Rabu, 18 Januari 2023

Menyingkap Sublimasi Objek Ideologi

 

Sumber: The Sublime Object of Ideology

 

Judul Buku                  : The Sublime Object of Ideology

Nama Penulis              : Slavoj Žižek

Tahun Terbit                : 2008

Penerbit                       : Verso

ISBN                            : 13: 978-1 84467-300-1

Jumlah Halaman         : xxxii + 272


Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan psikoanalis kelahiran Slovenia tahun 1949. Ia mempelajari karya-karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Karl Marx dan Jacques Lacan. Ia menulis beberapa buku di antaranya adalah The Sublime Object of Ideology yang diterbitkan pertama kali tahun 1989. Di buku ini, Žižek mentransformasi psikoanalisis klasik yang dianggap gagal meninggalkan premis dasarnya sehingga menjadi psikologi kepribadian. Ia merehabilitasi psikoanalisis ke dalam inti filosofisnya. Ia menggungkapkan sebagian dari teori di dalam bukunya berhutang budi pada dialetika Hegel dan hanya dapat dibaca dalam latar belakang tersebut (hlm. viii).

Žižek menunjukkan bagaimana teori psikoanalisis berperan penting dalam mengenali dan menyingkapkan ideologi sebagai mekanisme tersembunyi yang telah membentuk subjek dan hubungan sosial. Supaya dapat mengenal mekanisme tersebut, ia menggunakan konsep Lacan tentang surplus “the Real” (dalam psikoanalisis, ‘the Real’ adalah ego) atas yang “simbolik” telah berfungsi menyebabkan munculnya hasrat. Cara untuk menemukan surplus “the Real” ialah melalui oposisi (antagonisme) dalam tradisi Marxisme, yaitu oposisi antara buruh dengan pemilik modal.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang “symptom” dan bagaimana Marx menemukan “symptom” dari ideologi. Bagian kedua mengupas tentang “lack” di dalam “other” (yang lain). Dan bagian ketiga berbicara tentang “the Real” subjek dapat menyublimasi objek ke kenikmatan yang berlebihan (surplus enjoyment).


Ideologi

Menurut Žižek, definisi ideologi paling mendasar berasal dari Kapital Marx, yaitu “sie wissen das nicht, aber sie tun es” atau “they do not know it, but they are doing it”. Dalam pengertian ini, ideologi menjadi ilusi karena tidak diketahui di mana letak “know” dan “doing” dalam realitas. Ini menjadi masalah karena ketidaksesuaian antara apa yang orang lakukan secara efektif dengan apa yang mereka “pikirkan” sedang mereka “lakukan”. Namun ideologi juga dapat dipahami sebagai “kesadaran palsu”, representasi ilusi dari realitas, dan realitas itu sendiri yang sudah dipahami sebagai “ideologi”.

Ideologi dapat dikenali dari gejalanya (symptom) karena konsisten menyiratkan ketidaktahuan subjek, dan subjek menikmati gejalanya. Dalam realitas sosial, terkadang subjek menyadari bahwa ilusi yang menyusun realitas, tetapi mereka tetap mengikuti ilusi tersebut seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Ilusi yang menyusun realitas dan pengabaian terhadap ilusi ini disebut “ideological fantasy” (hlm. 30).

Jika ideologi tetap berada dalam konsep klasik di mana ilusi terletak dalam pengetahuan, maka masyarakat saat ini harus tampil dalam pasca-ideologis, karena orang tidak percaya lagi pada kebenaran ideologis. Rumusannya ialah “they know very well what they are doing, but still, they are doing it”. Jika ilusi berada di sisi pengetahuan, maka rumusannya ialah “they know what they are doing, and they are doing it”. Tetapi jika ilusi berada dalam realitas perbuatan itu sendiri, maka rumusannya ialah “they know that, in their activity, they are following an illusion, but still, they are doing it”. Žižek memberi contoh tentang ide perdamaian. Kita mengetahui bahwa perdamaian menutupi bentuk eksploitasi tertentu, tetapi kita tetap mengikutinya. Untuk itu, kita perlu melihat bagaimana Žižek menyingkapkan ideologi dengan menggabungkan analisis dialektik, Marxis dan psikoanalisis berikut ini.


