Membangun Spritualitas yang Berwawasan Ekologis
“My soul can find no
staircase to Heaven unless it be through Earth's loveliness”.
(Jiwaku tidak dapat menemukan tangga ke Surga kecuali melalui keindahan bumi),
Michelangelo (1475-1564).
- Pengantar
Lingkungan
hidup merupakan tempat kita tinggal dan hidup. Ketika lingkungan itu menjadi
rusak, kehidupan
kita pun akan terancam. Maka perlu
adanya usaha bersama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, agar
keberlangsungannya dapat terjamin.
Usaha
untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup harus berawal dari spirit yang mendasari sebuah tindakan. Spirit itu akan memberikan kita wawasan
dan pengertian bahwa kita tidak bisa melepaskan diri darinya. Spirit itu saya namakan, “Spiritualitas yang Berwawasan
Ekologis”. Spiritualitas yang berwawasan ekologis merupakan bentuk dan usaha
untuk mendasari semua tindakan kita yang berkaitan dengan lingkungan. Karena spirit merupakan kedalaman dan
relasional kita dengan Allah, maka spiritualitas yang berwawasan ekologis
adalah kedalaman dan relasional kita dengan lingkungan.
Seperti
apakah spiritualitas yang berwawasan ekologis itu? Jika spiritualitas yang
berwawasan ekologis itu merupakan kedalaman dan relasional kita dengan lingkungan, dimanakah
peran Allah yang menjadi penyelenggara segala sesuatu? Lalu bagaimana perwujudan
dari spiritualitas yang berwawasan ekologis itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan
membawa kita pada ulasan yang penulis sajikan.
- Persoalan Lingkungan
Hidup
Lingkungan
hidup yang kita tempati telah mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan hidup
dapat dikategorikan menjadi kerusakan hutan dan lapisan tanah, kerusakan terumbu
karang, dan kerusakan lapisan ozon.[1]
- Kerusakan Hutan
dan Lapisan Tanah
Persoalan
pertama pada kerusakan lingkungan adalah kerusakan hutan. Hutan yang
dimanfaatkan untuk menyokong kehidupan secara berlebihan menimbulkan bencana
bagi manusia yang memanfaatkannya. Di Indonesia laju kerusakan atau degradasi
hutan tiap tahun diperkirakan mencapai 2 sampai 3 juta ha per tahun. Jika data
ini benar, itu menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun (sejak tahun 1990) telah terjadi
peningkatan laju deforestasi sebesar 3 kali lipat. Pada tahun 1990, Bank
Dunia mencatat bahwa laju deforestasi
baru mencapai 0,9 juta ha per tahun. Sedangkan
menurut data Food
and Agriculture Organization (FAO), laju deforestasi tahun 1990 sebesar 1,3
juta ha per tahun.[2]
Kerusakan
hutan terjadi
baik secara legal maupun ilegal. Kerusakan secara legal disebabkan oleh pembukaan
lahan perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan,
dan Papua. Sedangkan secara
ilegal dikarenakan tindakan ikut
membuka lahan perkebunan, dan tindakan kriminal mencuri kayu.[3]
Tindakan lain yang ikut memperparah kerusakan hutan adalah pertambangan baik
secara legal maupun ilegal dan terjadinya kebakaran hutan di beberapa wilayah di
Indonesia.
