Minggu, 29 Oktober 2023

Kalimantan dalam Pandangan Ekonomi Politik

Kerusakan Hutan Kalimantan Terkini Akibat Ekspansi Perkebunan Sawit
Sumber: Lili Rambe/Mongabay (09/03/2014)

Berbicara tentang Kalimantan dalam pandangan ekonomi politik berarti berbicara tentang aspek ekonomi yang mempengaruhi politik, dan sebaliknya politik mempengaruhi ekonomi. Pandangan ini berakar pada analisis Marx (1857) dalam bukunya Grundrisse tentang kondisi masyarakat yang ditentukan oleh faktor produksi. Proses produksi dan distribusi ekonomi menjadi basis bagi pengembangan politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Proses akumulasi ekonomi telah menciptakan para orang kaya–disebut kaum borjuasi–yang menentukan dan mengendalikan politik, sedangkan para pekerja yang memeras keringgatnya untuk bekerja disebut proletariat. 

Proses akumulasi keuntungan para pemilik modal yang menentukan arah politik dan akumulasi ekonomi–disebut sistem kapitalisme–telah menciptakan banyak krisis, antara lain eksploitasi tenaga manusia, pembagian kerja berdasarkan gender, upah yang tidak memadai, krisis ekologi, bahkan menyebabkan ekspansi militer ke suatu negara tertentu–disebut imperialisme. Kompleksitasnya problem yang disebabkan oleh sistem kapitalisme telah melahirkan situs-situs perlawanan di banyak tempat dengan beragam fokus, seperti perjuangan untuk kesejahteraan pekerja, perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender–disebut feminisme–perjuangan untuk lingkungan dan masyarakat adat, perjuangan untuk kedaulatan nasional, dan lain sebagainya.

Multiplisitas perjuangan tersebut tidak bisa hanya digantungkan pada sektor perjuangan tertentu, tetapi masing-masing sektor perjuangan perlu membangun ikatan sosial bersama untuk perjuangan bersama. Rumusan perjuangan bersama ini ditawarkan oleh pemikir post-Marxisme seperti Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Laclau (2005) dalam bukunya On Populist Reason menjelaskan pluralitas identitas perjuangan melakukan diskursus membangun rantai ekuivalen (chain of equivalence) untuk menentukan praktik hegemoni (empty signifier). Politik hegemonik merupakan politik yang membuat garis pembatas (political frontier) dengan rezim politik yang sedang dilawan.

Setelah terformasi politik hegemonik, lalu tahap perjuangan berikutnya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mouffe (1993) dalam bukunya The Return of Political menjelaskan perjuangannya bisa melalui parlemen, boikot, reclaiming, budaya, dan lain sebagainya. Kreativitas massa menentukan platform politik dan metode perjuangan untuk melawan sistem yang dianggap menindas atau rezim politik, rezim penguasaan sumber daya alam, dan sebagainya. Maka dari itu, pembahasan mengenai Kalimantan dalam pandangan ekonomi politik berfokus pada dua bagian, yaitu membaca jejaring ekonomi politik yang menguasai politik dan sumber daya alam Kalimantan, dan perjuangan politik masyarakat Kalimantan.

 

Penguasa Politik dan Ekonomi Kalimantan

Saya membahas penguasaan politik dan ekonomi Kalimantan bertitik tolak dari era Reformasi. Mengapa berangkat dari sana? Argumentasi saya dilandaskan pada analisis politik Jeffrey A. Winters. Winters (2011) dalam bukunya Oligarki menjelaskan di masa Orde Baru, penguasaan politik dan ekonomi tersentral pada Soeharto dan kroninya. Winters menyebutnya sebagai oligarki sultanistik. Oligarki adalah penguasaan politik dan ekonomi oleh segelintir orang. Hal ini karena di masa Orde Baru, sistem politik dan ekonomi tersentral di pemerintah pusat di Jakarta. Sedangkan setelah Reformasi tahun 1998 terjadi desentralisasi. Desentralisasi artinya penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat terkonsentrasi pada bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama.

