|
Kerusakan Hutan Kalimantan Terkini Akibat Ekspansi Perkebunan Sawit Sumber: Lili Rambe/Mongabay (09/03/2014)
|
Berbicara tentang Kalimantan dalam pandangan
ekonomi politik berarti berbicara tentang aspek ekonomi yang mempengaruhi
politik, dan sebaliknya politik mempengaruhi ekonomi. Pandangan ini berakar
pada analisis Marx (1857) dalam bukunya Grundrisse
tentang kondisi masyarakat yang ditentukan oleh faktor produksi. Proses
produksi dan distribusi ekonomi menjadi basis bagi pengembangan politik,
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Proses akumulasi ekonomi telah menciptakan
para orang kaya–disebut kaum borjuasi–yang menentukan dan mengendalikan politik,
sedangkan para pekerja yang memeras keringgatnya untuk bekerja disebut
proletariat.
Proses akumulasi
keuntungan para pemilik modal yang menentukan arah politik dan akumulasi
ekonomi–disebut sistem kapitalisme–telah menciptakan banyak krisis, antara lain
eksploitasi tenaga manusia, pembagian kerja berdasarkan gender, upah yang tidak
memadai, krisis ekologi, bahkan menyebabkan ekspansi militer ke suatu negara
tertentu–disebut imperialisme. Kompleksitasnya problem yang disebabkan oleh
sistem kapitalisme telah melahirkan situs-situs perlawanan di banyak tempat
dengan beragam fokus, seperti perjuangan untuk kesejahteraan pekerja,
perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender–disebut feminisme–perjuangan
untuk lingkungan dan masyarakat adat, perjuangan untuk kedaulatan nasional, dan
lain sebagainya.
Multiplisitas
perjuangan tersebut tidak bisa hanya digantungkan pada sektor perjuangan
tertentu, tetapi masing-masing sektor perjuangan perlu membangun ikatan sosial
bersama untuk perjuangan bersama. Rumusan perjuangan bersama ini ditawarkan
oleh pemikir post-Marxisme seperti Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Laclau
(2005) dalam bukunya On Populist Reason
menjelaskan pluralitas identitas perjuangan melakukan diskursus membangun
rantai ekuivalen (chain of equivalence)
untuk menentukan praktik hegemoni (empty
signifier). Politik hegemonik merupakan politik yang membuat garis pembatas
(political frontier) dengan rezim
politik yang sedang dilawan.
Setelah
terformasi politik hegemonik, lalu tahap perjuangan berikutnya bisa dilakukan
dengan berbagai cara. Mouffe (1993) dalam bukunya The Return of Political menjelaskan perjuangannya bisa melalui
parlemen, boikot, reclaiming, budaya,
dan lain sebagainya. Kreativitas massa menentukan platform politik dan metode perjuangan untuk melawan sistem yang
dianggap menindas atau rezim politik, rezim penguasaan sumber daya alam, dan
sebagainya. Maka dari itu, pembahasan mengenai Kalimantan dalam pandangan
ekonomi politik berfokus pada dua bagian, yaitu membaca jejaring ekonomi
politik yang menguasai politik dan sumber daya alam Kalimantan, dan perjuangan
politik masyarakat Kalimantan.
Penguasa
Politik dan Ekonomi Kalimantan
Saya membahas
penguasaan politik dan ekonomi Kalimantan bertitik tolak dari era Reformasi.
Mengapa berangkat dari sana? Argumentasi saya dilandaskan pada analisis politik
Jeffrey A. Winters. Winters (2011) dalam bukunya Oligarki menjelaskan di masa Orde Baru, penguasaan politik dan
ekonomi tersentral pada Soeharto dan kroninya. Winters menyebutnya sebagai
oligarki sultanistik. Oligarki adalah penguasaan politik dan ekonomi oleh
segelintir orang. Hal ini karena di masa Orde Baru, sistem politik dan ekonomi
tersentral di pemerintah pusat di Jakarta. Sedangkan setelah Reformasi tahun
1998 terjadi desentralisasi. Desentralisasi artinya penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat
terkonsentrasi pada bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, serta agama.
