Suku Dayak adalah
sebuah entitas masyarakat yang mendiami Pulau Kalimantan. Dari sekian banyak
entitas masyarakat Dayak yang ada, terdapat satu kelompok masyarakat yang
disebut masyarakat Dayak Jawatn. Namun sebelum membahas mengenai masyarakat
Dayak Jawatn, penulis akan terlebih dahulu membahas sedikit menganai penyebutan
nama pulau yang didiami oleh masyarakat, karena ada beberapa nama yang
digunakan untuk menyebut pulau tersebut. Selain itu, penulis juga akan sedikit
membahas mengenai penyebutan kata “Dayak” yang digunakan untuk menamai sebuah
entitas masyarakat yang mendiami Pulau Kalimantan.
(Kampung desa Boti dalam maps)
Borneo atau Kalimantan?
Ada beberapa penamaan
yang digunakan untuk menyebut sebuah pulau nomor dua (luasnya 746.305 km
sedangkan Papua 808.510 km)[1] terbesar
di Indonesia. Ada yang menyebutnya Borneo, Kalimantan, Tanjung Nagara, Pulau
Hujung Tanah dan Pulau Bagawan Bawi Lawu Telo atau Negeri Tempat Tiga Putri.
Penyebutan nama
“Borneo” dipelopori oleh bangsa kolonial yang menjelajahi daerah
tersebut. Penggunaan nama Borneo pada waktu itu merujuk pada kerajaan Bruni
atau sekarang disebut Brunei. Sedangkan nama Bruni sendiri mungkin berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti “Tanah” atau “Daerah”. Nama Brunilah yang
menjadi cikal bakal penyebutan nama Borneo untuk seluruh Pulau Kalimantan. Agar
tidak rancu dengan penyebutan kerajaan Bruni, maka kerajaan ini oleh Belanda
diberi nama “Borneo Proper” atau “Borneo Asli”.[2]
Sedangkan penduduk
asli yang mendiami Pulau Kalimantan menyebut daerah mereka berdasarkan pada
wilayah kerajaan. P.J. Veth[3] (1854)
menulis bahwa penduduk Dayak dan Melayu sudah menggunakan nama “Kalimantan”
untuk menyebut wilayahnya. Namun pada waktu itu lebih dikenal penyebutan “Tanah
Kalimantan”, bukan “Pulau Kalimantan” karena penduduk aslinya hanya mengenal
wilayah tempat tinggal mereka. Mereka belum banyak mengetahui daerah yang
mereka diami berbentuk pulau. Walaupun para penduduk di daerah pantai yang
berprofesi sebagai nelayan dan pelaut sudah mengetahui bentuk wilayah mereka
kepulauan.[4]
Sedangkan penyebutan
Tanjung Negara berasal dari kerajaan Majapahit. Kalau penyebutan Pulau Hujung
Tanah dan Begawan Bawi Lawu Telu atau Negeri Tempat Tiga Putri berasal dari
catatan yang dibuat oleh Tjilik Riwut. Kalau ditanya
penyebutan mana yang pas untuk Kalimantan, penulis lebih cenderung menggunakan
pada Kalimantan karena warga lebih familiar dengan nama itu, sedangkan Borneo
dibuat oleh bangsa kolonial.
Dayak
Sebelum membahas
mengenai penggunaan kata “Dayak”[6] untuk
menyebut penduduk lokal non-muslim yang mendiami Pulau Kalimantan, penulis akan
menyajikan persoalan identifikasi etnis dalam studi etnografi. Rousseau (1990)
dalam studinya menjelaskan bahwa sangat sulit mengidentifikasikan unit-unit
etnis karena kelompok dengan nama yang sama bisa jadi bertutur dengan bahasa
yang berbeda, sedangkan kelompok dengan nama yang berbeda tampak menjadi
identik. Masyarakat menggunakan idiom kategori etnis untuk menjelaskan
realitas-realitas politik. Viktor T. King[7] menjelaskan
lebih terperinci gagasan Rousseau tersebut. Ia mencontohkan istilah “Dayak”
yang awalnya berkonotasi buruk dan diperdebatkan namun digunakan untuk menyebut
masyarakat di pedalaman dan di hulu sungai. Istilah tersebut malah diadopsi
oleh para administrator kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut masyarakat
di pedalaman Kalimantan.[8]
Studi etnografi
nampaknya memang perlu didukung oleh disiplin ilmu antropologi, linguistik,
arkeologi dan sosiologi agar dapat memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif. Begitu juga dalam memahami Suku Dayak, tanpa adanya studi yang
komprehensif sangat sulit mendapatkan penjelasan yang utuh. Seperti halnya
perdebatan mengenai sebutan “Dayak” untuk penduduk asli non-muslim.