Sementara pemerintah daerah diserahkan kewenangan sebagian untuk mengelola sumber daya alam, selebihnya masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Saat ini, izin pertambangan mineral dan barubara kembali diserahkan ke daerah melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022. Sedangkan HGU perkebunan diberikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Akibatnya pasca Reformasi, banyak pengusahan lokal Kalimantan maupun nasional mengajukan permohonan izin pertambangan mineral dan batubara maupun HGU perkebunan di Kalimantan. Hal ini menyebabkan terbentuknya oligarki yang menguasai ekonomi di bidang pertambangan mineral dan batubara serta perkebunan, termasuk kelapa sawit. Winters menyebutnya sebagai oligarki penguasa kolektif.

Untuk mendapatkan manfaat dari proses perizinan sumber daya alam, maka para pengusaha mendirikan partai politik, menjadi anggota partai politik, mendukung calon yang diusung oleh partai politik, atau bahkan menjadi politisi. Di sisi lain, para politisi mendekatkan diri dengan pengusaha saat ingin mencalonkan diri sebagai pejabat baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini karena biaya kampanye politik yang cukup mahal sehingga para politisi membutuhkan uang dari para pengusaha. Akibatnya kongkalikong antara politisi dengan pengusaha ini membuat rumitnya mengurai persoalan konflik lahan antara pengusaha dengan masyarakat di Kalimantan.

Di Kalimantan, praktik penguasaan sumber daya alam seperti pertambangan mineral dan batubara, serta perkebunan sawit perlu dibaca dalam konteks ekonomi politik lokal dan nasional. Di Kalimantan Selatan, oligarki mendapatkan sumber ekonomi dari pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, di Kalimantan Selatan terjadi fenomena para politisi yang mau mencalonkan diri sebagai pejabat daerah atau legislatif meminta restu kepada pengusaha atau meminta dukungan dari pengusaha.

Di Kalimantan Timur, penguasaan sumber daya alam dan perkebunan dilakukan oleh para oligarki daerah dan nasional. Hal ini karena di Kalimantan Timur terdapat tambang batubara, perkebunan kelapa sawit dan hutan industri. Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara, penguasaan sumber daya alam dilakukan oleh oligarki nasional. Sedangkan di Kalimantan Tengah, penguasaan sumber daya alam seperti perkebunan dan pertambangan dilakukan oleh oligarki lokal dan nasional.

Bila berfokus pada perkebunan kelapa sawit saja, luas perkebunan kelapa sawit Kalimantan Selatan sebesar 479,30 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 37,190 Km2. Luas perkebunan sawit di Kalimantan Timur sebesar 1.366,10 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 127.347 Km2. Luas perkebunan sawit di Kalimantan Barat sebesar 2.117,90 hektar (BPS, 2021) dari luas wilayah 147,307 Km2. Luas perkebunan sawit Kalimantan Utara sebesar 38.061,1 hektar (BPS, 2022) dari luas wilayah 71,827 Km2. Sedangkan luas perkebunan sawit di Kalimantan Tengah sebesar 1.815,60 hektar dari luas wilayah 153,444 Km2.

Merujuk pada data BPS (2022), terdapat 6 provinsi dengan volume produksi kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu Provinsi Riau sebesar 9 juta ton, Kalimantan Tengah sebesar 7 juta ton, Sumatera Utara sebesar 6 juta ton, Kalimantan Barat sebesar 5,4 juta ton, Sumatera Selatan sebesar 4,1 juta ton, dan Kalimantan Timur sebesar 3,4 juta ton. Artinya Kalimantan menjadi daerah penyumbang produksi kelapa sawit yang cukup besar bagi Indonesia.

Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran telah membawa dampak bagi masyarakat lokal dan lingkungan. Di Kalimantan sering terjadi kasus sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena proses perizinan yang tidak pernah memperhatikan secara detail kawasan pemukiman dan lahan masyarakat. Ketika masyarakat melakukan protes karena tanah dan lahannya diserobot oleh perusahaan, maka pihak perusahaan meminta keamanan dari aparat keamanan sehingga bentrok seringkali terjadi antara masyarakat dengan aparat keamanan. Dalam konteks lingkungan, dampak yang sering dirasakan masyarakat adalah kekeringan dan jalan yang rusak. Penggunaan pestisida yang masif terhadap kelapa sawit berdampak pada kesuburan tanah. Keanekaragaman hayati menjadi terancam, padahal kedaulatan atas tanah, keanekaragaman pangan dan tumbuhan menjadi dasar di dalam kebudayaan.

