Jumat, 28 Juni 2024

Podcast Ke mana Air Mengalir

 

Blue Lagoon Jogja (Sumber: Jogja Space 12/8/2017)

Pada 25 April 2024, saya diminta menjadi salah satu narasumber dalam podcast Komnas HAM berjudul “Ke Mana Air Mengalir?”. Berikut ini beberapa poin yang saya sampaikan di dalam podcast yang bisa ditonton di https://www.youtube.com/watch?v=3Dt_KPIXsrg&t=8s

 

1.       Bagaimana keadaan air Jogja?

Setiap musim kemarau panjang, beberapa daerah di Jogja masih kekurangan air, terutama Gunungkidul, pegunungan menoreh Kulon Progo, tahun 2015 di Miliran, Kota Jogja.


2.       Apa penyebabnya?

-       Banyak hotel menggunakan air sumur tanah.

-       PDAM Jogja menggunakan air sungai dan air tanah.

-       Perda DIY No. 5 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Air Tanah tetapi pelanggaran tidak ditindak.


3.       Apa dampak yang dihasilkan?

-       Air sumur warga kering.

-       Warga beralih menggunakan PDAM.


4.       Advokasi Pusham UII terkait isu lingkungan?

-       Dalam mengadvokasi isu lingkungan, Pusham UII berjejaring dengan NGO dan kelompok sipil lainnya.

-       Isu lingkungan yang masih hangat di Jogja adalah sampah, pariwisata di Gunungkidul yang berada di kawasan bentang alam karst pegunungan seribu, polusi udara.

-       Isu sampah:

o   TPST Piyungan sudah melebihi kapasitas.

o   Warga sekitar mengeluhkan limbah saat musim hujan, sampah-sampah meluap ke sawah, jalanan rusak.

o   Sampah di Jogja didominasi oleh (SIPSN, 2022): komposisi sampah di DIY adalah sisa makanan, plastik, kertas/karton, dll.

o   UU No. 18/2008; Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) dalam Pergub DIY No. 123/2018 diubah menjadi Pergub DIY No. 16/2021; SE Gubernur DIY No. 490/17558 tentang pengurangan sampah rumah tangga dan sejenisnya.

o   Problemnya: selama ini penanganan sampah belum melibatkan tiga pihak yaitu produsen, pemerintah dan masyarakat.

o   Yang dilakukan adalah membuka tempat pembuangan sampah baru.

o   Inisiatif masyarakat ada melalui bank sampah, rumah magot, edukasi, lalu diapresiasi.

-       Pariwisata di kawasan bentang alam karst Pegunungan Seribu:

o   Vila/hotel/resto yang memapras karst Pegunungan Seribu.

o   Visi dan misi Gubernur DIY yang dituangkan dalam RPJMD 2022-2027, salah satunya memberdayakan kawasan selatan dengan infrastruktur, peningkatan SDM, perlindungan dan pengelolaan sumber daya setempat.

o   Karst Pegunungan Seribu sebagai kawasan lindung geologi Kepmen ESDM No. 3045 K/40/MEM/2014.

o   Karst Pegunungan Seribu menyimpan air. Air tersebut dialir melalui sungai permukaan (goa seropan dan goa bribin) dan sungai bawah tanah.

o   Di kawasan karst ada banyak pohon, binatang, penyedia air, dan penyerap karbon.

-       Polusi udara:

o   Data IQAIR (25 April 2024 jam 10.00 Wib), indeks kualitas udara di DI Yogyakarta sedang dengan polutan utama PM2.5 yang bersumber dari bahan bakar, asap rokok, memasak dengan kayu bakar, dan aktivitas pertanian.


5.       Rekomendasi?

-       Untuk air: vegetasi hulu seperti di lereng merapi, kawasan kars Gunungkidul harus selalu dijaga. Lalu perbanyak kawasan terbuka hijau dan penampungan air di kota.

-       Untuk sampah: penanganan sampah secara terpadu melibatkan produsen, regulator, dan masyarakat.

-       Karst Pegunungan Seribu: ditinjau ulang perizinan di kawasan karst yang berpotensi merusak karst Pegunungan Seribu.

-       Polusi: penataan transportasi publik.


6.       Pesan untuk happy human?

-       “lingkungan hidup berubah, mari pahami dari mana sumber kebutuhan kita”.

Minggu, 29 Oktober 2023

Kalimantan dalam Pandangan Ekonomi Politik

Kerusakan Hutan Kalimantan Terkini Akibat Ekspansi Perkebunan Sawit
Sumber: Lili Rambe/Mongabay (09/03/2014)

Berbicara tentang Kalimantan dalam pandangan ekonomi politik berarti berbicara tentang aspek ekonomi yang mempengaruhi politik, dan sebaliknya politik mempengaruhi ekonomi. Pandangan ini berakar pada analisis Marx (1857) dalam bukunya Grundrisse tentang kondisi masyarakat yang ditentukan oleh faktor produksi. Proses produksi dan distribusi ekonomi menjadi basis bagi pengembangan politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Proses akumulasi ekonomi telah menciptakan para orang kaya–disebut kaum borjuasi–yang menentukan dan mengendalikan politik, sedangkan para pekerja yang memeras keringgatnya untuk bekerja disebut proletariat. 

Proses akumulasi keuntungan para pemilik modal yang menentukan arah politik dan akumulasi ekonomi–disebut sistem kapitalisme–telah menciptakan banyak krisis, antara lain eksploitasi tenaga manusia, pembagian kerja berdasarkan gender, upah yang tidak memadai, krisis ekologi, bahkan menyebabkan ekspansi militer ke suatu negara tertentu–disebut imperialisme. Kompleksitasnya problem yang disebabkan oleh sistem kapitalisme telah melahirkan situs-situs perlawanan di banyak tempat dengan beragam fokus, seperti perjuangan untuk kesejahteraan pekerja, perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender–disebut feminisme–perjuangan untuk lingkungan dan masyarakat adat, perjuangan untuk kedaulatan nasional, dan lain sebagainya.

