|
Gayatri Chakravorty Spivak (Sumber: Wikiwand.com)
| | |
Beberapa bulan yang lalu, masyarakat
Indonesia digegerkan dengan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan
keagamaan. Banyak orang marah dengan peristiwa tersebut dan menuntut keadilan
bagi korban. Lalu muncul kasus baru dari
pemimpin agama terhadap jemaatnya. Respon kemarahan juga muncul dari banyak
pihak.
Pertanyaannya ialah mengapa kasus
kekerasan seksual terus terjadi? Dari beberapa kajian mengenai kekerasan
terhadap perempuan, tidak banyak yang memfokuskan diri pada pengabaian teori
progresif terhadap suara perempuan. Salah satu pemikir perempuan yang cukup
keras mengkritik teori-teori progresif ialah Gayatri Chakravorty Spivak yang lahir
di Kalkuta, India pada 24 Februari 1942.
Ia mempelajari teori secara komparatif,
dan menjadi seorang kritikus feminis yang menaruh perhatian pada perempuan dan
subaltern (penduduk asli dan individu tertindas). Ia mengkritik para pemikir
Barat yang berhasil merumuskan konsep emansipasi kelas tertindas tetapi abai
pada suara perempuan subaltern dalam karya ilmiah mereka. Esai Spivak yang
cukup keras mengkritik para pemikir Barat berjudul “Can the Subaltern Speak?” yang terbit pertama kali tahun 1988.
Pengabaian
Marxisme terhadap Subaltern
Spivak memulai tulisannya dengan
bercerita tentang Rani Gulari yang bergabung dalam gerakan anti-kolonial di
India. Gulari hanya dipanggil bila diperlukan sebagai agen/saksi/alat anti-kolonialisme.
Spivak menulis “the woman in this section
tried to be decisive in extremis, yet lost herself in the undecidable
womanspace of justice. She ‘spoke’, but women did not, do not, ‘hear’ her”
(Spivak, 2010: 22). Ia melihat ada kejanggalan, karena perempuan tertindas
tidak memiliki ruang untuk berbicara. Bila mereka bicara, maka tidak ada orang yang
mendengarkan mereka, termasuk sesama perempuan.
Spivak dalam The Rani of Sirmur: an Essay in Reading the Archives (1985)
mengutip Dominick LaCapra yang menulis “urges
the intellectual historian to learn of developments in ... literary criticism
and philosophy” (Spivak 1985: 249). Ia mendesak kaum intelektual untuk
mempelajari perkembangan pengetahuan di dalam kritik sastra dan filsafat untuk
menguraikan subaltern dan memberikan tempat bagi mereka.
Filsafat Barat yang menginspirasi gerakan
sosial seperti Marxisme tidak memberi tempat bagi subaltern. Karl Marx dalam Surveys from Exile menjelaskan keluarga
yang hidup dalam kondisi ekonomi tertindas membentuk kelas. “In so far as millions of families live under
economic conditions of existence that cut off their mode of life, their
interest, and their formation from those of the other classes and place them in
inimical confrontation [feindlich gegenüberstellen], they form a class”
(Marx, 1973: 239).
Spivak mengkritik subjek dalam Marxis yang terisolasi
di dalam kelas. Ia memandang Marx tidak bekerja untuk menciptakan sesuatu di dalam
kelas tertindas. Padahal dalam keluarga tidak semua orang didengar suaranya,
terlebih kaum perempuan. Bagi Spivak, “Marx
is obliged to construct models of a divided and dislocated subject whose parts
are not continuous or coherent with each other” (Spivak, 2010: 29).
Spivak juga mengkritik Antonio Gramsci,
seorang Marxisme Italia yang menaruh perhatian pada peran intelektual dalam
gerakan budaya dan politik subaltern ke dalam teori hegemoni. Gramsci dalam The Southern Question membahas tentang subordinasi
Italia selatan dari wilayah utara secara politik, ekonomi dan budaya. Ia berpendapat
perlu adanya transformasi politik untuk mereformasi ketidaksetaraan sosial dan
ekonomi (Geuss and Skinner, 1994: xi-xii). Tetapi Gramsci menempatkan kelas
pekerja sebagai pemimpin dalam proses transformasi masyarakat (Jones, 2006:
45).