Di sisi lain, politik di Kalimantan bersifat patron-klien. Artinya masyarakat masih mudah diajak untuk memilih calon politik tertentu karena ajakan tokoh tertentu. Dampaknya kekuasaan politik hanya berada pada lingkaran keluarga besar tertentu, atau ada yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau legislatif harus meminta restu dari keluarga yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Ini tentu tidak sehat bagi demokrasi di Kalimantan karena masih banyak orang yang melihat politisi dari partai dan background keluarganya, bukan pada program kerja dan visi untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia Kalimantan.

Apalagi indeks pembangunan manusia (IPM) Kalimantan berada diangka yang tidak begitu baik. Data BPS (2022) menulis dari 10 provinsi IPM tertinggi, hanya Provinsi Kalimantan Timur yang menempati urutan ke-3 dengan skor 77,44 dari rata-rata nasional sebesar 72,91. Sedangkan Kalimantan Barat diangka 68,63, Kalimantan Tengah diangka 71,63, Kalimantan Selatan diangka 71,84, Kalimantan Utara diangka 71,83. Tentu ini menjadi keprihatinan bersama sebagai anak muda Kalimantan. Persoalan yang dihadapi bukan hanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan patronase politik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia Kalimantan yang masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nasional.

 

Perjuangan Politik Masyarakat Kalimantan

Potret umum mengenai masalah yang dihadapi di Kalimantan perlu menjadi perhatian para anak muda Kalimantan. Tentu ini bukan mengecilkan peran para pihak yang telah menaruh perhatian pada problematika di Kalimantan, tetapi anak muda Kalimantan perlu memahami persoalan di Kalimantan dan cara untuk mengatasinya. Saya membahasakan gerakan masyarakat Kalimantan yang membela tanahnya dari penyerobotan perusahaan, keinginan untuk membebaskan diri dari politik patronase, dan keinginan untuk mengambil bagian di dalam pengembangan sumber daya manusia Kalimantan sebagai perjuangan politik. Politik di sini bukan ajakan untuk mendukung partai atau politisi tertentu. Politik di sini merujuk pada konsep politik post-Marxis.

Mouffe (2013) dalam bukunya berjudul Agonistics: Thinking the World Politically menulis politik mengacu pada serangkaian praktik, wacana dan institusi yang berupaya membangun tatanan tertentu dan mengatur koeksistensi manusia dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kelembagaan atau institusi yang mapan. Politik memiliki dimensi antagonis untuk melakukan koreksi terhadap praktik para politisi maupun institusi yang selama ini telah ada di Kalimantan. Oleh karena itu, perjuangan politik berarti perjuangan masyarakat dan anak muda Kalimantan dalam melakukan koreksi terhadap praktik pengelolaan sumber daya alam, dan pilihan untuk terlibat di dalam pembangunan sumber daya manusia Kalimantan.

Dalam konteks perjuangan mempertahankan tanah dari penyerobotan lahan bisa menempuh langkah politis. Sistem pemerintah telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa lahan, tetapi seringkali masyarakat dirugikan karena alas hak yang kurang memadai. Hal ini karena masyarakat memandang alas hak mereka bersumber dari situs-situs peninggalan budaya dan pertanian. Namun alas hak tersebut seringkali diabaikan pemerintah dan perusahaan, sehingga konflik menjadi tidak terhindarkan.