Bagian I: The Symptom

Pada Bab I, Žižek menunjukkan interpretasi Marx dan Freud tentang komoditas dan mimpi. Dalam komoditas, persoalannya terletak pada penjelasan mengenai pekerja mengambil bentuk dalam nilai suatu barang dagangan (commodity-form). Sedangkan tafsir mimpi Freud menjelaskan bagaimana hasrat seksual yang tidak disadari muncul dalam mimpi. Untuk menemukan korelasi antara komoditas dan mimpi, maka kita perlu meninggalkan upaya untuk mencari “makna” keduanya, tetapi kita melangkah menuju pendekatan hermeneutik untuk memahami fenomena keduanya. Kerja mimpi mirip dengan kerja “commodity-form” sebagai mekanisme tersembunyi dengan menyamarkan bentuk aslinya, misalnya uang yang didapat para pekerja telah menyiratkan bentuk asli dari komoditas barang yang dikerjakannya. Begitu juga mimpi yang muncul menyiratkan keinginan “the Real”.

Relasi yang paradoks antara pekerja dan komoditas telah memunculkan “proto-ideologi”, karena pekerja menikmati “kesadaran palsu” berupa uang, tetapi mengabaikan bentuk eksploitasinya. Dalam pandangan Žižek, konsep “symptom” Lacanian dapat mendeteksi celah tertentu dari ketidakseimbangan “patologis” yang mengingkari hak pekerja dan kewajiban borjuasi kepada para pekerja (hlm. 16). Oleh karena itu, prosedur dasar Marxian tentang kritik ideologi ialah kritik simtomatik. Dari perspektif ini, kekuatan subversif pendekatan Marx terletak pada cara dia menggungkapkan oposisi antara personal dengan barang. Relasinya menjadi antara manusia dengan fetis komoditas, yaitu uang.

Dalam Bab 2, Žižek membahas “symptom” secara dialektik untuk mengungkapkan paradoks “symptom” yang direpresif harus dapat mengubah kita ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu (hlm. 58). Tetapi banyak orang tidak mudah meninggalkan masa lalu karena ia menikmatinya. Hal ini membuat subjek gagal mengemansipasi dirinya. Kondisi internal ini memiliki kemiripan dengan argumentasi Rosa Luxemburg melawan Eduard Bernstein tentang dialektika revolusi. Luxemburg menjelaskan bahwa “perebutan kekuasaan diperlukan secara ‘prematur’ sebagai cara bagi kelas pekerja mencapai ‘kedewasaan’” (hlm. 62). Menurut Žižek, bila kita mengamati lebih dekat pernyataan Luxemburg, maka pernyataan tersebut justru menunjukkan meta-bahasa ketidakmungkinan proses revolusioner, karena subjek tidak menjalankan proses revolusi secara objektif, tetapi masih subjektif dan prematur.

Tetapi dalam perspektif Lacanian, “symptom” sebagai kenikmatan dari “the Real” yang bertahan sebagai surplus dapat memunculkan fantasi subjek. Žižek mencontohkan tenggelamnya kapal Titanik yang memiliki efek traumatis, tetapi juga membuka ruang fantasi berdasarkan fakta yang terjadi. Lacan menempatkan dimensi kenikmatan (jouis-sense) di dalam “symptom” melalui dua tahap. Pertama, Lacan mencoba mengisolasi dimensi kenikmatan sebagai fantasi. Pada bagian ini, fantasi adalah konstruksi yang tidak dapat dianalisis dan menolak untuk diinterpretasi. Kedua, interpretasi “symptom” menuju fantasi. Fantasi dapat mengisi kekosongan dari kekurangan “yang lain” dalam diri subjek ataupun dalam realitas sosial. Di sini “symptom  menjadi “sinthome” sebagai penanda tertentu yang ditembus dengan kenikmatan (hlm. 80-81). Bila kenikmatan yang dituju hanya pada satu arah, maka akan menyingkapkan ideologi, karena ideologi menuntut konsistensi untuk “terus berjalan lurus ke satu arah” (hlm. 91).


Bagian II: Lack in the Other

Bab 3 membahas tentang “Che Vuoi?” [apa yang kamu inginkan?]. Bagian ini menjelaskan ideologi terbentuk dari floating signifier dan identitas terbuka yang ditentukan secara artikulatif dalam chain of equivalence dengan elemen lainnya. Žižek mencontohkan “perjuangan kelas” akan memberikan penanda yang pasti kepada elemen lain, seperti “real demokrasi” sebagai oposisi dari “borjuis formal demokrasi”; atau feminisme (eksploitasi perempuan akibat dari kondisi kelas yang tidak adil), dan sebagainya (hlm. 96). Di sini, point de capiton “perjuangan kelas” menjadi penanda yang dapat menyatukan berbagai identitas terbuka dari elemen parsial menuju kesatuannya. Identitas ideologis ini dapat menjadi antagonis terhadap ideologi dominan, seperti kapitalisme.

