Sabtu, 03 Januari 2015

Membangun Spiritualitas yang Berwawasan Ekologis

Membangun Spritualitas  yang Berwawasan Ekologis
“My soul can find no staircase to Heaven unless it be through Earth's loveliness”. (Jiwaku tidak dapat menemukan tangga ke Surga kecuali melalui keindahan bumi), Michelangelo (1475-1564).
  1. Pengantar
Lingkungan hidup merupakan tempat kita tinggal dan hidup. Ketika lingkungan itu menjadi rusak, kehidupan kita pun akan terancam. Maka perlu adanya usaha bersama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, agar keberlangsungannya dapat terjamin.
Usaha untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup harus berawal dari spirit yang mendasari sebuah tindakan. Spirit itu akan memberikan kita wawasan dan pengertian bahwa kita tidak bisa melepaskan diri darinya. Spirit itu saya namakan, “Spiritualitas yang Berwawasan Ekologis”. Spiritualitas yang berwawasan ekologis merupakan bentuk dan usaha untuk mendasari semua tindakan kita yang berkaitan dengan lingkungan. Karena spirit merupakan kedalaman dan relasional kita dengan Allah, maka spiritualitas yang berwawasan ekologis adalah kedalaman dan relasional kita dengan lingkungan.
Seperti apakah spiritualitas yang berwawasan ekologis itu? Jika spiritualitas yang berwawasan ekologis itu merupakan kedalaman dan relasional kita dengan lingkungan, dimanakah peran Allah yang menjadi penyelenggara segala sesuatu? Lalu bagaimana perwujudan dari spiritualitas yang berwawasan ekologis itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa kita pada ulasan yang penulis sajikan.
  1. Persoalan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup yang kita tempati telah mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi kerusakan hutan dan lapisan tanah, kerusakan terumbu karang, dan kerusakan lapisan ozon.[1]
  1. Kerusakan Hutan dan Lapisan Tanah
Persoalan pertama pada kerusakan lingkungan adalah kerusakan hutan. Hutan yang dimanfaatkan untuk menyokong kehidupan secara berlebihan menimbulkan bencana bagi manusia yang memanfaatkannya. Di Indonesia laju kerusakan atau degradasi hutan tiap tahun diperkirakan mencapai 2 sampai 3 juta ha per tahun. Jika data ini benar, itu menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun (sejak tahun 1990) telah terjadi peningkatan laju deforestasi sebesar 3 kali lipat. Pada tahun 1990, Bank Dunia mencatat bahwa laju deforestasi baru mencapai 0,9 juta ha per tahun. Sedangkan menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), laju deforestasi tahun 1990 sebesar 1,3 juta ha per tahun.[2]
Kerusakan hutan terjadi baik secara legal maupun ilegal. Kerusakan secara legal disebabkan oleh pembukaan lahan perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sedangkan secara ilegal dikarenakan tindakan ikut membuka lahan perkebunan, dan tindakan kriminal mencuri kayu.[3] Tindakan lain yang ikut memperparah kerusakan hutan adalah pertambangan baik secara legal maupun ilegal dan terjadinya kebakaran hutan di beberapa wilayah di Indonesia.
