyat Indonesia juga berhadapan dengan ruang demokrasi yang semakin sempit. Di berbagai tempat, aktivis buruh dan petani dikriminalisasi, dipenjara, bahkan dibunuh. Tentara semakin terlibat dalam persoalan-persoalan sipil. Kebebasan beragama, berkeyakinan, berideologi, kebebasan akademik, kebebasan pers, berserikat dan berkumpul terus menerus diserang oleh kelompok-kelompok reaksioner yang dilindungi atau bersama-sama dengan aparat negara. Berbagai peraturan hukum yang mempersempit ruang demokrasi terus disahkan. Penyempitan ruang demokrasi tersebut berhubungan erat dengan semakin besarnya perampasan sumber daya alam dan manusia. Sumber daya yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, justru dirampas untuk kekayaan pribadi kelas borjuasi nasional maupun internasional.
Adalah kebutuhan bagi rakyat Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi seutuh-utuhnya. Demokrasi seutuh-utuhnya yang bertujuan untuk menghapuskan penindasan dari manusia ke manusia lainnya, serta menghapuskan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945: “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Hal ini juga berarti bahwa kita harus mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat.
Dukungan terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat serta kemerdekaan Papua Barat. Demikian juga terwujudnya demokrasi seutuh-utuhnya juga akan berarti memukul kekuatan anti demokrasi yang masih bercokol hingga sekarang, yaitu militerisme. Termasuk memukul Imperialisme yang berkuasa di Indonesia melalui Rejim-rejim di Indonesia. Imperialisme, Rejim Jokowi-JK serta militerisme-lah yang menghambat perkembangan kemajuan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern dan demokratis. Kekuatan yang ingin terus mengeksploitasi alam dan melanggengkan penindasan terhadap rakyat Papua.

Oleh karena itu Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB), menuntut diberikannya “Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi Papua”.  Serta menyatakan sikap :
1.      Mendukung ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.
2.      Kutuk Pelaksanaan PEPERA 1969
3.      Buka Ruang Demokrasi Seutuh-utuhnya
4.      Tarik Militer, Organik dan Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua
5.      Tutup Seluruh Perusahaan Diatas Tanah Papua
6.      Hentikan represifitas aparat keamanan dan ormas reaksioner yang menyerang dan mengepung asrama Papua Kamasan 1 Yogyakarta.
7.      Bebaskan kawan Obby Kogaya dari status tersangka

Yogyakarta, 16 Juli 2016