Kerusakan
hutan berakibat pada krisis lingkungan lainnya. Hutan yang mempunyai fungsi
klimatologis sangat penting untuk mengatur iklim lokal maupun global dan
menjaga siklus perubahan cuaca. Hutan juga mempunyai fungsi hidrologis untuk
menjaga daerah resapan air dan menjaga
persediaan atau
ketersediaan air. Selain itu,
hutan juga memiliki fungsi untuk menjaga
kualitas tanah dan vegetasi alamiah,
serta fungsi biologis-genetis untuk menunjang perkembangbiakan berbagai unsur
biologis dan genetis di dalamnya.[4]
Rusaknya
hutan juga akan menyebabkan lapisan tanah semakin rusak dan terdegradasi,
termasuk karena erosi dan longsor di musim hujan.[5]
Kerusakan lapisan tanah itu membawa akibat bagi para penduduk yang bermukim di daerah yang rawan
bencana. Selain rawan bencana, kegiatan pertanian juga akan terganggu dan
berdampak pada perekonomian masyarakat. Akibat lain dari kerusakan hutan adalah
berkurang atau bahkan musnahnya ekosistem seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan
hutan. Dalam kurun waktu 1970-2003,
populasi
1.313 spesies binatang bertulang belakang (vertebrata) semakin menurun. Hal ini
mengindikasikan bahwa keanekaragaman hayati turun secara drastis sebanyak 30
persen dalam kurun waktu tersebut.[6]
Lester R. Brown,[7] dalam bukunya State of The World 1984 menuliskan, “Kehilangan lapisan
tanah subur pada lahan pertanian di seluruh dunia mencapai sekitar 22,7 miliar
ton per tahun, jauh melebihi luas areal lahan buka baru.”[8]
Dampak lain dari kerusakan hutan adalah masuknya
binatang liar ke pemukiman penduduk dan menyerang penduduk. Masuknya binatang liar
ke pemukiman penduduk menjadi tanda bahwa hutan sebagai tempat tinggal mereka
telah dieksploitasi dan dimanfaatkan tanpa mengindahkan keseimbangan alam dan
ekosistem.
- Kerusakan Terumbu
Karang
Terumbu
karang sebagai tempat bagi ekosistem laut tidak luput dari kerusakan akibat
pertambangan dan kegiatan menangkap ikan dengan bahan yang tidak ramah
lingkungan. Menurut laporan Loke Ming Chou,[9]
didasarkan pada studi yang yang dilakukan pada tahun 2000, sekitar 40 persen
terumbu karang Indonesia, khususnya bagian barat dan tengah mengalami
kerusakan. Chou mengatakan, “Ada
indikasi kuat bahwa telah terjadi penurunan kualitas terumbu karang di wilayah
Indonesia tengah dan barat dengan laju sebesar 10 sampai 50 persen selama 50
tahun terakhir.”[10]
Dampak
dari kerusakan terumbu karang adalah menurunnya populasi biota laut, khususnya
ikan karang karena terganggu dan hilangnya habitat berupa terumbu karang.[11]
Kerusakan ini membawa akibat pada berkurangnya sumber ekonomi para warga
masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem laut. Selain itu wisata
bahari juga akan mengalami penurunan, sebab beberapa wilayah di
Indonesia mengandalkan kekayaan ekosistem laut sebagai tempat pariwisata, seperti Taman Bunaken di
Sulawesi dan Pulau Raja Ampat di Papua.
Jelas bahwa setiap kerusakan terumbu karang membawa akibat yang tidak sedikit
bagi keberlangsungan hidup para biota laut yang menggantungkan hidupnya pada
terumbu karang sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung serta
tempat tinggal.
- Kerusakan Lapisan
Ozon[12]
Kerusakan
lapisan ozon disebabkan oleh zat-zat perusak lapisan ozon berupa bahan kimia
klorofluorokarbon (CFC), bromine halocarbon, dan juga nitrogen oksida dari
pupuk. CFC biasa digunakan sebagai media pendingin dan gas pendorong spray
aerosol. Kerusakan lapisan ozon menimbulkan berbagai penyakit seperti katarak
dan kanker kulit, kerusakan flora dan fauna, serta ikut menyebabkan kegagalan
panen akibat proses fotosintesis yang tidak sempurna.
Lapisan
ozon adalah lapisan di atmosfer yang berfungsi utama menyaring sinar
ultraviolet sebelum sampai ke bumi. Dengan rusaknya lapisan ozon, sinar
ultraviolet terpancar langsung ke bumi, dan
hal itu sangat membahayakan kesehatan dan mengancam
berbagai kehidupan di bumi. Karena keseriusan bahaya ini, maka pada tahun 1986
telah disepakati Konvensi Vienna untuk perlindungan lapisan ozon. Kemudian pada tahun 1987
disepakati pula Protokol
Montreal yang diselenggarakan dalam
rangka membatasi dan menghentikan bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon, khususnya CFC.
