Rabu, 23 November 2022

Wawancara Represifitas Pemerintah Guna Kelancaran Pembangunan, Bagaimana Pengawalan Advokasi yang Dilakukan?

"Saya berharap, aparat keamanan bisa mengevaluasi diri supaya tidak lagi menggunakan kekerasan saat berhadapan dengan masyarakat, karena aparat keamanan dapat beroperasi menggunakan dana publik, yaitu dari uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat". 

Wawancara yang diterbitkan oleh Majalah Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta, September 2022.

Silahkan baca lebih lanjut dalam https://drive.google.com/file/d/19KOREnDCTUcXSBJFWOtwqZlUdCQ5R3n2/view?usp=share_link

Selasa, 20 September 2022

Tugu Ngejaman: Sign of Power and Reminder of Time in Yogyakarta

 Abstract

Tugu Ngejaman or Stadsklok is a monument to commemorate a century of the return of Java to the Dutch colonial rule in 1916. This story begins with the French conquest of the Netherlands in January 1795 which led to the conquest of Java in 1808-1811. But France finally lost the war against Russia in 1814, so the Netherlands negotiated with Britain over its colonies. The British and the Dutch managed to reach an agreement to cede Java to the Dutch, while the British took control of Malacca in 1816. In this paper, I trace the history of the establishment of the Ngejaman monument, the meaning of the Ngejaman monument for the Dutch population in Yogyakarta, and the reasons for maintaining the Ngejaman monument today. I use Walter Benjamin's perspective on aura to explore the relationship between monuments and history and the technological revolution. The data in this paper comes from archival documents and existing scholarly literature, interviews, as well as field observations that elucidate the Ngejaman monument and the activities of the surrounding community. This study finds that the construction of the Ngejaman monument was related to the markers of Dutch colonial power in Yogyakarta and the "revolution of time" in the modern society. However, the Yogyakarta City Government maintains the Ngejaman monument without providing a narrative about the history of the monument's establishment in Malioboro. The government ignores historical literacy in tourism development in the Special Region of Yogyakarta, even when the importance of preserving the Ngejaman monument lies in its being a marker of the introduction of time as a regulator of modern human activity in Yogyakarta and a reminder that liberation has not necessarily meant freedom for all.

Keywords: Ngejaman monument; Malioboro; time; power; Dutch colonialism; Yogyakarta

Silahkan baca lebih lanjut di tautan berikut https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik/article/view/4850




Rabu, 14 September 2022

Eksistensi dan Problematika Agama Kaharingan di Kalimantan

Abstract

Kaharingan is a local religion embraced by the Dayak tribe on the island of Borneo. This belief is believed to have existed before major religions such as Hinduism, Buddhism, or Islam appeared in the Nusantara. Structurally, in 1980 the Indonesian government included Kaharingan as part of Hinduism. In fact, there are many differences between teaching and worship. This was done so that the Dayak tribe could have easy access to the state's civil registration, considering that at that time President Suharto only recognized five official religions. This research uses a literature review method, including reviewing sources from books, news portals, and state legislation texts. The results of this study indicate that the Kaharingan religion has become a deep-rooted identity for the Dayak Tribe. Therefore, their entry into the Hindu religious group certainly creates many problems, both internally and externally. On the other hand, at the organizational level of the Hindu association itself, followers of the Kaharingan religion tend not to get a place. Important positions in Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) are dominated by Balinese Hindus. Moreover, now the state has officially recognized that local religious adherents are allowed to register their beliefs in state civil documents. As a result, in 2018, the Kaharingan Religious Council complained to Komnas HAM to fight for it to become an autonomous religion separate from Hinduism.

Silahkan baca lebih lanjut dalam jurnal Religi: Jurnal Studi Agama-Agama di tautan https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/view/1702-06

Selasa, 06 September 2022

Spivak dan Suara Subaltern

Gayatri Chakravorty Spivak (Sumber: Wikiwand.com)
 

Beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan. Banyak orang marah dengan peristiwa tersebut dan menuntut keadilan bagi korban. Lalu muncul kasus baru dari pemimpin agama terhadap jemaatnya. Respon kemarahan juga muncul dari banyak pihak.