Sebutan masyarakat pedalaman non-muslim yang mendiami wilayah Kalimantan ada
beberapa yaitu Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker dan Dayak.
Dari semua kata yang digunakan ada kesamaan dalam pengertian yang lebih umum
yaitu untuk menyebut masyarakat asli non-muslim yang tinggal di daerah
pegunungan, dataran tinggi dan di hulu-hulu sungai.[9] Tetapi
ada sumber lain juga yang menyebutkan bahwa “Dayak” berasal dari dayaka (bahasa
Kawi) yang berarti suka memberi. Pengertian ini mungkin didasarkan pada sifat
orang Dayak yang suka memberi apa saja seperti, ayam, makanan, dan lain-lain
kepada para pendatang. Sementara ada yang menyebutkan bahwa Dayak berasal dari
istilah daya yang berarti kekuatan.[10]
Dari semua pengertian
yang ada bisa ditarik kesimpulan umum bahwa penggunaan istilah Dayak adalah
untuk menyebut kelompok masyarakat lokal non-muslim yang mendiami Pulau
Kalimantan. Mereka memiliki sifat yang suka memberi dan mempunyai kekuatan.
Pada tahun 1992 pernah diadakan Expo Budaya Dayak di
Pontianak untuk menyepakati kata “Dayak” sebagai kata yang digunakan dalam
literatur resmi masyarakat Dayak supaya menghindari kerancuan istilah Daya’,
Dyak, Daya dan Dayak untuk menyebut masyarakat lokal
non-muslim di Kalimantan.[11]
Dayak Jawatn
Dayak Jawatn[12] adalah
satu dari 151 subsuku dan 168 bahasa yang ada di Kalimantan Barat.[13] Dayak
Jawatn tersebar di sepanjangan aliran sungai Menterap daerah Kecamatan Sekadau
Hulu, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Kalau merujuk pada catatan
penelitian yang dilakukan oleh Dayakologi hingga tahun 2001, Dayak Jawatn
tersebar di 13 kampung dengan jumlah penutur bahasa sekitar 5.997 jiwa.[14]
(Dok. Emilia: Pemuda Pemudi Dayak Jawatn tahun 2002)
Memang cukup sulit
mengidentifikasi rumpun suku masyarakat Dayak Jawatn. Paling tidak ada 4 versi
mengenai asal usul masyarakat Dayak Jawatn. Menurut sumber pertama,
masyarakat Dayak Jawatn berasal dari kampung Boti atau juga sering disebut Jawatn
Puunt (Jawatn tertua). Kampung Boti berdiri setelah perang Montok.
Orang pertama yang mendiami kampung Boti adalah Sengantri. Beliau
merimba (membuka lahan) lalu membuat ladang dan menanam pohon-pohon kemudian
pindah ke tempat lain serta melakukan hal serupa. Beberapa barang-barang tua
peninggalan adat masih tersimpan di Rumah Pasah di kampung
Boti.[15]
Sumber kedua memberikan
informasi bahwa Dayak Jawatn berasal dari Kapuas Hulu. Dalam suatu perjalanan,
mereka tersesat karena menelusuri Sungai Menterap dan akhirnya memilih untuk
mendiami daerah aliran Sungai Menterap.[16] Panglima
yang memimpin mereka pada waktu itu adalah Manteare.[17] Maka
tidak heran kalau ada anggapan bahwa masyarakat Dayak Jawatn yang mendiami
daerah Sungai Menterap disebut Dayak Jawatn sesat (Dayak
Jawatn yang tersesat dari rombongannya).
Sumber ketiga menuturkan bahwa
Dayak Jawatn berasal dari Labe Lawe (Labai Lawai – daerah
pinggir laut yang letaknya tidak jauh dari Ibukota Tayan saat ini). Mereka bisa
masuk sungai Menterap dan menetap di beberapa kampung awal karena tersesat dari
rombongan. Rombongan mereka dipimpin Singa Pati Bangi. Kalau merujuk pada
tulisan Tomi (2014), Singa Pati Bangi adalah salah satu panglima Dama Bulan
dari kerajaan Sangkra di daerah Thailand. Mereka masuk ke Kalimantan yang waktu
itu bernama Tanjung Negara untuk mencari perlindungan di kerajaan Tanjung
Negara karena dikejar-kejar pasukan Dama Bintang, kakak kandungnya. Dalam
perjalanannya mencari kerajaan di Tanjung Negara, mereka menyusuri sungai
kapuas. Tetapi rombongan yang dipimpin Singa Pati Bangi terhalang arus sungai
yang kencang sehingga rombongannya tertinggal lalu masuk ke sungai Sekadau dan sungai Menterap.