Rusaknya
lapisan ozon merupakan akibat dari rusaknya lingkungan hidup yang memiliki efek
samping pada perubahan iklim. Perubahan iklim mengakibatkan naiknya suhu bumi
yang diperkirakan 1-2 derajat Celsius per tahun. Eric Rignot, seorang ahli
glester mengatakan bahwa dengan naiknya suhu bumi, maka mencairnya salju abadi di
Antartika tidak bisa lagi dihentikan.
Melelehnya es di Antartika telah mengakibatkan permukaan
air laut naik hingga 4-16 kaki atau 1,2-4,8 meter. Pertemuan yang diselenggarakan oleh PBB yang diikuti oleh 200
negara dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun
ini memperkirakan bahwa pada
tahun 2100, kenaikan permukaan air laut akan
berkisar
1-3 kaki atau 30-90 sentimeter. Tingkat kenaikan itu bisa membuat jutaan orang
yang tinggal di kota-kota tepi pantai harus mengungsi karena kota mereka berpotensi tenggelam. Jika hal ini
terjadi maka peta dunia akan berubah.[13]
- Akibat dari
Kerusakan Lingkungan Hidup
Kerusakan
lingkungan hidup mengakibatkan pencemaran udara, pencemaran air, sampah,[14]
dan bencana bagi populasi kota.[15]
Pertama, pencemaran udara. Pencemaran
udara dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu sumber tidak bergerak dan sumber bergerak. Pencemaran udara oleh sumber
tidak bergerak berupa aktivitas industri, kebakaran hutan dan sampah. Sedangkan
pencemaran udara oleh sumber bergerak dihasilkan dari moda transportasi.
Pencemaran udara itu mengakibatkan terganggunya kehidupan ekonomi, sosial,
budaya, dan mengancam kehidupan flora dan fauna. Pencemaran udara juga
mendatangkan penyakit kepada manusia seperti infeksi saluran pernapasan. Kedua, Pencemaran air. Pencemaran air
terjadi karena buangan limbah dan pendangkalan air yang disebabkan oleh
kerusakan hutan. Limbah buangan yang menyebabkan tercemarnya air berasal dari
industri: seperti industri
tekstil, besi dan baja, plastik, kulit, karet, pulp dan kertas, rumah sakit,
tambang, dan lainnya. Berdasarkan data
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pada tahun 2007 tercatat ada 13
ribu industri besar yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sedangkan untuk industri kecil ada sekitar 94
ribu industri yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah pada tahun 2007.[16]
Ketiga, sampah. Akibat dari kemajuan
industri dan perubahan gaya hidup manusia modern memproduksi banyak sampah.
Sikap dan gaya hidup yang konsumtif telah menjadikan dan membentuk masyarakat
yang serba instan, dan konsumsi
yang serba instan itu dikemas dengan berbagai bentuk di dalam plastik. Ketika gaya hidup semakin tinggi,
maka semakin meningkat pula cara
untuk menghancurkan lingkungan. Lingkungan yang indah dan bersih berubah
menjadi lingkungan yang kumuh
karena
sikap serba instan dan meningkatnya kebutuhan akan plastik. Keempat, Bencana bagi populasi kota. Achim Steiner[17]
mengatakan, masalah lingkungan yang terjadi menyebabkan bencana bagi populasi
kota. Achim mencatat 7.000 kelahiran prematur setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh rantai makanan manusia terkontaminasi logam berat
merkuri.
- Beberapa Pandangan
Tentang Kerusakan Lingkungan
Beberapa pandangan di bawah ini akan
menunjukkan kepada kita usaha yang dilakukan oleh para tokoh dan komunitas
untuk mencari akar permasalahan lingkungan.