Kerusakan hutan berakibat pada krisis lingkungan lainnya. Hutan yang mempunyai fungsi klimatologis sangat penting untuk mengatur iklim lokal maupun global dan menjaga siklus perubahan cuaca. Hutan juga mempunyai fungsi hidrologis untuk menjaga daerah resapan air dan menjaga persediaan atau ketersediaan air. Selain itu, hutan juga memiliki fungsi untuk menjaga kualitas tanah dan vegetasi alamiah, serta fungsi biologis-genetis untuk menunjang perkembangbiakan berbagai unsur biologis dan genetis di dalamnya.[4]
Rusaknya hutan juga akan menyebabkan lapisan tanah semakin rusak dan terdegradasi, termasuk karena erosi dan longsor di musim hujan.[5] Kerusakan lapisan tanah itu membawa akibat bagi para penduduk yang bermukim di daerah yang rawan bencana. Selain rawan bencana, kegiatan pertanian juga akan terganggu dan berdampak pada perekonomian masyarakat. Akibat lain dari kerusakan hutan adalah berkurang atau bahkan musnahnya ekosistem seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan hutan. Dalam kurun waktu 1970-2003, populasi 1.313 spesies binatang bertulang belakang (vertebrata) semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman hayati turun secara drastis sebanyak 30 persen dalam kurun waktu tersebut.[6] Lester R. Brown,[7] dalam bukunya State of The World 1984 menuliskan, “Kehilangan lapisan tanah subur pada lahan pertanian di seluruh dunia mencapai sekitar 22,7 miliar ton per tahun, jauh melebihi luas areal lahan buka baru.[8] Dampak lain dari kerusakan hutan adalah masuknya binatang liar ke pemukiman penduduk dan menyerang penduduk. Masuknya binatang liar ke pemukiman penduduk menjadi tanda bahwa hutan sebagai tempat tinggal mereka telah dieksploitasi dan dimanfaatkan tanpa mengindahkan keseimbangan alam dan ekosistem.
  1. Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang sebagai tempat bagi ekosistem laut tidak luput dari kerusakan akibat pertambangan dan kegiatan menangkap ikan dengan bahan yang tidak ramah lingkungan. Menurut laporan Loke Ming Chou,[9] didasarkan pada studi yang yang dilakukan pada tahun 2000, sekitar 40 persen terumbu karang Indonesia, khususnya bagian barat dan tengah mengalami kerusakan. Chou mengatakan, “Ada indikasi kuat bahwa telah terjadi penurunan kualitas terumbu karang di wilayah Indonesia tengah dan barat dengan laju sebesar 10 sampai 50 persen selama 50 tahun terakhir.[10]
Dampak dari kerusakan terumbu karang adalah menurunnya populasi biota laut, khususnya ikan karang karena terganggu dan hilangnya habitat berupa terumbu karang.[11] Kerusakan ini membawa akibat pada berkurangnya sumber ekonomi para warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem laut. Selain itu wisata bahari juga akan mengalami penurunan, sebab beberapa wilayah di Indonesia mengandalkan kekayaan ekosistem laut sebagai tempat pariwisata, seperti Taman Bunaken di Sulawesi dan Pulau Raja Ampat di Papua. Jelas bahwa setiap kerusakan terumbu karang membawa akibat yang tidak sedikit bagi keberlangsungan hidup para biota laut yang menggantungkan hidupnya pada terumbu karang sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung serta tempat tinggal.
  1. Kerusakan Lapisan Ozon[12]
Kerusakan lapisan ozon disebabkan oleh zat-zat perusak lapisan ozon berupa bahan kimia klorofluorokarbon (CFC), bromine halocarbon, dan juga nitrogen oksida dari pupuk. CFC biasa digunakan sebagai media pendingin dan gas pendorong spray aerosol. Kerusakan lapisan ozon menimbulkan berbagai penyakit seperti katarak dan kanker kulit, kerusakan flora dan fauna, serta ikut menyebabkan kegagalan panen akibat proses fotosintesis yang tidak sempurna.
Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfer yang berfungsi utama menyaring sinar ultraviolet sebelum sampai ke bumi. Dengan rusaknya lapisan ozon, sinar ultraviolet terpancar langsung ke bumi, dan hal itu sangat membahayakan kesehatan dan mengancam berbagai kehidupan di bumi. Karena keseriusan bahaya ini, maka pada tahun 1986 telah disepakati Konvensi Vienna untuk perlindungan lapisan ozon. Kemudian pada tahun 1987 disepakati pula Protokol Montreal yang diselenggarakan dalam rangka membatasi dan menghentikan bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon, khususnya CFC.