Bercermin pada gerakan politik baru yang terjadi di berbagai tempat, ketika berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah, masyarakat menggunakan strategi yang cukup efektif. Pertama, strategi ikatan komunal. Strategi ini dipraktikkan di banyak tempat di Indonesia, termasuk di Kalimantan, sehingga membuat perusahaan dan pemerintah mau bernegosiasi dengan masyarakat. Kedua, penggunaan media sosial. Di media sosial ada adagium yang menyatakan, “bila ada masalah laporkan ke netizen”. Media sosial telah menjadi saluran untuk mengabarkan suatu peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat. Di Indonesia sudah cukup banyak kasus yang selesai setelah korban menayangkan langsung suatu peristiwa pidana atau korban menceritakan pengalamannya. Media sosial telah menjadi satu kekuatan sosial baru di Indonesia.

Sementara keinginan untuk membebaskan diri dari patronase politik dan indeks pembangunan manusia yang rendah berkaitan dengan pendidikan. Indikator yang digunakan BPS dalam mengukur indeks pembangunan manusia adalah dimensi umur panjang dan hidup sehat, dimensi pengetahuan yang berhubungan dengan lama sekolah, dan dimensi standar hidup layak. Dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, hanya Provinsi Kalimantan Timur yang berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan empat provinsi lainnya seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara berada di bawah rata-rata nasional. Artinya di empat provinsi tersebut, dimensi kesehatan, lamanya orang sekolah, dan pendapatan ekonomi perkeluarga masih rendah.

Padahal Kalimantan memiliki sumber daya alam yang cukup besar, tetapi tampaknya uang hasil sumber daya alam tidak dinikmati oleh para keluarga petani dan nelayan di Kalimantan. Tentu ini menjadi ironi bagi sebuah daerah yang akan menjadi ibukota negara. Untuk itu, penting bagi anak muda Kalimantan untuk mengambil inisiatif atau gerakan politik untuk ambil bagian di dalam peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Inisiatif ini bisa dilakukan dengan banyak cara misalnya gerakan mengajar, pembangunan perpustakaan desa, melakukan audiensi ke pemerintah kabupaten maupun provinsi supaya mereka memberikan perhatian pada sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat petani dan nelayan. Atau bila ada anak muda Kalimantan yang ingin masuk partai politik dan mengikuti pemilu, maka anak muda tersebut perlu berpolitik dengan landasan pembangunan sumber daya manusia Kalimantan. Bila keadaan sumber daya manusia Kalimantan membaik, maka masyarakat Kalimantan tidak mudah terlarut di dalam patronase politik, karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir bagi tata kelola daerah yang baik, kesejahteraan bersama, dan keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.**  

**Ditulis untuk disampaikan dalam bincang Kalimantan pada tanggal 28 Oktober 2023 di Asrama Putra Kalimantan Tengah di Yogyakarta.

Rabu, 18 Januari 2023

Menyingkap Sublimasi Objek Ideologi

 

Sumber: The Sublime Object of Ideology

 

Judul Buku                  : The Sublime Object of Ideology

Nama Penulis              : Slavoj Žižek

Tahun Terbit                : 2008

Penerbit                       : Verso

ISBN                            : 13: 978-1 84467-300-1

Jumlah Halaman         : xxxii + 272


Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan psikoanalis kelahiran Slovenia tahun 1949. Ia mempelajari karya-karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Karl Marx dan Jacques Lacan. Ia menulis beberapa buku di antaranya adalah The Sublime Object of Ideology yang diterbitkan pertama kali tahun 1989. Di buku ini, Žižek mentransformasi psikoanalisis klasik yang dianggap gagal meninggalkan premis dasarnya sehingga menjadi psikologi kepribadian. Ia merehabilitasi psikoanalisis ke dalam inti filosofisnya. Ia menggungkapkan sebagian dari teori di dalam bukunya berhutang budi pada dialetika Hegel dan hanya dapat dibaca dalam latar belakang tersebut (hlm. viii).