Bagi Spivak, penjelasan subaltern Gramsci terlempar keluar bersama
penjelasannya mengenai budaya selatan Italia, karena keinginannya membahas
persoalan makro yang dihadapi masyarakat Italia di bawah Fasisme Mussolini.
Gramsci tidak lagi memfokuskan kajiannya pada subaltern, tetapi berfokus ke
proses transformasi masyarakat yang diletakkan pada pundak kelas pekerja.
Spivak mengamati kritik paling radikal terhadap
cara berpikir esensialisme subjek datang dari Barat mulai tahun 1980-an. Tetapi
Spivak melihat berkembangnya teori Barat merupakan hasil dari keinginan mereka
untuk melestarikan subjek Barat, atau Barat sebagai subjek. Menurut Spivak,
dalam sejarah Eropa, subjek dinarasikan dalam hukum, ekonomi politik, dan
ideologi, tetapi telah menentukan geopolitik dan pengetahuan (Spivak, 2010:
22-23). Barat tetap menjadi sentral pengetahuan.
Derrida menyebut Eropa sentris
ilmu pengetahuan sebagai gejala krisis kesadaran Eropa akhir abad ke-17 sampai
abad ke-18 (Derrida, 1998: 75). Hal ini dikarenakan pengetahuan menyebabkan
kuasa. “It is not possible for power to
be exercised without knowledge, it is impossible for knowledge not to engender
power” (Foucault, 1977: 52). Kritik terhadap esensialis subjek Barat tetap
melahirkan kuasa Barat atas pengetahuan.
Afirmasi
Subjek Subaltern
Spivak kembali mengajukan pertanyaan ‘Can the Subaltern Speak?’. Menurut penulis,
Spivak mengabaikan usaha filsuf post-Marxis, misalnya Ernesto Laclau yang mendekonstruksi
subjek dalam Marxisme klasik. Bagi Laclau, subjek (S dengan huruf kapital)
telah mati bersamaan dengan lahirnya gerakan sosial baru yang mulai muncul tahun
1960-an. Matinya subjek absolut telah melahirkan multiplisitas identitas
politik dalam gerakan sosial (Laclau, 2007: 20-21).
Gagasan Laclau memberikan
pengakuan dan tempat kepada subaltern dalam diskursus gerakan sosial. Tetapi
Spivak mengkritiknya sebagai Eropa sentris, walaupun sebenarnya Laclau berasal
dari Argentina dan secara intelektual berkarya di Eropa.
Ia mencoba berpaling ke teks-teks Timur
untuk menemukan pengakuan bagi subaltern. Ia menemukan praktik dan teks yang
melarang perempuan untuk mempersembahkan dirinya [in the name of “God”] bersama kematian suaminya di India.
Namun
Spivak melihat penghapusan ritus pengorbanan perempuan (sati) oleh kolonial Inggris sebagai “white men saving brown women from brown men” (Spivak, 2010: 50). Ia
melihat ada kecenderungan masyarakat menggiring perempuan sebagai objek
perlindungan masyarakat. Bagi Spivak, hal tersebut merupakan strategi
masyarakat untuk tetap mengukuhkan patriarki di dalam kehidupan sosial.
Ia berpandangan bahwa pengakuan akan
identitas perempuan dalam perjalanannya penuh dengan kekerasan, dan figur
‘perempuan dunia ketiga’ yang terperangkap di antara tradisi dan modernitas,
antara kulturalisme dan pembangunan (Spivak, 2010: 61).
Spivak menghubungkan
refleksinya dengan “Can the Subaltern
Vote?” dan “Silencing Sycorax”. Can the Subaltern Vote? membahas tentang
posisi subaltern yang digeneralisasi dalam pemilihan umum di Nicaragua tahun
1990 (Medovoi, Raman and Robinson, 1990: 141). Sedangkan dalam Silencing Sycorax, perempuan subaltern
lebih berdaya dengan membangun pemahaman diri dan memiliki pilihan atas apa
yang ingin ia gunakan. “We have many
modes of (re)dress” (Busia, 1990: 104).
