Sumber: The Sublime Object of Ideology |
Judul
Buku : The Sublime Object of Ideology
Nama
Penulis : Slavoj Žižek
Tahun
Terbit : 2008
Penerbit : Verso
ISBN : 13: 978-1
84467-300-1
Jumlah Halaman : xxxii + 272
Slavoj
Žižek adalah seorang filsuf dan psikoanalis kelahiran Slovenia tahun 1949. Ia mempelajari
karya-karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Karl Marx dan Jacques Lacan. Ia
menulis beberapa buku di antaranya adalah The
Sublime Object of Ideology yang diterbitkan pertama kali tahun 1989. Di
buku ini, Žižek mentransformasi psikoanalisis klasik yang dianggap gagal
meninggalkan premis dasarnya sehingga menjadi psikologi kepribadian. Ia merehabilitasi
psikoanalisis ke dalam inti filosofisnya. Ia menggungkapkan sebagian dari teori
di dalam bukunya berhutang budi pada dialetika Hegel dan hanya dapat dibaca
dalam latar belakang tersebut (hlm. viii).
Žižek
menunjukkan bagaimana teori psikoanalisis berperan penting dalam mengenali dan menyingkapkan
ideologi sebagai mekanisme tersembunyi yang telah membentuk subjek dan hubungan
sosial. Supaya dapat mengenal mekanisme tersebut, ia menggunakan konsep Lacan
tentang surplus “the Real” (dalam psikoanalisis,
‘the Real’ adalah ego) atas yang
“simbolik” telah berfungsi menyebabkan munculnya hasrat. Cara untuk menemukan
surplus “the Real” ialah melalui
oposisi (antagonisme) dalam tradisi Marxisme, yaitu oposisi antara buruh dengan
pemilik modal.
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang “symptom” dan bagaimana Marx menemukan “symptom” dari ideologi. Bagian kedua mengupas tentang “lack” di dalam “other” (yang lain). Dan bagian ketiga berbicara tentang “the Real” subjek dapat menyublimasi objek ke kenikmatan yang berlebihan (surplus enjoyment).
Ideologi
Menurut
Žižek, definisi ideologi paling mendasar berasal dari Kapital Marx, yaitu “sie
wissen das nicht, aber sie tun es” atau “they do not know it, but they are doing it”. Dalam pengertian ini,
ideologi menjadi ilusi karena tidak diketahui di mana letak “know” dan “doing” dalam realitas. Ini menjadi masalah karena ketidaksesuaian
antara apa yang orang lakukan secara efektif dengan apa yang mereka “pikirkan”
sedang mereka “lakukan”. Namun ideologi juga dapat dipahami sebagai “kesadaran
palsu”, representasi ilusi dari realitas, dan realitas itu sendiri yang sudah
dipahami sebagai “ideologi”.
Ideologi
dapat dikenali dari gejalanya (symptom)
karena konsisten menyiratkan ketidaktahuan subjek, dan subjek menikmati
gejalanya. Dalam realitas sosial, terkadang subjek menyadari bahwa ilusi yang
menyusun realitas, tetapi mereka tetap mengikuti ilusi tersebut seolah-olah
mereka tidak mengetahuinya. Ilusi yang menyusun realitas dan pengabaian
terhadap ilusi ini disebut “ideological
fantasy” (hlm. 30).
Jika ideologi tetap berada dalam konsep klasik di mana ilusi terletak dalam pengetahuan, maka masyarakat saat ini harus tampil dalam pasca-ideologis, karena orang tidak percaya lagi pada kebenaran ideologis. Rumusannya ialah “they know very well what they are doing, but still, they are doing it”. Jika ilusi berada di sisi pengetahuan, maka rumusannya ialah “they know what they are doing, and they are doing it”. Tetapi jika ilusi berada dalam realitas perbuatan itu sendiri, maka rumusannya ialah “they know that, in their activity, they are following an illusion, but still, they are doing it”. Žižek memberi contoh tentang ide perdamaian. Kita mengetahui bahwa perdamaian menutupi bentuk eksploitasi tertentu, tetapi kita tetap mengikutinya. Untuk itu, kita perlu melihat bagaimana Žižek menyingkapkan ideologi dengan menggabungkan analisis dialektik, Marxis dan psikoanalisis berikut ini.
