Kamis, 21 Agustus 2014

Ekonomi yang Berkeadilan di Indonesia dalam Terang Dokumen Mater et Magistra art. 150



Bab I
Pendahuluan


  1. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari keadaan setiap warga negaranya. Jika warga negaranya dapat hidup secara layak, yaitu terpenuhinya pendidikan bagi anak-anak mereka, kesehatan terjamin, dan persoalan ekonomi keluaga bisa teratasi, maka negara itu bisa dikatakan maju. Tetapi jika dalam negara itu, persoalan-persoalan untuk hidup layak saja masih menjadi persoalan nasional, maka negara itu belum maju, karena cermin negara terletak pada warga negaranya.
Melihat persoalan itu, Indonesia adalah kategori negara yang belum maju. Mengapa bisa dikatakan demikian? Hal ini karena persoalan ekonomi masih membelit setiap warga negara Indonesia. Memang ada beberapa orang yang hidupnya cukup layak dan bisa dikatakan sejahtera, tetapi bagi banyak orang di Indonesia, hidup layak dan sejahtera hanya sebuah impian. Maka penulis mencoba untuk mengulas persoalan itu dan mengajak semua orang mengusahakan ekonomi yang berkeadilan bagi setiap warga negara dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150.

  1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper Ajaran Sosial Gereja yang bertemakan, “Ekonomi yang Berkeadilan dalam Terang MM art. 150”, pertama-tama adalah untuk memenuhi tugas akhir dari proses pembelajaran Ajaran Sosial Gereja I. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan untuk mengkaji persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia mengenai ketidakadilan ekonomi dalam terang Dokumen Mater et Magistra artikel 150.

  1. Rumusan Masalah
Dalam paper ini, persoalan yang akan dikajikan adalah persoalan mengenai ketimpangan ekonomi yang dihadapi oleh satu negara, yaitu Indonesia. Ketimpangan ekonomi bisa disebabkan oleh keadaan mereka yang bekerja dalam bidang berlainan, tetapi juga bisa disebabkan oleh beberapa orang yang hanya mengusahakan kesejahteraan bagi kelompoknya. Maka dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150, penulis mencoba untuk mengkaji persoalan itu.
  1. Pembatasan Masalah
Pada paper ini yang akan dibahas hanya persoalan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dalam membahas ketimpangannya pun, penulis tidak melakukan analisis mengenai persoalan dan akar persoalan yang menjadi penyebab ketimpangan ekonomi yang ada di Indonesia. Penulis hanya melakukan ulasan mengenai persoalan ketimpangan ekonomi dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150.

  1. Signifikansi
Melalui paper ini penulis mencoba mengkaji persoalan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150. Dalam pengkajiannya pun, penulis mencoba mencari korelasi antara Dokumen Mater et Magistra art. 150, dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 yang berbicara mengenai perekonomian dan Pancasila. Dengan korelasi antara ketiganya, maka paper ini memberikan sumbangan kepada para pembaca dalam membangun perekonomian nasional, untuk kembali kepada landasan kebangsaan, yaitu UUD 1945 pasal 33 dan Pancasila, karena dalam setiap penjelasannya, sedah terkandung tujuan dari landasan itu yaitu, membangun perekonomian yang pro rakyat.





Bab II
Selayang Pandang Dokumen Mater Et Magistra


  1. Sejarah Dokumen Mater Et Magistra
Dokumen Mater et Magistra ditulis oleh Paus Yohannes XXIII (1961), mau memperingati Rerum Novarum. Titik pangkal Ajaran Sosial Gereja ada pada Rerum Novarum, sebab sampai dengan Laborem Exercens yang ditulis Paus Yahannes Paulus II (1981), ensiklik sosial mengacu pada Rerum Novarum. Namun kiranya Mater et Magistra adalah ensiklik terakhir yang mulai dengan mengangkat kembali masalah-masalah klasik dari ensiklik Leo XIII. Maka Mater et Magistra berawal dengan memuji Rerum Novarum (10-25) dan Quadragesimo Anno (26-40), bahkan pidato radio Pius XII dari tahun 1941 (41-46). Dan seperti dalam Quadragesimo Anno, kemudian dilanjutkan, sejak Pius XII dunia berubah secara mendalam (47-50). Maka perlu “secara lebih sempurna memperkuat dan memperjelas apa yang telah diajarkan oleh para paus pendahulu, serta menguraikan secara jelas ajaran gereja mengenai masalah-masalah yang baru dan gawat dewasa ini” (51).[1]
Titik pangkal uraian paus adalah perubahan-perubahan dalam masyarakat (47-50), khususnya proses sosialisasi (60-68). Dengan “sosialisasi” dimaksudkan “semakin berlipatgandanya jaringan hubungan sosial” (60). Titik pangkal ensiklik adalah situasi konkret manusia dan tujuannya ialah perubahan situasi, sehingga manusia dapat mengembangkan diri dengan lebih sempurna. Azas pokok Ajaran Sosial Gereja ialah bahwa manusia dengan sifat sosialnya serta pengangkatannya ke dalam tertib adikodrati, harus menjadi dasar, sebab dan tujuan segala lembaga sosial (219). Azas pokok ini diuraikan dalam tiga bagian besar: pertama, penjelasan lebih lanjut mengenai ajaran Rerum Novarum (52-122); kedua, aspek-aspek baru masalah sosial (123-211); tiga, pemulihan susunan masyarakat (212-262).[2]