Žižek menunjukkan bagaimana teori psikoanalisis berperan penting dalam mengenali dan menyingkapkan ideologi sebagai mekanisme tersembunyi yang telah membentuk subjek dan hubungan sosial. Supaya dapat mengenal mekanisme tersebut, ia menggunakan konsep Lacan tentang surplus “the Real” (dalam psikoanalisis, ‘the Real’ adalah ego) atas yang “simbolik” telah berfungsi menyebabkan munculnya hasrat. Cara untuk menemukan surplus “the Real” ialah melalui oposisi (antagonisme) dalam tradisi Marxisme, yaitu oposisi antara buruh dengan pemilik modal.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang “symptom” dan bagaimana Marx menemukan “symptom” dari ideologi. Bagian kedua mengupas tentang “lack” di dalam “other” (yang lain). Dan bagian ketiga berbicara tentang “the Real” subjek dapat menyublimasi objek ke kenikmatan yang berlebihan (surplus enjoyment).


Ideologi

Menurut Žižek, definisi ideologi paling mendasar berasal dari Kapital Marx, yaitu “sie wissen das nicht, aber sie tun es” atau “they do not know it, but they are doing it”. Dalam pengertian ini, ideologi menjadi ilusi karena tidak diketahui di mana letak “know” dan “doing” dalam realitas. Ini menjadi masalah karena ketidaksesuaian antara apa yang orang lakukan secara efektif dengan apa yang mereka “pikirkan” sedang mereka “lakukan”. Namun ideologi juga dapat dipahami sebagai “kesadaran palsu”, representasi ilusi dari realitas, dan realitas itu sendiri yang sudah dipahami sebagai “ideologi”.

Ideologi dapat dikenali dari gejalanya (symptom) karena konsisten menyiratkan ketidaktahuan subjek, dan subjek menikmati gejalanya. Dalam realitas sosial, terkadang subjek menyadari bahwa ilusi yang menyusun realitas, tetapi mereka tetap mengikuti ilusi tersebut seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Ilusi yang menyusun realitas dan pengabaian terhadap ilusi ini disebut “ideological fantasy” (hlm. 30).

Jika ideologi tetap berada dalam konsep klasik di mana ilusi terletak dalam pengetahuan, maka masyarakat saat ini harus tampil dalam pasca-ideologis, karena orang tidak percaya lagi pada kebenaran ideologis. Rumusannya ialah “they know very well what they are doing, but still, they are doing it”. Jika ilusi berada di sisi pengetahuan, maka rumusannya ialah “they know what they are doing, and they are doing it”. Tetapi jika ilusi berada dalam realitas perbuatan itu sendiri, maka rumusannya ialah “they know that, in their activity, they are following an illusion, but still, they are doing it”. Žižek memberi contoh tentang ide perdamaian. Kita mengetahui bahwa perdamaian menutupi bentuk eksploitasi tertentu, tetapi kita tetap mengikutinya. Untuk itu, kita perlu melihat bagaimana Žižek menyingkapkan ideologi dengan menggabungkan analisis dialektik, Marxis dan psikoanalisis berikut ini.


Bagian I: The Symptom

Pada Bab I, Žižek menunjukkan interpretasi Marx dan Freud tentang komoditas dan mimpi. Dalam komoditas, persoalannya terletak pada penjelasan mengenai pekerja mengambil bentuk dalam nilai suatu barang dagangan (commodity-form). Sedangkan tafsir mimpi Freud menjelaskan bagaimana hasrat seksual yang tidak disadari muncul dalam mimpi. Untuk menemukan korelasi antara komoditas dan mimpi, maka kita perlu meninggalkan upaya untuk mencari “makna” keduanya, tetapi kita melangkah menuju pendekatan hermeneutik untuk memahami fenomena keduanya. Kerja mimpi mirip dengan kerja “commodity-form” sebagai mekanisme tersembunyi dengan menyamarkan bentuk aslinya, misalnya uang yang didapat para pekerja telah menyiratkan bentuk asli dari komoditas barang yang dikerjakannya. Begitu juga mimpi yang muncul menyiratkan keinginan “the Real”.

