(berdiri di piggir
papan penunjuk arah Sui Utik)
Pada suatu kesempatan
yang baik ditanggal 18 Juni sampai 5 Juli 2018 diriku berkunjung ke Sungai (Sui) Utik
yang terletak di jalur lintas Putussibau menuju Badau, wilayah yang berbatasan
langsung dengan Lubok Antu, Malaysia. Capeknya perjalanan yang memakan waktu 18
jam dari Kota Pontianak ke Kapuas Hulu dan 1 jam 40 menit dari Putussibau ke
Sui Utik terbayar saat memasuki kampung Sungai Utik. Ya, capek itu terbayar
karena untuk pertama kalinya diriku melihat rumah betang yang masih dihuni oleh
masyarakat. Belum lagi mereka masih memegang teguh budaya dan kesenian tato yang
menghiasi sekujur tubuhnya.
Di tangga rumah
betang diriku dibuat kagum dengan panjang dan keaslian arsitekturnya. Rumah betang tersebut sepanjang 214 meter dengan 28 bilik yang sudah dilindungi oleh Dinas Cagar
Budaya Kabupaten Kapuas Hulu pada tahun 1998. Setelah naik ke rumah betang
diriku diajak Herkulanus Edmundus menyalami warga yang ada di ruai. Salah satu
warga yang aku salami ialah Apai Janggut yang terlahir dengan nama Bandi dari ayah
bernama Ragai dan ibu bernama Lendak.
(bersama Apai Janggut
ditepian Sungai Utik)
Beliau adalah tuai
rumah Sungai Utik yang menjabat setelah ayahnya meninggal tahun 1982. Dikepemimpinan
ayah dan dirinya, Sungai Utik berhasil menjaga wilayah seluas 9.453.53 Ha dari
rakusnya perusahaan kayu (illegal logging) dan perusahaan sawit.
Lalu diriku bertanya
apa yang membuat mereka tidak menjual hutannya padahal kampung-kampung di
sekitar Sungai Utik menikmati hasil kayu yang terjual ke perusahaan berupa
perbaikan fasilitas kampung dan dialiri listrik? Lalu aku menemukan jawabannya
dari pengajaran yang aku terima bersama Apai Janggut. Beliau menyebutkan bahwa “bumi
adalah ibu kita, dari bumi semuanya ada dan kehidupan tercukupi”. Ya, filosofi
kehidupan masyarakat Dayak Iban telah menuntun mereka untuk selalu menjaga
bumi.
Kebijaksanaan lokal ini
membuat masyarakat Sungai Utik berhasil menjaga salah satu paru-paru dunia. Aktivitas
harian warga Sungai Utik berladang. Ladang bergilir adalah pencaharian utama
warganya. Tentu tidak semua hutan boleh dijadikan ladang karena ada hutan yang
harus tetap utuh yang disebut rimba, ada hutan tembawang dan hutan tengkawang. Maka
tidak relevan tuduhan bahwa masyarakat peladang sebagai penyebab kebakaran
hutan karena mereka punya kebijaksanaan dalam berladang dan tidak sembarangan. “Tanpa
ladang, adat istiadat masyarakat Dayak kami (Iban) akan musnah” ucap Maryetha
Samay.
Pulang dari ladang,
masyarakat mandi di sungai Utik yang mengalir dari Bukit Tugu Jawa ke sungai
Cemaru lalu bermuara di sungai Kapuas. Air sungainya masih jernih dan ikannya
masih banyak karena masyarakat hanya boleh mengambil secukupnya untuk dimakan. Selesai
mandi warga bisa mengkonsumsi air minum yang dialirkan dari sungai Nangsang. Proses
pengambilan airnya menggunakan bendungan (2011) lalu dialirkan melalui pipa ke
bilik-bilik warga.
Begitu damai dan
harmoninya warga Sungai Utik dengan alam membuat betang, hutan dan budaya
terpelihara. Bentuk penjalanan terhadap budaya juga dipraktekkan dalam kesenian
dan anyaman. Kesenian tato dengan berbagai motif seperti bunga tengkawang, bunga
terong, bilon betis, swet, ketam, itik, ketam cukong, kelingai, telingai paha, buah
andu, ukir deguk dan tegulun. Sedangkan anyaman seperti tas, tikar dan keranjang.
