FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE
(“Allah telah Mati” sebagai Kritik
Terhadap Agama Kristen)
1. Pengantar
Allah
telah mati. Itulah jargon Nietzsche mengkritik agama Kristen. Jargon ini
merupakan pergulatan Nietzsche terhadap agamanya. Menurutnya, agama Kristen adalah
agama orang kalah, tidak mampu bersaing dan agama kaum budak! Orang yang tidak
mampu bersaing itu merekonstruksikan satu sosok (Allah) dengan ajarannya seperti
lemah lembut, mengalah, menerima realitas, sebagai penghiburan.
Maka
untuk menyingkirkan nilai-nilai Kristiani, Nietzsche merekonstruksikan manusia
atas Der Ubermensch yang menjadi
acuan dan memunculkan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru itu akan membuat
manusia menerima (Ja-Sagen) terhadap
realitas tanpa Allah. Maka Allah akan ditinggalkan dalam kehidupan manusia.
Kritik
Nietzsche ini penting untuk mengkritik cara kita beragama (beriman) dan
sekaligus mengkritik institusi yang menjadi simbol dari kehadiran iman kita.
Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh, maka kita akan mendalami pemikiran
Nietzsche di bawah ini.
2. Riwayat
Hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche
2.1.Kehidupan
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir
pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken daerah Sachsen Prusia dari keluarga yang
sangat saleh. Ayahnya seorang Pastor Lutheran yang meninggal tahun 1849.
Setelah ayahnya meninggal, ia pindah ke Naumburg tinggal di lingkungan keluarga
ibunya yang kebanyakan perempuan.[1]
Teman-teman sekolahnya menjulukinya sebagai “Si Pendeta Kecil”, bahkan sampai
dewasa orang-orang di sekitarnya melihat Nietzsche sebagai seorang Kristen.
Pernah suatu ketika, seorang perempuan muda mengajaknya pergi ke gereja, tetapi
dengan sopan ia menjawab “Hari ini tidak”. Sesudah itu ia menjelaskan kepada
teman-temannya: “Kalau saya mengganggu pikiran gadis itu, saya tentu
menimbulkan rasa ngeri”.[2]
2.2.
Latar Belakang Pendidikannya
Pada
tahun 1854 sampai 1858, Nietzsche sekolah di Gymnasium di kota Naumburg, namun pada tahun 1858 sampai 1864 dia pindah
sekolah dan belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang termasyur di kota
Pforta. Di sana, ia membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir besar
seperti Schiller, Holderlin dan Byron, serta ia sangat tertarik pada kejeniusan
kebudayaan Yunani kuno. Maka pada saat itu juga ia meminati Plato dan
Aeschylus.[3]
Selain itu, ia juga mempelajari puisi dan musik.[4]
Pada
tahun 1864, Nietzsche studi di Universitas Bonn bersama temannya Paul Deussen
yang kemudian juga termasyur sebagai pemikir dan filsuf. Waktu itu ia masih
memeluk agamanya. Ketika Deussen mengatakan bahwa doa hanyalah ilusi belaka,
dia menjawab: “Itu salah satu dari kedunguan Feurbach.” Pada tahun 1865 ketika
musim gugur, dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor
Ritschl. Di kota ini ia menemukan buku tulisan Schopenhauer dari penjual buku
bekas yang berjudul: “Die Welt als Wille
und Vorstellung” (The World as Will
and Idea). Setelah mempelajari buku itu, maka di kota itulah dia
meninggalkan agamanya.[5]
2.3.
Karya-karyanya
Pada
tahun 1867 dia menjalankan wajib militer di Naumburg, tetapi karena terluka, ia
kembali ke Leipzig untuk belajar. Pada saat kembali belajar, ia berkenalan
dengan Richard Wagner, seorang komponis Jerman yang termasyur dan menjadi
sahabatnya. Persahabatannya dengan Richard Wagner mempengaruhi tulisannya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der
Musik (In the Birth of Tragedy from
the Spirit os Music/Kelahiran Tragedi dari Jiwa Musik). Pada tahun
1973-1876, Nietzsche menerbitkan empat esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Meditations or Considerations/Kontemplasi
Tak Aktual).[6]
Pada
tahun 1878-1879, Nietzsche menerbitkan karyanya yang berjudul Menschliches, Allzumenschliches (Human, All-too-Human/Manusia Terlalu
Manusiawi). Pada tahun 1881, Nietzsche menerbitkan Morgenrote (The Dawn of Day/Fajar
Kemenangan). Pada tahun 1882 ia menerbitkan Die
frohliche Wissenschaft (Joyful
Wisdom/Pengetahuan Ceria). Pada tahun 1883-1885, Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra/Demikianlah Sabda
Zarathustra). Pada tahun 1886, ia menerbitkan Jenseits von Gut und Bose (Beyond
Good and Evil/Melampaui Kebaikan dan Keburukan). Setahun setelahnya, 1887
ia menerbitkan karya Zur Genealogie der Moral (A Genealogy of Morals/Silsilah Moral). Pada
tahun 1888, Nietzsche menerbitkan dua karya yaitu Ecce Homo (Itulah Manusia) dan Der
Antichrist (The Antichrist/Sang
Antikristus).[7]
3. Kritik
Terhadap Agama
Sebagai
seorang filsuf yang mengkritik praktik kehidupan beragama umat Kristen,
Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860).
Schopenhauer dalam filsafatnya mengkritik filsafat Hegel dan Fichte. Alasan
Schopenhauer tidak setuju dengan filsafat Hegel dan Fichte adalah keyakinannya
bahwa mereka telah menghianati filsafat Kant. Schopenhauer berpendapat bahwa
rasio tidak dapat mengetahui segala sesuatu dalam dirinya dan ide-ide kita
tidak menyediakan jalan menuju dunia di luar perspektif indrawi.[8]
Bagi
Schopenhauer tidak ada kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia. Namun
Schopenhauer menolak bunuh diri karena baginya, ide ini tidak menghancurkan
kehendak. Satu-satunya alternatif adalah membelokkan kehendak melawan dirinya
dan dengan serangkaian usaha penolakan, menghapus hasrat-hasrat kita. Hasil
yang diperoleh baginya bukanlah kematian, tetapi kontemplasi.[9]
Kritik
Nietzsche terhadap agama banyak diinspirasi oleh karangan Schopenhauer yang
berjudul Die Welt als Wille und
Vorstellung (The World as Will and
Idea) ketika belajar filologi di Laipzig. Karangan ini menjadi batu pijakan
untuk Nietzsche mengkritik agama dengan segala ajarannya.
3.1.Kritik
Terhadap Praktik Agama Pada Zamannya
Kritik
Nietzsche terhadap agama dapat kita temukan dalam beberapa karyanya. Dalam
bukunya Genealogie der Moral,
Nietzsche menggambarkan dua moralitas yaitu moralitas tuan (Herrenmoral) dan moralitas budak (Herdenmoral). Bagi para tuan, moralitas
adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Meski
demikian, mereka tidak mengklaim bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan
tidak menunjukkan bagaimana harus bertindak, tetapi bagaimana tuan itu
menyatakan tindakan. Hal ini berbeda dengan moralitas budak. Para budak tidak
pernah bertindak bagi diri mereka sendiri, karena jika mereka bertindak
sendiri, mereka menyangkal kodratnya. Maka bagi para kaum budak, yang dianggap
baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati,
kelamahlembutan, kerendahan hati dalah hubungannya dengan kasta mereka.[10]
Karya
Nietzsche ini melukiskan penjungkirbalikan nilai-nilai dalam agama Kristen
dengan istilah “Ressentiment”, yaitu
sentimen kebencian terpendam yang dipelihara kaum budak. Menurut Nietzsche,
moralitas budak menguasai agama Kristen. Karena segala yang rendah, lemah,
celaka, jelek dan menderita malah disebut “baik”, sedang yang luhur, agung,
berdaulat, bagus, malah disebut “jahat”. Apalagi diperparah dengan istilah
“suara hati” (Gewissen) atau
subjektivitas moral. Nietzsche menggangap “suara hati” tak kurang daripada
suatu kegagalan melampiaskan ressentiment
kepada kasta aristokrasi.[11]
Dalam
karyanya Der Will zur Macht (Kehendak
untuk Berkuasa), Nietzsche memodifikasi konsep Schopenhauer tentang kehendak
untuk hidup. Bagi Nietzsche,
kehendak sepenuhnya adalah persoalan tindakan. Nietzsche meyakini tidak ada
kehendak bebas, kecuali tindakan yang lebih kuat dan yang lemah, atau tindakan
siapa yang menang.[12]
Dari
beberapa karya Nietzsche ini kita bisa melihat bagaimana kritiknya terhadap agama.