  1. Isi Dokumen Mater Et Magistra art. 150
Isi dokumen Mater et Magistra art, 150 adalah “Diantara warga-warga satu negara sering terdapat perbedaan taraf ekonomi dan sosial yang cukup besar. Sebabnya yang utama ialah kenyataan, bahwa mereka hidup dan bekerja di bidang-bidang yang berlainan, ada yang dari sudut ekonomi lebih maju dari pada bidang-bidang lainnya. Bila ada situasi seperti itu, keadilan dan kewajaran meminta, supaya pemerintah mencoba meniadakan atau mengurangi ketimpangan-ketimpangan semacam itu. Pemerintah harus menjamin, agar daerah-daerah yang kurang maju mendapat jasa pelayanan umum yang pokok seperti dituntut oleh situasinya, untuk meningkatkan mutu kehidupan di wilayah-wilayah itu sederajat dengan standar hidup rata-rata pada taraf nasional. Selain itu perlu disusun kebijakan ekonomi dan sosial, yang akan memperhitungkan penyediaan lapangan kerja, arus kependudukan, upah, perpajakan, kredit dan penanaman modal, khususnya industri-industri yang berkembang. Pendek kata, kebijakan itu harus memajukan peluang kerja yang berguna, prakarsa usaha-usaha, dan pemanfaatan sumber-sumber setempat”.
Isi dokumen Mater et Magistra art. 150, membahas isu-isu ketimpangan ekonomi dalam suatu negara. Ketimpangan itu menimbulkan persoalan yang besar dalam suatu bangsa. Maka paus melalui enksiklik ini, mau mengajak semua bangsa yang mengalami ketimpangan sosial harus berbuat sesuatu untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah harus berperan penting dalam mengembalikan tatanan ekonomi yang berkeadilan bagi setiap warga negaranya.
Dalam pengembalian ekonomi ketatanan yang berkeadilan bagi setiap warga negara, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan yang menjamin kelangsungan perekonomian agar tidak dikuasai oleh segelintir orang. Maka pemerintah pun harus mempunyai agenda untuk membersihkan semua kepentingan-kepentingan individu dan kelompok untuk memajukan perekonomian nasional. Dalam pembangunan perekonomian nasional, pemerintah dapat memanfaatkan sumber-sumber yang ada di suatu daerah dengan bijaksana, dan harus memperhatikan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya dan generasi yang akan datang. Hal ini sangat penting karena menyangkut keberlangsungan kehidupan manusia Indonesia.




Bab III
Landasan Ekonomi yang Berkeadilan di Indonesia

Pada bagian ini, penulis terlebih dahulu melihat landasan kebangsaan yang membicarakan masalah perekonomian bagi bangsa Indonesia. Landasan kebangsaan yang pertama membicarakan persoalan ekonomi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pancasila dan pandangan tokoh-tokoh nasional mengenai ekonomi yang berkeadilan di Indonesia.