Esai Can
the Subaltern Speak? merupakan kritik terhadap pemikiran pasca-kolonial
yang masih membawa residu kolonial. Para pemikir Barat telah begitu lama mengabaikan
subaltern sebagai subjek politik otonom. Kalaupun kisah hidup dan perjuangan
mereka ditulis, maka mereka tetap dibingkai dalam upaya mengukuhkan budaya
partriarki. Spivak dalam wawancara dengan Mark Sanders tahun 2005 menjelaskan Can the Subaltern Speak? membahas perempuan
dan subaltern dari semua ras tentang bagaimana kehidupan seorang harus dijalani
(Sanders, 2006: 106).
Ia mengajak semua orang untuk mendengarkan suara mereka, bukan
melalui perantaraan orang lain. Hal ini juga menjadi refleksi bagi penanganan
kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuanlah yang didengar suaranya, bukan
suara-suara di sekitarnya.
Penutup
Can
the Subaltern Speak? merupakan esai yang ditulis dari
perjalanan aktivisme dan intelektual Spivak di India. Ia melihat bagaimana
perempuan tidak punya pilihan atas hidupnya. Bila perempuan subaltern
berbicara, tidak semua orang mau mendengarnya, termasuk para perempuan sendiri.
Ia memandang problem tersebut perlu diuraikan dan menjadi perhatian kaum
intelektual.
Ia mendalami filsafat Barat yang
menginspirasi gerakan sosial dan transformasi masyarakat. Tetapi Marxisme ortodoks
menempatkan semua keluarga yang tertindas ke dalam kelas. Marx tidak bekerja
menjelaskan relasi sosial di dalam kelas tertindas. Sedangkan Gramsci sebagai
pencetus istilah subaltern tidak cukup memberikan perhatian pada keadaan sosial
subaltern. Walaupun pengakuan terhadap pluralitas identitas subaltern muncul
dari para pemikir pascastrukturalis, tetapi Spivak berpandangan bahwa usaha
mereka tetap menjadikan Barat sebagai sentral pengetahuan.
Ia berpaling ke teks Timur untuk mencari
pengakuan pada subaltern. Tetapi teks Timur telah diinterpretasi dan didominasi
Barat. Ia berpendapat bahwa pengakuan terhadap subaltern dipenuhi dengan narasi
kekerasan dan pengabaian. Mereka telah terlalu lama terjebak dalam kungkungan
tradisi dan modernitas yang membuat mereka tidak memiliki otonomi atas hidupnya.
Sudah saatnya mendengarkan suara mereka, dan menghormati pilihan mereka,
apalagi di dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kepustakaan
Busia, Abena P.A. 1990. “Silencing Sycorax: On
African Colonial Discourse and the Unvoiced Female”. Cultural Critique. No. 14, pp. 81-104.
Derrida, Jacques. 1998. Of Grammatology. (Translated by Gayatri Chakravorty Spivak).
Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press.
Foucault, Michel. 1977. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977.
(Translated by Colin Gordon, Leo Marshall John Mepham, Kate Soper). New York:
Pantheon Books.
Gramsci, Antonio. 1994. Pre-Prison Writings. (Editors by Raymond Geuss and Quentin
Skinner). London: Cambridge University Press.
Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci. London & New York: Routledge.
Laclau, Ernesto. 2007. Emancipation (s). London & New York: Verso.
Marx, Karl. 1973. Surveys from Exile. (Introduction by David Fernbach). London: Penguin
Books with New Left Review.
Medovoi, Leerom., Shankar Raman and Benjamin
Robinson. 1990. “Can the Subaltern Vote?”. Socialist
Review, 20(3), pp. 134-149.
Riach, Graham. 2017. An Analysis of Gayatri Chakravorty Spivak’s Can the Subaltern Speak?.
London & New York: Routledge.
Sanders, Mark. 2006. Gayatri Chakravorty Spivak: Live Theory. New York: Continuum.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 1985. “The Rani of Sirmur:
An Essay in Reading the Archives”. History
and Theory, 24(3), pp. 247-272.
_____. 2010. “Can the Subaltern Speak?” in Reflection on the History of an Idea: Can
the Subaltern Speak? (Edited by Rosalind C. Morris). New York: Colombia
University Press.