Multiplisitas perjuangan tersebut tidak bisa hanya digantungkan pada sektor perjuangan tertentu, tetapi masing-masing sektor perjuangan perlu membangun ikatan sosial bersama untuk perjuangan bersama. Rumusan perjuangan bersama ini ditawarkan oleh pemikir post-Marxisme seperti Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Laclau (2005) dalam bukunya On Populist Reason menjelaskan pluralitas identitas perjuangan melakukan diskursus membangun rantai ekuivalen (chain of equivalence) untuk menentukan praktik hegemoni (empty signifier). Politik hegemonik merupakan politik yang membuat garis pembatas (political frontier) dengan rezim politik yang sedang dilawan.

Setelah terformasi politik hegemonik, lalu tahap perjuangan berikutnya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mouffe (1993) dalam bukunya The Return of Political menjelaskan perjuangannya bisa melalui parlemen, boikot, reclaiming, budaya, dan lain sebagainya. Kreativitas massa menentukan platform politik dan metode perjuangan untuk melawan sistem yang dianggap menindas atau rezim politik, rezim penguasaan sumber daya alam, dan sebagainya. Maka dari itu, pembahasan mengenai Kalimantan dalam pandangan ekonomi politik berfokus pada dua bagian, yaitu membaca jejaring ekonomi politik yang menguasai politik dan sumber daya alam Kalimantan, dan perjuangan politik masyarakat Kalimantan.

 

Penguasa Politik dan Ekonomi Kalimantan

Saya membahas penguasaan politik dan ekonomi Kalimantan bertitik tolak dari era Reformasi. Mengapa berangkat dari sana? Argumentasi saya dilandaskan pada analisis politik Jeffrey A. Winters. Winters (2011) dalam bukunya Oligarki menjelaskan di masa Orde Baru, penguasaan politik dan ekonomi tersentral pada Soeharto dan kroninya. Winters menyebutnya sebagai oligarki sultanistik. Oligarki adalah penguasaan politik dan ekonomi oleh segelintir orang. Hal ini karena di masa Orde Baru, sistem politik dan ekonomi tersentral di pemerintah pusat di Jakarta. Sedangkan setelah Reformasi tahun 1998 terjadi desentralisasi. Desentralisasi artinya penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat terkonsentrasi pada bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama.

Sementara pemerintah daerah diserahkan kewenangan sebagian untuk mengelola sumber daya alam, selebihnya masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Saat ini, izin pertambangan mineral dan barubara kembali diserahkan ke daerah melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022. Sedangkan HGU perkebunan diberikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Akibatnya pasca Reformasi, banyak pengusahan lokal Kalimantan maupun nasional mengajukan permohonan izin pertambangan mineral dan batubara maupun HGU perkebunan di Kalimantan. Hal ini menyebabkan terbentuknya oligarki yang menguasai ekonomi di bidang pertambangan mineral dan batubara serta perkebunan, termasuk kelapa sawit. Winters menyebutnya sebagai oligarki penguasa kolektif.

Untuk mendapatkan manfaat dari proses perizinan sumber daya alam, maka para pengusaha mendirikan partai politik, menjadi anggota partai politik, mendukung calon yang diusung oleh partai politik, atau bahkan menjadi politisi. Di sisi lain, para politisi mendekatkan diri dengan pengusaha saat ingin mencalonkan diri sebagai pejabat baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini karena biaya kampanye politik yang cukup mahal sehingga para politisi membutuhkan uang dari para pengusaha. Akibatnya kongkalikong antara politisi dengan pengusaha ini membuat rumitnya mengurai persoalan konflik lahan antara pengusaha dengan masyarakat di Kalimantan.

Di Kalimantan, praktik penguasaan sumber daya alam seperti pertambangan mineral dan batubara, serta perkebunan sawit perlu dibaca dalam konteks ekonomi politik lokal dan nasional. Di Kalimantan Selatan, oligarki mendapatkan sumber ekonomi dari pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, di Kalimantan Selatan terjadi fenomena para politisi yang mau mencalonkan diri sebagai pejabat daerah atau legislatif meminta restu kepada pengusaha atau meminta dukungan dari pengusaha.

Di Kalimantan Timur, penguasaan sumber daya alam dan perkebunan dilakukan oleh para oligarki daerah dan nasional. Hal ini karena di Kalimantan Timur terdapat tambang batubara, perkebunan kelapa sawit dan hutan industri. Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara, penguasaan sumber daya alam dilakukan oleh oligarki nasional. Sedangkan di Kalimantan Tengah, penguasaan sumber daya alam seperti perkebunan dan pertambangan dilakukan oleh oligarki lokal dan nasional.

Bila berfokus pada perkebunan kelapa sawit saja, luas perkebunan kelapa sawit Kalimantan Selatan sebesar 479,30 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 37,190 Km2. Luas perkebunan sawit di Kalimantan Timur sebesar 1.366,10 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 127.347 Km2. Luas perkebunan sawit di Kalimantan Barat sebesar 2.117,90 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 147,307 Km2. Luas perkebunan sawit Kalimantan Utara sebesar 38.061,1 hektar (BPS, 2022) dari luas wilayah 71,827 Km2. Sedangkan luas perkebunan sawit di Kalimantan Tengah sebesar 1.815,60 hektar dari luas wilayah 153,444 Km2.

Merujuk pada data BPS (2022), terdapat 6 provinsi dengan volume produksi kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu Provinsi Riau sebesar 9 juta ton, Kalimantan Tengah sebesar 7 juta ton, Sumatera Utara sebesar 6 juta ton, Kalimantan Barat sebesar 5,4 juta ton, Sumatera Selatan sebesar 4,1 juta ton, dan Kalimantan Timur sebesar 3,4 juta ton. Artinya Kalimantan menjadi daerah penyumbang produksi kelapa sawit yang cukup besar bagi Indonesia.

Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran telah membawa dampak bagi masyarakat lokal dan lingkungan. Di Kalimantan sering terjadi kasus sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena proses perizinan yang tidak pernah memperhatikan secara detail kawasan pemukiman dan lahan masyarakat. Ketika masyarakat melakukan protes karena tanah dan lahannya diserobot oleh perusahaan, maka pihak perusahaan meminta keamanan dari aparat keamanan sehingga bentrok seringkali terjadi antara masyarakat dengan aparat keamanan. Dalam konteks lingkungan, dampak yang sering dirasakan masyarakat adalah kekeringan dan jalan yang rusak. Penggunaan pestisida yang masif terhadap kelapa sawit berdampak pada kesuburan tanah. Keanekaragaman hayati menjadi terancam, padahal kedaulatan atas tanah, keanekaragaman pangan dan tumbuhan menjadi dasar di dalam kebudayaan.

Di sisi lain, politik di Kalimantan bersifat patron-klien. Artinya masyarakat masih mudah diajak untuk memilih calon politik tertentu karena ajakan tokoh tertentu. Dampaknya kekuasaan politik hanya berada pada lingkaran keluarga besar tertentu, atau ada yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau legislatif harus meminta restu dari keluarga yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Ini tentu tidak sehat bagi demokrasi di Kalimantan karena masih banyak orang yang melihat politisi dari partai dan background keluarganya, bukan pada program kerja dan visi untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia Kalimantan.

Apalagi indeks pembangunan manusia (IPM) Kalimantan berada diangka yang tidak begitu baik. Data BPS (2022) menulis dari 10 provinsi IPM tertinggi, hanya Provinsi Kalimantan Timur yang menempati urutan ke-3 dengan skor 77,44 dari rata-rata nasional sebesar 72,91. Sedangkan Kalimantan Barat diangka 68,63, Kalimantan Tengah diangka 71,63, Kalimantan Selatan diangka 71,84, Kalimantan Utara diangka 71,83. Tentu ini menjadi keprihatinan bersama sebagai anak muda Kalimantan. Persoalan yang dihadapi bukan hanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan patronase politik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia Kalimantan yang masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nasional.

 

Perjuangan Politik Masyarakat Kalimantan

Potret umum mengenai masalah yang dihadapi di Kalimantan perlu menjadi perhatian para anak muda Kalimantan. Tentu ini bukan mengecilkan peran para pihak yang telah menaruh perhatian pada problematika di Kalimantan, tetapi anak muda Kalimantan perlu memahami persoalan di Kalimantan dan cara untuk mengatasinya. Saya membahasakan gerakan masyarakat Kalimantan yang membela tanahnya dari penyerobotan perusahaan, keinginan untuk membebaskan diri dari politik patronase, dan keinginan untuk mengambil bagian di dalam pengembangan sumber daya manusia Kalimantan sebagai perjuangan politik. Politik di sini bukan ajakan untuk mendukung partai atau politisi tertentu. Politik di sini merujuk pada konsep politik post-Marxis.

Mouffe (2013) dalam bukunya berjudul Agonistics: Thinking the World Politically menulis politik mengacu pada serangkaian praktik, wacana dan institusi yang berupaya membangun tatanan tertentu dan mengatur koeksistensi manusia dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kelembagaan atau institusi yang mapan. Politik memiliki dimensi antagonis untuk melakukan koreksi terhadap praktik para politisi maupun institusi yang selama ini telah ada di Kalimantan. Oleh karena itu, perjuangan politik berarti perjuangan masyarakat dan anak muda Kalimantan dalam melakukan koreksi terhadap praktik pengelolaan sumber daya alam, dan pilihan untuk terlibat di dalam pembangunan sumber daya manusia Kalimantan.

Dalam konteks perjuangan mempertahankan tanah dari penyerobotan lahan bisa menempuh langkah politis. Sistem pemerintah telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa lahan, tetapi seringkali masyarakat dirugikan karena alas hak yang kurang memadai. Hal ini karena masyarakat memandang alas hak mereka bersumber dari situs-situs peninggalan budaya dan pertanian. Namun alas hak tersebut seringkali diabaikan pemerintah dan perusahaan, sehingga konflik menjadi tidak terhindarkan.

Bercermin pada gerakan politik baru yang terjadi di berbagai tempat, ketika berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah, masyarakat menggunakan strategi yang cukup efektif. Pertama, strategi ikatan komunal. Strategi ini dipraktikkan di banyak tempat di Indonesia, termasuk di Kalimantan, sehingga membuat perusahaan dan pemerintah mau bernegosiasi dengan masyarakat. Kedua, penggunaan media sosial. Di media sosial ada adagium yang menyatakan, “bila ada masalah laporkan ke netizen”. Media sosial telah menjadi saluran untuk mengabarkan suatu peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat. Di Indonesia sudah cukup banyak kasus yang selesai setelah korban menayangkan langsung suatu peristiwa pidana atau korban menceritakan pengalamannya. Media sosial telah menjadi satu kekuatan sosial baru di Indonesia.

Sementara keinginan untuk membebaskan diri dari patronase politik dan indeks pembangunan manusia yang rendah berkaitan dengan pendidikan. Indikator yang digunakan BPS dalam mengukur indeks pembangunan manusia adalah dimensi umur panjang dan hidup sehat, dimensi pengetahuan yang berhubungan dengan lama sekolah, dan dimensi standar hidup layak. Dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, hanya Provinsi Kalimantan Timur yang berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan empat provinsi lainnya seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara berada di bawah rata-rata nasional. Artinya di empat provinsi tersebut, dimensi kesehatan, lamanya orang sekolah, dan pendapatan ekonomi perkeluarga masih rendah.

Padahal Kalimantan memiliki sumber daya alam yang cukup besar, tetapi tampaknya uang hasil sumber daya alam tidak dinikmati oleh para keluarga petani dan nelayan di Kalimantan. Tentu ini menjadi ironi bagi sebuah daerah yang akan menjadi ibukota negara. Untuk itu, penting bagi anak muda Kalimantan untuk mengambil inisiatif atau gerakan politik untuk ambil bagian di dalam peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Inisiatif ini bisa dilakukan dengan banyak cara misalnya gerakan mengajar, pembangunan perpustakaan desa, melakukan audiensi ke pemerintah kabupaten maupun provinsi supaya mereka memberikan perhatian pada sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat petani dan nelayan. Atau bila ada anak muda Kalimantan yang ingin masuk partai politik dan mengikuti pemilu, maka anak muda tersebut perlu berpolitik dengan landasan pembangunan sumber daya manusia Kalimantan. Bila keadaan sumber daya manusia Kalimantan membaik, maka masyarakat Kalimantan tidak mudah terlarut di dalam patronase politik, karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir bagi tata kelola daerah yang baik, kesejahteraan bersama, dan keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.**  

**Ditulis untuk disampaikan dalam bincang Kalimantan pada tanggal 28 Oktober 2023 di Asrama Putra Kalimantan Tengah di Yogyakarta.

Rabu, 18 Januari 2023

Menyingkap Sublimasi Objek Ideologi

 

Sumber: The Sublime Object of Ideology

 

Judul Buku                  : The Sublime Object of Ideology

Nama Penulis              : Slavoj Žižek

Tahun Terbit                : 2008

Penerbit                       : Verso

ISBN                            : 13: 978-1 84467-300-1

Jumlah Halaman         : xxxii + 272


Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan psikoanalis kelahiran Slovenia tahun 1949. Ia mempelajari karya-karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Karl Marx dan Jacques Lacan. Ia menulis beberapa buku di antaranya adalah The Sublime Object of Ideology yang diterbitkan pertama kali tahun 1989. Di buku ini, Žižek mentransformasi psikoanalisis klasik yang dianggap gagal meninggalkan premis dasarnya sehingga menjadi psikologi kepribadian. Ia merehabilitasi psikoanalisis ke dalam inti filosofisnya. Ia menggungkapkan sebagian dari teori di dalam bukunya berhutang budi pada dialetika Hegel dan hanya dapat dibaca dalam latar belakang tersebut (hlm. viii).

Žižek menunjukkan bagaimana teori psikoanalisis berperan penting dalam mengenali dan menyingkapkan ideologi sebagai mekanisme tersembunyi yang telah membentuk subjek dan hubungan sosial. Supaya dapat mengenal mekanisme tersebut, ia menggunakan konsep Lacan tentang surplus “the Real” (dalam psikoanalisis, ‘the Real’ adalah ego) atas yang “simbolik” telah berfungsi menyebabkan munculnya hasrat. Cara untuk menemukan surplus “the Real” ialah melalui oposisi (antagonisme) dalam tradisi Marxisme, yaitu oposisi antara buruh dengan pemilik modal.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang “symptom” dan bagaimana Marx menemukan “symptom” dari ideologi. Bagian kedua mengupas tentang “lack” di dalam “other” (yang lain). Dan bagian ketiga berbicara tentang “the Real” subjek dapat menyublimasi objek ke kenikmatan yang berlebihan (surplus enjoyment).


Ideologi

Menurut Žižek, definisi ideologi paling mendasar berasal dari Kapital Marx, yaitu “sie wissen das nicht, aber sie tun es” atau “they do not know it, but they are doing it”. Dalam pengertian ini, ideologi menjadi ilusi karena tidak diketahui di mana letak “know” dan “doing” dalam realitas. Ini menjadi masalah karena ketidaksesuaian antara apa yang orang lakukan secara efektif dengan apa yang mereka “pikirkan” sedang mereka “lakukan”. Namun ideologi juga dapat dipahami sebagai “kesadaran palsu”, representasi ilusi dari realitas, dan realitas itu sendiri yang sudah dipahami sebagai “ideologi”.

Ideologi dapat dikenali dari gejalanya (symptom) karena konsisten menyiratkan ketidaktahuan subjek, dan subjek menikmati gejalanya. Dalam realitas sosial, terkadang subjek menyadari bahwa ilusi yang menyusun realitas, tetapi mereka tetap mengikuti ilusi tersebut seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Ilusi yang menyusun realitas dan pengabaian terhadap ilusi ini disebut “ideological fantasy” (hlm. 30).

Jika ideologi tetap berada dalam konsep klasik di mana ilusi terletak dalam pengetahuan, maka masyarakat saat ini harus tampil dalam pasca-ideologis, karena orang tidak percaya lagi pada kebenaran ideologis. Rumusannya ialah “they know very well what they are doing, but still, they are doing it”. Jika ilusi berada di sisi pengetahuan, maka rumusannya ialah “they know what they are doing, and they are doing it”. Tetapi jika ilusi berada dalam realitas perbuatan itu sendiri, maka rumusannya ialah “they know that, in their activity, they are following an illusion, but still, they are doing it”. Žižek memberi contoh tentang ide perdamaian. Kita mengetahui bahwa perdamaian menutupi bentuk eksploitasi tertentu, tetapi kita tetap mengikutinya. Untuk itu, kita perlu melihat bagaimana Žižek menyingkapkan ideologi dengan menggabungkan analisis dialektik, Marxis dan psikoanalisis berikut ini.


Bagian I: The Symptom

Pada Bab I, Žižek menunjukkan interpretasi Marx dan Freud tentang komoditas dan mimpi. Dalam komoditas, persoalannya terletak pada penjelasan mengenai pekerja mengambil bentuk dalam nilai suatu barang dagangan (commodity-form). Sedangkan tafsir mimpi Freud menjelaskan bagaimana hasrat seksual yang tidak disadari muncul dalam mimpi. Untuk menemukan korelasi antara komoditas dan mimpi, maka kita perlu meninggalkan upaya untuk mencari “makna” keduanya, tetapi kita melangkah menuju pendekatan hermeneutik untuk memahami fenomena keduanya. Kerja mimpi mirip dengan kerja “commodity-form” sebagai mekanisme tersembunyi dengan menyamarkan bentuk aslinya, misalnya uang yang didapat para pekerja telah menyiratkan bentuk asli dari komoditas barang yang dikerjakannya. Begitu juga mimpi yang muncul menyiratkan keinginan “the Real”.

Relasi yang paradoks antara pekerja dan komoditas telah memunculkan “proto-ideologi”, karena pekerja menikmati “kesadaran palsu” berupa uang, tetapi mengabaikan bentuk eksploitasinya. Dalam pandangan Žižek, konsep “symptom” Lacanian dapat mendeteksi celah tertentu dari ketidakseimbangan “patologis” yang mengingkari hak pekerja dan kewajiban borjuasi kepada para pekerja (hlm. 16). Oleh karena itu, prosedur dasar Marxian tentang kritik ideologi ialah kritik simtomatik. Dari perspektif ini, kekuatan subversif pendekatan Marx terletak pada cara dia menggungkapkan oposisi antara personal dengan barang. Relasinya menjadi antara manusia dengan fetis komoditas, yaitu uang.

Dalam Bab 2, Žižek membahas “symptom” secara dialektik untuk mengungkapkan paradoks “symptom” yang direpresif harus dapat mengubah kita ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu (hlm. 58). Tetapi banyak orang tidak mudah meninggalkan masa lalu karena ia menikmatinya. Hal ini membuat subjek gagal mengemansipasi dirinya. Kondisi internal ini memiliki kemiripan dengan argumentasi Rosa Luxemburg melawan Eduard Bernstein tentang dialektika revolusi. Luxemburg menjelaskan bahwa “perebutan kekuasaan diperlukan secara ‘prematur’ sebagai cara bagi kelas pekerja mencapai ‘kedewasaan’” (hlm. 62). Menurut Žižek, bila kita mengamati lebih dekat pernyataan Luxemburg, maka pernyataan tersebut justru menunjukkan meta-bahasa ketidakmungkinan proses revolusioner, karena subjek tidak menjalankan proses revolusi secara objektif, tetapi masih subjektif dan prematur.

Tetapi dalam perspektif Lacanian, “symptom” sebagai kenikmatan dari “the Real” yang bertahan sebagai surplus dapat memunculkan fantasi subjek. Žižek mencontohkan tenggelamnya kapal Titanik yang memiliki efek traumatis, tetapi juga membuka ruang fantasi berdasarkan fakta yang terjadi. Lacan menempatkan dimensi kenikmatan (jouis-sense) di dalam “symptom” melalui dua tahap. Pertama, Lacan mencoba mengisolasi dimensi kenikmatan sebagai fantasi. Pada bagian ini, fantasi adalah konstruksi yang tidak dapat dianalisis dan menolak untuk diinterpretasi. Kedua, interpretasi “symptom” menuju fantasi. Fantasi dapat mengisi kekosongan dari kekurangan “yang lain” dalam diri subjek ataupun dalam realitas sosial. Di sini “symptom  menjadi “sinthome” sebagai penanda tertentu yang ditembus dengan kenikmatan (hlm. 80-81). Bila kenikmatan yang dituju hanya pada satu arah, maka akan menyingkapkan ideologi, karena ideologi menuntut konsistensi untuk “terus berjalan lurus ke satu arah” (hlm. 91).


Bagian II: Lack in the Other

Bab 3 membahas tentang “Che Vuoi?” [apa yang kamu inginkan?]. Bagian ini menjelaskan ideologi terbentuk dari floating signifier dan identitas terbuka yang ditentukan secara artikulatif dalam chain of equivalence dengan elemen lainnya. Žižek mencontohkan “perjuangan kelas” akan memberikan penanda yang pasti kepada elemen lain, seperti “real demokrasi” sebagai oposisi dari “borjuis formal demokrasi”; atau feminisme (eksploitasi perempuan akibat dari kondisi kelas yang tidak adil), dan sebagainya (hlm. 96). Di sini, point de capiton “perjuangan kelas” menjadi penanda yang dapat menyatukan berbagai identitas terbuka dari elemen parsial menuju kesatuannya. Identitas ideologis ini dapat menjadi antagonis terhadap ideologi dominan, seperti kapitalisme.

Žižek menunjukkan posisi fantasi ideologis di dalam “graph of desire” Lacan dengan formula subjek ($––subjek dalam realitas sosialnya terpengaruh oleh “yang lain”) melampaui “other” (O/liyan) menuju “objek” (a/fantasi). Fantasi berkaitan dengan kernel (antagonisme), maka formula fantasi ideologis ialah $◊a, karena fantasi berdampingan dengan realitas (hlm. 124). Fantasi ini yang diinginkan oleh subjek yang ideologis. Bila fantasi––misalnya keadilan ekonomi––berujung pada transformasi sosial, maka fantasi subjek membawa kepada “jouis-sense”. Tetapi bila fantasinya prematur, maka proses fantasi dan tahapan menuju “jouis-sense” dapat direncanakan kembali.

Di dalam Bab 4, Žižek membahas tentang kematian subjek. Kematian pertama subjek terjadi ketika ia terperangkap dalam jaringan simbolis, misalnya kata “meja” menjadi meja. Hal ini berkaitan sebuah kata dalam konsepnya, bukan realitas fisiknya. Pada tahap kedua, kematian subjek berada dalam tataran strukturalis di mana pengalaman akan realitas sosial gagal memproduksi fantasi subjek. Sedangkan di tahap ketiga, kematian subjek karena tidak berfungsinya hasrat. Bagi Žižek, manusia hidup dengan hasratnya. Bila subjek memaksimalkan hasratnya, maka fantasinya dapat membawanya kepada kenikmatan yang diinginkan.


Bagian III: The Subject

Bab 5 membahas tentang subjek “the Real”. Žižek mengungkapkan pembahasan di bagian ini bukan mengenai meta-bahasa. Tetapi Lacan mempertahankan konsep master signifier untuk menggungkapkan makna dari pernyataan seseorang. Ia mencontohkan seorang kapitalis tidak pernah berkata dirinya mengeksploitasi pekerja. Pernyataan kapitalis bukan hanya entitas imajinernya, tetapi mengungkapkan “the Real”. Tetapi problemnya tidak mudah bagi seorang kapitalis menyatakan dirinya kapitalis dan mengungkapkan keinginannya. Maka dari itu, untuk menyembunyikan niatnya, orang menghindari “the Real” dengan mengucapkan kata tertentu yang absurd (hlm. 175).