  1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Negara Indonesia boleh bangga dengan para bapa pendiri bangsa, karena mereka telah merumuskan dengan sangat baik ideologi bangsa Indonesia. Salah satu ideologi itu adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan sangat indah merumuskan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu untuk memajukan kehidupan manusia Indonesia yang adil dan makmur.[3] Dalam pasal 33 UUD 1945, Mohammad Hatta merumuskan asas-asas perekonomian Indonesia dalam 3 ayat berikut:[4]
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan;
Penjelasan: Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangunan ekonomi yang sesuai dengan itu adalah koperasi.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
Penjelasan: Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan perseorangan. Hanya usaha-usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan perseorangan.
(3). Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Penjelasan: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran. Kekayaan alam yang ada harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Demokrasi ekonomi yang dirumuskan dalam UUD 1945 menolak paham liberalisme pasar secara total. Demokrasi yang diajukan Mohammad Hatta ini adalah demokrasi sosial, khususnya dibidang perekonomian. Setiap warga negara Indonesia diberi kesempatan yang sama untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan negara melindungi kepentingannya. Kedaulatan rakyat Indonesia tidak lepas dari tujuan inherennya, yaitu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]

  1. Gagasan Ekonomi yang Berkeadilan Menurut Pancasila
Gagasan ekonomi yang berkeadilan menurut Pancasila tidak lain adalah gagasan ekonomi Pancasila, karena dalam Pancasila sudah terkandung keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Mubyarto, dalam tulisannya yang berjudul “Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi”, menguraikan dimensi aplikatif ideologi Pancasila dalam kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Gagasan ekonomi Pancasila adalah prinsip-prinsip ekonomi yang memuat nilai-nilai luhur Pancasila. Gagasan ekonomi Pancasila memiliki posisi yang berbeda dari sosialisme (Marxisme), maupun liberalisme (Adam Smith). Ideologi Pancasila berusaha mencari keseimbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai warga masyarakat, antara kehidupan materi dan kehidupan rohani. Manusia Pancasila yang berketuhanan, selain sebagai homo economicus, sekaligus sebagai homo metafisika dan homo mysticus. Ini berarti bahwa dalam ekonomi Pancasila, manusia tidak hanya dilihat pada salah satu dimensi saja, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Negara Indonesia adalah masyarakat yang mengakui kebebasan individu, kepentingan kolektif, dan nilai-nilai keadilan dalam perekonomiannya.[6]
Pancasila sebagai dasar negara dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara dan masyarakat sebagai berikut:[7]
(1). Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh nilai-nilai yang bersumber pada kebaikan Ilahi;
(2). Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pemerataan sosial sesuai dengan asas-asas kemanusiaan;
(3). Persatuan Indonesia. Prioritas kebajikan ekonomi adalah menciptakan perekonomian nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi;
(4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan bentuk paling konkret dari usaha bersama;
(5). Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kebajikan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.

  1. Pandangan Tokoh tentang Ekonomi yang Berkeadilan
Pandangan tentang ekonomi yang berkeadilan adalah ekonomi yang pro rakyat, sebagaimana telah dikonsepkan dalam UUD 1945, Pancasila, dan juga Dokumen Mater et Magistra art. 150. Maka dalam pembahasan ini pandangan tentang ekonomi yang berkeadilan akan disamakan artinya dengan ekonomi kerakyatan. Kita bisa melihat beberapa tokoh yang berbicara mengenai ekonomi kerakyatan.
  1. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat.[8]
  2. Drs. A. Suman Kurik, MM, mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sebuah populis yang lahir dan diperuntukkan bagi rakyat.[9]
  3. Menurut Abdurahman Wahid atau sering disebut Gus Dur (1940-2009), seorang nasionalis dan cendekiawan Indonesia, mengatakan ekonomi kerakyatan adalah sistem perekonomian yang menyatukan antara kebebasan dan peranan pemerintah dengan mengedepankan paham-paham kerakyatan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.[10]