Pertanyaannya ialah mengapa kasus kekerasan seksual terus terjadi? Dari beberapa kajian mengenai kekerasan terhadap perempuan, tidak banyak yang memfokuskan diri pada pengabaian teori progresif terhadap suara perempuan. Salah satu pemikir perempuan yang cukup keras mengkritik teori-teori progresif ialah Gayatri Chakravorty Spivak yang lahir di Kalkuta, India pada 24 Februari 1942.

Ia mempelajari teori secara komparatif, dan menjadi seorang kritikus feminis yang menaruh perhatian pada perempuan dan subaltern (penduduk asli dan individu tertindas). Ia mengkritik para pemikir Barat yang berhasil merumuskan konsep emansipasi kelas tertindas tetapi abai pada suara perempuan subaltern dalam karya ilmiah mereka. Esai Spivak yang cukup keras mengkritik para pemikir Barat berjudul “Can the Subaltern Speak?” yang terbit pertama kali tahun 1988. 

 

Pengabaian Marxisme terhadap Subaltern

Spivak memulai tulisannya dengan bercerita tentang Rani Gulari yang bergabung dalam gerakan anti-kolonial di India. Gulari hanya dipanggil bila diperlukan sebagai agen/saksi/alat anti-kolonialisme. Spivak menulis “the woman in this section tried to be decisive in extremis, yet lost herself in the undecidable womanspace of justice. She ‘spoke’, but women did not, do not, ‘hear’ her” (Spivak, 2010: 22). Ia melihat ada kejanggalan, karena perempuan tertindas tidak memiliki ruang untuk berbicara. Bila mereka bicara, maka tidak ada orang yang mendengarkan mereka, termasuk sesama perempuan.

Spivak dalam The Rani of Sirmur: an Essay in Reading the Archives (1985) mengutip Dominick LaCapra yang menulis “urges the intellectual historian to learn of developments in ... literary criticism and philosophy” (Spivak 1985: 249). Ia mendesak kaum intelektual untuk mempelajari perkembangan pengetahuan di dalam kritik sastra dan filsafat untuk menguraikan subaltern dan memberikan tempat bagi mereka.

Filsafat Barat yang menginspirasi gerakan sosial seperti Marxisme tidak memberi tempat bagi subaltern. Karl Marx dalam Surveys from Exile menjelaskan keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi tertindas membentuk kelas. “In so far as millions of families live under economic conditions of existence that cut off their mode of life, their interest, and their formation from those of the other classes and place them in inimical confrontation [feindlich gegenüberstellen], they form a class” (Marx, 1973: 239). 

Spivak mengkritik subjek dalam Marxis yang terisolasi di dalam kelas. Ia memandang Marx tidak bekerja untuk menciptakan sesuatu di dalam kelas tertindas. Padahal dalam keluarga tidak semua orang didengar suaranya, terlebih kaum perempuan. Bagi Spivak, “Marx is obliged to construct models of a divided and dislocated subject whose parts are not continuous or coherent with each other” (Spivak, 2010: 29).

Spivak juga mengkritik Antonio Gramsci, seorang Marxisme Italia yang menaruh perhatian pada peran intelektual dalam gerakan budaya dan politik subaltern ke dalam teori hegemoni. Gramsci dalam The Southern Question membahas tentang subordinasi Italia selatan dari wilayah utara secara politik, ekonomi dan budaya. Ia berpendapat perlu adanya transformasi politik untuk mereformasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (Geuss and Skinner, 1994: xi-xii). Tetapi Gramsci menempatkan kelas pekerja sebagai pemimpin dalam proses transformasi masyarakat (Jones, 2006: 45). 