Pertama, ada sekelompok ilmuwan yang berpendapat bahwa akar krisis ekologis
adalah agama Kristen. Lynn White Jr, seorang sejarawan Amerika Serikat
berpendapat bahwa kisah penciptaan yang terdapat pada Kej 1:1-2:4a mengajarkan
suatu antroposentrisme, yakni paham bahwa manusia adalah pusat dari
segala-galanya. Tidak ada agama lain yang menganut antroposentrisme setegas
agama Kristen. Antroposentrisme itu sangat tegas dalam Kej 1:28 yang berbunyi; “Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi". Lynn
White berpendapat bahwa agama Kristen menganut suatu antroposentrisme mutlak karena ia
mengambil bagian dalam supremasi Allah.[18] Kedua, Para penganut gerakan New Age, berpendapat bahwa kerusakan
alam semesta disebabkan oleh ilmu pengetahuan manusia yang berkembang di dunia
barat. Suatu ilmu yang lahir dalam masyarakat patriarkat, sehingga ilmu
pengetahuan pun bersifat maskulin. Paradigma lama ilmu pengetahuan ini sering
melupakan keutuhan realita.[19] Ketiga, Menurut Rm. Pidyarto, kerusakan
alam juga harus dilihat dari sikap manusia yang serakah. Manusia ingin
memperoleh harta yang lebih banyak.[20]
Terhadap tuduhan dari Lynn White
yang mengatakan bahwa antroposentrisme yang dianut oleh agama Kristen menjadi
sebab utama kerusakan dan kekacauan alam, Rm. Pidyarto meragukannya. Keraguan
ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Surip J Cohen terhadap
tafsiran atas Kej 1:28, termasuk literatur Yahudi. Dia berkesimpulan bahwa
dalam zaman pra-modern, orang Yahudi atau orang Kristen jarang atau tidak
pernah ada yang menafsirkan Kej 1:28 sebagai ijin kepada manusia untuk
mengeksploitasi alam demi kepentingan diri sendiri. Ajaran resmi Gereja Katolik
tidak pernah juga mengajarkan suatu antroposentrisme mutlak, apalagi membenarkan
perlakuan manusia yang sewenang-wenang atas alam.[21]
Terhadap tuduhan Lynn White jelas tidak bisa dibenarkan dalam bingkaian ajaran
resmi Gereja.
- Usaha Memulihkan Keutuhan
Ciptaan
Lingkungan
tempat kita tinggal yang telah rusak ini memaksa kita untuk berbuat sesuatu (aksi nyata) meskipun kecil.
Usaha-usaha nyata perlu dilakukan agar kita dapat menjaga keseimbangan
ekosistem dan kelangsungan makhluk hidup. Usaha pemulihan itu dapat dimulai
dari kesadaran akan semakin krisisnya persoalan lingkungan, maupun kesadaran
iman yang mendasari tindakan.
Pandangan
dan usaha itu dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, menurut Aldo Leopold,[22]
bahwa masing-masing kita adalah komunitas biotik lokal. Karena kita merupakan
komunitas biotik lokal, maka ia mengajukan suatu “etika tanah” yang mengubah
peran homo sapiens dari penakluk
komunitas tanah ke anggota biasa dan warganya. Hal ini akan mengimplikasikan
hormat terhadap sesama anggota dan juga hormat terhadap komunitas itu sendiri.
Dengan mengajukan etika tanah, Leopold meyakinkan bahwa anggotanya akan
mempertahankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik.[23]
Kedua, menurut, A. Sonny Keraf,[24]
bahwa untuk mengatasi krisis lingkungan hidup perlu adanya perubahan cara pandang
dan perilaku secara nyata. Karena menurut beliau, sebab utama dan paling
fundamental dari krisis dan bencana lingkungan hidup global adalah kesalahan
cara pandang. Maka yang dibutuhkan adalah sebuah kesadaran baru bahwa alam dan
lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Manusia mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup.[25] Ketiga, adanya kesadaran baru yang
muncul dan berkembang pesat dalam cakrawala berpikir manusia, yakni bahwa
lingkungan hidup atau ekologi dan alam ciptaan merupakan bagian yang utuh dalam
risalah-risalah teologis, pemahaman dan penghayatan rohani umat manusia. Sebab
sesama dalam teologi penciptaan adalah sesama mahkluk ciptaan di hadapan Sang
Pencipta. Soteriologis yang universal dan komprehensif mencakup keselamatan
ekologis.[26] Keempat, menurut penulis usaha dan
wacana tentang penyelamatan lingkungan hidup perlu diwujudnyatakan. Krisis
lingkungan hidup sangat mendesak. Maka segala wacana dan pendasaran teologis