Pedang yang digunakan Singa Pati Bangi untuk memotong batang adau bernama
pedang Sengkilang Patah Tiga yang masih tersimpan di Rumah Pasah.
Sumber keempat memberikan
informasi bahwa Dayak Jawatn masuk dalam rumpun Dayak Pantai.[18] Kelompok
ini bermukim di daerah aliran sungai Kapuas, Sekadau, Benawas, Kerabat dan
Menterap.[19] Dari
keempat sumber yang didapat perlu ada studi lebih lanjut untuk mendapatkan
informasi yang lengkap mengenai Dayak Jawatn. Memang ini adalah tugas bersama
sebagai generasi muda Dayak Jawatn. Generasi mudanya perlu menggali sejarah
asal usul dan kekayaan budaya sebagai identitas diri agar tidak hilang dimakan
oleh zaman.
Kalau penulis sendiri lebih yakin bahwa Dayak Jawatn berasal dari Labe Lawe lalu mereka menyusuri hulu sungai Kapuas yang dipimpin oleh Singa Pati Bangi lalu masuk ke sungai Menterap dan bermukin di situ. Ada beberapa alasan yang penulis yakini adalah (1). beberapa konsonan kata yang diucapkan oleh masyarakat Jawatn memiliki kemiripan dengan masyarakat Dayak Ribun/Hibun rumpun Bidayuhik yang sempat menetap di Labe Lawe. Konsonan itu misalnya menyebut garam sebagai "gaham", rokok sebagai "hokok", dll. Pengucapan huruf 'r'nya tidak terdengar jelas. (2). Masyarakat Dayak Jawatn sering disebut Jawatn sosat (atau tersesat dari rombongan), itu hanya mungkin kalau mereka tertahan air Kapuas ketika mudik ke hulu lalu tertinggal rombongan dan masuk sungai Menterap karena mereka mengira rombongan yang di depan masuk ke sungai tersebut.(3). Adanya penyebutan nama panglima Singa Pati Bangi yang memimpin rombongan ketika mudik ke hulu sungai Kapuas. Singa Pati Bangi adalah panglima Dama Bulan yang melindungnya dalam pelarian. Dalam usaha mencari perlindungan ke kerajaan di Tanjung Negara, mereka sempat bermukim di Labe Lawe lalu memutuskan untuk berangkat menyusuri hulu sungai Kapuas agar menemukan kerajaan yang dimaksud. Tetapi rombongan pimpinan Singa Pati Bangi tertahan arus sungai Kapuas dan masuk ke sungai Sekadau lalu ke sungai Menterap. Pedang yang digunakan Singa Pati Bangi untuk memotong pohon adau di muara sungai Sekadau masih tersimpan di Rumah Pasah kampung Boti. Hal ini sesuai dengan yang diceritakan oleh bapak Anong Yustinus dalam wawancaranya dengan penulis yang dimuat di Teroka Borneo dengan judul "Sejarah Dayak Jawatn Menurut Tetua Kampung Boti".
