Senin, 02 Juli 2018

Kisahku di Sungai Utik

                                              (berdiri di piggir papan penunjuk arah Sui Utik)

Pada suatu kesempatan yang baik ditanggal 18 Juni sampai 5 Juli 2018 diriku berkunjung ke Sungai  (Sui) Utik yang terletak di jalur lintas Putussibau menuju Badau, wilayah yang berbatasan langsung dengan Lubok Antu, Malaysia. Capeknya perjalanan yang memakan waktu 18 jam dari Kota Pontianak ke Kapuas Hulu dan 1 jam 40 menit dari Putussibau ke Sui Utik terbayar saat memasuki kampung Sungai Utik. Ya, capek itu terbayar karena untuk pertama kalinya diriku melihat rumah betang yang masih dihuni oleh masyarakat. Belum lagi mereka masih memegang teguh budaya dan kesenian tato yang menghiasi sekujur tubuhnya.

Di tangga rumah betang diriku dibuat kagum dengan panjang dan keaslian arsitekturnya. Rumah betang tersebut sepanjang 214 meter dengan 28 bilik yang sudah dilindungi oleh Dinas Cagar Budaya Kabupaten Kapuas Hulu pada tahun 1998. Setelah naik ke rumah betang diriku diajak Herkulanus Edmundus menyalami warga yang ada di ruai. Salah satu warga yang aku salami ialah Apai Janggut yang terlahir dengan nama Bandi dari ayah bernama Ragai dan ibu bernama Lendak.


                                                 (bersama Apai Janggut ditepian Sungai Utik)

Beliau adalah tuai rumah Sungai Utik yang menjabat setelah ayahnya meninggal tahun 1982. Dikepemimpinan ayah dan dirinya, Sungai Utik berhasil menjaga wilayah seluas 9.453.53 Ha dari rakusnya perusahaan kayu (illegal logging) dan perusahaan sawit.

Lalu diriku bertanya apa yang membuat mereka tidak menjual hutannya padahal kampung-kampung di sekitar Sungai Utik menikmati hasil kayu yang terjual ke perusahaan berupa perbaikan fasilitas kampung dan dialiri listrik? Lalu aku menemukan jawabannya dari pengajaran yang aku terima bersama Apai Janggut. Beliau menyebutkan bahwa “bumi adalah ibu kita, dari bumi semuanya ada dan kehidupan tercukupi”. Ya, filosofi kehidupan masyarakat Dayak Iban telah menuntun mereka untuk selalu menjaga bumi.

Kebijaksanaan lokal ini membuat masyarakat Sungai Utik berhasil menjaga salah satu paru-paru dunia. Aktivitas harian warga Sungai Utik berladang. Ladang bergilir adalah pencaharian utama warganya. Tentu tidak semua hutan boleh dijadikan ladang karena ada hutan yang harus tetap utuh yang disebut rimba, ada hutan tembawang dan hutan tengkawang. Maka tidak relevan tuduhan bahwa masyarakat peladang sebagai penyebab kebakaran hutan karena mereka punya kebijaksanaan dalam berladang dan tidak sembarangan. “Tanpa ladang, adat istiadat masyarakat Dayak kami (Iban) akan musnah” ucap Maryetha Samay.

Pulang dari ladang, masyarakat mandi di sungai Utik yang mengalir dari Bukit Tugu Jawa ke sungai Cemaru lalu bermuara di sungai Kapuas. Air sungainya masih jernih dan ikannya masih banyak karena masyarakat hanya boleh mengambil secukupnya untuk dimakan. Selesai mandi warga bisa mengkonsumsi air minum yang dialirkan dari sungai Nangsang. Proses pengambilan airnya menggunakan bendungan (2011) lalu dialirkan melalui pipa ke bilik-bilik warga.