harus diimplementasikan dalam kehidupan konkret. Tindakan Seperti yang dilakukan oleh
siswa-siswi kelas III-IV SDK Sang Timur Kota Batu, yang mengelar karnaval
dengan menggunakan kostum dari koran bekas[27]
adalah salah satu bentuk dari tindakan konkret
untuk mengajak masyarakat mencintai lingkungan dan memanfaatkan sampah sebagai
sarana kerajinan. Para pelajar di
Nepal juga memiliki cara unik dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia,
yakni dengan cara memeluk pohon.[28]
Memperingati Hari lingkungan Hidup Sedunia dengan cara
memeluk pohon memang tidak ada kaitannya dengan
semangat menyelamatkan lingkungan hidup, tetapi dengan memeluk pohon, pesan
yang ingin disampaikan adalah cintailah pohon yang memberikan kesejukan kepada
bumi. Pesan ini jelas memuat suatu usaha agar semua orang dapat memilihara
pohon dan menyelamatkan lingkungan. Aksi
nyata dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup juga dilakukan
oleh sejumlah siswa bersama elemen masyarakat seperti pekerja, pedagang, dan
TNI-Polri, dengan
memungut sampah baik yang
organik maupun yang nonorganik, dan
mengeloh
secara mandiri di sekitar Lapangan Tegalega Bandung, Jawa Barat.[29]
Dalam
lingkungan Gereja, kita bisa “memanfaatkan” kaum muda sebagai pelopor penggerak
untuk mencintai lingkungan seperti yang telah digagas dan didiskusikan dalam
SAGKI tahun 2005, dimana kaum muda harus terlibat dalam usaha penyelamatan
lingkungan seperti pendidikan nilai cinta terhadap lingkungan berbasis kearifan
lokal, pendidikan yang didasarkan pada kerjasama dan gotong royong, dan
menyelenggarakan pendidikan kritis[30]
sebagai upaya nyata dalam menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup. Kelima, implementasi dari tindakan nyata
adalah usaha melakukan advokasi. Usaha advokasi ini penting untuk melindungi
hak-hak masyarakat lemah dari perampasan dan pendominasian lahan oleh
pihak-pihak pemanfaatan hutan. “Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup” (pasal 91 ayat 1 UU 32
tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup).[31]
Usaha advokasi juga bisa digunakan untuk mengontrol pelaksanaan otonomi daerah
yang kebablasan. “Setiap pejabat
berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan
dan izin lingkungan...yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” (pasal 112 UU tahun 2009 tentang
Lingkungan Hidup).[32]
- Mendesaknya Spiritualitas
yang Berwawasan Ekologis
Etika
tanah, perubahan pola pikir, pendasaran teologis, implementasi dari suatu
wacana dan adanya advokasi harus dijiwai oleh sebuah spirit yang menjadi roh dari semuanya. Roh di sini harus dibangun
dalam kerangka pemulihan keutuhan ciptaan. Maka saya mencoba untuk mengajukan
gagasan spiritualitas yang berwawasan ekologis. Spiritualitas adalah suatu
permenungan, pemaknaan hidup, pencarian, penemuan dan tinggal dalam Allah. Maka
ketika penulis membicarakan
spiritualitas yang berwawasan ekologis, di sini akan ditawarkan sebuah permenungan, pemaknaan
hidup, pencarian, penemuan dan tinggal dalam relasional dengan alam.
Relasional
ini adalah relasional segitiga. Dimana untuk mencapai Allah yang tidak kita
lihat adalah melalui alam. Relasional segi tiga merupakan cara kita untuk dapat
merasakan dan mengalami kehadiran Allah. Seperti yang digagas oleh St.
Fransiskus Asisi dalam Gita Sang Surya yang menyebutkan, “air dan ibu pertiwi (bumi)
sebagai saudara”. Saudara berarti kita meletakkan sikap dominasi dan
pemanfaatan lingkungan hidup, karena jika sikap itu terjadi maka kita melukai
saudara kita sendiri. Sebab bukankah kita dan alam berasal dari rahim yang sama,
yaitu Sang Pencipta? Maka ketika saudara kita rusak dan dicederai, sama dengan
kita merusak diri kita sendiri. Atau dalam bahasa lain, kita dapat menemukan
Tuhan melalui udara, air, api, bumi, sinar matahari, dan seterusnya.[33]
Sarana untuk menemukan Tuhan dalam spiritualitas yang berwawasan ekologis ini
adalah melalui ciptaan Tuhan sendiri.