Rusaknya lapisan ozon merupakan akibat dari rusaknya lingkungan hidup yang memiliki efek samping pada perubahan iklim. Perubahan iklim mengakibatkan naiknya suhu bumi yang diperkirakan 1-2 derajat Celsius per tahun. Eric Rignot, seorang ahli glester mengatakan bahwa dengan naiknya suhu bumi, maka mencairnya salju abadi di Antartika tidak bisa lagi dihentikan. Melelehnya es di Antartika telah mengakibatkan permukaan air laut naik hingga 4-16 kaki atau 1,2-4,8 meter. Pertemuan yang diselenggarakan oleh PBB yang diikuti oleh 200 negara dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada  tahun ini memperkirakan bahwa pada tahun 2100, kenaikan permukaan air laut akan berkisar 1-3 kaki atau 30-90 sentimeter. Tingkat kenaikan itu bisa membuat jutaan orang yang tinggal di kota-kota tepi pantai harus mengungsi karena kota mereka berpotensi tenggelam. Jika hal ini terjadi maka peta dunia akan berubah.[13]

  1. Akibat dari Kerusakan Lingkungan Hidup
Kerusakan lingkungan hidup mengakibatkan pencemaran udara, pencemaran air, sampah,[14] dan bencana bagi populasi kota.[15] Pertama, pencemaran udara. Pencemaran udara dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sumber tidak bergerak dan sumber bergerak. Pencemaran udara oleh sumber tidak bergerak berupa aktivitas industri, kebakaran hutan dan sampah. Sedangkan pencemaran udara oleh sumber bergerak dihasilkan dari moda transportasi. Pencemaran udara itu mengakibatkan terganggunya kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan mengancam kehidupan flora dan fauna. Pencemaran udara juga mendatangkan penyakit kepada manusia seperti infeksi saluran pernapasan. Kedua, Pencemaran air. Pencemaran air terjadi karena buangan limbah dan pendangkalan air yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Limbah buangan yang menyebabkan tercemarnya air berasal dari industri: seperti industri tekstil, besi dan baja, plastik, kulit, karet, pulp dan kertas, rumah sakit, tambang, dan lainnya.  Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pada tahun 2007 tercatat ada 13 ribu industri besar yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah.  Sedangkan untuk industri kecil ada sekitar 94 ribu industri yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah pada tahun 2007.[16] Ketiga, sampah. Akibat dari kemajuan industri dan perubahan gaya hidup manusia modern memproduksi banyak sampah. Sikap dan gaya hidup yang konsumtif telah menjadikan dan membentuk masyarakat yang serba instan, dan konsumsi yang serba instan itu dikemas dengan berbagai bentuk di dalam plastik. Ketika gaya hidup semakin tinggi, maka semakin meningkat pula cara untuk menghancurkan lingkungan. Lingkungan yang indah dan bersih berubah menjadi lingkungan yang kumuh karena sikap serba instan dan meningkatnya kebutuhan akan plastik. Keempat, Bencana bagi populasi kota. Achim Steiner[17] mengatakan, masalah lingkungan yang terjadi menyebabkan bencana bagi populasi kota. Achim mencatat 7.000 kelahiran prematur setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh rantai makanan manusia terkontaminasi logam berat merkuri.