Bagian I: The Symptom
Pada
Bab I, Žižek menunjukkan interpretasi Marx dan Freud tentang komoditas dan
mimpi. Dalam komoditas, persoalannya terletak pada penjelasan mengenai pekerja
mengambil bentuk dalam nilai suatu barang dagangan (commodity-form). Sedangkan tafsir mimpi Freud menjelaskan bagaimana
hasrat seksual yang tidak disadari muncul dalam mimpi. Untuk menemukan korelasi
antara komoditas dan mimpi, maka kita perlu meninggalkan upaya untuk mencari
“makna” keduanya, tetapi kita melangkah menuju pendekatan hermeneutik untuk
memahami fenomena keduanya. Kerja mimpi mirip dengan kerja “commodity-form” sebagai mekanisme
tersembunyi dengan menyamarkan bentuk aslinya, misalnya uang yang didapat para pekerja
telah menyiratkan bentuk asli dari komoditas barang yang dikerjakannya. Begitu
juga mimpi yang muncul menyiratkan keinginan “the Real”.
Relasi
yang paradoks antara pekerja dan komoditas telah memunculkan “proto-ideologi”,
karena pekerja menikmati “kesadaran palsu” berupa uang, tetapi mengabaikan
bentuk eksploitasinya. Dalam pandangan Žižek, konsep “symptom” Lacanian dapat mendeteksi celah tertentu dari
ketidakseimbangan “patologis” yang mengingkari hak pekerja dan kewajiban
borjuasi kepada para pekerja (hlm. 16). Oleh karena itu, prosedur dasar Marxian
tentang kritik ideologi ialah kritik simtomatik. Dari perspektif ini, kekuatan
subversif pendekatan Marx terletak pada cara dia menggungkapkan oposisi antara
personal dengan barang. Relasinya menjadi antara manusia dengan fetis
komoditas, yaitu uang.
Dalam
Bab 2, Žižek membahas “symptom” secara
dialektik untuk mengungkapkan paradoks “symptom”
yang direpresif harus dapat mengubah kita ke masa depan, bukan kembali ke masa
lalu (hlm. 58). Tetapi banyak orang tidak mudah meninggalkan masa lalu karena
ia menikmatinya. Hal ini membuat subjek gagal mengemansipasi dirinya. Kondisi
internal ini memiliki kemiripan dengan argumentasi Rosa Luxemburg melawan
Eduard Bernstein tentang dialektika revolusi. Luxemburg menjelaskan bahwa “perebutan
kekuasaan diperlukan secara ‘prematur’ sebagai cara bagi kelas pekerja mencapai
‘kedewasaan’” (hlm. 62). Menurut Žižek, bila kita mengamati lebih dekat
pernyataan Luxemburg, maka pernyataan tersebut justru menunjukkan meta-bahasa
ketidakmungkinan proses revolusioner, karena subjek tidak menjalankan proses
revolusi secara objektif, tetapi masih subjektif dan prematur.
Tetapi dalam perspektif Lacanian, “symptom” sebagai kenikmatan dari “the Real” yang bertahan sebagai surplus dapat memunculkan fantasi subjek. Žižek mencontohkan tenggelamnya kapal Titanik yang memiliki efek traumatis, tetapi juga membuka ruang fantasi berdasarkan fakta yang terjadi. Lacan menempatkan dimensi kenikmatan (jouis-sense) di dalam “symptom” melalui dua tahap. Pertama, Lacan mencoba mengisolasi dimensi kenikmatan sebagai fantasi. Pada bagian ini, fantasi adalah konstruksi yang tidak dapat dianalisis dan menolak untuk diinterpretasi. Kedua, interpretasi “symptom” menuju fantasi. Fantasi dapat mengisi kekosongan dari kekurangan “yang lain” dalam diri subjek ataupun dalam realitas sosial. Di sini “symptom” menjadi “sinthome” sebagai penanda tertentu yang ditembus dengan kenikmatan (hlm. 80-81). Bila kenikmatan yang dituju hanya pada satu arah, maka akan menyingkapkan ideologi, karena ideologi menuntut konsistensi untuk “terus berjalan lurus ke satu arah” (hlm. 91).
Bagian II: Lack in the Other
Bab
3 membahas tentang “Che Vuoi?” [apa
yang kamu inginkan?]. Bagian ini menjelaskan ideologi terbentuk dari floating signifier dan identitas terbuka
yang ditentukan secara artikulatif dalam chain
of equivalence dengan elemen lainnya. Žižek mencontohkan “perjuangan kelas”
akan memberikan penanda yang pasti kepada elemen lain, seperti “real demokrasi” sebagai oposisi dari
“borjuis formal demokrasi”; atau feminisme (eksploitasi perempuan akibat dari
kondisi kelas yang tidak adil), dan sebagainya (hlm. 96). Di sini, point de capiton “perjuangan kelas”
menjadi penanda yang dapat menyatukan berbagai identitas terbuka dari elemen
parsial menuju kesatuannya. Identitas ideologis ini dapat menjadi antagonis
terhadap ideologi dominan, seperti kapitalisme.