Sementara pemerintah
daerah diserahkan kewenangan sebagian untuk mengelola sumber daya alam, selebihnya
masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Saat ini, izin pertambangan mineral
dan barubara kembali diserahkan ke daerah melalui Peraturan Presiden Nomor 55
Tahun 2022. Sedangkan HGU perkebunan diberikan oleh Menteri Agraria dan Tata
Ruang atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2021. Akibatnya pasca Reformasi, banyak pengusahan lokal Kalimantan
maupun nasional mengajukan permohonan izin pertambangan mineral dan batubara
maupun HGU perkebunan di Kalimantan. Hal ini menyebabkan terbentuknya oligarki
yang menguasai ekonomi di bidang pertambangan mineral dan batubara serta perkebunan,
termasuk kelapa sawit. Winters menyebutnya sebagai oligarki penguasa kolektif.
Untuk mendapatkan
manfaat dari proses perizinan sumber daya alam, maka para pengusaha mendirikan
partai politik, menjadi anggota partai politik, mendukung calon yang diusung
oleh partai politik, atau bahkan menjadi politisi. Di sisi lain, para politisi mendekatkan
diri dengan pengusaha saat ingin mencalonkan diri sebagai pejabat baik di
tingkat nasional maupun daerah. Hal ini karena biaya kampanye politik yang cukup
mahal sehingga para politisi membutuhkan uang dari para pengusaha. Akibatnya kongkalikong antara politisi dengan
pengusaha ini membuat rumitnya mengurai persoalan konflik lahan antara
pengusaha dengan masyarakat di Kalimantan.
Di Kalimantan,
praktik penguasaan sumber daya alam seperti pertambangan mineral dan batubara,
serta perkebunan sawit perlu dibaca dalam konteks ekonomi politik lokal dan
nasional. Di Kalimantan Selatan, oligarki mendapatkan sumber ekonomi dari
pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, di Kalimantan
Selatan terjadi fenomena para politisi yang mau mencalonkan diri sebagai
pejabat daerah atau legislatif meminta restu kepada pengusaha atau meminta
dukungan dari pengusaha.
Di Kalimantan
Timur, penguasaan sumber daya alam dan perkebunan dilakukan oleh para oligarki
daerah dan nasional. Hal ini karena di Kalimantan Timur terdapat tambang
batubara, perkebunan kelapa sawit dan hutan industri. Di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Utara, penguasaan sumber daya alam dilakukan oleh oligarki nasional.
Sedangkan di Kalimantan Tengah, penguasaan sumber daya alam seperti perkebunan
dan pertambangan dilakukan oleh oligarki lokal dan nasional.
Bila berfokus
pada perkebunan kelapa sawit saja, luas perkebunan kelapa sawit Kalimantan
Selatan sebesar 479,30 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 37,190 Km2.
Luas perkebunan sawit di Kalimantan Timur sebesar 1.366,10 hektar (BPS, 2021)
dari luas wilayah 127.347 Km2. Luas perkebunan sawit di Kalimantan
Barat sebesar 2.117,90 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 147,307 Km2.
Luas perkebunan sawit Kalimantan Utara sebesar 38.061,1 hektar (BPS, 2022) dari
luas wilayah 71,827 Km2. Sedangkan luas perkebunan sawit di
Kalimantan Tengah sebesar 1.815,60 hektar dari luas wilayah 153,444 Km2.
Merujuk pada data
BPS (2022), terdapat 6 provinsi dengan volume produksi kelapa sawit terbesar di
Indonesia, yaitu Provinsi Riau sebesar 9 juta ton, Kalimantan Tengah sebesar 7
juta ton, Sumatera Utara sebesar 6 juta ton, Kalimantan Barat sebesar 5,4 juta
ton, Sumatera Selatan sebesar 4,1 juta ton, dan Kalimantan Timur sebesar 3,4
juta ton. Artinya Kalimantan menjadi daerah penyumbang produksi kelapa sawit
yang cukup besar bagi Indonesia.
Pembukaan kawasan
hutan untuk perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran telah membawa dampak
bagi masyarakat lokal dan lingkungan. Di Kalimantan sering terjadi kasus
sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena
proses perizinan yang tidak pernah memperhatikan secara detail kawasan
pemukiman dan lahan masyarakat. Ketika masyarakat melakukan protes karena tanah
dan lahannya diserobot oleh perusahaan, maka pihak perusahaan meminta keamanan
dari aparat keamanan sehingga bentrok seringkali terjadi antara masyarakat
dengan aparat keamanan. Dalam konteks lingkungan, dampak yang sering dirasakan
masyarakat adalah kekeringan dan jalan yang rusak. Penggunaan pestisida yang
masif terhadap kelapa sawit berdampak pada kesuburan tanah. Keanekaragaman
hayati menjadi terancam, padahal kedaulatan atas tanah, keanekaragaman pangan dan
tumbuhan menjadi dasar di dalam kebudayaan.
Di sisi lain,
politik di Kalimantan bersifat patron-klien. Artinya masyarakat masih mudah
diajak untuk memilih calon politik tertentu karena ajakan tokoh tertentu. Dampaknya
kekuasaan politik hanya berada pada lingkaran keluarga besar tertentu, atau ada
yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau legislatif harus meminta
restu dari keluarga yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Ini tentu
tidak sehat bagi demokrasi di Kalimantan karena masih banyak orang yang melihat
politisi dari partai dan background
keluarganya, bukan pada program kerja dan visi untuk pembangunan kualitas
sumber daya manusia Kalimantan.
Apalagi indeks
pembangunan manusia (IPM) Kalimantan berada diangka yang tidak begitu baik. Data
BPS (2022) menulis dari 10 provinsi IPM tertinggi, hanya Provinsi Kalimantan
Timur yang menempati urutan ke-3 dengan skor 77,44 dari rata-rata nasional
sebesar 72,91. Sedangkan Kalimantan Barat diangka 68,63, Kalimantan Tengah
diangka 71,63, Kalimantan Selatan diangka 71,84, Kalimantan Utara diangka
71,83. Tentu ini menjadi keprihatinan bersama sebagai anak muda Kalimantan.
Persoalan yang dihadapi bukan hanya konflik lahan antara masyarakat dengan
perusahaan dan patronase politik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia
Kalimantan yang masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Perjuangan
Politik Masyarakat Kalimantan
Potret umum
mengenai masalah yang dihadapi di Kalimantan perlu menjadi perhatian para anak
muda Kalimantan. Tentu ini bukan mengecilkan peran para pihak yang telah
menaruh perhatian pada problematika di Kalimantan, tetapi anak muda Kalimantan
perlu memahami persoalan di Kalimantan dan cara untuk mengatasinya. Saya membahasakan
gerakan masyarakat Kalimantan yang membela tanahnya dari penyerobotan
perusahaan, keinginan untuk membebaskan diri dari politik patronase, dan
keinginan untuk mengambil bagian di dalam pengembangan sumber daya manusia
Kalimantan sebagai perjuangan politik. Politik di sini bukan ajakan untuk
mendukung partai atau politisi tertentu. Politik di sini merujuk pada konsep
politik post-Marxis.
Mouffe (2013)
dalam bukunya berjudul Agonistics:
Thinking the World Politically menulis politik mengacu pada serangkaian
praktik, wacana dan institusi yang berupaya membangun tatanan tertentu dan
mengatur koeksistensi manusia dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik
dengan kelembagaan atau institusi yang mapan. Politik memiliki dimensi
antagonis untuk melakukan koreksi terhadap praktik para politisi maupun
institusi yang selama ini telah ada di Kalimantan. Oleh karena itu, perjuangan
politik berarti perjuangan masyarakat dan anak muda Kalimantan dalam melakukan
koreksi terhadap praktik pengelolaan sumber daya alam, dan pilihan untuk
terlibat di dalam pembangunan sumber daya manusia Kalimantan.
Dalam konteks
perjuangan mempertahankan tanah dari penyerobotan lahan bisa menempuh langkah
politis. Sistem pemerintah telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa
lahan, tetapi seringkali masyarakat dirugikan karena alas hak yang kurang
memadai. Hal ini karena masyarakat memandang alas hak mereka bersumber dari situs-situs
peninggalan budaya dan pertanian. Namun alas hak tersebut seringkali diabaikan
pemerintah dan perusahaan, sehingga konflik menjadi tidak terhindarkan.
Bercermin pada
gerakan politik baru yang terjadi di berbagai tempat, ketika berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah, masyarakat menggunakan strategi yang cukup efektif.
Pertama, strategi ikatan komunal. Strategi ini dipraktikkan di banyak tempat di
Indonesia, termasuk di Kalimantan, sehingga membuat perusahaan dan pemerintah
mau bernegosiasi dengan masyarakat. Kedua, penggunaan media sosial. Di media
sosial ada adagium yang menyatakan, “bila ada masalah laporkan ke netizen”.
Media sosial telah menjadi saluran untuk mengabarkan suatu peristiwa yang
sedang terjadi di masyarakat. Di Indonesia sudah cukup banyak kasus yang
selesai setelah korban menayangkan langsung suatu peristiwa pidana atau korban
menceritakan pengalamannya. Media sosial telah menjadi satu kekuatan sosial
baru di Indonesia.
Sementara keinginan
untuk membebaskan diri dari patronase politik dan indeks pembangunan manusia
yang rendah berkaitan dengan pendidikan. Indikator yang digunakan BPS dalam
mengukur indeks pembangunan manusia adalah dimensi umur panjang dan hidup
sehat, dimensi pengetahuan yang berhubungan dengan lama sekolah, dan dimensi
standar hidup layak. Dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, hanya Provinsi
Kalimantan Timur yang berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan empat
provinsi lainnya seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Utara berada di bawah rata-rata nasional. Artinya di
empat provinsi tersebut, dimensi kesehatan, lamanya orang sekolah, dan pendapatan
ekonomi perkeluarga masih rendah.
Padahal
Kalimantan memiliki sumber daya alam yang cukup besar, tetapi tampaknya uang
hasil sumber daya alam tidak dinikmati oleh para keluarga petani dan nelayan di
Kalimantan. Tentu ini menjadi ironi bagi sebuah daerah yang akan menjadi
ibukota negara. Untuk itu, penting bagi anak muda Kalimantan untuk mengambil
inisiatif atau gerakan politik untuk ambil bagian di dalam peningkatan sumber
daya manusia melalui pendidikan. Inisiatif ini bisa dilakukan dengan banyak cara
misalnya gerakan mengajar, pembangunan perpustakaan desa, melakukan audiensi ke
pemerintah kabupaten maupun provinsi supaya mereka memberikan perhatian pada
sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat petani dan nelayan. Atau
bila ada anak muda Kalimantan yang ingin masuk partai politik dan mengikuti
pemilu, maka anak muda tersebut perlu berpolitik dengan landasan pembangunan sumber
daya manusia Kalimantan. Bila keadaan sumber daya manusia Kalimantan membaik,
maka masyarakat Kalimantan tidak mudah terlarut di dalam patronase politik,
karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir bagi tata kelola daerah yang
baik, kesejahteraan bersama, dan keberlanjutan lingkungan untuk generasi
mendatang.**
**Ditulis untuk disampaikan dalam bincang
Kalimantan pada tanggal 28 Oktober 2023 di
Asrama Putra Kalimantan Tengah di Yogyakarta.