  1. Beberapa Pandangan Tentang Kerusakan Lingkungan
            Beberapa pandangan di bawah ini akan menunjukkan kepada kita usaha yang dilakukan oleh para tokoh dan komunitas untuk mencari akar permasalahan lingkungan. Pertama, ada sekelompok ilmuwan yang berpendapat bahwa akar krisis ekologis adalah agama Kristen. Lynn White Jr, seorang sejarawan Amerika Serikat berpendapat bahwa kisah penciptaan yang terdapat pada Kej 1:1-2:4a mengajarkan suatu antroposentrisme, yakni paham bahwa manusia adalah pusat dari segala-galanya. Tidak ada agama lain yang menganut antroposentrisme setegas agama Kristen. Antroposentrisme itu sangat tegas dalam Kej 1:28 yang berbunyi; “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi". Lynn White berpendapat bahwa agama Kristen menganut suatu antroposentrisme mutlak karena ia mengambil bagian dalam supremasi Allah.[18] Kedua, Para penganut gerakan New Age, berpendapat bahwa kerusakan alam semesta disebabkan oleh ilmu pengetahuan manusia yang berkembang di dunia barat. Suatu ilmu yang lahir dalam masyarakat patriarkat, sehingga ilmu pengetahuan pun bersifat maskulin. Paradigma lama ilmu pengetahuan ini sering melupakan keutuhan realita.[19] Ketiga, Menurut Rm. Pidyarto, kerusakan alam juga harus dilihat dari sikap manusia yang serakah. Manusia ingin memperoleh harta yang lebih banyak.[20]
            Terhadap tuduhan dari Lynn White yang mengatakan bahwa antroposentrisme yang dianut oleh agama Kristen menjadi sebab utama kerusakan dan kekacauan alam, Rm. Pidyarto meragukannya. Keraguan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Surip J Cohen terhadap tafsiran atas Kej 1:28, termasuk literatur Yahudi. Dia berkesimpulan bahwa dalam zaman pra-modern, orang Yahudi atau orang Kristen jarang atau tidak pernah ada yang menafsirkan Kej 1:28 sebagai ijin kepada manusia untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan diri sendiri. Ajaran resmi Gereja Katolik tidak pernah juga mengajarkan suatu antroposentrisme mutlak, apalagi membenarkan perlakuan manusia yang sewenang-wenang atas alam.[21] Terhadap tuduhan Lynn White jelas tidak bisa dibenarkan dalam bingkaian ajaran resmi Gereja.


  1. Usaha Memulihkan Keutuhan Ciptaan
Lingkungan tempat kita tinggal yang telah rusak ini memaksa kita untuk berbuat sesuatu (aksi nyata) meskipun kecil. Usaha-usaha nyata perlu dilakukan agar kita dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan kelangsungan makhluk hidup. Usaha pemulihan itu dapat dimulai dari kesadaran akan semakin krisisnya persoalan lingkungan, maupun kesadaran iman yang mendasari tindakan.  
Pandangan dan usaha itu dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, menurut Aldo Leopold,[22] bahwa masing-masing kita adalah komunitas biotik lokal. Karena kita merupakan komunitas biotik lokal, maka ia mengajukan suatu “etika tanah” yang mengubah peran homo sapiens dari penakluk komunitas tanah ke anggota biasa dan warganya. Hal ini akan mengimplikasikan hormat terhadap sesama anggota dan juga hormat terhadap komunitas itu sendiri. Dengan mengajukan etika tanah, Leopold meyakinkan bahwa anggotanya akan mempertahankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik.[23] Kedua, menurut, A. Sonny Keraf,[24] bahwa untuk mengatasi krisis lingkungan hidup perlu adanya perubahan cara pandang dan perilaku secara nyata. Karena menurut beliau, sebab utama dan paling fundamental dari krisis dan bencana lingkungan hidup global adalah kesalahan cara pandang. Maka yang dibutuhkan adalah sebuah kesadaran baru bahwa alam dan lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup.[25] Ketiga, adanya kesadaran baru yang muncul dan berkembang pesat dalam cakrawala berpikir manusia, yakni bahwa lingkungan hidup atau ekologi dan alam ciptaan merupakan bagian yang utuh dalam risalah-risalah teologis, pemahaman dan penghayatan rohani umat manusia. Sebab sesama dalam teologi penciptaan adalah sesama mahkluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Soteriologis yang universal dan komprehensif mencakup keselamatan ekologis.