Spiritualitas
yang berwawasan ekologis selain relasional adalah sikap ketergantungan. Sikap
ketergantungan ini dapat kita baca dalam semangat kisah penciptaan Kej
1:1-2:4a, secara khusus ayat 29-30: “Berfirmanlah
Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji
di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan
menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di
udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala
tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya”. Jika spiritualitas yang
berwawasan ekologis juga adalah spiritualitas yang bertergantungan, maka tidak
ada celah untuk kita merusak lingkungan hidup yang telah memberi kita
kehidupan.
Maka
untuk menjaga keutuhan ciptaan, perlu adanya suatu pertobatan ekologis. Pertobatan
ekologis bukan hanya kesadaran pentingnya lingkungan hidup bagi kita manusia,
tetapi karena lingkungan hidup adalah saudara kita. Dengan adanya pertobatan ekologis, diharapkan ada
pembaharuan diri untuk menjaga dan mencintai lingkungan hidup, sebab lingkungan hidup merupakan sarana
bagi kita untuk memuliakan Allah. Atau tangga menuju ke Surga, seperti yang
dikatakan oleh Michelangelo: “My soul can
find no staircase to Heaven unless it be through Earth's loveliness”.
- Penutup
Krisis
lingkungan hidup membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Krisis ini mengetuk hati kita untuk melakukan perubahan sikap terhadap pemanfaatan
lingkungan. Usaha-usaha nyata sangatlah penting agar bisa menjamin keberlangsungan
alam ciptaan. Usaha-usaha itu harus didasari pada sikap dan semangat yang sama,
yaitu lingkungan hidup adalah rumah kita bersama. Jika kita tidak merawat rumah
kita atau rumah kita menjadi rusak, kita tidak akan memiliki tempat untuk
berlindung. Demikian juga halnya dengan lingkungan hidup. Jika lingkungan hidup
kita menjadi rusak, maka keberlangsungan hidup kita akan terancam atau bahkan
punah.
Tentu
kita tidak ingin hal ini terjadi. Apalagi sebagai orang beriman, kita meyakini
bahwa Allah menyelenggarakan hidup kita, dan kita adalah rekan sekerja Allah
dalam usaha menjaga keutuhan ciptaan. Maka berangkat dari kesadaran itu saya
mencoba menawarkan spiritualitas yang berwawasan ekologis. Spiritualitas yang
berwawasan ekologis adalah spiritulitas yang relasional dan memiliki
ketergantungan dengan lingkungan hidup. Relasional dan memiliki ketergantungan
tidak meniadakan peran Allah dalam kehidupan kita manusia. Allah tetap menjadi
pusat dan tujuan hidup kita. Relasional dan memiliki tergantungan berarti kita
dengan lingkungan hidup berasal dari rahim yang sama, yaitu Sang Pencipta.
Karena kita berasal dari rahim yang sama, maka kita memiliki berhubungan yang
erat dengan lingkungan hidup.
Menjaga
dan merawat lingkungan hidup adalah bentuk dari perwujudan kita terhadap sikap
yang cinta akan lingkungan. Kita tidak bisa berdiam diri dari segala persoalan
lingkungan, sebab kita memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang telah
memberikan kita perlindungan.[34]
Dengan merawat lingkungan, berarti kita merawat kehidupan dan
tempat tinggal kita manusia. Dengan merawat lingkungan juga berarti kita memberikan
ruang kepada Allah untuk memergunakan kita menyelamatkan lingkungan dan menjaga
keutuhan ciptaan.
(Pernah saya muat di Jurnal Ilmiah Filsafat Teologi "Forum" Thn XLII No. 2/2014. Hal. 45-55).
Daftar Pustaka
Dokumen dan Buku
Ajaran
Sosial Gereja Tahun 1891-1991. terj. R. Hardawiryana.
Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.
A.Sunarko & A. Eddy Kristiyanto
(eds). Menyapa Bumi Menyembah Hyang
Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Benny Phang & Valentinus (eds).
Minum Dari Sumber Sendiri: Dari Alam
Menuju Tuhan. Malang: STFT Widya Sasana, 2011.