Kalau penulis sendiri lebih yakin bahwa Dayak Jawatn berasal dari Labe Lawe lalu mereka menyusuri hulu sungai Kapuas yang dipimpin oleh Singa Pati Bangi lalu masuk ke sungai Menterap dan bermukin di situ. Ada beberapa alasan yang penulis yakini adalah (1). beberapa konsonan kata yang diucapkan oleh masyarakat Jawatn memiliki kemiripan dengan masyarakat Dayak Ribun/Hibun rumpun Bidayuhik yang sempat menetap di Labe Lawe. Konsonan itu misalnya menyebut garam sebagai "gaham", rokok sebagai "hokok", dll. Pengucapan huruf 'r'nya tidak terdengar jelas. (2). Masyarakat Dayak Jawatn sering disebut Jawatn sosat (atau tersesat dari rombongan), itu hanya mungkin kalau mereka tertahan air Kapuas ketika mudik ke hulu lalu tertinggal rombongan dan masuk sungai Menterap karena mereka mengira rombongan yang di depan masuk ke sungai tersebut.(3). Adanya penyebutan nama panglima Singa Pati Bangi yang memimpin rombongan ketika mudik ke hulu sungai Kapuas. Singa Pati Bangi adalah panglima Dama Bulan yang melindungnya dalam pelarian. Dalam usaha mencari perlindungan ke kerajaan di Tanjung Negara, mereka sempat bermukim di Labe Lawe lalu memutuskan untuk berangkat menyusuri hulu sungai Kapuas agar menemukan kerajaan yang dimaksud. Tetapi rombongan pimpinan Singa Pati Bangi tertahan arus sungai Kapuas dan masuk ke sungai Sekadau lalu ke sungai Menterap. Pedang yang digunakan Singa Pati Bangi untuk memotong pohon adau di muara sungai Sekadau masih tersimpan di Rumah Pasah kampung Boti. Hal ini sesuai dengan yang diceritakan oleh bapak Anong Yustinus dalam wawancaranya dengan penulis yang dimuat di Teroka Borneo dengan judul "Sejarah Dayak Jawatn Menurut Tetua Kampung Boti".
Saat ini masyarakat
Dayak Jawatn mendiami beberapa kampung seperti di Boti, Roca, Sulang Botong,
Mondi, Nate Kelampe, Tapang Birah, Gintong, Engkorong, Sungai Gontin, Bongkit,
Sengiang, Ensibo, Kerentak, Jangkak, Gurong dan Bunut. Kampung-kampung tersebut
berada di daerah Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.
Sumber:
Buku
Bamba, John (ed). Mozaik Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di
Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.
Riwut, Tjilik. Kalimantan Memanggil. Djakarta: Endang,
1958.
Tomi.
Pasak Negeri Kapuas 1616-1822.
Jakarta: Felix Books, 2014.
Veth, P.J. Borneo’s Westerafdeeling Geographisch, Statistisch,
Historisch. Jilid 1. terj. P. Yeri. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012.
_______. Borneo’s Westerafdeeling Geographisch, Statistisch,
Historisch. Jilid 2. terj. P. Yeri. Pontianak: Institut Dayakologi,
2012.
Victor T. King & William D. Wilder, The Modern Anthropology of
South-East Asia, terj. Hatib Abdul Kadir, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2012.
Situs
https://heronimusheron.blogspot.co.id/2017/01/filosofipemuda-dayak-jawant-fotoini.html.
[2] P.J. Veth, Borneo’s
Westerafdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch, Jilid 1, terj. P.
Yeri, Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. Ixii.
[3] P.J. Veth
(1814-1895) adalah seorang profesor kebangsaan Belanda. Cukup banyak
tulisannya tentang Hindia Belanda. Namun ada kritikan juga untuk Veth karena
beliau tidak pernah tinggal di Hindia Belanda. Kalau merujuk pengantar bukunya,
dia membuat tulisan berangkat dari catatan para pegawai kolonial, para
misionaris, para musafir, kawan-kawan para ilmuwan dan literatur yang ada di
Universitas-universitas Belanda.
[6] Istilah “Dayak”
pertama kali ditemukan dalam literatur pada tahun 1790 oleh Rademaker tahun
1780.
[7] Viktor T. King
lahir tahun 26 Januari 1949 di Nortolk, Britania Raya. Beliau adalah seorang
profesor Etnologi dari United Kingdom Inggris yang banyak mempelajari
perkembangan manusia di Asia Tenggara.
[8] Victor T. King
& William D. Wilder, The Modern Anthropology of South-East Asia,
terj. Hatib Abdul Kadir, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2012, hal. 335-336.
[9] John Bamba
(ed), Mozaik Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat,
Pontianak: Institut Dayakologi, 2008, hal. 9.
[14] Ibid., hal.
147. Sebaran masyarakat Dayak Jawant lebih dari 13 kampung. Laporan dari
Dayakologi perlu dicek lagi. Di bagian akhir akan penulis sebutkan nama
kampung-kampung yang didiami oleh masyarakat Dayak Jawant. Termasuk jumlah jiwa
karena penelitiannya karena penelitian itu dilakukan pada tahun 2001.
[18] Istilah Dayak
Pantai digunakan oleh Dayakologi untuk menyebut beberapa rumpun subsuku Dayak
yang ada di daerah Kabupaten Sekadau karena adanya kedekatan penuturan dengan
bahasa etnis Melayu.