[26] Keempat, menurut penulis usaha dan wacana tentang penyelamatan lingkungan hidup perlu diwujudnyatakan. Krisis lingkungan hidup sangat mendesak. Maka segala wacana dan pendasaran teologis harus diimplementasikan dalam kehidupan konkret. Tindakan Seperti yang dilakukan oleh siswa-siswi kelas III-IV SDK Sang Timur Kota Batu, yang mengelar karnaval dengan menggunakan kostum dari koran bekas[27] adalah salah satu bentuk dari tindakan konkret untuk mengajak masyarakat mencintai lingkungan dan memanfaatkan sampah sebagai sarana kerajinan. Para pelajar di Nepal juga memiliki cara unik dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yakni dengan cara memeluk pohon.[28] Memperingati Hari lingkungan Hidup Sedunia dengan cara memeluk pohon memang tidak ada kaitannya dengan semangat menyelamatkan lingkungan hidup, tetapi dengan memeluk pohon, pesan yang ingin disampaikan adalah cintailah pohon yang memberikan kesejukan kepada bumi. Pesan ini jelas memuat suatu usaha agar semua orang dapat memilihara pohon dan menyelamatkan lingkungan. Aksi nyata dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup juga dilakukan oleh sejumlah siswa bersama elemen masyarakat seperti pekerja, pedagang, dan TNI-Polri, dengan memungut sampah baik yang organik maupun yang nonorganik, dan mengeloh secara mandiri di sekitar Lapangan Tegalega Bandung, Jawa Barat.[29]
Dalam lingkungan Gereja, kita bisa “memanfaatkan” kaum muda sebagai pelopor penggerak untuk mencintai lingkungan seperti yang telah digagas dan didiskusikan dalam SAGKI tahun 2005, dimana kaum muda harus terlibat dalam usaha penyelamatan lingkungan seperti pendidikan nilai cinta terhadap lingkungan berbasis kearifan lokal, pendidikan yang didasarkan pada kerjasama dan gotong royong, dan menyelenggarakan pendidikan kritis[30] sebagai upaya nyata dalam menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup. Kelima, implementasi dari tindakan nyata adalah usaha melakukan advokasi. Usaha advokasi ini penting untuk melindungi hak-hak masyarakat lemah dari perampasan dan pendominasian lahan oleh pihak-pihak pemanfaatan hutan. “Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup” (pasal 91 ayat 1 UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup).[31] Usaha advokasi juga bisa digunakan untuk mengontrol pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. “Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan...yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” (pasal 112 UU tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup).[32]
  1. Mendesaknya Spiritualitas yang Berwawasan Ekologis
Etika tanah, perubahan pola pikir, pendasaran teologis, implementasi dari suatu wacana dan adanya advokasi harus dijiwai oleh sebuah spirit yang menjadi roh dari semuanya. Roh di sini harus dibangun dalam kerangka pemulihan keutuhan ciptaan. Maka saya mencoba untuk mengajukan gagasan spiritualitas yang berwawasan ekologis. Spiritualitas adalah suatu permenungan, pemaknaan hidup, pencarian, penemuan dan tinggal dalam Allah. Maka ketika penulis membicarakan spiritualitas yang berwawasan ekologis, di sini akan ditawarkan sebuah permenungan, pemaknaan hidup, pencarian, penemuan dan tinggal dalam relasional dengan alam.
Relasional ini adalah relasional segitiga. Dimana untuk mencapai Allah yang tidak kita lihat adalah melalui alam. Relasional segi tiga merupakan cara kita untuk dapat merasakan dan mengalami kehadiran Allah. Seperti yang digagas oleh St. Fransiskus Asisi dalam Gita Sang Surya yang menyebutkan, “air dan ibu pertiwi (bumi) sebagai saudara”. Saudara berarti kita meletakkan sikap dominasi dan pemanfaatan lingkungan hidup, karena jika sikap itu terjadi maka kita melukai saudara kita sendiri. Sebab bukankah kita dan alam berasal dari rahim yang sama, yaitu Sang Pencipta? Maka ketika saudara kita rusak dan dicederai, sama dengan kita merusak diri kita sendiri. Atau dalam bahasa lain, kita dapat menemukan Tuhan melalui udara, air, api, bumi, sinar matahari, dan seterusnya.[33] Sarana untuk menemukan Tuhan dalam spiritualitas yang berwawasan ekologis ini adalah melalui ciptaan Tuhan sendiri.