Selain itu masih ada tenun dengan berbagai jenis seperti tenun kebat, tenun
pileh amat, tenun pileh slam, tenun sumpit, tenun sidan dan tenun subak. Semua kesenian
dan anyaman menggambarkan relasi antara manusia, alam dan orang
pangau/khayangan yang harmonis.
Beberapa hari di Sungai
Utik diriku diajak Apai Janggut tracking ke hutan. Perjalanannya ditemani oleh
salah satu fasilitator desa PT. Hatfild Indonesia dan kunyuk yang memakan waktu
4 jam. Di perjalanan diriku melihat berbagai jenis pohon. Pohon-pohon tersebut
merupakan pohon khas hutan tropis Indonesia. Maka tidak pas rasanya kalau tidak
berfoto ria sambil melepas penatnya perjalanan. Di hutan Apai Janggut banyak
memberi pelajaran kepada kami mengenai tanaman yang bisa dijadikan obat maupun
pribahasa-pribahasa kehidupan. Wajahnya yang selalu ceria membuat dirinya
kelihatan tidak lelah walaupun sudah berumur 80an tahun. Tentu berbeda dengan
kami yang masih muda dan sok kekotaan, baru jalan beberapa kilo meter sudah
kecapean, heheheeee.
(beraninya memeluk
pohon kayu aja)
Perjalanan kami
menikmati hutan berakhir di pontok ngetu yang dibangun oleh warga di tepian
sungai Utik. Wah, makan sambil menghadap ke sungai yang ditemani dengan
gemericik suara air membuat perbekalan ludes dilahap. Maklum perjalanan jauh
juga membuat perut terasa laper dan haus. Niat mau mandi pun diurungkan karena
tidak membawa pakaian ganti. Taukan kalau semuanya basah, pasti lecet tuh
selangkangannya. Jadi nggak enak dibawa jalan. Keinginan mandi di sungai Utik
aku tuntaskan setelah pulang dari pondok ngetu.
Di betang, aku melihat
masyarakat melakukan ritual adat di salib pertanian, menerima tamu dan “ngansur
keduran, pansut ke tanjok sama bedarak jari”. Sungguh ini pengalaman yang luar
biasa. Warga Sui Utik juga ramah. Apalagi kalau mereka tahu kita dari kultur
yang sama, Dayak, wah pasti diajak “rapat”. Rapat adalah istilah untuk
bersosialisasi di dapur sambil minum tuak/bram sebagai obat lelah dan penyegar
bercerita. Ceritanya apa saja boleh asal tahu tata krama dan sopan santun. Kalau
tidak bisa kena adat salah basa lho. Tapi mereka sangat ramah, bahkan anak-anak
juga ramah sama tamu yang mau main sama mereka. Contohnya aku ini yang sering
diajak anak-anak bermain.
(bersama generasi masa
depan Sui Utik)
Di bulan Juni
masyarakat Iban mengadakan gawa’ atau acara pesta syukur ke petara karena
memberkati bumi dan membuat hasil panen berlimpah. Acara gawai yang
paling seru ketika ngetas pintu (gedor pintu). Acara ngetas pintu dilakukan
setelah penyambutan tamu di betang bagian hilir lalu menuju ke ruai tuai rumah.
Setelah acara di ruai tuai rumah para anak muda dipimpin oleh satu orang yang
menggunakan pakaian adat dengan mandau di pinggangnya mengetas pintu (mengedor
pintu) bilik rumah betang dari bilik hilir ke hulu. Di depan pintu bilik yang
digedor para pengetas pintu dikasi tuak masing-masing setengah gelas. Kebayangkan
kalau jumlah biliknya lebih dari 20 dan ditambah rumah pisah? Pasti teleeerrr....
(bersama Herkulanus
Edmundus angkat gelas)
Pengalaman dan kebersamaan di Sungai Utik memang tidak pernah terlupakan. Pengalaman semuanya, baik bersama warga dan anak-anak, jalan ke hutan, belajar kebijaksanaan lokalnya, menghadiri ritual adat sampai “rapat” dan ikut gawainya. Heheeeeee...
Semoga aku bisa ke Utik
lagi.