                                                            (anyaman tas dari rotan)

Begitu damai dan harmoninya warga Sungai Utik dengan alam membuat betang, hutan dan budaya terpelihara. Bentuk penjalanan terhadap budaya juga dipraktekkan dalam kesenian dan anyaman. Kesenian tato dengan berbagai motif seperti bunga tengkawang, bunga terong, bilon betis, swet, ketam, itik, ketam cukong, kelingai, telingai paha, buah andu, ukir deguk dan tegulun. Sedangkan anyaman seperti tas, tikar dan keranjang. Selain itu masih ada tenun dengan berbagai jenis seperti tenun kebat, tenun pileh amat, tenun pileh slam, tenun sumpit, tenun sidan dan tenun subak. Semua kesenian dan anyaman menggambarkan relasi antara manusia, alam dan orang pangau/khayangan yang harmonis.

Beberapa hari di Sungai Utik diriku diajak Apai Janggut tracking ke hutan. Perjalanannya ditemani oleh salah satu fasilitator desa PT. Hatfild Indonesia dan kunyuk yang memakan waktu 4 jam. Di perjalanan diriku melihat berbagai jenis pohon. Pohon-pohon tersebut merupakan pohon khas hutan tropis Indonesia. Maka tidak pas rasanya kalau tidak berfoto ria sambil melepas penatnya perjalanan. Di hutan Apai Janggut banyak memberi pelajaran kepada kami mengenai tanaman yang bisa dijadikan obat maupun pribahasa-pribahasa kehidupan. Wajahnya yang selalu ceria membuat dirinya kelihatan tidak lelah walaupun sudah berumur 80an tahun. Tentu berbeda dengan kami yang masih muda dan sok kekotaan, baru jalan beberapa kilo meter sudah kecapean, heheheeee.

                                                           (beraninya memeluk pohon kayu aja)

Perjalanan kami menikmati hutan berakhir di pontok ngetu yang dibangun oleh warga di tepian sungai Utik. Wah, makan sambil menghadap ke sungai yang ditemani dengan gemericik suara air membuat perbekalan ludes dilahap. Maklum perjalanan jauh juga membuat perut terasa laper dan haus. Niat mau mandi pun diurungkan karena tidak membawa pakaian ganti. Taukan kalau semuanya basah, pasti lecet tuh selangkangannya. Jadi nggak enak dibawa jalan. Keinginan mandi di sungai Utik aku tuntaskan setelah pulang dari pondok ngetu.

Di betang, aku melihat masyarakat melakukan ritual adat di salib pertanian, menerima tamu dan “ngansur keduran, pansut ke tanjok sama bedarak jari”. Sungguh ini pengalaman yang luar biasa. Warga Sui Utik juga ramah. Apalagi kalau mereka tahu kita dari kultur yang sama, Dayak, wah pasti diajak “rapat”. Rapat adalah istilah untuk bersosialisasi di dapur sambil minum tuak/bram sebagai obat lelah dan penyegar bercerita. Ceritanya apa saja boleh asal tahu tata krama dan sopan santun. Kalau tidak bisa kena adat salah basa lho. Tapi mereka sangat ramah, bahkan anak-anak juga ramah sama tamu yang mau main sama mereka. Contohnya aku ini yang sering diajak anak-anak bermain.

                                                  (bersama generasi masa depan Sui Utik)

Di bulan Juni masyarakat Iban mengadakan gawa’ atau acara pesta syukur ke petara karena memberkati bumi dan membuat hasil panen berlimpah. Acara gawai yang paling seru ketika ngetas pintu (gedor pintu). Acara ngetas pintu dilakukan setelah penyambutan tamu di betang bagian hilir lalu menuju ke ruai tuai rumah. Setelah acara di ruai tuai rumah para anak muda dipimpin oleh satu orang yang menggunakan pakaian adat dengan mandau di pinggangnya mengetas pintu (mengedor pintu) bilik rumah betang dari bilik hilir ke hulu. Di depan pintu bilik yang digedor para pengetas pintu dikasi tuak masing-masing setengah gelas. Kebayangkan kalau jumlah biliknya lebih dari 20 dan ditambah rumah pisah? Pasti teleeerrr....


                                                      (bersama Herkulanus Edmundus angkat gelas)

Pengalaman dan kebersamaan di Sungai Utik memang tidak pernah terlupakan. Pengalaman semuanya, baik bersama warga dan anak-anak, jalan ke hutan, belajar kebijaksanaan lokalnya, menghadiri ritual adat sampai “rapat” dan ikut gawainya. Heheeeeee...

Semoga aku bisa ke Utik lagi.