Spiritualitas yang berwawasan ekologis selain relasional adalah sikap ketergantungan. Sikap ketergantungan ini dapat kita baca dalam semangat kisah penciptaan Kej 1:1-2:4a, secara khusus ayat 29-30: “Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya”. Jika spiritualitas yang berwawasan ekologis juga adalah spiritualitas yang bertergantungan, maka tidak ada celah untuk kita merusak lingkungan hidup yang telah memberi kita kehidupan.
Maka untuk menjaga keutuhan ciptaan, perlu adanya suatu pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis bukan hanya kesadaran pentingnya lingkungan hidup bagi kita manusia, tetapi karena lingkungan hidup adalah saudara kita. Dengan adanya pertobatan ekologis, diharapkan ada pembaharuan diri untuk menjaga dan mencintai lingkungan hidup, sebab lingkungan hidup merupakan sarana bagi kita untuk memuliakan Allah. Atau tangga menuju ke Surga, seperti yang dikatakan oleh Michelangelo: “My soul can find no staircase to Heaven unless it be through Earth's loveliness”.    
  1. Penutup
Krisis lingkungan hidup membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Krisis ini mengetuk hati kita untuk melakukan perubahan sikap terhadap pemanfaatan lingkungan. Usaha-usaha nyata sangatlah penting agar bisa menjamin keberlangsungan alam ciptaan. Usaha-usaha itu harus didasari pada sikap dan semangat yang sama, yaitu lingkungan hidup adalah rumah kita bersama. Jika kita tidak merawat rumah kita atau rumah kita menjadi rusak, kita tidak akan memiliki tempat untuk berlindung. Demikian juga halnya dengan lingkungan hidup. Jika lingkungan hidup kita menjadi rusak, maka keberlangsungan hidup kita akan terancam atau bahkan punah.
Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi. Apalagi sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa Allah menyelenggarakan hidup kita, dan kita adalah rekan sekerja Allah dalam usaha menjaga keutuhan ciptaan. Maka berangkat dari kesadaran itu saya mencoba menawarkan spiritualitas yang berwawasan ekologis. Spiritualitas yang berwawasan ekologis adalah spiritulitas yang relasional dan memiliki ketergantungan dengan lingkungan hidup. Relasional dan memiliki ketergantungan tidak meniadakan peran Allah dalam kehidupan kita manusia. Allah tetap menjadi pusat dan tujuan hidup kita. Relasional dan memiliki tergantungan berarti kita dengan lingkungan hidup berasal dari rahim yang sama, yaitu Sang Pencipta. Karena kita berasal dari rahim yang sama, maka kita memiliki berhubungan yang erat dengan lingkungan hidup.
Menjaga dan merawat lingkungan hidup adalah bentuk dari perwujudan kita terhadap sikap yang cinta akan lingkungan. Kita tidak bisa berdiam diri dari segala persoalan lingkungan, sebab kita memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang telah memberikan kita perlindungan.[34] Dengan merawat lingkungan, berarti kita merawat kehidupan dan tempat tinggal kita manusia. Dengan merawat lingkungan juga berarti kita memberikan ruang kepada Allah untuk memergunakan kita menyelamatkan lingkungan dan menjaga keutuhan ciptaan.
(Pernah saya muat di Jurnal Ilmiah Filsafat Teologi "Forum" Thn XLII No. 2/2014. Hal. 45-55).