Tetapi “the Real” Lacanian berkarakter antagonis. “The Real” dalam perkembangan ajaran Lacan bergeser mendekati “yang imajiner” menuju objek (a/fantasi) yang dapat memenuhi hasrat. Objek hasrat ini relevan dengan antagonisme sosio-ideologis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (hlm. 184). Antagonis ini dalam Marxisme klasik sebagai perjuangan kelas menumbangkan kapitalisme, atau dalam gerakan sosial baru sebagai gerakan demokratik baru untuk mengeleminasi segala bentuk penindasan baru.

Pada Bab 6, Žižek menjelaskan bahwa logika sublimasi sebagai representasi objek yang menghubungkan dunia batin dan empiris. Perasaan yang tersublimasi adalah perasaan tidak senang yang ditimbulkan dari ketidakcukupan imajinasi dalam pengalaman estetik (hlm. 229-230). Perasaan ini dapat menjadi penanda bagi representasi subjek untuk mengisi penanda kekurangan dari “yang lain”. Sementara subjek yang berhasil melampaui pengalaman traumatisnya akan membuka celah bagi hasrat menuju fantasi.

Bagi saya, buku sublimasi objek ideologi masih relevan untuk dibaca dan dipelajari karena memberikan pemahaman, di antaranya pertama, buku ini telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis dioperasionalkan ke dalam inti filosofisnya dengan cara mentransformasi hasrat menjadi fantasi. Kedua, buku ini memperlihatkan bagaimana elaborasi teoretik––dialektik, Marxis dan psikoanalisis––dapat menyingkapkan ideologi yang mengatur subjek dan hubungan sosial. Ketiga, bagi para pembaca yang menyukai teori-teori kritis, buku ini bisa menjadi salah satu bahan bacaan untuk menganalisis berbagai bentuk eksploitasi menuju gerakan politik transformatif.


Catatan: Resum buku The Sublime Object of Ideology awalnya untuk kebutuhan pribadi supaya memahami gagasan Žižek tentang sublimasi objek ideologi. Namun saya merasa perlu untuk membagikan catatan ke blog pribadi supaya catatannya tidak hilang, dan siapa tahu ada yang berminat untuk berbagi bacaan tentang gagasan Žižek.

Rabu, 23 November 2022

Wawancara Represifitas Pemerintah Guna Kelancaran Pembangunan, Bagaimana Pengawalan Advokasi yang Dilakukan?

"Saya berharap, aparat keamanan bisa mengevaluasi diri supaya tidak lagi menggunakan kekerasan saat berhadapan dengan masyarakat, karena aparat keamanan dapat beroperasi menggunakan dana publik, yaitu dari uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat". 

Wawancara yang diterbitkan oleh Majalah Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta, September 2022.

Silahkan baca lebih lanjut dalam https://drive.google.com/file/d/19KOREnDCTUcXSBJFWOtwqZlUdCQ5R3n2/view?usp=share_link

Selasa, 20 September 2022

Tugu Ngejaman: Sign of Power and Reminder of Time in Yogyakarta

 Abstract

Tugu Ngejaman or Stadsklok is a monument to commemorate a century of the return of Java to the Dutch colonial rule in 1916. This story begins with the French conquest of the Netherlands in January 1795 which led to the conquest of Java in 1808-1811. But France finally lost the war against Russia in 1814, so the Netherlands negotiated with Britain over its colonies. The British and the Dutch managed to reach an agreement to cede Java to the Dutch, while the British took control of Malacca in 1816. In this paper, I trace the history of the establishment of the Ngejaman monument, the meaning of the Ngejaman monument for the Dutch population in Yogyakarta, and the reasons for maintaining the Ngejaman monument today. I use Walter Benjamin's perspective on aura to explore the relationship between monuments and history and the technological revolution. The data in this paper comes from archival documents and existing scholarly literature, interviews, as well as field observations that elucidate the Ngejaman monument and the activities of the surrounding community. This study finds that the construction of the Ngejaman monument was related to the markers of Dutch colonial power in Yogyakarta and the "revolution of time" in the modern society. However, the Yogyakarta City Government maintains the Ngejaman monument without providing a narrative about the history of the monument's establishment in Malioboro. The government ignores historical literacy in tourism development in the Special Region of Yogyakarta, even when the importance of preserving the Ngejaman monument lies in its being a marker of the introduction of time as a regulator of modern human activity in Yogyakarta and a reminder that liberation has not necessarily meant freedom for all.

Keywords: Ngejaman monument; Malioboro; time; power; Dutch colonialism; Yogyakarta

Silahkan baca lebih lanjut di tautan berikut https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik/article/view/4850




Rabu, 14 September 2022

Eksistensi dan Problematika Agama Kaharingan di Kalimantan

Abstract

Kaharingan is a local religion embraced by the Dayak tribe on the island of Borneo. This belief is believed to have existed before major religions such as Hinduism, Buddhism, or Islam appeared in the Nusantara. Structurally, in 1980 the Indonesian government included Kaharingan as part of Hinduism. In fact, there are many differences between teaching and worship. This was done so that the Dayak tribe could have easy access to the state's civil registration, considering that at that time President Suharto only recognized five official religions. This research uses a literature review method, including reviewing sources from books, news portals, and state legislation texts. The results of this study indicate that the Kaharingan religion has become a deep-rooted identity for the Dayak Tribe. Therefore, their entry into the Hindu religious group certainly creates many problems, both internally and externally. On the other hand, at the organizational level of the Hindu association itself, followers of the Kaharingan religion tend not to get a place. Important positions in Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) are dominated by Balinese Hindus. Moreover, now the state has officially recognized that local religious adherents are allowed to register their beliefs in state civil documents. As a result, in 2018, the Kaharingan Religious Council complained to Komnas HAM to fight for it to become an autonomous religion separate from Hinduism.

Silahkan baca lebih lanjut dalam jurnal Religi: Jurnal Studi Agama-Agama di tautan https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/view/1702-06

Selasa, 06 September 2022

Spivak dan Suara Subaltern

Gayatri Chakravorty Spivak (Sumber: Wikiwand.com)
 

Beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan. Banyak orang marah dengan peristiwa tersebut dan menuntut keadilan bagi korban. Lalu muncul kasus baru dari pemimpin agama terhadap jemaatnya. Respon kemarahan juga muncul dari banyak pihak.

Pertanyaannya ialah mengapa kasus kekerasan seksual terus terjadi? Dari beberapa kajian mengenai kekerasan terhadap perempuan, tidak banyak yang memfokuskan diri pada pengabaian teori progresif terhadap suara perempuan. Salah satu pemikir perempuan yang cukup keras mengkritik teori-teori progresif ialah Gayatri Chakravorty Spivak yang lahir di Kalkuta, India pada 24 Februari 1942.

Ia mempelajari teori secara komparatif, dan menjadi seorang kritikus feminis yang menaruh perhatian pada perempuan dan subaltern (penduduk asli dan individu tertindas). Ia mengkritik para pemikir Barat yang berhasil merumuskan konsep emansipasi kelas tertindas tetapi abai pada suara perempuan subaltern dalam karya ilmiah mereka. Esai Spivak yang cukup keras mengkritik para pemikir Barat berjudul “Can the Subaltern Speak?” yang terbit pertama kali tahun 1988. 

 

Pengabaian Marxisme terhadap Subaltern

Spivak memulai tulisannya dengan bercerita tentang Rani Gulari yang bergabung dalam gerakan anti-kolonial di India. Gulari hanya dipanggil bila diperlukan sebagai agen/saksi/alat anti-kolonialisme. Spivak menulis “the woman in this section tried to be decisive in extremis, yet lost herself in the undecidable womanspace of justice. She ‘spoke’, but women did not, do not, ‘hear’ her” (Spivak, 2010: 22). Ia melihat ada kejanggalan, karena perempuan tertindas tidak memiliki ruang untuk berbicara. Bila mereka bicara, maka tidak ada orang yang mendengarkan mereka, termasuk sesama perempuan.

Spivak dalam The Rani of Sirmur: an Essay in Reading the Archives (1985) mengutip Dominick LaCapra yang menulis “urges the intellectual historian to learn of developments in ... literary criticism and philosophy” (Spivak 1985: 249). Ia mendesak kaum intelektual untuk mempelajari perkembangan pengetahuan di dalam kritik sastra dan filsafat untuk menguraikan subaltern dan memberikan tempat bagi mereka.

Filsafat Barat yang menginspirasi gerakan sosial seperti Marxisme tidak memberi tempat bagi subaltern. Karl Marx dalam Surveys from Exile menjelaskan keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi tertindas membentuk kelas. “In so far as millions of families live under economic conditions of existence that cut off their mode of life, their interest, and their formation from those of the other classes and place them in inimical confrontation [feindlich gegenüberstellen], they form a class” (Marx, 1973: 239). 

Spivak mengkritik subjek dalam Marxis yang terisolasi di dalam kelas. Ia memandang Marx tidak bekerja untuk menciptakan sesuatu di dalam kelas tertindas. Padahal dalam keluarga tidak semua orang didengar suaranya, terlebih kaum perempuan. Bagi Spivak, “Marx is obliged to construct models of a divided and dislocated subject whose parts are not continuous or coherent with each other” (Spivak, 2010: 29).

Spivak juga mengkritik Antonio Gramsci, seorang Marxisme Italia yang menaruh perhatian pada peran intelektual dalam gerakan budaya dan politik subaltern ke dalam teori hegemoni. Gramsci dalam The Southern Question membahas tentang subordinasi Italia selatan dari wilayah utara secara politik, ekonomi dan budaya. Ia berpendapat perlu adanya transformasi politik untuk mereformasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (Geuss and Skinner, 1994: xi-xii). Tetapi Gramsci menempatkan kelas pekerja sebagai pemimpin dalam proses transformasi masyarakat (Jones, 2006: 45). 

Bagi Spivak, penjelasan subaltern Gramsci terlempar keluar bersama penjelasannya mengenai budaya selatan Italia, karena keinginannya membahas persoalan makro yang dihadapi masyarakat Italia di bawah Fasisme Mussolini. Gramsci tidak lagi memfokuskan kajiannya pada subaltern, tetapi berfokus ke proses transformasi masyarakat yang diletakkan pada pundak kelas pekerja.

Spivak mengamati kritik paling radikal terhadap cara berpikir esensialisme subjek datang dari Barat mulai tahun 1980-an. Tetapi Spivak melihat berkembangnya teori Barat merupakan hasil dari keinginan mereka untuk melestarikan subjek Barat, atau Barat sebagai subjek. Menurut Spivak, dalam sejarah Eropa, subjek dinarasikan dalam hukum, ekonomi politik, dan ideologi, tetapi telah menentukan geopolitik dan pengetahuan (Spivak, 2010: 22-23). Barat tetap menjadi sentral pengetahuan. 

Derrida menyebut Eropa sentris ilmu pengetahuan sebagai gejala krisis kesadaran Eropa akhir abad ke-17 sampai abad ke-18 (Derrida, 1998: 75). Hal ini dikarenakan pengetahuan menyebabkan kuasa. “It is not possible for power to be exercised without knowledge, it is impossible for knowledge not to engender power” (Foucault, 1977: 52). Kritik terhadap esensialis subjek Barat tetap melahirkan kuasa Barat atas pengetahuan. 

 

Afirmasi Subjek Subaltern

Spivak kembali mengajukan pertanyaan ‘Can the Subaltern Speak?’. Menurut penulis, Spivak mengabaikan usaha filsuf post-Marxis, misalnya Ernesto Laclau yang mendekonstruksi subjek dalam Marxisme klasik. Bagi Laclau, subjek (S dengan huruf kapital) telah mati bersamaan dengan lahirnya gerakan sosial baru yang mulai muncul tahun 1960-an. Matinya subjek absolut telah melahirkan multiplisitas identitas politik dalam gerakan sosial (Laclau, 2007: 20-21). 