Bab IV
Ekonomi yang Berkeadilan dalam Terang Mater et Magistra art. 150


  1. Persoalan yang dihadapi Indonesia
Ekonomi yang berkeadilan atau yang saya sejajarkan dengan ekonomi kerakyatan, ternyata tidak mudah diterapkan di Indonesia. Kita bisa membayangkan bahwa konsep ekonomi kerakyatan telah dipikirkan oleh para pendiri bangsa terutama Muhammad Hatta (Bung Hatta) yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila oleh Soekarno. Tetapi konsep itu sampai pada zaman kita ini sepertinya masih sebuah angan-angan yang sulit untuk diwujudnyatakan. Persoalan-persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, pencurian, pembangunan yang tidak merata di setiap daerah dan masalah-masalah sosial seperti kesehatan dan pendidikan menjadi konsumsi harian kita. Padahal kalau konsep ekonomi kerakyatan itu diwujudnyatakan dalam bangsa Indonesia, maka persoalan-persoalan ekonomi dan sosial dapat dikurangi atau diminimalisirkan. Mungkin ini menandakan bahwa sistem kontrol pemerintahan kita lemah, atau mungkin pemerintah kita lemah.
Lemahnya sistem pemerintahan menyebabkan banyaknya kekacauan sosial, seperti demo buruh yang merusak dan mengganggu ketertiban umum.[11] Atau lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.[12] Atau keinginan untuk keluar dari kesatuan NKRI. Walaupun wacana ini sekarang tidak terdengar secara luas, tetapi keinginan itu masih ada. Sebagai contoh sejumlah orang masih memperingati hari jadi Organisasi Papua Mardeka, 1 Desember 2013.[13] Atau memperingati ulang tahun ke-37 dari Gerakan Aceh Mardeka, 4 Desember 2013 dibeberapa tempat di Aceh.[14] Atau kemiskinan dan pengganggurang masih menyelimuti persoalan bangsa.
Maka melihat persoalan itu, penulis mencoba mengkaji permasalahan yang ada dalam terang Dokumen Mater et Magistra art. 150. Dalam dokumen itu akan penulis menampilkan apa yang menjadi perhatian dari isi Dokumen  Mater et Magistra art. 150.

  1. Beberapa keperihatinan Mater et Magistra art. 150
  • Diantar warga-warga satu negara sering terdapat perbedaan taraf ekonomi dan sosial yang cukub besar, sebab utamanya ialah kenyataan bahwa mereka hidup dan bekerja di bidang-bidang yang berlainan, ada yang dari sudut ekonomi yang lebih maju dari pada bidang-bidang lainnya.
  • Meminta pemerintah mencoba meniadakan atau mengurangi ketimpangan-ketimpangan semacam itu.
  • Pemerintah harus menjamin agar daerah-daerah yang kurang maju mendapat jasa pelayanan umum yang pokok seperti yang dituntut oleh situasinya, untuk meningkatkan mutu kehidupan di wilayah-wilayah itu sederajat dengan standar hidup rata-rata pada taraf nasional.
  • Perlu disusun kebijakan ekonomi dan sosial yang akan memperhitungkan penyediaan lapangan kerja, arus kependudukan, upah, perpajakan, kredit dan penanaman modal, khususnya pada industri-industri yang berkembang.
  • Kebijakan itu harus memajukan peluang kerja yang berguna, prakarsa usaha-usaha, dan pemanfaatan sumber-sumber setempat.
Pokok perhatian dari dokumen Mater et Magistra art. 150 adalah ketimpangan ekonomi dalam satu negara. Ketimpangan itu bisa disebabkan oleh berbedanya taraf ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh berbedanya pekerjaan, dan pembangunan di daerah yang tidak merata sehingga menyebabkan terisolirnya suatu daerah dari daerah yang lainnya. Maka paus menghimbau para pemimpin pemerintahan agar menyusun suatu kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih adil dengan memperhitungkan penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini perlu kita indahkan karena banyak dari warga bangsa kita memilih pergi untuk bekerja di luar negeri karena di dalam negeri sendiri tidak cukup tersedia lapangan pekerjaan bagi mereka. Mereka pergi meninggalkan kampung halaman, sanak saudara, suami, istri dan anak-anak demi sesuap nasi. Mereka pergi karena tidak menemukan butir nasi di dalam negeri, sehingga banyak kisah pilu yang terjadi menimpa mereka.[15]
Penyediaan lapangan pekerjaan itu juga harus memperhatikan arus pertumbuhan penduduk. Sebab lajunya arus penduduk membuat semakin banyaknya kebutuhan suatu keluarga. Jika tidak diatasi, maka jumlah pengangguran akan semakin bertambah dan tingkat kejahatan pun bertambah. Dalam penyediaan lapangan pekerjaan, perlu memperhatikan upah yang adil bagi para pekerja.
Pemerintah juga harus membuat kebijakan untuk mengatur masalah perpajakan, kredit dan penanaman modal dari indusrti-industri yang berkembang. Kebijakan itu perlu agar dalam pengelolaannya tidak menimbulkan ketimpangan bagi masyarakat yang menjadi karyawan atau lingkungan sekitar industri-industri itu. Industri-indusrti juga dalam pendistribusian barang olahannya harus adil. John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971), menuliskan bahwa dalam pengelolaan ekonomi harus ada distribusi yang adil.[16]
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, harus bisa menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang berguna bagi setiap warga negara. Dalam penyediaan lapangan pekerjaan itu bisa memanfaatkan sumber-sumber setempat. Sumber-sumber itu bisa berupa pemanfaatan sumber daya alam yang sesuai kebutuhan, dan pemanfaatan sumber daya manusia yang ada di suatu daerah. Memang dalam pemanfaatan sumber daya alam perlu dilakukan secara bijaksana, sesuai dengan keperluan dan harus ada kontrol dari pemerintah. Sebab pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang di sekitarnya dan bisa menghancurkan kehidupan masyarakat yang masih sangat bergantung pada pemanfaatan hasil hutan.

  1. Agenda yang Baru Selesai Dibahas
Alasan saya untuk mencantumkan pembahasan ini adalah untuk melihat dan mengkaji apa yang telah dilakukan oleh dunia terhadap perekonomian, terutama ketahanan pangan. Hal ini penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pada tanggal 3-6 Desember 2013, dunia mengadakan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 World Trade Organization/WTO (organisasi perdangangan dunia), yang berjumlah 159 negara di Bali. Ada tiga muatan utama dalam paket Bali tersebut yaitu memberikan fasilitas perdagangan, sebagaian isu pertanian, dan pembangunan negara yang kurang berkembang. Tiga muatan utama dalam paket Bali tersebut, oleh Menteri Pedagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan, dinilai sebagai pencapaian yang positif, karena secara langsung akan meningkatkan perdagangan dunia.[17]
Dari 159 negara anggota WTO, ternyata salah satunya adalah negara Vatikan. Negara Vatikan sebagai institusi resmi lembaga Gereja, dalam hal ini juga berperan dalam membahas isu-isu yang menjadi agenda WTO. Negara Vatikan yang diwakili oleh Uskup Agung Silvano M Tomasi, Duta Besar Vatikan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi Internasional lainnya (termasuk WTO), mengatakan bahwa Gereja ambil bagian di dalam pembahasan KTT ke-9 WTO karena gereja mempunyai keprihatinan terhadap bahan-bahan kebutuhan dasar hidup yang mengalami komersialisasi sedemikian rupa. Gereja bersikap bahwa bahan-bahan kebutuhan dasar hidup tidak begitu saja boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam konteks ini butuh regulasi sosial. Ada badan untuk meregulasi.[18]
Dengan adanya kebijakan-kebijakan dari lembaga dunia mengenai isu perdagangan, pertanian dan memberikan perhatian kepada negara yang kurang berkembang, diharapkan dapat memberikan manfaat kepada bangsa Indonesia. Sebab bangsa Indonesia masih mengalami persoalan-persoalan mendasar mengenai kebutuhan hidup setiap warga negaranya.




Bab IV
Relevansi

Perkembangan perekonomian suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri. Sistem kontrol pemerintah yang lemah dan keinginan untuk mementingkan diri sendiri dan kelompok menjadi permasalahan akut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia boleh bangga dengan landasan kebangsaan yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa, UUD 1945, Pancasila, dll. Tetapi semua itu sepertinya hanyalah nostalgia masa lalu yang sangat sulit diterapkan pada saat ini.
Turun naiknya rezim yang berkuasa mungkin menjadi penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Setelah Soekarno turun dari jabatannya tahun 1965 dan diganti oleh rezim Soeharto, semuanya berubah. Berkuasanya Soeharto sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun, menjadikan bangsa ini jatuh ke dalam degredasi perekonomian yang sangat dalam. Pembangunan Soeharto dan para rezimnya yang hanya berpusat pada pembangunan pulau Jawa (Jawa sentris), mengakibatkan ketidakpuasan di setiap daerah. Maka ketika rezim Seoharto jatuh pada tahun 1998, para pemikir bangsa yang masih setia pada landasan kebangsaan, memikirkan kembali apa yang telah dipikirkan oleh para pendiri bangsa. Mereka mencoba untuk membangun peradaban baru mengenai perekonomian nasional. Tetapi hal itu tidak mudah dilaksanakan, karena ada segelintir orang yang berkuasa masih mempertahankan rezim orde baru untuk mendukung status quo mereka.
Tetapi menurut saya, kalau pemerintah mau menerapkan apa yang menjadi landasan kebangsaan yang membicarakan persoalan ekonomi nasional, maka tidak akan terjadi ketimpangan dalam perekonomian bangsa Indonesia. Karena landasan perekonomian nasional yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila sudah lebih dahulu membicarakan perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan ensiklik Dokumen Mater et Magistra yang saya bahas ini, baru ditulis oleh Paus Yohannes XXIII pada tahun 1961. Tetapi hal itu tidak diperhatikan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, sehingga persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi serta pembangunan yang tidak merata masih menjadi permasalahan nasional. Maka pemerintah Indonesia dalam terang Dokumen Mater et Magisrta art. 150, ini harus berani mengambil langkah untuk membuat kebijakan ekonomi yang pro rakyat sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 33 dan Pancasila.


Daftar Pustaka


Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Agustus 1999.
Jiran, “sebuah skripsi”, Konsep Ekonomi Kerakyatan Menurut Gus Dur. Malang: Widya Sasana, 2012.
Kieser, B. Dr. Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.   
Koran Harian Kompas, Senin 2 Desember 2013.
______, Rabu 4 Desember 2013.
______, Kamis 5 Desember 2013.
______, Jumat 6 Desember 2013.
______, Senin 9 Desember 2013.
______, Selasa 10 Desember 2013.
Naude, Piet J. Is Prophetic Discourse Adequate to Address Global Economic Justice? South Africa: Nelson Mandela Metropolitan University, 2011.




[1] DR. B. Kieser SJ, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 129.
[2] Ibid., hlm. 130.
[3] Jiran, sebuah Skripsi “Konsep Ekonomi Kerakyatan Menurut Gus Dur”, Malang: Widya Sasana, 2012, hlm. 48.
[4] Sri-Edi Swasono, “Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipatif VS Konsentrasi Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman Alfian (eds.) Pancasila sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990, hlm. 255-256. Dalam Jiran, Op. Cit., hlm. 47.
[5] Ibid., hlm. 48.
[6] Ian Chaldirs dan Verdi R. Hadiz, The Politics of Economi Development in Indonesia, London: Routledge, 1997, hlm. 41. Bdk. Mubyarto, “Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990, hlm. 239-240. Dalam Jiran, Op. Cit., hlm. 49.
[7] Ibid.
[8] Mubyarto, “Demokrasi Ekonomi dan Bung Hatta”, dalam Sri-Edi Swasono (eds.) Bung Hatta Bapa Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 625. Dalam Jiran, Op., Cip. hlm. 54.
[9] Drs. A. Suman Kurik, MM, Membangun Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Grha Guru, 2008, hlm. 18. Dalam Jiran, Op., Cit. hlm. 54.
[10] Jiran, Op., Cit. hlm. 55.
[11] Pada halaman depan Koran Harian Kompas Rabu, 4 Desember 2013, menampilkan aksi buruh di Tanggerang yang memblokede Jalan Raya Serang di pintu Tol Bitung, Kabupaten Tanggerang, Banten.
[12] Koran Harian Kompas, Jumat 6 Desember 2013, melaporkan bahwa pada hari Kamis, 5 Desember 2013, nilai tukar rupiah yakni Rp. 12.018 per dollar Amerika Serikat.
[13] Koran Harian Kompas, Senin 2 Desember 2013, hlm. 22.
[14] Koran Harian Kompas, Kamis 5 Desember 2013, hlm. 23. Perlu dicermati di sini, para petinggi GAM. Memang pendiri GAM, Hasan Tiro telah meninggal, tetapi ada beberapa orang petinggi GAM seperti bekas Pedana Menteri GAM Malik Mahmud, bekas Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah (kini menjadi Gebernur Aceh), bekas Panglima GAM Muzakir Manaf (kini menjadi wakil Gubernur Aceh), masuk dalam anggota politik dan menjadi pemimpin Aceh seperti Gubernur dan wakil Gubernur.
[15] Banyak kisah pilu yang menimpa para TKI/TKW yang bekerja di luar negeri. Koran Harian Kompas, Selasa 10 Desember 2013 hlm. 10, melaporkan bahwa terdapat 3. 866 orang WNI yang di tampung di Tarhil Arab Saudi karena masa ijin tinggalnya habis.
[16] John Rawls, “Prioritarian Distributive Justice”, dalam Piet Naude, Is Prophetic Discourse Adequate to Address Global Economic Justice?, South Africa: Nelsen Mandela Metropolitan University, 2011, hlm. 3.
[17] Koran Harian Kompas, Senin 9 Desember 2013, hlm. 17.
[18] Koran Harian Kompas, Sabtu 7 Desember 2013, hlm. 20.