Daftar Pustaka
Dokumen dan Buku
Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.
A.Sunarko & A. Eddy Kristiyanto (eds). Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Benny Phang & Valentinus (eds). Minum Dari Sumber Sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan. Malang: STFT Widya Sasana, 2011.
Gerald O’collins & Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Keraf, Sonny A. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Mery Evelyn Tucker & John A. Grim (eds). Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia. Bangkit dan Bergeraklah. Jakarta: Sekretariat SAGKI, 2005.
Sudrijanta, J. Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Internet dan Koran
Koran Jawa Pos, Minggu, 18 Mei 2014.
________, Jumat, 6 Juni 2014.
Koran Kompas, Selasa, 24 Juni 2014.








[1] A Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal. 27.
[2] Ibid., hal. 28.
[3] Ibid.         
[4] Ibid., hal. 31.
[5] Ibid.
[6] Bambang Bider, Menemukan Kembali Makna Hubungan Spiritual Manusia dan Lingkungan Hidup, dalam Dr. Benny Phang & Dr. Valentinus (eds), “Minum dari Sumber Sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan”, Malang: STFT Widya Sasana, 2011, hal. 281-282. 
[7] Lester R. Brown, adalah Presiden Earth Policy Institute, yang menangani Perubahan Iklim dan Divisi Keberlanjutan di IDB. Brown adalah pelopor lingkungan hidup global. Dia telah dihormati dengan banyak penghargaan termasuk Environment Prize PBB.
[8] A. Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 35.
[9] Dr. Loke Ming Chou, adalah Profesor di Departemen Ilmu Biologi, National University of Singapore. Sebagai seorang ahli biologi terumbu karang, ia dalam beberapa tahun terakhir lebih terfokus pada pengelolaan pesisir dan restorasi terumbu karang.
[10] A. Sonny Kerap, Op. Cit., hal. 33.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal. 36-37.
[13] Koran Jawa Pos, Minggu 18 Mei 2014, hal. 2.
[14] A Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 38.
[15] Koran Kompas, Selasa, 24 Juni 2014.
[16] A Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 42-43.
[17] Achim Steiner adalah Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), yang membawahi United National Environment Assembly (UNEA) sebagai wadah resmi pembahasan isu-isu lingkungan global.
[18] Prof. DR. H. Pidyarto, O.Carm, Beberapa Gagasan Kristiani untuk Etika Lingkungan Hidup, dalam Dr. Benny Phang & Dr. Valentinus (eds), Op. Cit., hal. 216-117.
[19] Ibid., hal. 217-218.
[20] Ibid. hal. 18.
[21] Ibid., hal. 19.
[22] Aldo Leopold adalah seorang penulis Amerika, ilmuwan, dan ahli ekologi. Dia adalah seorang profesor di University of Wisconsin. Leopold berpengaruh dalam perkembangan etika lingkungan.
[23] J. Baird Callicott, Menuju Suatu Etika Lingkungan Global, dalam Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (eds), “Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup”, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 30-31.
[24] A. Sonny Keraf adalah seorang doktor dari Higher Intitute of Philosophy, Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup pada tahun 1999-2001 di zaman Presiden Abdurrahman Wahid.
[25] A. Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 115.
[26] Amatus Woi SVD, Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan, dalam A. Sunarko, OFM & A. Eddy Kristiyanto, OFM (eds), “Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup”, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 13-14. bdk. Rm 8:19-21.
[27] Koran Jawa Pos, Jumat 6 Juni 2014, hal. 1.
[28] Ibid., hal. 12.
[29] Koran Kompas, Selasa, 24 Juni 2014, hal. 13.
[30] Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, Bangkit dan Bergeraklah, Jakarta: Sekretariat SAGKI, 2005, hal.191.
[32] Ibid.
[33] J. Sudrijanta SJ, Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 15.
[34] Ajaran Sosial Gereja, Octogesima Adveniens (OA), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, art. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar