Bab
I
Pendahuluan
- Latar Belakang
Kemajuan suatu negara
dapat dilihat dari keadaan setiap warga negaranya. Jika warga negaranya dapat
hidup secara layak, yaitu terpenuhinya pendidikan bagi anak-anak mereka,
kesehatan terjamin, dan persoalan ekonomi keluaga bisa teratasi, maka negara
itu bisa dikatakan maju. Tetapi jika dalam negara itu, persoalan-persoalan
untuk hidup layak saja masih menjadi persoalan nasional, maka negara itu belum
maju, karena cermin negara terletak pada warga negaranya.
Melihat persoalan itu,
Indonesia adalah kategori negara yang belum maju. Mengapa bisa dikatakan
demikian? Hal ini karena persoalan ekonomi masih membelit setiap warga negara
Indonesia. Memang ada beberapa orang yang hidupnya cukup layak dan bisa
dikatakan sejahtera, tetapi bagi banyak orang di Indonesia, hidup layak dan
sejahtera hanya sebuah impian. Maka penulis mencoba untuk mengulas persoalan
itu dan mengajak semua orang mengusahakan ekonomi yang berkeadilan bagi setiap
warga negara dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150.
- Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper
Ajaran Sosial Gereja yang bertemakan, “Ekonomi yang Berkeadilan dalam Terang MM
art. 150”, pertama-tama adalah untuk memenuhi tugas akhir dari proses
pembelajaran Ajaran Sosial Gereja I. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan
untuk mengkaji persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia mengenai
ketidakadilan ekonomi dalam terang Dokumen Mater et Magistra artikel 150.
- Rumusan Masalah
Dalam paper ini,
persoalan yang akan dikajikan adalah persoalan mengenai ketimpangan ekonomi
yang dihadapi oleh satu negara, yaitu Indonesia. Ketimpangan ekonomi bisa
disebabkan oleh keadaan mereka yang bekerja dalam bidang berlainan, tetapi juga
bisa disebabkan oleh beberapa orang yang hanya mengusahakan kesejahteraan bagi
kelompoknya. Maka dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150, penulis
mencoba untuk mengkaji persoalan itu.
- Pembatasan Masalah
Pada paper ini yang
akan dibahas hanya persoalan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dalam membahas
ketimpangannya pun, penulis tidak melakukan analisis mengenai persoalan dan
akar persoalan yang menjadi penyebab ketimpangan ekonomi yang ada di Indonesia.
Penulis hanya melakukan ulasan mengenai persoalan ketimpangan ekonomi dalam
terang Dokumen Mater et Magistra art. 150.
- Signifikansi
Melalui paper ini
penulis mencoba mengkaji persoalan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia dalam
terang Dokumen Mater et Magistra art. 150. Dalam pengkajiannya pun, penulis
mencoba mencari korelasi antara Dokumen Mater et Magistra art. 150, dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 yang berbicara mengenai perekonomian
dan Pancasila. Dengan korelasi antara ketiganya, maka paper ini memberikan
sumbangan kepada para pembaca dalam membangun perekonomian nasional, untuk
kembali kepada landasan kebangsaan, yaitu UUD 1945 pasal 33 dan Pancasila,
karena dalam setiap penjelasannya, sedah terkandung tujuan dari landasan itu
yaitu, membangun perekonomian yang pro rakyat.
Bab
II
Selayang
Pandang Dokumen Mater Et Magistra
- Sejarah Dokumen Mater Et Magistra
Dokumen Mater et Magistra ditulis
oleh Paus Yohannes XXIII (1961), mau memperingati Rerum Novarum. Titik pangkal Ajaran Sosial Gereja ada pada Rerum Novarum, sebab sampai dengan Laborem Exercens yang ditulis Paus Yahannes Paulus II (1981), ensiklik
sosial mengacu pada Rerum Novarum.
Namun kiranya Mater et Magistra
adalah ensiklik terakhir yang mulai dengan mengangkat kembali masalah-masalah
klasik dari ensiklik Leo XIII. Maka Mater
et Magistra berawal dengan memuji
Rerum Novarum (10-25) dan
Quadragesimo Anno (26-40), bahkan pidato radio Pius XII dari tahun 1941
(41-46). Dan seperti dalam Quadragesimo
Anno, kemudian dilanjutkan, sejak
Pius XII dunia berubah secara mendalam (47-50). Maka perlu “secara lebih
sempurna memperkuat dan memperjelas apa yang telah diajarkan oleh para paus
pendahulu, serta menguraikan secara jelas ajaran gereja mengenai
masalah-masalah yang baru dan gawat dewasa ini” (51).[1]
Titik pangkal uraian paus adalah perubahan-perubahan dalam masyarakat
(47-50), khususnya proses sosialisasi
(60-68). Dengan “sosialisasi” dimaksudkan “semakin berlipatgandanya jaringan
hubungan sosial” (60). Titik pangkal ensiklik adalah situasi konkret manusia
dan tujuannya ialah perubahan situasi, sehingga manusia dapat mengembangkan
diri dengan lebih sempurna. Azas pokok Ajaran Sosial Gereja ialah bahwa manusia
dengan sifat sosialnya serta pengangkatannya ke dalam tertib adikodrati, harus
menjadi dasar, sebab dan tujuan segala lembaga sosial (219).
Azas pokok ini diuraikan dalam tiga bagian besar: pertama, penjelasan lebih lanjut
mengenai ajaran Rerum Novarum (52-122); kedua, aspek-aspek baru masalah sosial (123-211); tiga, pemulihan susunan masyarakat
(212-262).[2]
- Isi Dokumen Mater Et Magistra art. 150
Isi dokumen Mater et Magistra art, 150 adalah “Diantara warga-warga satu
negara sering terdapat perbedaan taraf ekonomi dan sosial yang cukup besar.
Sebabnya yang utama ialah kenyataan, bahwa mereka hidup dan bekerja di
bidang-bidang yang berlainan, ada yang dari sudut ekonomi lebih maju dari pada bidang-bidang lainnya. Bila ada
situasi seperti itu, keadilan dan kewajaran meminta, supaya pemerintah mencoba
meniadakan atau mengurangi ketimpangan-ketimpangan semacam itu. Pemerintah
harus menjamin, agar daerah-daerah yang kurang maju mendapat jasa pelayanan
umum yang pokok seperti dituntut oleh situasinya, untuk meningkatkan mutu
kehidupan di wilayah-wilayah itu sederajat dengan standar hidup rata-rata pada
taraf nasional. Selain itu perlu disusun kebijakan ekonomi dan sosial, yang
akan memperhitungkan penyediaan lapangan kerja, arus kependudukan, upah,
perpajakan, kredit dan penanaman modal, khususnya industri-industri yang
berkembang. Pendek kata, kebijakan itu harus memajukan peluang kerja yang
berguna, prakarsa usaha-usaha, dan pemanfaatan sumber-sumber setempat”.
Isi dokumen Mater et
Magistra art. 150, membahas isu-isu ketimpangan ekonomi dalam suatu negara.
Ketimpangan itu menimbulkan persoalan yang besar dalam suatu bangsa. Maka paus
melalui enksiklik ini, mau mengajak semua bangsa yang mengalami ketimpangan
sosial harus berbuat sesuatu untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Untuk
mengatasi persoalan itu, pemerintah harus berperan penting dalam mengembalikan
tatanan ekonomi yang berkeadilan bagi setiap warga negaranya.
Dalam pengembalian
ekonomi ketatanan yang berkeadilan bagi setiap warga negara, pemerintah perlu
membuat suatu kebijakan yang menjamin kelangsungan perekonomian agar tidak
dikuasai oleh segelintir orang. Maka pemerintah pun harus mempunyai agenda
untuk membersihkan semua kepentingan-kepentingan individu dan kelompok untuk
memajukan perekonomian nasional. Dalam pembangunan perekonomian nasional,
pemerintah dapat memanfaatkan sumber-sumber yang ada di suatu daerah dengan
bijaksana, dan harus memperhatikan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang
ada disekitarnya dan generasi yang akan datang. Hal ini sangat penting karena
menyangkut keberlangsungan kehidupan manusia Indonesia.
Bab
III
Landasan
Ekonomi yang Berkeadilan di Indonesia
Pada bagian ini,
penulis terlebih dahulu melihat landasan kebangsaan yang membicarakan masalah
perekonomian bagi bangsa Indonesia. Landasan kebangsaan yang pertama
membicarakan persoalan ekonomi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pancasila
dan pandangan tokoh-tokoh nasional mengenai ekonomi yang berkeadilan di
Indonesia.
- Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Negara Indonesia boleh bangga
dengan para bapa pendiri bangsa, karena mereka telah merumuskan dengan sangat
baik ideologi bangsa Indonesia. Salah satu ideologi itu adalah Undang-Undang
Dasar (UUD)
1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan
sangat indah merumuskan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu
untuk memajukan kehidupan manusia Indonesia yang adil dan makmur.[3]
Dalam pasal 33 UUD 1945, Mohammad Hatta merumuskan asas-asas perekonomian
Indonesia dalam 3 ayat berikut:[4]
(1).
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan;
Penjelasan:
Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-orang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Bangunan ekonomi yang sesuai dengan itu adalah koperasi.
(2).
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara;
Penjelasan:
Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.
Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk
produksi jatuh ke tangan perseorangan. Hanya usaha-usaha yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan perseorangan.
(3). Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Penjelasan:
Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran. Kekayaan alam yang ada harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Demokrasi ekonomi yang dirumuskan dalam UUD 1945 menolak
paham liberalisme pasar secara total. Demokrasi yang diajukan Mohammad Hatta
ini adalah demokrasi sosial, khususnya dibidang perekonomian. Setiap warga
negara Indonesia diberi kesempatan yang sama untuk mengakses sumber-sumber
ekonomi dan negara melindungi kepentingannya. Kedaulatan rakyat Indonesia tidak
lepas dari tujuan inherennya, yaitu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.[5]
- Gagasan Ekonomi yang Berkeadilan Menurut Pancasila
Gagasan ekonomi yang berkeadilan menurut Pancasila tidak lain adalah
gagasan ekonomi Pancasila, karena dalam Pancasila sudah terkandung keadilan
ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Mubyarto, dalam tulisannya yang berjudul
“Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi”, menguraikan dimensi aplikatif
ideologi Pancasila dalam kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Gagasan ekonomi
Pancasila adalah prinsip-prinsip ekonomi yang memuat nilai-nilai luhur
Pancasila. Gagasan ekonomi Pancasila memiliki posisi yang berbeda dari
sosialisme (Marxisme), maupun liberalisme (Adam Smith). Ideologi Pancasila
berusaha mencari keseimbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai warga masyarakat, antara
kehidupan materi dan kehidupan rohani. Manusia Pancasila yang berketuhanan,
selain sebagai homo economicus, sekaligus
sebagai homo metafisika dan homo mysticus. Ini berarti bahwa dalam
ekonomi Pancasila, manusia tidak hanya dilihat pada salah satu dimensi saja,
tetapi sebagai manusia seutuhnya. Negara Indonesia adalah masyarakat yang
mengakui kebebasan individu, kepentingan kolektif, dan nilai-nilai keadilan
dalam perekonomiannya.[6]
Pancasila sebagai dasar negara dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi
bangsa, negara dan masyarakat sebagai berikut:[7]
(1). Ketuhanan
Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh nilai-nilai yang bersumber
pada kebaikan Ilahi;
(2).
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat
Indonesia untuk mewujudkan pemerataan sosial sesuai dengan asas-asas
kemanusiaan;
(3). Persatuan
Indonesia. Prioritas kebajikan ekonomi adalah menciptakan perekonomian nasional
yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi;
(4).
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan. Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan bentuk paling konkret
dari usaha bersama;
(5). Keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara
perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan
kebajikan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
- Pandangan Tokoh tentang Ekonomi yang Berkeadilan
Pandangan tentang ekonomi yang berkeadilan adalah ekonomi yang pro rakyat,
sebagaimana telah dikonsepkan dalam UUD 1945, Pancasila, dan juga Dokumen Mater et Magistra art. 150.
Maka dalam pembahasan ini pandangan tentang ekonomi yang berkeadilan akan
disamakan artinya dengan ekonomi kerakyatan. Kita bisa melihat beberapa tokoh
yang berbicara mengenai ekonomi kerakyatan.
- Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat.[8]
- Drs. A. Suman Kurik, MM, mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sebuah populis yang lahir dan diperuntukkan bagi rakyat.[9]
- Menurut Abdurahman Wahid atau sering disebut Gus Dur (1940-2009), seorang nasionalis dan cendekiawan Indonesia, mengatakan ekonomi kerakyatan adalah sistem perekonomian yang menyatukan antara kebebasan dan peranan pemerintah dengan mengedepankan paham-paham kerakyatan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.[10]
Bab
IV
Ekonomi
yang Berkeadilan dalam Terang Mater et Magistra art. 150
- Persoalan yang dihadapi Indonesia
Ekonomi yang berkeadilan atau yang saya sejajarkan dengan ekonomi
kerakyatan, ternyata tidak mudah diterapkan di Indonesia. Kita bisa
membayangkan bahwa konsep ekonomi kerakyatan telah dipikirkan oleh para pendiri
bangsa terutama Muhammad Hatta (Bung Hatta) yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945 dan Pancasila oleh Soekarno. Tetapi konsep itu sampai pada zaman kita ini sepertinya
masih sebuah angan-angan yang sulit untuk diwujudnyatakan. Persoalan-persoalan
seperti kemiskinan, pengangguran, pencurian, pembangunan yang tidak merata di
setiap daerah dan masalah-masalah sosial seperti kesehatan dan pendidikan
menjadi konsumsi harian kita. Padahal kalau konsep ekonomi kerakyatan itu
diwujudnyatakan dalam bangsa Indonesia, maka persoalan-persoalan ekonomi dan
sosial dapat dikurangi atau diminimalisirkan. Mungkin ini menandakan bahwa
sistem kontrol pemerintahan kita lemah, atau mungkin pemerintah kita lemah.
Lemahnya sistem pemerintahan menyebabkan banyaknya kekacauan sosial,
seperti demo buruh yang merusak dan mengganggu ketertiban umum.[11]
Atau lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.[12]
Atau keinginan untuk keluar dari kesatuan NKRI. Walaupun wacana ini sekarang
tidak terdengar secara luas, tetapi keinginan itu masih ada. Sebagai contoh
sejumlah orang masih memperingati hari jadi Organisasi Papua Mardeka, 1 Desember 2013.[13]
Atau memperingati ulang tahun ke-37 dari Gerakan Aceh Mardeka, 4 Desember 2013
dibeberapa tempat di Aceh.[14]
Atau kemiskinan dan pengganggurang masih menyelimuti persoalan bangsa.
Maka melihat persoalan
itu, penulis mencoba mengkaji permasalahan yang ada dalam terang Dokumen Mater
et Magistra art. 150. Dalam dokumen itu akan penulis menampilkan apa yang
menjadi perhatian dari isi Dokumen Mater
et Magistra art. 150.
- Beberapa keperihatinan Mater et Magistra art. 150
- Diantar warga-warga satu negara sering terdapat perbedaan taraf ekonomi dan sosial yang cukub besar, sebab utamanya ialah kenyataan bahwa mereka hidup dan bekerja di bidang-bidang yang berlainan, ada yang dari sudut ekonomi yang lebih maju dari pada bidang-bidang lainnya.
- Meminta pemerintah mencoba meniadakan atau mengurangi ketimpangan-ketimpangan semacam itu.
- Pemerintah harus menjamin agar daerah-daerah yang kurang maju mendapat jasa pelayanan umum yang pokok seperti yang dituntut oleh situasinya, untuk meningkatkan mutu kehidupan di wilayah-wilayah itu sederajat dengan standar hidup rata-rata pada taraf nasional.
- Perlu disusun kebijakan ekonomi dan sosial yang akan memperhitungkan penyediaan lapangan kerja, arus kependudukan, upah, perpajakan, kredit dan penanaman modal, khususnya pada industri-industri yang berkembang.
- Kebijakan itu harus memajukan peluang kerja yang berguna, prakarsa usaha-usaha, dan pemanfaatan sumber-sumber setempat.
Pokok perhatian dari
dokumen Mater et Magistra art. 150 adalah ketimpangan ekonomi dalam satu
negara. Ketimpangan itu bisa disebabkan oleh berbedanya taraf ekonomi dan
sosial yang disebabkan oleh berbedanya pekerjaan, dan pembangunan di daerah
yang tidak merata sehingga menyebabkan terisolirnya suatu daerah dari daerah
yang lainnya. Maka paus menghimbau para pemimpin pemerintahan agar menyusun
suatu kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih adil dengan memperhitungkan
penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini perlu kita indahkan
karena banyak dari warga bangsa kita memilih pergi untuk bekerja di luar negeri
karena di dalam negeri sendiri tidak cukup tersedia lapangan pekerjaan bagi
mereka. Mereka pergi meninggalkan kampung halaman, sanak saudara, suami, istri
dan anak-anak demi sesuap nasi. Mereka pergi karena tidak menemukan butir nasi
di dalam negeri, sehingga banyak kisah pilu yang terjadi menimpa mereka.[15]
Penyediaan lapangan
pekerjaan itu juga harus memperhatikan arus pertumbuhan penduduk. Sebab lajunya
arus penduduk membuat semakin banyaknya kebutuhan suatu keluarga. Jika tidak diatasi,
maka jumlah pengangguran akan semakin bertambah dan tingkat kejahatan pun
bertambah. Dalam penyediaan lapangan pekerjaan, perlu memperhatikan upah yang
adil bagi para pekerja.
Pemerintah juga harus
membuat kebijakan untuk mengatur masalah perpajakan, kredit dan penanaman modal
dari indusrti-industri yang berkembang. Kebijakan itu perlu agar dalam
pengelolaannya tidak menimbulkan ketimpangan bagi masyarakat yang menjadi
karyawan atau lingkungan sekitar industri-industri itu. Industri-indusrti juga dalam
pendistribusian barang olahannya harus adil. John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971), menuliskan
bahwa dalam pengelolaan ekonomi harus ada distribusi yang adil.[16]
Setiap kebijakan yang diambil
oleh pemerintah, harus bisa menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang berguna
bagi setiap warga negara. Dalam penyediaan lapangan pekerjaan itu bisa
memanfaatkan sumber-sumber setempat. Sumber-sumber itu bisa berupa pemanfaatan
sumber daya alam yang sesuai kebutuhan, dan pemanfaatan sumber daya manusia
yang ada di suatu daerah. Memang dalam pemanfaatan sumber daya alam perlu
dilakukan secara bijaksana, sesuai dengan keperluan dan harus ada kontrol dari
pemerintah. Sebab pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang di sekitarnya dan bisa menghancurkan
kehidupan masyarakat yang masih sangat bergantung pada pemanfaatan hasil hutan.
- Agenda yang Baru Selesai Dibahas
Alasan saya untuk
mencantumkan pembahasan ini adalah untuk melihat dan mengkaji apa yang telah
dilakukan oleh dunia terhadap perekonomian, terutama ketahanan pangan. Hal ini
penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pada tanggal 3-6
Desember 2013, dunia mengadakan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 World Trade
Organization/WTO (organisasi perdangangan dunia), yang berjumlah 159 negara di
Bali. Ada tiga muatan utama dalam paket Bali tersebut yaitu memberikan
fasilitas perdagangan, sebagaian isu pertanian, dan pembangunan negara yang
kurang berkembang. Tiga muatan utama dalam paket Bali tersebut, oleh Menteri
Pedagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan, dinilai sebagai pencapaian yang
positif, karena secara langsung akan meningkatkan perdagangan dunia.[17]
Dari 159 negara anggota
WTO, ternyata salah satunya adalah negara Vatikan. Negara Vatikan sebagai
institusi resmi lembaga Gereja, dalam hal ini juga berperan dalam membahas
isu-isu yang menjadi agenda WTO. Negara Vatikan yang diwakili oleh Uskup Agung
Silvano M Tomasi, Duta Besar Vatikan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
organisasi Internasional lainnya (termasuk WTO), mengatakan bahwa Gereja ambil
bagian di dalam pembahasan KTT ke-9 WTO karena gereja mempunyai keprihatinan
terhadap bahan-bahan kebutuhan dasar hidup yang mengalami komersialisasi
sedemikian rupa. Gereja bersikap bahwa bahan-bahan kebutuhan dasar hidup tidak
begitu saja boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam konteks ini butuh
regulasi sosial. Ada badan untuk meregulasi.[18]
Dengan adanya
kebijakan-kebijakan dari lembaga dunia mengenai isu perdagangan, pertanian dan
memberikan perhatian kepada negara yang kurang berkembang, diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada bangsa Indonesia. Sebab bangsa Indonesia masih
mengalami persoalan-persoalan mendasar mengenai kebutuhan hidup setiap warga
negaranya.
Bab
IV
Relevansi
Perkembangan
perekonomian suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri. Sistem kontrol
pemerintah yang lemah dan keinginan untuk mementingkan diri sendiri dan
kelompok menjadi permasalahan akut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia boleh bangga dengan landasan kebangsaan yang telah dirumuskan oleh
para pendiri bangsa, UUD 1945, Pancasila, dll. Tetapi semua itu sepertinya
hanyalah nostalgia masa lalu yang sangat sulit diterapkan pada saat ini.
Turun naiknya rezim
yang berkuasa mungkin menjadi penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Setelah Soekarno turun dari jabatannya tahun
1965 dan diganti oleh rezim Soeharto, semuanya berubah. Berkuasanya Soeharto
sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun, menjadikan bangsa ini jatuh ke
dalam degredasi perekonomian yang sangat dalam. Pembangunan Soeharto dan para
rezimnya yang hanya berpusat pada pembangunan pulau Jawa (Jawa sentris),
mengakibatkan ketidakpuasan di setiap daerah. Maka ketika rezim Seoharto jatuh pada
tahun 1998, para pemikir bangsa yang masih setia pada landasan kebangsaan,
memikirkan kembali apa yang telah dipikirkan oleh para pendiri bangsa. Mereka
mencoba untuk membangun peradaban baru mengenai perekonomian nasional. Tetapi
hal itu tidak mudah dilaksanakan, karena ada segelintir orang yang berkuasa
masih mempertahankan rezim orde baru untuk mendukung status quo mereka.
Tetapi menurut saya, kalau
pemerintah mau menerapkan apa yang menjadi landasan kebangsaan yang
membicarakan persoalan ekonomi nasional, maka tidak akan terjadi ketimpangan
dalam perekonomian bangsa Indonesia. Karena landasan perekonomian nasional yang
tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila sudah lebih dahulu membicarakan
perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan ensiklik Dokumen Mater et Magistra yang
saya bahas ini, baru ditulis oleh Paus Yohannes XXIII pada tahun 1961. Tetapi
hal itu tidak diperhatikan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, sehingga
persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi serta pembangunan yang tidak
merata masih menjadi permasalahan nasional. Maka pemerintah Indonesia dalam
terang Dokumen Mater et Magisrta art. 150, ini harus berani mengambil langkah
untuk membuat kebijakan ekonomi yang pro rakyat sesuai dengan amanah UUD 1945
pasal 33 dan Pancasila.
Daftar Pustaka
Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Agustus 1999.
Jiran, “sebuah
skripsi”, Konsep Ekonomi Kerakyatan
Menurut Gus Dur. Malang: Widya Sasana, 2012.
Kieser, B. Dr.
Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial
Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koran
Harian Kompas, Senin 2 Desember
2013.
______, Rabu 4 Desember 2013.
______, Kamis 5 Desember 2013.
______, Jumat 6 Desember 2013.
______,
Senin 9 Desember 2013.
______,
Selasa 10 Desember 2013.
Naude, Piet J. Is
Prophetic Discourse Adequate to Address Global Economic Justice? South
Africa: Nelson Mandela Metropolitan University, 2011.
[1] DR. B. Kieser SJ, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm.
129.
[3] Jiran, sebuah Skripsi “Konsep Ekonomi Kerakyatan Menurut Gus Dur”, Malang: Widya
Sasana, 2012, hlm. 48.
[4] Sri-Edi Swasono, “Demokrasi Ekonomi:
Keterkaitan Usaha Partisipatif VS Konsentrasi Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman
Alfian (eds.) Pancasila sebagai Ideologi,
Jakarta: BP-7 Pusat, 1990, hlm. 255-256. Dalam Jiran, Op. Cit., hlm. 47.
[6] Ian Chaldirs dan Verdi R. Hadiz, The Politics of Economi Development in
Indonesia, London: Routledge, 1997, hlm. 41. Bdk. Mubyarto, “Ideologi
Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi, Jakarta:
BP-7 Pusat, 1990, hlm. 239-240. Dalam Jiran, Op. Cit., hlm. 49.
[8] Mubyarto, “Demokrasi Ekonomi dan Bung Hatta”, dalam Sri-Edi Swasono (eds.) Bung Hatta Bapa Kedaulatan Rakyat,
Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 625. Dalam Jiran, Op., Cip. hlm. 54.
[9] Drs. A. Suman Kurik, MM, Membangun Ekonomi Kerakyatan,
Yogyakarta: Grha Guru, 2008, hlm. 18. Dalam Jiran, Op., Cit. hlm. 54.
[10] Jiran, Op.,
Cit. hlm. 55.
[11] Pada halaman depan Koran Harian Kompas Rabu, 4 Desember 2013, menampilkan aksi
buruh di Tanggerang yang memblokede Jalan Raya Serang di pintu Tol Bitung,
Kabupaten Tanggerang, Banten.
[12] Koran
Harian Kompas, Jumat
6 Desember 2013, melaporkan bahwa pada hari Kamis, 5 Desember 2013, nilai tukar
rupiah yakni Rp. 12.018 per dollar Amerika Serikat.
[14] Koran
Harian Kompas, Kamis 5
Desember 2013, hlm. 23. Perlu dicermati di sini, para petinggi GAM. Memang
pendiri GAM, Hasan Tiro telah meninggal, tetapi ada beberapa orang petinggi GAM
seperti bekas Pedana Menteri GAM Malik Mahmud, bekas Menteri Luar Negeri GAM
Zaini Abdullah (kini menjadi Gebernur Aceh), bekas Panglima GAM Muzakir Manaf
(kini menjadi wakil Gubernur Aceh), masuk dalam anggota politik dan menjadi
pemimpin Aceh seperti Gubernur dan wakil Gubernur.
[15] Banyak
kisah pilu yang menimpa para TKI/TKW yang bekerja di luar negeri. Koran Harian Kompas, Selasa 10 Desember
2013 hlm. 10, melaporkan bahwa terdapat 3. 866 orang WNI yang di tampung di
Tarhil Arab Saudi karena masa ijin tinggalnya habis.
[16]
John Rawls, “Prioritarian Distributive Justice”, dalam Piet Naude, Is Prophetic Discourse Adequate to Address
Global Economic Justice?, South Africa: Nelsen Mandela Metropolitan
University, 2011, hlm. 3.
[17] Koran Harian Kompas, Senin 9 Desember
2013, hlm. 17.
[18] Koran Harian Kompas, Sabtu 7 Desember
2013, hlm. 20.