Relasi yang paradoks antara pekerja dan komoditas telah memunculkan “proto-ideologi”, karena pekerja menikmati “kesadaran palsu” berupa uang, tetapi mengabaikan bentuk eksploitasinya. Dalam pandangan Žižek, konsep “symptom” Lacanian dapat mendeteksi celah tertentu dari ketidakseimbangan “patologis” yang mengingkari hak pekerja dan kewajiban borjuasi kepada para pekerja (hlm. 16). Oleh karena itu, prosedur dasar Marxian tentang kritik ideologi ialah kritik simtomatik. Dari perspektif ini, kekuatan subversif pendekatan Marx terletak pada cara dia menggungkapkan oposisi antara personal dengan barang. Relasinya menjadi antara manusia dengan fetis komoditas, yaitu uang.

Dalam Bab 2, Žižek membahas “symptom” secara dialektik untuk mengungkapkan paradoks “symptom” yang direpresif harus dapat mengubah kita ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu (hlm. 58). Tetapi banyak orang tidak mudah meninggalkan masa lalu karena ia menikmatinya. Hal ini membuat subjek gagal mengemansipasi dirinya. Kondisi internal ini memiliki kemiripan dengan argumentasi Rosa Luxemburg melawan Eduard Bernstein tentang dialektika revolusi. Luxemburg menjelaskan bahwa “perebutan kekuasaan diperlukan secara ‘prematur’ sebagai cara bagi kelas pekerja mencapai ‘kedewasaan’” (hlm. 62). Menurut Žižek, bila kita mengamati lebih dekat pernyataan Luxemburg, maka pernyataan tersebut justru menunjukkan meta-bahasa ketidakmungkinan proses revolusioner, karena subjek tidak menjalankan proses revolusi secara objektif, tetapi masih subjektif dan prematur.

Tetapi dalam perspektif Lacanian, “symptom” sebagai kenikmatan dari “the Real” yang bertahan sebagai surplus dapat memunculkan fantasi subjek. Žižek mencontohkan tenggelamnya kapal Titanik yang memiliki efek traumatis, tetapi juga membuka ruang fantasi berdasarkan fakta yang terjadi. Lacan menempatkan dimensi kenikmatan (jouis-sense) di dalam “symptom” melalui dua tahap. Pertama, Lacan mencoba mengisolasi dimensi kenikmatan sebagai fantasi. Pada bagian ini, fantasi adalah konstruksi yang tidak dapat dianalisis dan menolak untuk diinterpretasi. Kedua, interpretasi “symptom” menuju fantasi. Fantasi dapat mengisi kekosongan dari kekurangan “yang lain” dalam diri subjek ataupun dalam realitas sosial. Di sini “symptom  menjadi “sinthome” sebagai penanda tertentu yang ditembus dengan kenikmatan (hlm. 80-81). Bila kenikmatan yang dituju hanya pada satu arah, maka akan menyingkapkan ideologi, karena ideologi menuntut konsistensi untuk “terus berjalan lurus ke satu arah” (hlm. 91).


Bagian II: Lack in the Other

Bab 3 membahas tentang “Che Vuoi?” [apa yang kamu inginkan?]. Bagian ini menjelaskan ideologi terbentuk dari floating signifier dan identitas terbuka yang ditentukan secara artikulatif dalam chain of equivalence dengan elemen lainnya. Žižek mencontohkan “perjuangan kelas” akan memberikan penanda yang pasti kepada elemen lain, seperti “real demokrasi” sebagai oposisi dari “borjuis formal demokrasi”; atau feminisme (eksploitasi perempuan akibat dari kondisi kelas yang tidak adil), dan sebagainya (hlm. 96). Di sini, point de capiton “perjuangan kelas” menjadi penanda yang dapat menyatukan berbagai identitas terbuka dari elemen parsial menuju kesatuannya. Identitas ideologis ini dapat menjadi antagonis terhadap ideologi dominan, seperti kapitalisme.

Žižek menunjukkan posisi fantasi ideologis di dalam “graph of desire” Lacan dengan formula subjek ($––subjek dalam realitas sosialnya terpengaruh oleh “yang lain”) melampaui “other” (O/liyan) menuju “objek” (a/fantasi). Fantasi berkaitan dengan kernel (antagonisme), maka formula fantasi ideologis ialah $◊a, karena fantasi berdampingan dengan realitas (hlm. 124). Fantasi ini yang diinginkan oleh subjek yang ideologis. Bila fantasi––misalnya keadilan ekonomi––berujung pada transformasi sosial, maka fantasi subjek membawa kepada “jouis-sense”. Tetapi bila fantasinya prematur, maka proses fantasi dan tahapan menuju “jouis-sense” dapat direncanakan kembali.