Žižek menunjukkan posisi fantasi ideologis di dalam “graph of desire” Lacan dengan formula subjek ($––subjek dalam realitas sosialnya terpengaruh oleh “yang lain”) melampaui “other” (O/liyan) menuju “objek” (a/fantasi). Fantasi berkaitan dengan kernel (antagonisme), maka formula fantasi ideologis ialah $◊a, karena fantasi berdampingan dengan realitas (hlm. 124). Fantasi ini yang diinginkan oleh subjek yang ideologis. Bila fantasi––misalnya keadilan ekonomi––berujung pada transformasi sosial, maka fantasi subjek membawa kepada “jouis-sense”. Tetapi bila fantasinya prematur, maka proses fantasi dan tahapan menuju “jouis-sense” dapat direncanakan kembali.

Di dalam Bab 4, Žižek membahas tentang kematian subjek. Kematian pertama subjek terjadi ketika ia terperangkap dalam jaringan simbolis, misalnya kata “meja” menjadi meja. Hal ini berkaitan sebuah kata dalam konsepnya, bukan realitas fisiknya. Pada tahap kedua, kematian subjek berada dalam tataran strukturalis di mana pengalaman akan realitas sosial gagal memproduksi fantasi subjek. Sedangkan di tahap ketiga, kematian subjek karena tidak berfungsinya hasrat. Bagi Žižek, manusia hidup dengan hasratnya. Bila subjek memaksimalkan hasratnya, maka fantasinya dapat membawanya kepada kenikmatan yang diinginkan.


Bagian III: The Subject

Bab 5 membahas tentang subjek “the Real”. Žižek mengungkapkan pembahasan di bagian ini bukan mengenai meta-bahasa. Tetapi Lacan mempertahankan konsep master signifier untuk menggungkapkan makna dari pernyataan seseorang. Ia mencontohkan seorang kapitalis tidak pernah berkata dirinya mengeksploitasi pekerja. Pernyataan kapitalis bukan hanya entitas imajinernya, tetapi mengungkapkan “the Real”. Tetapi problemnya tidak mudah bagi seorang kapitalis menyatakan dirinya kapitalis dan mengungkapkan keinginannya. Maka dari itu, untuk menyembunyikan niatnya, orang menghindari “the Real” dengan mengucapkan kata tertentu yang absurd (hlm. 175).

Tetapi “the Real” Lacanian berkarakter antagonis. “The Real” dalam perkembangan ajaran Lacan bergeser mendekati “yang imajiner” menuju objek (a/fantasi) yang dapat memenuhi hasrat. Objek hasrat ini relevan dengan antagonisme sosio-ideologis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (hlm. 184). Antagonis ini dalam Marxisme klasik sebagai perjuangan kelas menumbangkan kapitalisme, atau dalam gerakan sosial baru sebagai gerakan demokratik baru untuk mengeleminasi segala bentuk penindasan baru.

Pada Bab 6, Žižek menjelaskan bahwa logika sublimasi sebagai representasi objek yang menghubungkan dunia batin dan empiris. Perasaan yang tersublimasi adalah perasaan tidak senang yang ditimbulkan dari ketidakcukupan imajinasi dalam pengalaman estetik (hlm. 229-230). Perasaan ini dapat menjadi penanda bagi representasi subjek untuk mengisi penanda kekurangan dari “yang lain”. Sementara subjek yang berhasil melampaui pengalaman traumatisnya akan membuka celah bagi hasrat menuju fantasi.

Bagi saya, buku sublimasi objek ideologi masih relevan untuk dibaca dan dipelajari karena memberikan pemahaman, di antaranya pertama, buku ini telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis dioperasionalkan ke dalam inti filosofisnya dengan cara mentransformasi hasrat menjadi fantasi. Kedua, buku ini memperlihatkan bagaimana elaborasi teoretik––dialektik, Marxis dan psikoanalisis––dapat menyingkapkan ideologi yang mengatur subjek dan hubungan sosial. Ketiga, bagi para pembaca yang menyukai teori-teori kritis, buku ini bisa menjadi salah satu bahan bacaan untuk menganalisis berbagai bentuk eksploitasi menuju gerakan politik transformatif.


Catatan: Resum buku The Sublime Object of Ideology awalnya untuk kebutuhan pribadi supaya memahami gagasan Žižek tentang sublimasi objek ideologi. Namun saya merasa perlu untuk membagikan catatan ke blog pribadi supaya catatannya tidak hilang, dan siapa tahu ada yang berminat untuk berbagi bacaan tentang gagasan Žižek.