Žižek
menunjukkan posisi fantasi ideologis di dalam “graph of desire” Lacan dengan formula subjek ($––subjek dalam
realitas sosialnya terpengaruh oleh “yang lain”) melampaui “other” (O/liyan) menuju “objek”
(a/fantasi). Fantasi berkaitan dengan kernel (antagonisme), maka formula
fantasi ideologis ialah $◊a, karena fantasi berdampingan dengan realitas (hlm.
124). Fantasi ini yang diinginkan oleh subjek yang ideologis. Bila
fantasi––misalnya keadilan ekonomi––berujung pada transformasi sosial, maka
fantasi subjek membawa kepada “jouis-sense”.
Tetapi bila fantasinya prematur, maka proses fantasi dan tahapan menuju “jouis-sense” dapat direncanakan kembali.
Di dalam Bab 4, Žižek membahas tentang kematian subjek. Kematian pertama subjek terjadi ketika ia terperangkap dalam jaringan simbolis, misalnya kata “meja” menjadi meja. Hal ini berkaitan sebuah kata dalam konsepnya, bukan realitas fisiknya. Pada tahap kedua, kematian subjek berada dalam tataran strukturalis di mana pengalaman akan realitas sosial gagal memproduksi fantasi subjek. Sedangkan di tahap ketiga, kematian subjek karena tidak berfungsinya hasrat. Bagi Žižek, manusia hidup dengan hasratnya. Bila subjek memaksimalkan hasratnya, maka fantasinya dapat membawanya kepada kenikmatan yang diinginkan.
Bagian III: The Subject
Bab
5 membahas tentang subjek “the Real”.
Žižek mengungkapkan pembahasan di bagian ini bukan mengenai meta-bahasa. Tetapi
Lacan mempertahankan konsep master
signifier untuk menggungkapkan makna dari pernyataan seseorang. Ia
mencontohkan seorang kapitalis tidak pernah berkata dirinya mengeksploitasi
pekerja. Pernyataan kapitalis bukan hanya entitas imajinernya, tetapi mengungkapkan
“the Real”. Tetapi problemnya tidak
mudah bagi seorang kapitalis menyatakan dirinya kapitalis dan mengungkapkan
keinginannya. Maka dari itu, untuk menyembunyikan niatnya, orang menghindari “the Real” dengan mengucapkan kata
tertentu yang absurd (hlm. 175).
Tetapi
“the Real” Lacanian berkarakter
antagonis. “The Real” dalam
perkembangan ajaran Lacan bergeser mendekati “yang imajiner” menuju objek (a/fantasi)
yang dapat memenuhi hasrat. Objek hasrat ini relevan dengan antagonisme sosio-ideologis
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (hlm. 184). Antagonis ini dalam Marxisme
klasik sebagai perjuangan kelas menumbangkan kapitalisme, atau dalam gerakan
sosial baru sebagai gerakan demokratik baru untuk mengeleminasi segala bentuk
penindasan baru.
Pada
Bab 6, Žižek menjelaskan bahwa logika sublimasi sebagai representasi objek yang
menghubungkan dunia batin dan empiris. Perasaan yang tersublimasi adalah
perasaan tidak senang yang ditimbulkan dari ketidakcukupan imajinasi dalam pengalaman
estetik (hlm. 229-230). Perasaan ini dapat menjadi penanda bagi representasi
subjek untuk mengisi penanda kekurangan dari “yang lain”. Sementara subjek yang
berhasil melampaui pengalaman traumatisnya akan membuka celah bagi hasrat menuju
fantasi.
Bagi
saya, buku sublimasi objek ideologi masih relevan untuk dibaca dan dipelajari
karena memberikan pemahaman, di antaranya pertama,
buku ini telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis dioperasionalkan ke dalam
inti filosofisnya dengan cara mentransformasi hasrat menjadi fantasi. Kedua, buku ini memperlihatkan bagaimana
elaborasi teoretik––dialektik, Marxis dan psikoanalisis––dapat menyingkapkan
ideologi yang mengatur subjek dan hubungan sosial. Ketiga, bagi para pembaca yang menyukai teori-teori kritis, buku
ini bisa menjadi salah satu bahan bacaan untuk menganalisis berbagai bentuk
eksploitasi menuju gerakan politik transformatif.
Catatan: Resum buku The Sublime Object of Ideology awalnya untuk kebutuhan pribadi supaya memahami gagasan Žižek tentang sublimasi objek ideologi. Namun saya merasa perlu untuk membagikan catatan ke blog pribadi supaya catatannya tidak hilang, dan siapa tahu ada yang berminat untuk berbagi bacaan tentang gagasan Žižek.