Bagi Spivak, penjelasan subaltern Gramsci terlempar keluar bersama penjelasannya mengenai budaya selatan Italia, karena keinginannya membahas persoalan makro yang dihadapi masyarakat Italia di bawah Fasisme Mussolini. Gramsci tidak lagi memfokuskan kajiannya pada subaltern, tetapi berfokus ke proses transformasi masyarakat yang diletakkan pada pundak kelas pekerja.

Spivak mengamati kritik paling radikal terhadap cara berpikir esensialisme subjek datang dari Barat mulai tahun 1980-an. Tetapi Spivak melihat berkembangnya teori Barat merupakan hasil dari keinginan mereka untuk melestarikan subjek Barat, atau Barat sebagai subjek. Menurut Spivak, dalam sejarah Eropa, subjek dinarasikan dalam hukum, ekonomi politik, dan ideologi, tetapi telah menentukan geopolitik dan pengetahuan (Spivak, 2010: 22-23). Barat tetap menjadi sentral pengetahuan. 

Derrida menyebut Eropa sentris ilmu pengetahuan sebagai gejala krisis kesadaran Eropa akhir abad ke-17 sampai abad ke-18 (Derrida, 1998: 75). Hal ini dikarenakan pengetahuan menyebabkan kuasa. “It is not possible for power to be exercised without knowledge, it is impossible for knowledge not to engender power” (Foucault, 1977: 52). Kritik terhadap esensialis subjek Barat tetap melahirkan kuasa Barat atas pengetahuan. 

 

Afirmasi Subjek Subaltern

Spivak kembali mengajukan pertanyaan ‘Can the Subaltern Speak?’. Menurut penulis, Spivak mengabaikan usaha filsuf post-Marxis, misalnya Ernesto Laclau yang mendekonstruksi subjek dalam Marxisme klasik. Bagi Laclau, subjek (S dengan huruf kapital) telah mati bersamaan dengan lahirnya gerakan sosial baru yang mulai muncul tahun 1960-an. Matinya subjek absolut telah melahirkan multiplisitas identitas politik dalam gerakan sosial (Laclau, 2007: 20-21). 

Gagasan Laclau memberikan pengakuan dan tempat kepada subaltern dalam diskursus gerakan sosial. Tetapi Spivak mengkritiknya sebagai Eropa sentris, walaupun sebenarnya Laclau berasal dari Argentina dan secara intelektual berkarya di Eropa.

Ia mencoba berpaling ke teks-teks Timur untuk menemukan pengakuan bagi subaltern. Ia menemukan praktik dan teks yang melarang perempuan untuk mempersembahkan dirinya [in the name of “God”] bersama kematian suaminya di India. 

Namun Spivak melihat penghapusan ritus pengorbanan perempuan (sati) oleh kolonial Inggris sebagai “white men saving brown women from brown men” (Spivak, 2010: 50). Ia melihat ada kecenderungan masyarakat menggiring perempuan sebagai objek perlindungan masyarakat. Bagi Spivak, hal tersebut merupakan strategi masyarakat untuk tetap mengukuhkan patriarki di dalam kehidupan sosial.

Ia berpandangan bahwa pengakuan akan identitas perempuan dalam perjalanannya penuh dengan kekerasan, dan figur ‘perempuan dunia ketiga’ yang terperangkap di antara tradisi dan modernitas, antara kulturalisme dan pembangunan (Spivak, 2010: 61). 

Spivak menghubungkan refleksinya dengan “Can the Subaltern Vote?” dan “Silencing Sycorax”. Can the Subaltern Vote? membahas tentang posisi subaltern yang digeneralisasi dalam pemilihan umum di Nicaragua tahun 1990 (Medovoi, Raman and Robinson, 1990: 141). Sedangkan dalam Silencing Sycorax, perempuan subaltern lebih berdaya dengan membangun pemahaman diri dan memiliki pilihan atas apa yang ingin ia gunakan. “We have many modes of (re)dress” (Busia, 1990: 104).