Gagasan Laclau memberikan pengakuan dan tempat kepada subaltern dalam diskursus gerakan sosial. Tetapi Spivak mengkritiknya sebagai Eropa sentris, walaupun sebenarnya Laclau berasal dari Argentina dan secara intelektual berkarya di Eropa.

Ia mencoba berpaling ke teks-teks Timur untuk menemukan pengakuan bagi subaltern. Ia menemukan praktik dan teks yang melarang perempuan untuk mempersembahkan dirinya [in the name of “God”] bersama kematian suaminya di India. 

Namun Spivak melihat penghapusan ritus pengorbanan perempuan (sati) oleh kolonial Inggris sebagai “white men saving brown women from brown men” (Spivak, 2010: 50). Ia melihat ada kecenderungan masyarakat menggiring perempuan sebagai objek perlindungan masyarakat. Bagi Spivak, hal tersebut merupakan strategi masyarakat untuk tetap mengukuhkan patriarki di dalam kehidupan sosial.

Ia berpandangan bahwa pengakuan akan identitas perempuan dalam perjalanannya penuh dengan kekerasan, dan figur ‘perempuan dunia ketiga’ yang terperangkap di antara tradisi dan modernitas, antara kulturalisme dan pembangunan (Spivak, 2010: 61). 

Spivak menghubungkan refleksinya dengan “Can the Subaltern Vote?” dan “Silencing Sycorax”. Can the Subaltern Vote? membahas tentang posisi subaltern yang digeneralisasi dalam pemilihan umum di Nicaragua tahun 1990 (Medovoi, Raman and Robinson, 1990: 141). Sedangkan dalam Silencing Sycorax, perempuan subaltern lebih berdaya dengan membangun pemahaman diri dan memiliki pilihan atas apa yang ingin ia gunakan. “We have many modes of (re)dress” (Busia, 1990: 104).

Esai Can the Subaltern Speak? merupakan kritik terhadap pemikiran pasca-kolonial yang masih membawa residu kolonial. Para pemikir Barat telah begitu lama mengabaikan subaltern sebagai subjek politik otonom. Kalaupun kisah hidup dan perjuangan mereka ditulis, maka mereka tetap dibingkai dalam upaya mengukuhkan budaya partriarki. Spivak dalam wawancara dengan Mark Sanders tahun 2005 menjelaskan Can the Subaltern Speak? membahas perempuan dan subaltern dari semua ras tentang bagaimana kehidupan seorang harus dijalani (Sanders, 2006: 106). 

Ia mengajak semua orang untuk mendengarkan suara mereka, bukan melalui perantaraan orang lain. Hal ini juga menjadi refleksi bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuanlah yang didengar suaranya, bukan suara-suara di sekitarnya. 

 

Penutup

Can the Subaltern Speak? merupakan esai yang ditulis dari perjalanan aktivisme dan intelektual Spivak di India. Ia melihat bagaimana perempuan tidak punya pilihan atas hidupnya. Bila perempuan subaltern berbicara, tidak semua orang mau mendengarnya, termasuk para perempuan sendiri. Ia memandang problem tersebut perlu diuraikan dan menjadi perhatian kaum intelektual.

Ia mendalami filsafat Barat yang menginspirasi gerakan sosial dan transformasi masyarakat. Tetapi Marxisme ortodoks menempatkan semua keluarga yang tertindas ke dalam kelas. Marx tidak bekerja menjelaskan relasi sosial di dalam kelas tertindas. Sedangkan Gramsci sebagai pencetus istilah subaltern tidak cukup memberikan perhatian pada keadaan sosial subaltern. Walaupun pengakuan terhadap pluralitas identitas subaltern muncul dari para pemikir pascastrukturalis, tetapi Spivak berpandangan bahwa usaha mereka tetap menjadikan Barat sebagai sentral pengetahuan.

Ia berpaling ke teks Timur untuk mencari pengakuan pada subaltern. Tetapi teks Timur telah diinterpretasi dan didominasi Barat. Ia berpendapat bahwa pengakuan terhadap subaltern dipenuhi dengan narasi kekerasan dan pengabaian. Mereka telah terlalu lama terjebak dalam kungkungan tradisi dan modernitas yang membuat mereka tidak memiliki otonomi atas hidupnya. Sudah saatnya mendengarkan suara mereka, dan menghormati pilihan mereka, apalagi di dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

 

Kepustakaan

Busia, Abena P.A. 1990. “Silencing Sycorax: On African Colonial Discourse and the Unvoiced Female”. Cultural Critique. No. 14, pp. 81-104.

Derrida, Jacques. 1998. Of Grammatology. (Translated by Gayatri Chakravorty Spivak). Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press.

Foucault, Michel. 1977. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. (Translated by Colin Gordon, Leo Marshall John Mepham, Kate Soper). New York: Pantheon Books.

Gramsci, Antonio. 1994. Pre-Prison Writings. (Editors by Raymond Geuss and Quentin Skinner). London: Cambridge University Press.

Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci. London & New York: Routledge.

Laclau, Ernesto. 2007. Emancipation (s). London & New York: Verso.

Marx, Karl. 1973. Surveys from Exile. (Introduction by David Fernbach). London: Penguin Books with New Left Review.

Medovoi, Leerom., Shankar Raman and Benjamin Robinson. 1990. “Can the Subaltern Vote?”. Socialist Review, 20(3), pp. 134-149.

Riach, Graham. 2017. An Analysis of Gayatri Chakravorty Spivak’s Can the Subaltern Speak?. London & New York: Routledge.

Sanders, Mark. 2006. Gayatri Chakravorty Spivak: Live Theory. New York: Continuum.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1985. “The Rani of Sirmur: An Essay in Reading the Archives”. History and Theory, 24(3), pp. 247-272.

_____. 2010. “Can the Subaltern Speak?” in Reflection on the History of an Idea: Can the Subaltern Speak? (Edited by Rosalind C. Morris). New York: Colombia University Press.