Kritiknya di sini bukan ditujukan kepada relasi antar manusia (agama lain),
tetapi pada nilai-nilai agama Kristen yang menurutnya telah memperbudak
kehendak manusia. Agama Kristen menawarkan konsep cinta kasih, kerendahan hati,
menerima setiap penderitaan. Bagi Nietzsche itu merupakan mentalitas kaum
budak. Konsep agama Kristen hanya bisa diterima oleh kaum budak (memiliki
mentalitas kaum budak) yang bergantung pada tuan (Allah) mereka.
Mentalitas
kaum budak ini yang membuat manusia (masyarakat Barat) tidak kritis terhadap
segala yang mereka terima dan alami dalam hidupnya. Ajaran agama telah meracuni
kehidupan mereka. Dengan mentalitas kaum budak ini, orang tidak berupaya untuk merekonstruksi
keadaan, melainkan hanya menerimanya.
Satu-satunya cara bagi kaum budak untuk menghibur diri agar terlepas dari
ketertindasan mereka adalah merekonstruksikan gambar Allah. Allah menjadi
sandaran dari ketertindasan mereka.
3.2.Der
Ubermensch
Kritik
Nietzsche terhadap agama semakin diperuncing dalam karyanya yang berjudul Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra).[13]
Sebelum mendalami pemikiran Nietzsche lebih jauh, penulis akan menampilkan
kisah Zarathustra.[14]
Zarathustra berusia 30 tahun saat ia
meninggalkan rumah dan menyepi di gunung. Suatu saat dia pun turun dan di hutan
bertemu orang suci. Ia memuji bahwa Zarathustra telah berubah menjadi kanak-kanak
lewat kesunyiannya, yakni menjadi sadar. Zarathustra berkata bahwa ia mencintai
manusia, namun pak tua mencintai Allah, karena cinta akan menusia dapat
membunuhnya. Orang kudus itu bercerita bahwa di hutan ia menyanyi, menangis,
tertawa, dan bergumam untuk memuji Allah. Namun, Zarathustra yang sudah mencapai
pencerahan rohani berbicara dalam hatinya: “Mungkinkah itu? Orang suci dalam
hutan ini belum pernah mendengar apa pun tentang ini, yaitu bahwa Allah sudah mati.” Zarathustra pun menuju kota
dan bergabung dengan kerumunan yang menonton seorang peniti tali. Ia berseru
kepada kalayak: “Aku mengajarkan kepada
kalian tentang dunia atas. Manusia adalah sesuatu yang akan dilampaui.
Apakah yang sudah kalian lakukan untuk melampaui manusia?” Ia berkata bahwa
manusia memang sudah melampaui kera, namun manusia masih mirip kera, karena
telah diracuni oleh nilai-nilai Kristiani. Kerumunan itu tidak memahami pesan
Zarathustra, karena mereka berpikir ia mengacu pada kegiatan peniti tali itu.
Tiba-tiba peniti tali itu jatuh dan mati. Zarathustra dan mayat peniti tali itu
ditinggal sendiri di alun-alun itu. Ia pun sadar bahwa pesannya tak sampai,
karena manusia terlalu bodoh dan acuh tak acuh.
Melalui
kisah Zarathustra di atas, Nietzsche berfilsafat. Pandangannya mengenai Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi supermen,[15]
atau menurut salah seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufmann, Ubermensch dapat diterjemahkan menjadi overmen. Uber sejajar dengan over,
yaitu “di atas”, sedangkan mensch
sejajar dengan men, maka dapat
diterjemahkan menjadi “Manusia Atas”. Dalam cerita itu, Nietzsche
mempersonifikasikan dirinya sebagai Zarathustra. Melalui mulut tokoh itu, Nietzsche mengucapkan
pandangannya: “Ich lehre euch den
Ubermenchen. Der Mensch ist etwas, das uberwunden werden soll” (Aku
mengajarkan kepada kalian mengenai Manusia Atas. Manusia adalah sesuatu yang
harus dilampauinya).[16]
Nietzsche
berbicara dan berharap mengenai manusia masa depan. Manusia atas bukanlah orang
barbar, liar atau tak tahu aturan. Dia bukanlah seorang immoral, melainkan
menciptakan nilai-nilainya sendiri. Muncul manusia atas harus didahului dengan
kemampuan untuk menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai Kristiani
harus dijungkirbalikan terlebih dahulu. Dengan mampunya manusia atas
menciptakan nilai-nilai, mereka akan memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi
bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat terhadap diri sendiri dan
toleran.[17]
Dengan
menggambarkan manusia atas, Nietzsche mau menciptakan suatu nilai baru bagi
manusia di luar nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai baru itu diyakini akan membuat
manusia bebas bukan karena dipaksa oleh ajaran agama, melainkan dari kehendak.
Manusia atas ini akan menjadi rujukan untuk menjadi teladan dalam menjalani
kehidupan, sebab manusia atas tidak lari dari realitas dan bersandar kepada
Tuhan, melainkan menghadapi realitas dengan kesadaran penuhnya (Ja-Sagen).
3.3.Allah
telah mati
Puncak
dari Kritik Nietzsche terhadap agama termuat dalam karyanya yang berjudul Antichrist. Namun ajaran terang-terangan
mengenai ateismenya dapat ditemukan dalam aphorisme 125 buku Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan
Ceria).[18]
Seorang gila membawa sebuah lentera
menyala ke tengah pasar dan berseru-seru: “Aku mencari Allah! Aku mencari
Allah!” Orang-orang di pasar menertawakannya. Tapi si gila itu malah melompat
ke tengah-tengah mereka dan menatap mereka sambil berteriak: “Ke manakah Allah?
Aku memberi tahu kalian. Kita sudah membunuhnya. Kita semua pembunuh. Tetapi
bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan?
Siapakah yang memberikan kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah
yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah
bumi bergerak sekarang? Ke manakan kita bergerak? Menjauh dari segala matahari?
Tidakkah kita tenggelam terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala
arah? Masih adakah naik atau turun? Tidakkah kita tersesat ketiadaan tak
terhingga? Tidakkah kita menghirup ruang kosong? ...Allah sudah mati...Dan kita
telah membunuhnya...” sesudah itu si gila diam, menatap para pendengarnya. Mereka
pun membisu. Si gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, lalu pergi sambil
berkata: “Saya datang terlalu dini, waktuku belum sampai. Peristiwa besar ini
masih sedang menjelang...”
Nietzsche
melukiskan dirinya sebagai orang gila. Ia bukan hanya mengumumkan ateis, tetapi
juga meramalkan datangnya ateis. Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan
orang-orang zaman itu tidak memahaminya. Ia mengumumkan kegilaan universal
yaitu menemukan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah.[19]
Kematian
Allah telah membuka kreativitas dan kemerdekaan manusia, sehingga manusia dapat
berkembang penuh. Allah telah mati, sehingga tidak ada lagi larangan atau
perintah, atau rujukan kita untuk melihat hal yang transenden. Sebab ide Allah
dalam agama Kristen telah memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, mengkebiri
daya-daya vital manusia. Nietzsche menggangap agama Kristen sebagai vampirisme.[20]
Dengan
matinya Allah, manusia tidak lagi dibatasi atau diarah ke dunia transenden.
Manusia tidak lagi menunjukkan sikap pengecutnya dengan berlindung di naungan
Allah terhadap kerasnya realitas dunia ini. Manusia Ubermensch akan mampu mengekspresikan Ja-Sagen kepada realitas tanpa Allah. Lebih jauh Nietzsche
mengatakan: “Tetaplah setia pada dunia dan jangan percaya pada orang-orang yang
mengoceh kalian tentang harapan-harapan pada dunia atas sana! Entah tahu atau
tidak, mereka itu penebar racun. Mereka itu orang-orang yang melecehkan
kehidupan!”.[21]
4. Kritik
Terhadap Kehidupan Agama Dewasa Ini
Tidak
mudah menemukan awal dari kritik Nietzsche terhadap agama Kristen. Kita hanya
tahu bahwa berpuncak kritiknya terletak pada karyanya Antichrist. Sebelum mengkontekstualisasikan pemikiran Nietzsche
untuk zaman ini, terlebih dahulu penulis menunjukkan dimensi yang menjadi dasar
kritikannya.
Nietzsche
tidak pernah mempersoalkan Allah. Dia tidak pernah mempersoalkan apakah Allah
ada atau tidak. Allah yang dikritik Nietzsche adalah Allah ciptaan manusia,
maka Allah itu harus dibunuh agar manusia bisa menerima realitas hidupnya.
Allah yang diciptakan manusia itu telah menguasai manusia, mengasingkannya dari
dirinya dan dunianya. Allah yang diciptakan oleh manusia itu dipasang sebagai
kebenaran dan membuat manusia tenggelam dalam kebohongan. Allah ciptaan manusia
itu memanifestasikan diri dalam agama, maka agama adalah ciptaan mereka yang
kalah, tidak berani melawan, dan akhirnya tidak berani berkuasa.[22]
Kritik
Nietzsche perlu kita refleksikan dalam menjalankan agama. Benarkah kepercayaan
kita kepada Allah hanyalah pelarian ketika takut menghadapi realitas dunia?
Benarkah keutamaan-keutamaan Kristiani seperti mengampuni, memaafkan, berbelas
kasih dan suara hati hanyalah milik mereka yang kalah/budak? Benarkah untuk
menghadapi realitas dunia yang penuh dengan kebencian, kita harus melupakan
Allah? Sekarang kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri.
Apakah sebagai orang yang beragama, kita memisahkan Allah dari realitas dunia
yang kita hadapi? Apakah kita telah menghidupi atau mengkontekstualisasikan
iman kita dalam kehidupan sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan
ini berusaha menyadarkan kita akan realitas yang kita hadapi, sebab
jangan-jangan kehidupan beragama kita hanya dipermukaannya yaitu pada identitas
semu. Kritik Nietzsche ini mengajak kita untuk mendalami iman kita lebih jauh
lagi dan tahu beriman secara benar. Beriman tidak bisa meninggalkan realitas
sosial, sebab melalui tindakan sosiallah kita merealisasikan iman kita.
5. Penutup
Kritik
Nietzsche terhadap agama berangkat dari realitas zamannya. Ia mengkritik agama,
karena agama baginya adalah ciptaan mereka yang kalah, mentalitas kaum budak
yang tidak mampu berkuasa. Pertanyaannya apakah hanya sebatas itu? Bagaimana
menjelaskan kepercayaan orang-orang kepada Allah dari mereka yang berkuasa,
pemenang?
Namun
Nietzsche telah menyadarkan kita bahwa tidak menutup kemungkinan hal itu
terjadi di antara kita yang percaya kepada Allah. Tidak menutup kemungkinan
bahwa ada orang yang karena takut menghadapi realitas hidupnya, pergi masuk
biara atau seminari untuk mencari aman dalam lindungan tembok dengan cara ingin
menjadi biarawan/i atau imam? Nietzsche memang meramalkan ateisme universal,
tetapi jika kita memiliki agama dengan cara yang tidak benar, kita juga adalah
ateis. Kita menciptakan teis-teis untuk menguasai diri sendiri seperti
kekuasaan, harta dan perempuan? Kritik Nietzsche pertama-tama ditujukan kepada
individu-individu yang beragama dan selanjutnya kepada institusi agama.
Mampukan kita beriman dan berani menghadapi realitas dunia?
Daftar Pustaka
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Modern Philosophy
From Post-Kantian to Nietzsche (Vol. VII). New York: Image Books, 1994.
D. Aiken, Henry. Abad Ideologi: Dari Kant sampai Kierkegaard.
Yogyakarta: RELIEF, 2009.
Frans, Magnis Suseno. Menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius,
2006.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spake Zarathustra. terj. Sudarmaji
& Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
[1] Frederick Copleston,
S.J, A History of Philosophy: Modern
Philosophy From Post-Kantian to Nietzsche (Volume VII), New York: Image
Books, 1965, hal. 390.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 258.
[3] Ibid., hal. 259.
[4] Frederich Copleston,
S.J, Loc. cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal 391-392.
[7] Ibid. Bdk. F. Budi Hardiman, Op.
cit., hal. 260.
[8] Henry D. Aiken, Abad Ideologi: Kant-Kierkegaard,
Yogyakarta: Relief, 2009, hal. 117.
[9] Ibid., hal. 120-121.
[10] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 269.
[11] Ibid., hal 270. Bdk. Frederich Copleston, S.J, Op. cit., hal. 401.
[12] Henry D. Aiken, Op. cit., hal. 248.
[13] Sabda Zarathustra yang
lengkap dapat dibaca dalam buku yang berjudul “Nietzsche: Sabda Zarathustra”
terj. Sudarmaji & Ahmad Santoso, dengan judul asli Thus Spake Zarathustra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal.
45-496.
[14] F. Budi Hardiman, Op. cit., hal. 274.
[15] Bdk. Frederick
Copleston, S.J, Op. cit., hal. 413.
[16] F. Budi Hardiman, Op. cit, hal. 274.
[17] Ibid., hal. 276.
[18] Ibid., hal. 279.
[19] Ibid., hal 279.
[21] A. Setyo Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta:
Kanisius, 2009, hal. 87.
[22] Frans Magnis Suseno, Menalar tuhan, Yogyakarta: Kanisius,
2006.