Gerald O’collins & Edward G.
Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Keraf,
Sonny A. Krisis dan Bencana Lingkungan
Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Mery Evelyn Tucker & John A.
Grim (eds). Agama, Filsafat, &
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia. Bangkit dan Bergeraklah.
Jakarta: Sekretariat SAGKI, 2005.
Sudrijanta,
J. Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Internet dan Koran
http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%2032%20Tahun%202009%20%28PPLH%29.pdf diakses Senin, 23 Juni 2014.
Koran Jawa Pos,
Minggu, 18 Mei 2014.
________,
Jumat, 6 Juni 2014.
Koran Kompas,
Selasa, 24 Juni 2014.
[1] A Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global,
Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal. 27.
[2] Ibid., hal. 28.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 31.
[5] Ibid.
[6] Bambang Bider, Menemukan Kembali Makna Hubungan Spiritual
Manusia dan Lingkungan Hidup, dalam Dr. Benny Phang & Dr. Valentinus (eds),
“Minum dari Sumber Sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan”, Malang: STFT Widya Sasana,
2011, hal. 281-282.
[7] Lester R. Brown, adalah Presiden
Earth Policy Institute, yang menangani Perubahan Iklim dan Divisi Keberlanjutan
di IDB. Brown adalah pelopor lingkungan hidup global. Dia telah dihormati
dengan banyak penghargaan termasuk Environment Prize PBB.
[8] A. Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 35.
[9] Dr. Loke Ming Chou, adalah
Profesor di Departemen Ilmu Biologi, National University of Singapore. Sebagai
seorang ahli biologi terumbu karang, ia dalam beberapa tahun terakhir lebih
terfokus pada pengelolaan pesisir dan restorasi terumbu karang.
[10] A. Sonny Kerap, Op. Cit., hal. 33.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal. 36-37.
[13] Koran Jawa Pos, Minggu 18 Mei 2014, hal. 2.
[14] A Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 38.
[15] Koran Kompas, Selasa, 24 Juni 2014.
[16] A Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 42-43.
[17] Achim Steiner adalah
Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), yang membawahi United National Environment Assembly
(UNEA) sebagai wadah resmi pembahasan isu-isu lingkungan global.
[18] Prof. DR. H. Pidyarto,
O.Carm, Beberapa Gagasan Kristiani untuk
Etika Lingkungan Hidup, dalam Dr. Benny Phang & Dr. Valentinus (eds), Op. Cit., hal. 216-117.
[19] Ibid., hal. 217-218.
[20] Ibid. hal. 18.
[21] Ibid., hal. 19.
[22] Aldo Leopold adalah
seorang penulis Amerika, ilmuwan, dan ahli ekologi. Dia adalah seorang profesor
di University of Wisconsin. Leopold berpengaruh dalam perkembangan etika
lingkungan.
[23] J. Baird Callicott, Menuju Suatu Etika Lingkungan Global, dalam
Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (eds), “Agama, Filsafat, & Lingkungan
Hidup”, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 30-31.
[24] A. Sonny Keraf adalah
seorang doktor dari Higher Intitute of Philosophy, Katholieke Universiteit
Leuven, Belgia, dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepada Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup pada tahun 1999-2001 di zaman Presiden
Abdurrahman Wahid.
[25] A. Sonny Keraf, Op. Cit., hal. 115.
[26] Amatus Woi SVD, Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan
Ciptaan, dalam A. Sunarko, OFM & A. Eddy Kristiyanto, OFM (eds),
“Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup”,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 13-14. bdk. Rm 8:19-21.
[27] Koran Jawa Pos, Jumat 6 Juni 2014, hal. 1.
[28] Ibid., hal. 12.
[29] Koran Kompas, Selasa, 24 Juni 2014, hal. 13.
[30] Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia, Bangkit dan
Bergeraklah, Jakarta: Sekretariat SAGKI, 2005, hal.191.
[31]
http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%2032%20Tahun%202009%20%28PPLH%29.pdf
diakses Senin, 23 Juni 2014.
[32] Ibid.
[33] J. Sudrijanta SJ, Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 15.
[34] Ajaran
Sosial Gereja, Octogesima Adveniens (OA), Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, art. 21.