Esai Can the Subaltern Speak? merupakan kritik terhadap pemikiran pasca-kolonial yang masih membawa residu kolonial. Para pemikir Barat telah begitu lama mengabaikan subaltern sebagai subjek politik otonom. Kalaupun kisah hidup dan perjuangan mereka ditulis, maka mereka tetap dibingkai dalam upaya mengukuhkan budaya partriarki. Spivak dalam wawancara dengan Mark Sanders tahun 2005 menjelaskan Can the Subaltern Speak? membahas perempuan dan subaltern dari semua ras tentang bagaimana kehidupan seorang harus dijalani (Sanders, 2006: 106). 

Ia mengajak semua orang untuk mendengarkan suara mereka, bukan melalui perantaraan orang lain. Hal ini juga menjadi refleksi bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuanlah yang didengar suaranya, bukan suara-suara di sekitarnya. 

 

Penutup

Can the Subaltern Speak? merupakan esai yang ditulis dari perjalanan aktivisme dan intelektual Spivak di India. Ia melihat bagaimana perempuan tidak punya pilihan atas hidupnya. Bila perempuan subaltern berbicara, tidak semua orang mau mendengarnya, termasuk para perempuan sendiri. Ia memandang problem tersebut perlu diuraikan dan menjadi perhatian kaum intelektual.

Ia mendalami filsafat Barat yang menginspirasi gerakan sosial dan transformasi masyarakat. Tetapi Marxisme ortodoks menempatkan semua keluarga yang tertindas ke dalam kelas. Marx tidak bekerja menjelaskan relasi sosial di dalam kelas tertindas. Sedangkan Gramsci sebagai pencetus istilah subaltern tidak cukup memberikan perhatian pada keadaan sosial subaltern. Walaupun pengakuan terhadap pluralitas identitas subaltern muncul dari para pemikir pascastrukturalis, tetapi Spivak berpandangan bahwa usaha mereka tetap menjadikan Barat sebagai sentral pengetahuan.

Ia berpaling ke teks Timur untuk mencari pengakuan pada subaltern. Tetapi teks Timur telah diinterpretasi dan didominasi Barat. Ia berpendapat bahwa pengakuan terhadap subaltern dipenuhi dengan narasi kekerasan dan pengabaian. Mereka telah terlalu lama terjebak dalam kungkungan tradisi dan modernitas yang membuat mereka tidak memiliki otonomi atas hidupnya. Sudah saatnya mendengarkan suara mereka, dan menghormati pilihan mereka, apalagi di dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

 

Kepustakaan

Busia, Abena P.A. 1990. “Silencing Sycorax: On African Colonial Discourse and the Unvoiced Female”. Cultural Critique. No. 14, pp. 81-104.

Derrida, Jacques. 1998. Of Grammatology. (Translated by Gayatri Chakravorty Spivak). Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press.

Foucault, Michel. 1977. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. (Translated by Colin Gordon, Leo Marshall John Mepham, Kate Soper). New York: Pantheon Books.

Gramsci, Antonio. 1994. Pre-Prison Writings. (Editors by Raymond Geuss and Quentin Skinner). London: Cambridge University Press.

Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci. London & New York: Routledge.

Laclau, Ernesto. 2007. Emancipation (s). London & New York: Verso.

Marx, Karl. 1973. Surveys from Exile. (Introduction by David Fernbach). London: Penguin Books with New Left Review.

Medovoi, Leerom., Shankar Raman and Benjamin Robinson. 1990. “Can the Subaltern Vote?”. Socialist Review, 20(3), pp. 134-149.

Riach, Graham. 2017. An Analysis of Gayatri Chakravorty Spivak’s Can the Subaltern Speak?. London & New York: Routledge.

Sanders, Mark. 2006. Gayatri Chakravorty Spivak: Live Theory. New York: Continuum.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1985. “The Rani of Sirmur: An Essay in Reading the Archives”. History and Theory, 24(3), pp. 247-272.

_____. 2010. “Can the Subaltern Speak?” in Reflection on the History of an Idea: Can the Subaltern Speak? (Edited by Rosalind C. Morris). New York: Colombia University Press.