Di dalam Bab 4, Žižek membahas tentang kematian subjek. Kematian pertama subjek terjadi ketika ia terperangkap dalam jaringan simbolis, misalnya kata “meja” menjadi meja. Hal ini berkaitan sebuah kata dalam konsepnya, bukan realitas fisiknya. Pada tahap kedua, kematian subjek berada dalam tataran strukturalis di mana pengalaman akan realitas sosial gagal memproduksi fantasi subjek. Sedangkan di tahap ketiga, kematian subjek karena tidak berfungsinya hasrat. Bagi Žižek, manusia hidup dengan hasratnya. Bila subjek memaksimalkan hasratnya, maka fantasinya dapat membawanya kepada kenikmatan yang diinginkan.


Bagian III: The Subject

Bab 5 membahas tentang subjek “the Real”. Žižek mengungkapkan pembahasan di bagian ini bukan mengenai meta-bahasa. Tetapi Lacan mempertahankan konsep master signifier untuk menggungkapkan makna dari pernyataan seseorang. Ia mencontohkan seorang kapitalis tidak pernah berkata dirinya mengeksploitasi pekerja. Pernyataan kapitalis bukan hanya entitas imajinernya, tetapi mengungkapkan “the Real”. Tetapi problemnya tidak mudah bagi seorang kapitalis menyatakan dirinya kapitalis dan mengungkapkan keinginannya. Maka dari itu, untuk menyembunyikan niatnya, orang menghindari “the Real” dengan mengucapkan kata tertentu yang absurd (hlm. 175).

Tetapi “the Real” Lacanian berkarakter antagonis. “The Real” dalam perkembangan ajaran Lacan bergeser mendekati “yang imajiner” menuju objek (a/fantasi) yang dapat memenuhi hasrat. Objek hasrat ini relevan dengan antagonisme sosio-ideologis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (hlm. 184). Antagonis ini dalam Marxisme klasik sebagai perjuangan kelas menumbangkan kapitalisme, atau dalam gerakan sosial baru sebagai gerakan demokratik baru untuk mengeleminasi segala bentuk penindasan baru.

Pada Bab 6, Žižek menjelaskan bahwa logika sublimasi sebagai representasi objek yang menghubungkan dunia batin dan empiris. Perasaan yang tersublimasi adalah perasaan tidak senang yang ditimbulkan dari ketidakcukupan imajinasi dalam pengalaman estetik (hlm. 229-230). Perasaan ini dapat menjadi penanda bagi representasi subjek untuk mengisi penanda kekurangan dari “yang lain”. Sementara subjek yang berhasil melampaui pengalaman traumatisnya akan membuka celah bagi hasrat menuju fantasi.

Bagi saya, buku sublimasi objek ideologi masih relevan untuk dibaca dan dipelajari karena memberikan pemahaman, di antaranya pertama, buku ini telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis dioperasionalkan ke dalam inti filosofisnya dengan cara mentransformasi hasrat menjadi fantasi. Kedua, buku ini memperlihatkan bagaimana elaborasi teoretik––dialektik, Marxis dan psikoanalisis––dapat menyingkapkan ideologi yang mengatur subjek dan hubungan sosial. Ketiga, bagi para pembaca yang menyukai teori-teori kritis, buku ini bisa menjadi salah satu bahan bacaan untuk menganalisis berbagai bentuk eksploitasi menuju gerakan politik transformatif.


Catatan: Resum buku The Sublime Object of Ideology awalnya untuk kebutuhan pribadi supaya memahami gagasan Žižek tentang sublimasi objek ideologi. Namun saya merasa perlu untuk membagikan catatan ke blog pribadi supaya catatannya tidak hilang, dan siapa tahu ada yang berminat untuk berbagi bacaan tentang gagasan Žižek.